Hal-Hal apa saja yang menghapuskan, mengurangi atau memberatkan pidana?

Menghapuskan Pidana

Hal-hal yang menghapuskan pidana yang terdapat pada pasal-pasal berikut ini, yang oleh Soedirjo dikatakan sebagai hal yang bersifat umum,

  1. Pasal 44 KUHP, yaitu orang yang sakit jiwa atau cacat jiwanya.

    Pasal 44 KUHP
    (1) Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana.

    (2) Jika ternyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggungkan kepada pelakunya karena pertumbuhan jiwanya cacat atau terganggu karena penyakit, maka hakim dapat memerintahkan supaya orang itu dimasukkan ke rumah sakit jiwa, paling lama satu tahun sebagai waktu percobaan.

    (3) Ketentuan dalam ayat 2 hanya berlaku bagi Mahkamah Agung, Pengadilan Tinggi, dan Pengadilan Negeri.

  2. Pasal 45 KUHP, tentang anak di bawah umur atau belum dewasa

    Pasal 45 KUHP

    Dalam hal penuntutan pidana terhadap orang yang belum dewasa karena melakukan suatu perbuatan sebelum umur enam belas tahun, hakim dapat menentukan:

    memerintahkan supaya yang bersalah dikembalikan kepada orang tuanya, walinya atau pemeliharanya, tanpa pidana apa pun; atau memerintahkan supaya yang bersalah diserahkan kepada pemerintah tanpa pidana apa pun, jika perbuatan merupakan kejahatan atau salah satu pelanggaran berdasarkan pasal-pasal 489, 490, 492, 496, 497, 503-505, 514, 517 – 519, 526, 531, 532, 536, dan 540 serta belum lewat dua tahun sejak dinyatakan bersalah karena melakukan kejahatan atau salah satu pelanggaran tersebut di atas, dan putusannya telah menjadi tetap; atau menjatuhkan pidana kepada yang bersalah.

    Pasal ini dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi berdasarkan ketentuan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak, dan dan terakhir oleh Undang-undang nomor 11 Tahun 2002 tentang Sistem Peradilan Anak

  3. Pasal 48 KUHP, tentang keadaan memaksa (overmacht).

    Pasal 48 KUHP

    Barang siapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa, tidak dipidana.

  4. Pasal 49 KUHP, tentang membela diri (noodweer)

    Pasal 49 KUHP

    (1) Tidak dipidana, barang siapa melakukan perbuatan pembelaan terpaksa untuk diri sendiri maupun untuk orang lain, kehormatan kesusilaan atau harta benda sendiri maupun orang lain, karena ada serangan atau ancaman serangan yang sangat dekat pada saat itu yang melawan hukum.
    (2) Pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang langsung disebabkan oleh keguncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu, tidak dipidana.

  5. Pasal 50 KUHP, yaitu melakukan perbuatan untuk menjalankan peraturan perundang-undangan.

    Pasal 50 KUHP

    Barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang, tidak dipidana.

  6. Pasal 51 KUHP, melakukan perintah yang diberikan oleh atasan yang sah.

    Pasal 51 KUHP

    (1) Barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak dipidana.
    (2) Perintah jabatan tanpa wenang, tidak menyebabkan hapusnya pidana, kecuali jika yang diperintah, dengan itikad baik mengira bahwa perintah diberikan dengan wenang dan pelaksanaannya termasuk dalam lingkungan pekerjaannya.

Di samping itu, dikatakan pula terdapat hal-hal yang menghapus pidana secara khusus, yang diatur secara khusus dalam pasal tertentu dalam undang-undang misalnya Pasal 166 dan Pasal 310 ayat (3)48 KUHP.

Pasal 166 KUHP
Ketentuan dalam Pasal 164 dan 165 tidak berlaku bagi orang yang dengan memberitahukan itu mungkin mendatangkan bahaya penuntutan pidana bagi diri sendiri, bagi orang keluarganya sedarah atau semenda dalam garis lurus atau garis menyimpang derajat kedua atau ketiga, bagi suami/atau bekas suaminya, atau bagi orang lain yang jika dituntut, berhubung dengan jabatan atau pencaharian, dimungkinkan pembebasan menjadi saksi terhadap orang tersebut.

Pasal 310 ayat (3) KUHP
Tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis jika perbuatan jelas dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela diri.

Dengan demikian, terdakwa yang memenuhi kriteria masing-masing pasal, baik yang mengatur hal-hal yang menghapus pidanas secara khusus maupun yang bersifat umum seperti yang tersebut di atas, maka ia tidak dapat dipertanggungjawabkan meskipun perbuatan yang didakwakan itu terbukti.

Terhadap putusan yang mengandung pelepasan terdakwa dari segala tuntutan hukum yang menyangkut kurang tepatnya penerapan hukum dan putusan pengadilan dalam acara cepat, menurut Pasal 67 KUHAP tidak dapat dimintakan pemeriksaan tingkat banding.

Pasal 67 KUHAP
Terdakwa atau penunntut umum berhak untuk minta banding terhadap putusan pengadilan tingkat pertama kecuali terhadap putusan bebas, lepas dari segala tuntutan hukum yang menyangkut masalah kurang tepatnya penerapan hukum dan putusan pengadilan dalam acara cepat.

Meskipun Pasal 67 KUHAP itu mengatakan demikian, tidak berarti setiap putusan pengadilan tingkat pertama, yang mengandung pelepasan dari segala tuntutan hukum terdakwa atau penuntut umum tidak berhak meminta banding ke pengadilan tinggi.

Menurut P.A.F. Lamintang, putusan pengadilan yang berupa pembebasan ataupun pelepasann dari segala tuntutan hukum, baik terdakwa maupun penuntut hukum dapat mengajukan banding, misalnya apabila terdakwa tidak merasa puas dengan putusan pengadilan tingkat pertama yang telah melepaskan dirinya dari segala tuntutan hukum, padahal ia berpendapat bahwa ia seharusnya membebaskan dirinya dari pemidanaan.

Meringankan Pidana


Menurut Jonkers (1946) bahwa sebagian dasar peringanan atau pengurangan pidana yang bersifat umum, biasa disebut:

  1. Percobaan untuk melakukan kejahatan (pasal 53 KUHP).

    Pasal 53 KUHP

    (1) Percobaan untuk melakukan kejahatan dipidana, bila niat untuk itu telah temyata dari adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak-selesainya pelaksanaan itu bukan semata-mata disebabkan oleh kemauannya sendiri. (KUHP 154 5, 3024, 3515.)
    (2) Maksimum pidana pokok terhadap kejahatan dikurangi sepertiganya dalam hal percobaan.
    (3) Bila kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, maka dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
    (4) Pidana tambahan bagi percobaan sama dengan pidana tambahan bagi kejahatan yang telah diselesaikan. (KUHP 54, 86 dst., 1845, 3024 , 3515, 3522.)

  2. Pembantuan (pasal 56 KUHP)

    Pasal 56 KUHP

    Dipidana sebagai orang yang membantu melakukan kejahatan: (KUHP 58, 86.)

    1. mereka yang dengan sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan itu dilakukan;
    2. mereka yang dengan sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan itu. (KUHP 57 dst., 60 dst., 86, 236 dst.)
  3. Strafrechtelijke minderjarigheid, atau orang yang belum cukum umur yang dapat di pidana (pasal 45 KUHP).

Pendapat Jonkers tersebut sesuai dengan pendapat Hezewinkel Suringan (1973 : 571), yang mengumukakan bahwa percobaaan dan pembantuan adalah bukan satu bentuk keadaan yang memberikan ciri keringanan kepada suatu delik tertentu, tetapi percobaan dan pembantuan merupakan bentuk perwujudan yang berdiri sendiri dan tersendiri delik-delik.

Memberatkan pidana


Menurut Jonkers (1946) bahwa dasar umum strafverhogingsgronden, atau dasar pemberatan atau penambahan pidana umum adalah;

  1.  Kedudukan sebagai pegawai negri.
    
  2.  Residivis (pengulangna delik)
    
  3.  Samenlop (gabungan dua atau lebih delik).
    

Kalau pengadilan hendak menjatuhkan pidana maksimum, maka pidana tertinggi yang dapat dijatuhkan ialah maksimum pidana delik itu ditambah dengan sepertiganya.

Pasal 52 KUHP tidak dapat diberlakukan terhadap delik jabatan (ambtsdelicten) yang memang khusus diatur dalam pasal 413 sampai dengan pasal 437 KUHP, yang sebagiannya dimasukan kedalam undang-undang tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.

KUHP Indonesia juga tidak mengenal special recidive, tetapi menganut sistem antara. Hanya delik-delik tertentu atau kelompok delik-delik tertentu yang dapat membuahkan recidive (pengulangan) oleh karena itu recidive tidak diatur dalam buku satu KUHP yang menyebut beberapa delik terhadap harta benda kekayaan, pasal 487 KUHP yang menyebut delik-delik agresif, dan pasal 488 KUHP yang menyebut terutama delik delik penghinaan ditambah dengan delik delik yang dilakukan oleh penerbit dan percetakan mass media (sering disebut delik pers).

Recidive atau pengulanga kejahatan tentu terjadi bilamana oleh orang yang sama mewujudkan lagi satu delik, yang dirantai oleh putusan pengadilan negri yang telah memidana pembuat delik. Penambahan pidana dalam adanya hal recidive ialah sepertiga.

  • Pasal 486 dan 487 KUHP menetapkan, bahwa hanya ancaman pidana penjara yang dapat dinaikan sepertiganya
  • Pasal 488 KUHP, menyatakan bahwa semua pidana untuk kejahatan-kejahatan yang disebut secara limitative, jadi juga kurungan atau denda dapat dinaikan dengan sepertiga.

Oleh karna itu pidana pemberat dapat dikatakan yaitu pidana yang dalam hukumannya itu ditambah sepertiganya karna dia telah melakukan kejahatan delik-delik yang berkelanjutan dalam satu waktu ataupun dalam beberapa waktu dan dalam penjatuhannya maka dapat dikenakan dengan dua hukuman atau diambil yang paling terberat dalam penjatuhan hukumannya dan itu tergantung apa yang di lakukan dalam deliknya dan hakim akan mempertimbangkan dalam penjatuhan hukumannya.