Husnudzon (Hatiku, Teruslah Berprasangka Baik)

Marhaban Ya Ramadhan. Alhamdulillahil ladzi bini’matihi tatimmus shalihat, tahun ini dipertemukan lagi dengan bulan Ramadhan yang penuh berkah. Meskipun keadaan dan suasananya sedikit berbeda, kita harus tetap semangat. Negara kita sedang mengalami masa-masa yang cukup sulit. Iya, Indonesia kini sedang diserang wabah yang cukup mematikan yaitu virus corona (Covid-19). Sampai saat ini, kitapun dianjurkan oleh Pemerintah untuk beribadah, bekerja dan melakukan segala kegiatan di rumah saja.

Jangan bersedih dan jangan patah semangat untuk menjalani Ramadhan tahun ini di tengah pandemi. Melaksanakan shalat tarawih dan idul fitri nantinya harus di rumah saja. Musibah dan nikmat sama-sama datang dari Allah, jadi sudah semestinya kita ikhlas pada setiap apa yang telah ditetapkanNya. Jangan lupa untuk terus berdoa agar Allah segera mengangkat wabah ini di muka bumi, serta terus berikhtiar mematuhi segala perintah ulil amri untuk tetap di rumah saja, stay safe stay home.

Kadang ada rasa sedih ketika dalam keadaan seperti ini,kita masih saja mendengar banyaknya hujatan masyarakat kepada pemerintah. Bahkan di bulan Ramadhan yang seharusnya kita banyak melakukan kebaikan-kebaikan, tetapi malah dijadikan alasan untuk mencari kesalahan orang lain. Banyak sekali komentar buruk tentang bagaimana seharusnya pemerintah memberi kebijakan di tengah pandemi ini. Masyarakat awam yang tidak mengerti pun ikut-ikutan bersuara soal apa yang harus dilakukan. Tidakkah kita memilih pemimpin karena telah mempercayainya untuk melakukan yang terbaik untuk rakyat?

Harus kita pahami bahwa setiap orang bertindak sesuai dengan kemampuan dan bidangnya. Tidak semua orang mampu melakukan pekerjaan yang ada. Seperti pada keadaan saat ini, hampir semua orang ingin terlibat dalam setiap tindakan yang bahkan mereka sendiri tidak mengetahui untuk apa. Seorang petani mengomentari tindakan pemerintah yang meliburkan sekolah, seorang montir bengkel mengomentari para dokter yang menganjurkan untuk memakai masker, seorang yang bahkan jarang menginjakkan kakinya di mesjid malah mengomentari sikap para ulama yang menganjurkan untuk shalat di rumah. Poinnya adalah banyak orang yang ingin berbicara tentang sesuatu yang sebenarnya tidak sesuai dengan apa yang dipahaminya.

Hati diliputi rasa buruk sangka sehingga menyebabkan kita kurang percaya kepada setiap keputusan yang diambil oleh pemerintah. Bukankah segala sesuatu di muka bumi ini terjadi atas kehendak Allah subhana wa ta’ala? Maka sepantasnya kita hanya perlu ikhlas menerima apapun yang terjadi. Jika memang harus berbicara mengeluarkan pendapat, maka berbicaralah dengan baik dan bijak. Menasehati dengan sopan, bukan dengan kalimat-kalimat hujatan.

Seseorang menanam buah duku, apakah bisa menuai hasil panen buah anggur? Sebaliknya seseorang menanam buah anggur apakah akan menuai hasil panen buah duku? Secara logika, tidak mungkin (kecuali atas izin Allah). Pada dasarnya seseorang akan menuai hasil sesuai dengan apa yang ia tanam. Sama halnya dengan kehidupan, apa yang kamu lakukan hari ini, maka itu yang akan kamu rasakan esok.

Sosial media dipenuhi oleh orang-orang yang hobi berkomentar. Sibuk mengomentari, mengkritisi atau bahkan ikut campur dalam masalah orang lain. Namanya sosial media, setiap peristiwa akan memiliki banyak penonton dan tim juri. Mereka inilah yang disebut sebagai netizen. Lalu bagaimana hukum mengomentari kehidupan orang lain?

“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan berprasangka karena sesungguhnya sebagian tindakan berprasangka adalah dosa dan janganlah kamu (memata-matai) mencari-cari kesalahan orang lain,” (QS. Al Hujurat: 12).

Di dunia ini ada banyak orang yang sibuk menilai bagaimana kehidupan orang lain. Kadang yang hidupnya pas-pasan dikomentari, yang hidupnya berkecukupan dighibahi, bahkan yang hidupnya mewah pun masih ada saja yang berkomentar. Lantas kapan orang yang sibuk berkomentar itu bisa menilai diri mereka sendiri?

Bukan hanya soal materi, terkadang malah ada orang yang sibuk berbicara tentang bagaimana akhlak orang lain. Kita harus pahami bahwa menegur dan menasehati itu punya adab, terutama untuk kita para pemula yang baru menuntut ilmu agama, baru melangkahkan kaki untuk hijrah, tidak perlulahdulu sibuk menilai bagaimana akhlak orang lain. Bukan berarti kita dilarang untuk menasehati saudara muslim kita, hanya saja menasehati itu butuh ilmu agar yang dinasehati pun mampu menerima, baik itu diamalkan ataupun tidak, tetapi setidaknya kita sudah menyampaikan sesuatu dengan baik.

Hijrah jangan sekedar hijrah. Pakaian berubah, teman jalan berubah, tetapi giliran mengomentari orang lain malah jadi yang paling semangat. Akhlak buruk sebelum hijrah harus dihilangkan, jangan dirawat. Jangan menjadi orang yang hobi ghibah, mencela kejelekan orang lain, bahkan menjadi orangyang suka merendahkan. Rajin ikut kajian tetapi tidak mencatat apa yang disampaikan oleh guru, ada yang mencatat tetapi tidakdiamalkan, jadi ilmunya pada kemana?

Harusnya penghijraan menjadikan kita lebih baik, belajar menahan segala kemaksiatan sekecil apapun. Hawa nafsu untuk berbuat buruk jangan dibiarkan, apalagi dipelihara. Ghibah dan hasad bisa terjadi karena hati kita sulit melihat kebaikan orang lain. Kelebihan seseorang diartikan sebagai kesombongan dan kekurangannya dianggap sebagai nasib yang buruk. Begitulah pandangan hati yang merasa diri paling baik, hingga tak ada lagi kebaikan yang bisa dipetik dari sisi orang lain. Hatinya buta untuk melihat kebenaran yang ada pada diri saudaranya, hingga yang ada hanya bisa mengomentari apa yang dianggapnya buruk. Inikah akhlak seorang mukmin? Tentu bukan!

Lalu bagaimana sikap yang seharusnya dalam menasehati saudara muslim kita? Bagaimana cara mengingkari kemaksiatannya? Jawabannya, jika itu adalah sesuatu yang belum jelas, maka tabayyunlah dengan sopan. Tentu niatnya ingin mencari kebenaran agar tidak terjadi kesalahpahaman. Namun jika kemaksiatannya adalah perkara yang sudah jelas dilakukan di depan mata atau di depan umum, maka tak apa jika langsung menegur kepadanya. Jangan lupa untuk memperhatikan adab menasehati. Memberi nasehat atau menegur keburukan seseorang tidak boleh sama sekali dilakukan di depan umum, bersuara lantang bahkan berteriak adalah akhlak yag tidak sopan.

“Berilah nasehat kepadaku ketika aku sendiri. Jauhilah memberi nasehat ditengah-tengah keramaian. Sesungguhnya nasehat ditengah-tengah manusia itu termasuk sesuatu pelecehan yang aku tidak suka mendengarkannya. Jika engkau menyelisihi dan menolak saranku, maka janganlah engkau marah jika kata-katamu tidak aku turuti,” (Imam Asy Syafi’i rahimahullah).

Finally akhir dari semuanya bisa menjadikan kita berburuk sangka kepada Allah subhana wa ta’ala. Bagaimana tidak, melihat orang lain bahagia, sukses dan hidup tentram membuat kita iri dan dengki, lalu perlahan menyalahkan keadaan dengan tidak menerima dan mensyukuri nikmat yang Allah berikan. Berharap hidup yang lebih baik memang tidak salah, asalkan semuanya kita gantungkan kepada Allah semata. Pengharapan dengan penuh ikhtiar, doa dan keyakinan yang kuat akan membuat kita lebih sabar menghadapi setiap proses menuju kesuksesan. Sebaliknya, jika kesuksesan diraih dengan cara yang kurang baik, hasilnyapun tidak akan berkah (ingat ya,berkah itu artinya bermanfaat di dunia dan akhirat). Jadi jika kita mengejar kenikmatan hanya sekedar untuk kehidupan dunia, pasti manfaatnya juga hanya sampai di dunia. Apapun yang kita lakukan di dunia ini, wajib diniatkan untuk meraih pahala di sisi Allah subhana wa ta’ala. Misalnya saja mencintai kedua orangtua, pasangan halal ataupun para sahabat, bahkan dalam mencari nafkahpun harus dengan alasan yang sama. Dengan begitu hasilnya bukan hanya dinikmati di dunia, tetapi bisa membawa keberkahan terbesar yaitu meraih surgaNya Allah Azza Wa Jalla. Aamiin Allahumma Aamiin.

“Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan,” (QS. Al Fatihah: 5).

1 Like