Haruskah Didampingi Advokat untuk Pengujian Peraturan Perundang-undangan?


Bagaimana mekanisme yang harus dilakukan apabila ada seseorang yang hendak mengajukan pengujian terhadap suatu pasal? Apakah harus didampingi oleh penasehat hukum/pengacara?

Ada dua lembaga yang memiliki wewenang untuk melakukan pengujian terhadap peraturan perundang-undangan di Indonesia yaitu;

  1. Mahkamah Konstitusi (“MK”) yang berwenang menguji undang-undang terhadap UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (lihat Pasal 1 angka 3 huruf a jo. Pasal 10 UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (“UUMK”); dan
  2. Mahkamah Agung (“MA”) yang berwenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang (lihat Pasal 31 ayat [1] dan [2] UU No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung).

Untuk mengajukan permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 ke MK tidak harus didampingi atau menggunakan jasa advokat (lihat Pasal 51 ayat [1] UUMK). Meski demikian, pihak-pihak yang akan mengajukan permohonan pengujian undang-undang dapat menunjuk kuasa atau advokat untuk mengajukan permohonan tersebut ke MK (lihat Pasal 5 Peraturan MK No. 06/PMK/2005 Tahun 2005 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang).

Hal yang sama juga berlaku dalam pengajuan permohonan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang ke MA. Mengenai hal ini kita dapat merujuk pada ketentuan-ketentuan Pasal 31A ayat (2) UU No. 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dan Pasal 4 Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2004 tentang Hak Uji Materiil.

Oleh karena itu, meski sifatnya tidak wajib, pendampingan oleh advokat dapat membantu memaksimalkan upaya pengujian peraturan perundang-undangan baik di MK maupun di MA. Sehingga diharapkan kepentingan para pihak yang dirugikan oleh suatu peraturan perundang-undangan dapat teradvokasi dengan baik.

sumber: hukumonline.com