Hal-hal apa yang mempengaruhi Resistansi Individu (Individual Resistance) dalam melakukan perubahan organisasi?

Resistensi Individu

Resistensi atau penolakan merupakan salah satu penyebab kurang berhasilnya perubahan yang direncanakan dalam organisasi. Sebagaimana yang disebutkan oleh Maurer, bahwa “perlawanan membunuh perubahan”.

Hal-hal apa yang mempengaruhi Resistansi Individu (Individual Resistance) dalam melakukan perubahan organisasi ?

Perubahan merupakan sesuatu yang tidak terhindarkan dalam kehidupan setiap organisasi. Tuntutan perubahan terjadi di berbagai bidang kehidupan, baik individu, kelompok masyarakat, lembaga, organisasi, maupun perusahaan. Sumber utama pemicu perubahan berasal dari faktor di luar organisasi dan faktor dalam organisasi.

Menurut Cummings dan Worley (1997) perubahan organisasi disebabkan oleh permasalahan atau munculnya ketidakwajaran yang menuntut organisasi untuk berubah. Penyebab perubahan itu di antaranya adalah kebutuhan proses, perubahan struktur industri atau struktur pasar, perubahan persepsi, perubahan peraturan, pengetahuan baru yang menimbulkan makna baru, dan inovasi. Tujuannya adalah agar organisasi mampu mengembangkan diri. Selain itu, faktor teknologi juga berperan dalam mendorong terjadinya perubahan, kompetisi yang tinggi, dan tuntutan para pengguna jasa yang semakin meningkat.

Menurut Lewin (dalam Cumming dan Worley, 1997), terjadinya perubahan diawali adanya psychological disconfirmation, yaitu adanya dorongan untuk mengurangi mempertahankan perilaku dengan diikuti tahap selanjutnya, yaitu penjelasan alasan perlunya terjadi perubahan sehingga interaksi kekuatan akan terjadi, yaitu kekuatan untuk mempertahankan perilaku yang sudah ada sebelumnya (enggan untuk berubah) dengan kekuatan tekanan perlunya berubah.

Ada kalimat bijak yang terkait dengan proses perubahan organisasi, yaitu “Jangan memberikan tantangan pada individu dengan perubahan radikal, lakukan pendekatan bertahap dan berikan mereka waktu untuk menyesuaikan.” Pernyataan tersebut, untuk kondisi dan gaya perubahan organisasi saat ini cenderung konvensional dan kurang tepat untuk menjadi acuan.

Kenyatannya, perubahan organisasi harus berhasil, terjadi dengan cepat, dan harus melahirkan suatu momentum. Masalahnya adalah perlu kemampuan organisasi mengetahui bagaimana mengelola efektivitas perubahan organisasi secara tepat. Pada beberapa penelitian, diungkapkan bahwa resistansi atau penolakan terhadap berlangsungnya proses perubahan dimanifestasikan melalui disfungsi sikap (tidak mau terlibat atau bersikap sinis) dan perilaku menolak para anggota organisasi yang dapat menghambat efektivitas perubahan organisasi (Abrahamson, 2000;Stanley, Meyer, & Topolntsky., 2005).

Memahami perubahan organisasi dan proses pengembangan dari perspektif tingkat makro telah banyak diteliti. Penelitian dalam area ini difokuskan pada variabel tingkat sistem dan organisasi, misalnya re-engineering (Hill & Collins, 1999), downsizing (Freeman, 1999) atau perubahan dalam budaya organisasi (Bedingham, 2004). Beberapa studi mengindikasikan banyak kegagalan usaha perubahan organisasi, misalnya Clegg dan Walsh (2004) mengemukakan ketidakefektifan 12 pengembangan organisasi pada 898 perusahaan manufaktur di empat negara.

Salah satu alasan mengapa perubahan yang ditegakkan kurang berhasil adalah perubahan meningkatkan emosi negatif, kecemasan, ketidakpastian, dan ketidakjelasan di antara anggota organisasi (Bordia, Hobman, Jones, Gallois, & Callan, 2004). Beberapa studi mengenai resistansi (daya tolak) terhadap perubahan menunjukkan keengganan untuk mendukung perubahan (Applebaum & Batt, 1993; Judson, 1991 dalam Luthans, Norman, Avolio, & Avey, 2008).

Beberapa penelitian organisasi yang menganalisis proses psikologis individu dalam konteks perubahan organisasi sebenarnya telah memadukan antara tingkatan analisis dan tingkatan konseptual. Beberapa studi tingkat organisasi atau kolektif yang menguji data proses psikologi diperoleh pada tingkat individual sebagaimana dilakukan Fuller dkk. (2007), Ingersol, Kirsch, Merk, dan Lightfoot (2000), Rampazzo, De Angeli, Seperlloni, Simpson, dan Flynn (2006), serta Weeks dkk. (2004).

Meskipun ada kesepakatan umum tentang peran penting pada individu-individu sebagai anggota organisasi mengenai sikap dan perilakunya dalam menentukan perubahan kelompok dan organisasi, studi-studi tersebut membutuhkan laporan yang cukup detail dalam mengulas dinamika serta hubungan konstrak (construct) psikologis, baik di tingkat individual maupun di tingkat kolektif (organisasional).

Penekanan pada individu adalah salah satu indikator penting dalam mengevaluasi keberhasilan atau kegagalan proses perubahan organisasi. Konsekuensinya adalah perhatian diarahkan pada faktor-faktor yang memengaruhi sikap individu pada perubahan, khususnya adalah komitmen pada perubahan. Beberapa literatur perubahan menjelaskan bahwa mereka yang memiliki komitmen pada perubahan lebih memungkinkan untuk menerima perubahan dibandingkan mereka yang kurang memiliki komitmen.

Hal ini menunjukkan bahwa komitmen pada perubahan memberikan keuntungan pada organisasi (Yousef, 2000).

Dukungan anggota terhadap perubahan yang sedang berlangsung dalam suatu organisasi dapat dianalisis dari tinggi rendahnya komitmen pada perubahan (Herscovitch & Meyer, 2002; Meyer, Srinivas, Lal, & Topolnytsky, 2007; Swailes, 2004; Fedor, Caldwell, & Herold, 2006). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa secara umum komitmen menjadi indikator keluaran positif (positive outcomes) dari pengelolaan perubahan organisasi (Chawla & Kelloway, 2004).

Perubahan yang diinisiasikan oleh organisasi tidak akan berhasil jika belum sampai menyentuh ranah individu, artinya tidak akan ada perubahan jika belum berhasil membuat individu berubah (individual change). Teori tentang perubahan sangat menekankan pentingnya komitmen pada perubahan, terutama dalam model-model yang menjelaskan proses implementasi perubahan (Armenakis, Harris, & Field, 1999; Klein & Sorra, 1996). Komitmen menjadi faktor paling penting yang dilibatkan pada dukungan anggota organisasi pada perubahan (Armenakis, Harris, & Field, 1999; Conner & Patterson, 1982; Klein & Sorra, 1996).

Klein dan Sorra (1996) juga menekankan bahwa komitmen merupakan komponen sentral pada model mereka tentang efektivitas implementasi inovasi di tempat kerja. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa dukungan anggota organisasi adalah prasyarat untuk berbagai macam tipe keberhasilan perubahan (Piderit, 2000).

Permasalahan utama adalah perubahan organisasi menimbulkan ketegangan tidak hanya bagi organisasi sebagai keseluruhan, tetapi juga bagi anggota dalam organisasi tersebut (Vakola & Nikolau, 2005). Artinya, jika organisasi ingin berhasil dalam mengimplementasikan perubahan, strategi perubahan harus dikembangkan dengan menekankan proses psikologis anggota. Luputnya perhitungan proses psikologis dalam menyusun strategi perubahan kemungkinan akan mengakibatkan kegagalan perubahan. Pentingnya proses psikologis dalam menghadapi perubahan oganisasi ditunjukkan dengan metaanalisis mengenai reaksi anggota organisasi terhadap perubahan organisasi.

Implementasi perubahan tanpa memperhatikan aspek individu mengakibatkan anggota organisasi mengalami stres dan sinisme serta masing-masing menunjukkan rendahnya komitmen pada perubahan.Tinggi atau rendahnya komitmen pada perubahan ditunjukkan oleh resistansi pada perubahan, yaitu turn over, sinisme, dan tingkat absensi yang tinggi.

Semuanya dapat dianalisis secara menyeluruh dengan menekankan sejauh mana penerimaan anggota organisasi terhadap perubahan yang dipengaruhi oleh karakteristik proses perubahan, di antaranya adalah komunikasi dan partisipasi yang terbentuk (Dent & Goldberg, 1999; Oreg, 2006; Berneth, Armenakis, Field, & Walker, 2007; Devos, Buelens, & Bouckennooghe, 2008). Selain itu, karakteristik perubahan yang bertujuan untuk mengembangkan kapabilitas anggota organisasi atau sebaliknya mengancam keamanan kerja (job security) yang berperan membentuk tingkat daya tolak yang tinggi dari anggota organisasi (Devos, Buelens, & Bouckennooghe, 2008; Fedor, Caldwell, & Herold, 2006).

Pentingnya organisasi melakukan pengelolaan terhadap manusia menghindarkan terjadinya berbagai kerugian yang ditimbulkan. Analisis Porras dan Robertson (1992) menjelaskan bahwa untuk merealisasikan perubahan yang terjadi, organisasi harus menumbuhkan kerja sama (cooperation) di antara para anggotanya.

Resistansi pada perubahan diindikasikan dengan keluaran (outcomes) negatif, seperti penurunan kepuasan, rendahnya komitmen, penurunan produktivitas dan kesejahteraan psikologis (psychological well-being), ketidakhadiran, dan keluar masuknya anggota organisasi (Bordia, Hunt, Paulsen, Tourish, & DiFonso, 2004; Miller dkk., 1994).

Beberapa penulis memandang komitmen sebagai dimensi efektivitas organisasi (Schein, 1970 dalam Cohen, 2007). Tokoh lain memandang komitmen sebagai kekuatan yang berkontribusi pada peningkatan efektivitas organisasi melalui perbaikan unjuk kerja dan mengurangi tingkat keluar masuk anggota (Steers, 1977).

Dalam penelitian Herscovitch dan Meyer (2002) menemukan bahwa di antara berbagai dimensi profil komitmen pada perubahan, hanya komitmen afektif dan normatif yang menunjukkan dukungan yang tinggi pada perubahan. Penjelasannya adalah sifat alamiah komitmen perlu dipahami dalam menjelaskan kemauan anggota organisasi untuk melampaui persyaratan minimum yang diperlukan dalam mencapai tujuan organisasi.

Anggota organisasi yang merasa yakin dengan perubahan dan ingin berkontribusi mencapai keberhasilan (komitmen afektif kuat) atau merasa suatu kewajiban untuk mendukung perubahan (komitmen normatif) akan melakukan lebih yang dipersyaratkan, bahkan bersedia jika harus melibatkan pengorbanan diri. Sebaliknya, anggota organisasi yang berkomitmen pada perubahan yang memprioritaskan perhitungan untung rugi (komitmen berkelanjutan) akan melakukan lebih sedikit yang dipersyaratkan.

Selain komitemen, perubahan yang mengancam job security dapat memiliki efek destruktif pada moral, sikap, dan well-being, bahkan ketika pekerjaannya sendiri tidak terancam (Armstrong-Stassen, 2002; Paulsen dkk., 2005). Pada penelitian tersebut dijelaskan bahwa perubahan yang diarahkan pada pengembangan kapabilitas organisasi berfokus pada budaya, perilaku, dan sikap tidak akan mengakibatkan para anggota organisasi kehilangan pekerjaan dan tidak mengancam anggota organisasi.

Penelitian sebelumnya menemukan bahwa jenis perubahan organisasi yang mengancam job security berakibat pada menurunnya moral, sikap, dan well being (Armstrong-Stassen, 2002; Paulsen dkk.,2005). Sebaliknya, perubahan yang diarahkan pada peningkatan kapabilitas organisasi yang dimaknai meningkatkan kehidupan para anggota organisasi akan semakin meningkatkan dukungan berupa komitmen pada perubahan organisasi (Fedor, Caldwell, & Herold, 2006; Rafferty & Griffin, 2006).

Kapabilitas organisasi, menurut Oxtoby, McGuiness, dan Morgan (2002), adalah kemampuan organisasi untuk merencanakan, merancang, dan meng- implementasikan starategi perubahan secara efisien dengan seluruh anggota organisasi. Perubahan mengenai kapabilitas organisasi mengacu pada sejauh mana implementasi perubahan dalam memanfaatkan sumber daya organisasi dapat dirancang secara optimal untuk menguntungkan organisasi dan anggota (Walker, Achilles, Armenakis, & Bernerth, 2007).

Hal menarik lainnya ketika menganalisis reaksi individu terhadap perubahan adalah perbedaan individual yang membentuk respons secara tipikal pada perubahan (Oreg, 2003; Avey, Wernshing, & Luthans, 2008; Luthans, Norman, Avolio, & Avey, 2008; Oreg, 2006). Tidak semua anggota dalam suatu organisasi yang mengalami perubahan akan menolak perubahan. Penolakan yang terjadi kemungkinan disebabkan karena keengganan untuk mengubah situasi kerja yang selama ini sudah dijalani (Pulakos, Arad, Donovan, & Plamondon, 2000).

Kecenderungan-kecenderungan yang dimiliki masing-masing individu memiliki karakteristik potensial yang berpengaruh pada sikap dan perilaku organisasi (Schneider, 1987; Staw & Ross, 1985). Selama usaha-usaha perubahan organisasional berlangsung, perbedaan-perbedan individual kemungkinan memengaruhi reaksi pada perubahan. Contohnya, individu-individu yang emiliki toleransi tinggi terhadap ambiguitas seharusnya lebih mampu mengatasi ketidakpastian terkait perubahan organisasi (Judge dkk., 1999). Begitu pula individu-individu yang memiliki keterbukaan tinggi pada suatu pengalaman (McCrae dan Costa, 1986) diharapkan mampu bereaksi lebih positif terhadap usaha-usaha perubahan.

Perbedaan individual yang akan dipertimbangkan menjadi mediator antara variabel-variabel perubahan organisasi dan komitmen pada perubahan adalah keterbukaan pada perubahan (openness to changes).

Keterbukaan pada perubahan didefinisikan sebagai kemauan anggota organisasi untuk terlibat dalam transisi pekerjaan di internal organisasi, seperti perubahan tugas, pekerjaan, departemen, atau lokasi (Van Dam, 2005; Bouckenooghe, 2010).

Perubahan organisasi dapat menimbulkan implikasi, yaitu anggota organisasi akan membuat perubahan dalam situasi kerja dan beradaptasi pada situasi baru sehingga keterbukaan pada perubahan (openness to change) dipertimbangkan sebagai aspek penting pada awal terbentuknya kemampuan adaptasi anggota organisasi (Fugate dkk., 2004; Hall, 2002; Pulakos dkk., 2000).

Berdasarkan penelusuran studi tentang keterbukaan pada perubahan (openness to change) organisasi, teridentifikasi variabel-variabel terkait situasi perubahan, yaitu informasi, partisipasi, dan dukungan sosial.

  • Tanpa informasi yang adekuat, individu-individu akan mengalami ketidakpastian tentang jenis perubahan yang terjadi, dan akan berpengaruh bagaimana perubahan akan berdampak pada pekerjaan dan organisasi mereka, atau menentukan respons terhadap perubahan (Miliken, 1987).

  • Partisipasi mengacu pada sejauh mana anggota organisasi terlibat memberikan masukan atas perubahan yang di- usulkan. Kotter dan Schlesinger (1979) menekankan bahwa untuk meningkatkan penerimaan terhadap perubahan, pengelola perlu untuk mendengarkan masukan dan saran para anggota. Sebaliknya, sistem nilai individual juga akan menentukan reaksi saat beradaptasi dengan proses perubahan (Wanberg & Banas, 2000).