Implikasi hukum jika ibukota negara pindah

Rencana pemindahan Ibukota negara dari Jakarta ke Palangkaraya sebenarnya sudah lama digagas. Kini, gagasan itu mencuat lagi. Bappenas juga melakukan kajian tentang rencana pemindahan itu. Salah satu yang patut dipertimbangkan terkait rencana pemindahan itu adalah implikasi hukum jika Ibukota negara mau dipindah.

Rencana pemindahan Ibukota negara dari Jakarta ke Palangkaraya sebenarnya sudah lama digagas. Kini, gagasan itu mencuat lagi. Bappenas juga melakukan kajian tentang rencana pemindahan itu. Salah satu yang patut dipertimbangkan terkait rencana pemindahan itu adalah implikasi hukum jika Ibukota negara mau dipindah.

Ketua Bidang Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Fitra Arsil, mengatakan pemindahan Ibukota negara tak semata berimplikasi pada keuangan tetapi juga hukum. Pemindahan akan menimbulkan beban biaya yang tidak sedikit, tetapi juga berdampak pada hukum ketatanegaraan.

Dalam konstitusi, setidaknya ada dua pasal yang menyinggung Ibukota negara. Pasal 2 ayat (2) UUD 1945 menyebutkan MPR bersidang sedikitnya sekali dalam lima tahun di Ibukota negara. Lalu, ada Pasal 23G ayat (1) yang menegaskan BPK berkedudukan di ibukota negara, dan memiliki perwakilan di setiap provinsi. Ketentuan senada ditemukan dalam beberapa Undang-Undang, yang mengharuskan lembaga tertentu berkedudukan di Ibukota negara.

Fitra mengingatkan perpindahan Ibukota negara berarti lembaga-lembaga negara harus tunduk pada UUD 1945 dan Undang-Undang. Itu berarti MPR harus bersidang di ibukota baru; demikian pula kantor pusat BPK harus berpindah. Jika DPR dan DPD tetap berada di Jakarta dan hanya saat sidang MPR berangkat ke Ibukota negara baru, beban biaya yang harus ditanggung sangat besar. Apalagi jika Rapat Dengar Pendapat (RDP) menteri kabinet digelar di Jakarta, sedangkan Presiden dan menterinya berkantor di ibukota negara yang baru.

Implikasi paling jelas adalah perubahan banyak sekali Undang-Undang. Karena itu, Fitra Arsil yakin perubahan ibukota tak bisa ditentukan sendiri oleh Pemerintah. Perpindahan adalah kebijakan yang harus diputuskan bersama-sama dengan DPR. “Presiden tidak bisa memulai memindahkan Ibukota tanpa persetujuan DPR,” katanya saat diwawancarai hukumonline.

Fitra mempertanyakan apakah Pemerintah bermaksud memindahkan kedudukan seluruh lembaga negara yang diatur dalam konstitusi ke Ibukota Negara yang baru atau hanya sebagiannya saja. Jika menelusuri berbagai ketentuan undang-undang mengenai kekhususan Jakarta, terlihat bahwa kekhususan Jakarta disebabkan karena statusnya sebagai Ibukota Negara. “Makanya debat tentang pemindahan itu sebenarnya harus dilakukan terbuka. Apa maksudnya dengan pemindahan ini?” tegasnya.

Implikasi lain adalah status ‘khusus’ pada Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta. Status itu telah memberikan sejumlah kekhususan kepada Jakarta dalam pengelolaan pemerintahan, dibandingkan daerah lain. Misalnya, kotamadya di Jakarta tak memiliki DPRD, dan walikotanya pun ditunjuk bukan dipilih oleh rakyat.

Menurut Fitra, jika seluruh kelembagaan negara ikut berpindah ke ibukota baru maka Jakarta tidak lagi menyandang kekhususan sebagai Ibukota Negara dan mungkin saja menyandang status yang sama dengan provinsi lainnya. “UU tentang Jakarta selama ini lex specialis, kalau sudah bukan DKI jadi tunduk pada yang umum di UU Pemerintahan Daerah,” tambahnya. Artinya segala kekhususan DKI akan diberikan kepada Ibukota negara yang baru.

Pengamat Hukum Tata Negara, Refly Harun, perubahan ibukota ke kota lain tak otomatis mengubah kekhususan Jakarta. Tergantung pilihan politik para pembentuk Undang-Undang. Bisa saja tetap diberikan status khusus dalam bentuk lain, misalnya terkait alasan-alasan historis sebagai bekas ibukota Batavia.

Sumber : www.hukumonline.com