Individualis Dalam Petaka Global

Ini hari ke 27 kami menjadi tahanan kota. Potongan tayangan yang di unggah ke Instagram semakin memprovokasi diri supaya benci pada negeri sendiri. Oleh tangan tak bertanggung jawab yang memosting sebuah cuplikan tentang kesenjangan sosial yang barangkali tak sengaja diucapkan oleh Sang juru bicara yang hilir mudik gentayangan di televisi memberi berita terbaru setiap hari.
“Parah, sih, ini, sedih banget jadi orang miskin disalahin terus. Padahal yang sering keluar masuk bandara justru para Borjuis itu. Kita mah ya boro-boro liburan ke luar negeri, rebahan wifi kenceng aja udah berasa kayak di surga banget.” adikku Nova, selonjoran di sofa.
“Jangan ditelan mentah-mentah begitu informasinya.” aku menuju dapur, mengambil air putih. Akibat work from home yang sudah berjalan tiga pekan lebih, jam tidurku jadi tidak beraturan. Bisa dengan seenaknya nggak mandi dulu langsung membuka laptop.
Rumah kami dihuni empat orang saja. Papah yang sudah meninggal tiga tahun lalu akibat serangan jantung, mamah yang sedang mengisi kelas daring untuk mahasiswanya di dalam kamar, Nova yang lagi main hp, bang Ryan yang belum bangun, dan aku yang sekarang lagi makan Semangka. Kata mamah, dimakan secukupnya saja, dibagi-bagi, kita nggak tahu masa karantina ini akan bertambah berapa hari lagi. Kulkas sudah mulai kehilangan isinya, sementara perut tak pernah mau memahami situasi ini.
“Bosen banget pengen ketemu temen-temen, pengen les piano, pengen nongkrong di cafenya tante Levi, kangen hidup normal lagi.” suara Nova di ruang tengah terdengar sampai meja makan. Kunyahan di mulutku mendadak kehilangan rasanya. Kalau nggak pandai mengatur pikiran, keadaan ini benar-benar membunuhku pelan-pelan. Banyak pekerjaan yang justru terasa dua kali lipat lebih membebani ketika dengan terpaksa harus dikerjakan di rumah.
Bang Ryan keluar kamar dengan kaus oblong dan rambut yang kehilangan kuncirannya. Sepertinya cuma dia yang benar-benar menikmati masa isolasi ini. Bagaimana tidak, dia masih bisa tidur dengan nyenyak tanpa dihantui perasaan khawatir atau cemas sejenisnya. Bang Ryan menggeser Nova, menyalakan televisi tanpa cuci muka terlebih dahulu.
Ada yang berbeda dari tayangan hari ini, kematian musisi legendaris, Glen Fredly sedikit memberi warna baru, dan mengalihkan sejenak fokus kita. Di tengah semakin mengganasnya angka kematian akibat wabah ini, berita duka jadi semakin menambah perasaan takut. Seolah di waktu seperti ini, kita dilarang meninggal.
“Mentang-mentang artis. Sosial distancing nggak berlaku bagi orang berduit dan punya pamor.”
Aku tidak begitu paham dengan apa yang bang Ryan katakan. Televisi kemudian memberitakan satu keluarga yang menjadi ODP. Berawal dari kepulangan anak pertamanya dari salah satu kota besar yang dinobatkan sebagai zona merah. Entah bagaimana seorang PDP masih bisa berkeliaran bebas. Mengingat sudah dari jauh-jauh hari larangan mudik digemborkan pemerintah, namun entah bagaimana, seolah segala anjuran untuk memutus rantai penyebaran dianggap sebagai sesuatu yang sepele dan fiktif belaka.
“Padahal kalau bicara keluarga, setiap orang pasti ingin selalu berkumpul, apalagi sebentar lagi bulan ramadan. Tapi apa harus egois begitu? Memaksakan diri dan mencelakai orang banyak.” Nova menanggapi.
“Kangen kak Nina, ya,” Bang Ryan kemudian berbicara.
Iya. Kak Nina. Kakak tertua kami. Beliau tidak bisa pulang. Di saat kami masih bisa bekerja sambal selonjoran, dia justru berada di garda terdepan melawan Pandemi. Kak Nina seorang perawat di salah satu rumah sakit rujukan Covid 19. Ketika waktu luang, kak Nina menghubungi kami, mengabarkan pada kami bahwa dirinya baik-baik saja. Kak Nina sering mengeluh kelelahan, dengan alat pelindung diri yang seadanya, semua tugas-tugas berat itu jadi terasa lebih mencekam. Kami di rumah sering tak tenang, ingin dia ada di sini, berkumpul saja di sini.
“Kalian jangan egois. Bilangin ke semua orang. Kalau nggak penting-penting banget, jangan dulu keluar rumah. Kami di sini benar-benar kerepotan. Tolong kami. Jangan kemana-mana.” begitu ucapnya ketika terakhir kali kami komunikasi. Kak Nina menangis. Kami juga. Sedih melihat reaksi bangsa sendiri. Seolah nggak percaya pada pemerintah. Semua imbauan apa pun sepertinya hanya dianggp lelucon.
Mari bahu membahu memutus rantai penyebaran, jangan karena merasa bosan di rumah, kita malah menjadi korban berikutnya. Tahan dulu, jangan egois. Demi kesehatan bersama. Semoga negara kita lekas pulih. Semoga kita bisa menikmati hidup seperti sedia kala lagi.