Impian dalam mimpiku

cerpen

Jekziven. Itulah namaku. Aku terlahir sebagai seorang politik dan sosial. Dari dulu hingga sekarang aku memiliki tokoh favorit yang dikenal dengan bapak politik yaitu Nelson Mandela. Semua kisah dan perjalanan politiknya selalu kuikuti.

Setiap hari aku selalu membaca berbagai macam buku, salah satu buku favoritku adalah UUD. Setelah lulus SMA, aku mengenyam pendidikan yang lebih tinggi lagi. Apalagi setelah aku mengetahui di universitas tempatku melanjutkan pendidikan memiliki jurusan hukum, tentunya membuatku semakin antusias dalam menuangkan pemikiranku dalam berpolitik.
Setelah berkuliah di universitas pilihanku, di sana seringkali diadakan lomba-lomba untuk berbagai macam mahasiswa dari berbagai universitas. Yang membuatku lebih bersemangat lagi seringkali aku terpilih sebagai sala satu anggota tim dalam lomba debat antar mahasiswa dari penjuru kota.

Dari lomba-lomba yang kuikuti aku selalu mendapatkan juara. Berbagai pujian datang layaknya hujan yang turun dengan lebat. Dengan semua rasa kebahagiaan itu, lantas tidak membuatku merasa angkuh dan merasa paling hebat. Sebab aku tahu kecerdasan ini adalah anugerah dari Tuhan.

Beberapa tahun berlalu, waktu menempuh pendidikan telah usai. Langkahku mulai memasuki dunia kerja. Berbeda dari kebanyakan orang yang mencari dan membutuhkan pekerjaan diluar sana, aku dibutuhkan dan diberikan pekerjaan.

Di setiap minggu pagi aku selalu menjalankan kewajibanku sebagai seorang hamba kepada tuhannya. Aku duduk dan merapatkan kedua tanganku, "Tuhan, terkadang aku dilema antara yang benar atau uang. Jika aku tidak megambil kesempatan maka uang yang aku harapkan akan hilang, tetapi jika aku selalu jujur maka aku tidak akan mendapatkan sesuai harapanku.” doaku sambil menengadah keatas “menatap” Tuhan.

Setelah keluar dari tempat beribadah aku melihat seorang kakek tua pengemis yang buta sedang duduk memohon agar di berikan uang. Aku menghampirinya dan menaruh uang yang cukup besar di dekatnya, namun ketika aku hendak pergi kakek itu meminta agar aku berhenti.

“Nak berhentilah sebentar,” ucap si kakek. Walau si kakek tua buta namun dia seakan-akan bisa melihat masalahku, ”Nak apakah kamu resah dengan pekerjaanmu?”, “Dari mana kakek tau itu?”, si kakek hanya tersenyum kepadaku.

“Iya, Kek. Aku bingung. Dalam pekerjaan aku selalu membela orang yang memberikan uang banyak kepadaku tanpa aku melihat terlebih dahulu benar atau salah orang yang aku bela…”
“Kamu percaya kepada Tuhan maka percayalah pada kebenaranNya”

Setelah mendengarkan nasehat dari Kakek tua itu aku mulai berfikir apakah sikap yang aku lakukan benar atau salah.

Tiba di suatu saat, sebuah kasus melibatkan seorang bapak miskin yang penghasilannya dari bekas-bekas kayu di hutan. Sebagai pihak yang bersalah, bapak tersebut akan dijatuhkan hukuman penjara selama tujuh tahun lamanya. Namun bagiku hukuman yang dijatuhkan kepada sang bapak tersebut salah, menyalahi hati nurani.

Dengan suka rela tanpa mengharap uang aku bersedia menjadi kuasa hukumnya. Saat sidang berlangsung ketika aku di panggil untuk menjelaskan kasus bapak tersebut aku melihat wajahnya yang berharap dia tidak bersalah dan tidak akan dijatuhi hukuman penjara.

“Mohon izin yang mulia,” ucapku kepada hakim. Aku berharap semoga penjelasanku ini dapat dipertanggungjawabkan, "Hukum haruslah berrtindak secara adil tetapi yang saya lihat hukum yang didapatkan bapak ini bukanlah keadilan melainkan memberatkan dirinya.”
Tiba-tiba yang bersangkutan lainya membantah ucapanku, namun aku tetap berusaha menegaskan ucapanku.

“Untuk yang bersangkutan tolong tunjukan bukti landasan negara kita yang menjelaskan regulasi tersebut. Sedangkan setiap harinya bapak ini hanya megambil sisa-sisa pohon saja sebagai nafkah sehari-sehari, apakah hal tersebut sudah bisa dikatakan pencurian atau perusakan? Sedangkan banyak orang diluar sana yang menebang pohon hingga membakarnya tidak mendapatkan hukuman.” tegasku.

Setelah menunggu beberapa lama keputusan hakim, pada akhirnya bapak tersebut dinyatakan tak bersalah. Syukurku kepada Tuhan yang telah menolongku.

Bapak tersebut berterima kasih kepadaku dan memberikan bayaran untukku dengan jumlah seratus ribu. Awalnya aku menolak namun ucapannya membuatku menangis.

“Ini tidaklah seberapa dengan perjuanganmu, Nak. Uang ini mungkin kurang tetapi lebihnya Tuhan akan memberikan kebahagiaan.”

Saat aku menerima uang bapak tersebut dengan tiba-tiba semuanya menjadi gelap gulita, tubuhku seperti terisap.

Mataku terbuka melihat sekeliling. Ternyata aku baru tersadar dari mimpi. Umurku pun masilah seumuran anak SMP. Aku tersenyum karena aku mengerti dengan bermimpi menjadikan itu sebagai hikma agar diriku bermanfaat bagi orang lain kelak. Baik lewat tindakan maupun ucapan.

“Tuhan aku berjanji.”

1 Like