Hati Itu Raja dan Prajuritnya adalah Raga

Ketahuilah, sesungguhnya di dalam tubuh manusia terdapat segumpal daging. Jika ia baik, seluruh tubuh baik. Jika ia rusak, seluruh tubuh juga rusak. Ketahuilah (segumpal daging) itu ialah hati. (HR. Muslim)

Pernah mendengar kisah seorang pemuda yang pergi menuntut ilmu. Ketika di tengah perjalanan ia kehausan dan singgah sebentar di sebuah sungai yang airnya jernih.

Saat itu pemuda tadi melihat sebuah apel yang terbawa oleh arus sungai itu. Lalu apakah yang ia lakukan?

Apakah pemuda tersebut akan memakan buah apel itu? Atau, dibiarkan saja? Atau, dibawa pada ke pemiliknya?

Ternyata apel itu digigit karena merasa lapar dan ketika tersadar ia diliputi rasa bersalah. Karena telah memakan apel yang bukan miliknya. Akhirnya ia menemui pemiliknya dan menebus apel itu yang terkoyak oleh giginya.

Singkat kata, dari apa yang diperbuat oleh pemuda karena memakan buah apel yang tidak disengaja. Lalu mengakui kesalahan dikarenakan buah yang dimakan itu bukan miliknya. Ia akhirnya mendapatkan anugerah terindah.

Pemuda itu dinikahkan oleh pemilik apel kepada anaknya. Dan pernikahan itu lahirlah seorang anak yang saleh dan cerdas. Salah satu kecerdasan dalam usia enam tahun telah hafal quran. Dan dialah Muhammad bin Idris Assyafi’i yang tak lain adalah yang dikenal dengan Imam Syafi’i.

Dari sinilah bisa dirunutkan dan disimpulkan bahwa ibarat sebuah pohon, buah yang jatuh tidak jauh dari pohonnya. Itulah demikian adanya.

Jadi dari pernikahan pemuda itu yang tidak sengaja memakan buah apel lalu mencari pemiliknya untuk menebus kesalahannya itu. Maka tidaklah sanksi jika dalam pernikahan pemuda itu dengan anak pemilik kebun apel, mereka dikaruniakan seorang anak yang besarnya menjadi seorang imam besar di dunia.

Dan itu semua karena bersumber dari hati. Hati yang begitu suci dimiliki pemuda itu. Karena merasa bersalah memakan apel yang bukan miliknya. Sungguh ini patut dicontoh dalam kehidupan sehari-hari. Terlebih di zaman 4.0 di mana manusia yang semakin disibukan oleh gawai. Apakah mereka bisa mencontoh dari segala kejadian dari kisah yang saya tuliskan? Entah.

Tapi yang pasti saya berharap dengan zaman terus maju dan benyak pengetahuan dari gawai. Mereka bisa mengambil iktibar dari kisah-kisah yang berseliweran dalam gawai mereka.

Hal ini pun bisa juga dikaitkan kepada seorang peneliti Jepang, Dr. Masaru Emoto yang telah membuktikan bahwa air mampu mentransmisikan emosi yang ada di dalam diri manusia (hati). Apalagi cara yang ia lalukan cukup unik. Di depan air bersih yang ditaruh di wadahnya, ia menyebutkan hal-hal yang baik dan buruk. Usai itu ia mengambil foto masing-masing bentuk kristal air dan membandingkan satu sama lain sesuai hal-hal yang ia sebutkan.

Hal ini dilakulan saat penelitian yang telah dilakukannya sejak 1994. Masuro mengungkapkannya saat menjadi pembicara di Malaysia. Saat itu ia membawa beberapa slide mengenai sampel air yang diambilnya dari berbagai sumber mata air. Dari sana terkumpullah sebanyak seribu bentuk kristal air.

Apalagi disaat salah seorang diminta memberi bacaan buruk ke dalam air. Sebaliknya, ketika diberikan bacaan doa pada air tadi, ternyata yang terbentuk kemudian adalah molekul air seperti berlian dan berkilau. Itu membuktikan bahwa bila air diberikan bacaan buruk maka akan bersifat tidak baik. Sebaliknya, bila diberikan bacaan baik, air akan bersifat positif.

Dan saya kembali menyimpulkan dan mengibaratkan pula jika air itu adalah hati. Jadi benar apa yang dilakukan dalam penelitian dari seorang peniliti dari Jepang itu bila semua jika diniatkan baik maka akan baik hasil air itu. Tapi sebaliknya jika diniatkan buruk makan buruk hasil air itu.

Dari itulah tepatlah jika saya memberikan tulisan saya ini dengan judul. Hati itu raja dan prajuritnya adalah raga. Jadi sudah siapkah
bila hati yang kita miliki ini diperlakulan menjadi raja?

Semua saya kembalikan kepada pemilik hati itu masing-masing. Mau diperlakukan seperti apa? Hanya mereka yang tahu.[]