Hikayat Sang Putri Jawa

Matahari terik di puncaknya, membelah pagi dan sore dengan benderang. Semilir angin yang menggetarkan raga, semakin melekukkan garis-garis wajah Adhi, sang pengawal pangeran. Pikirannya tidak padu, hatinya tak menentu, dan kesedihannya beradu. Saat fajar menyingsing tadi ayahandanya berpesan untuk terus mengabdi pada keluarga raja dan rakyat, kelak ia harus menjadi hulubalang kerajaan yang hebat. Durja tak dapat disangka, pengawal muda itu tidak merasa cakap menjadi hulubalang. Ia tidak mampu menjaga keluarga raja seperti yang ayahandanya lakukan. “Bagaimana bisa aku menjadi hulubalang negeri ini kalau membidik anak panah saja aku tak mampu?”.

Sinta melihat wajah muram sang pengawal pangeran, merasa ingin tau apa kiranya yang membuat wajah Adhi begitu durja, dipangilah pengawal muda tersebut. “Kiranya apa yang membuatmu termenung sedih duhai Adhi?”. Adhi salam tunduk kepada Sinta, sang ratu bijaksana. Adhi yang ditemani Nara bercerita tentang petuah sang ayahanda. Sinta tersenyum dan berkata, “Kau tidak mampu menjadi penerus ayahmu, tetapi kau mampu menjadi sang mahapatih setia kerajaan. Jagalah martabat leluhurmu, peganglah teguh janji pada dirimu, jagalah wibawamu dengan kebijaksanaan, dan menangkanlah pertarungan tanpa merendahkan martabat orang lain.”

Begitulah Sinta, mulia dengan pinuturnya yang menyejukan hati pengawal muda sang pangeran.

Begitulah peringai putri jawa, penuh dengan kebijaksanaan, menjaga martabat, dan penyejuk hati. Kiranya hal itu yang dapat menjadi contoh bagi kaum mudi saat ini, hikayat seorang putri jawa yang menginternal dalam segala tindak dan tuturnya.

Lokasi pemotretan : Lembah Tumpang, Malang

6 Likes