Apa Saja yang Membuat Seorang Individu Menjadi Lebih Agresif?

2 Likes

Menurut Davidoff (dalam Mu’tadin, 2002) terdapat beberapa faktor yang dapat menyebabkan perilaku agresi, yakni :

Faktor Biologis

Ada beberapa faktor biologis yang mempengaruhi perilaku agresi, yaitu faktor gen, faktor sistem otak dan faktor kimia berdarah. Berikut ini uraian singkat dari faktor-faktor tersebut :

  • Gen berpengaruh pada pembentukan sistem neural otak yang mengatur penelitian yang dilakukan terhadap binatang, mulai dari yang sulit sampai yang paling mudah amarahnya, faktor keturunan tampaknya membuat hewan jantan mudah marah dibandingkan dengan betinanya.

  • Sistem otak yang terlibat dalam agresi ternyata dapat memperkuat atau mengendalikan agresi.

  • Kimia darah. Kimia darah khususnya hormon seks yang sebagian ditentukan faktor keturunan mempengaruhi prilaku agresi.

Faktor Belajar Sosial

Dengan menyaksikan perkelahian dan pembunuhan meskipun sedikit pasti akan menimbulkan rangsangan dan memungkinkan untuk meniru model kekerasan tersebut.

Faktor lingkungan

Perilaku agresi disebabkan oleh beberapa faktor. Berikut uraian singkat mengenai faktor-faktor tersebut :

  1. Kemiskinan. Bila seorang anak dibesarkan dalam lingkungan kemiskinan, maka perilakuagresi mereka secara alami mengalami peningkatan.

  2. Anonimitas. Kota besar seperti Jakarta, bandung, surabaya, dan kota besar lainnya menyajikan berbagai suara, cahaya, dan bermacam informasi yang sangat luar biasa besarnya. Orang secara otomatis cenderung berusaha untuk beradaptasi dengan melakukan penyesuaian diri terhadap rangangan yang berlebihan tersebut. Terlalu banyak rangsangan indera kongnitif membuat dunia menjadi sangat impersonal, artinya antara satu orang dengan orang lain tidak lagi saling mengenal atau mengetahui secara baik. Lebih jauh lagi, setiap individu cenderung menjadi anonim (tidak mempunyai identitas diri).
    Bila seseorang merasa anonim, ia cenderung berprilaku semaunya sendiri, karena ia merasa tidak lagi terikat dengan norma masyarakat dan kurang bersimpati pada orang lain.

  3. Suhu udara yang panas dan kesesakan. Suhu suatu lingkungan yang tinggi memiliki dampak terhadap tingkah laku sosial berupa peningkatan agresivitas.

Faktor Amarah

Marah merupakan emosi yang memiliki ciri-ciri aktivitas sistem saraf parasimpatik yang tinggi dan adanya perasaan tidak suka yang sangat kuat yang biasanya disebabkan adanya kesalahan, yang mungkin myata-nyata atau salah atau juga tidak.

Menurut Dr. Sylvia rimm, seorang Psychologist, Author, Speaker, Columnist, Parenting Specialist, penyebab munculnya perilaku agresif pada anak-anak antara lain :

Korban kekarasan

Sebagian anak-anak yang terlalu agresif pernah menjadi korban prilaku agresif. Orang tua, saudara, teman, atau pengasuh yang melakukan tindaka kekerasan dapat membuat anak meniru perbuatan tersebut. Anak yang menjadi korban kemudian menjadikan anak lain sebagai korbannya.

Terlalu dimanjakan

Anak yang terlalu dimanjakan juga bias menjadi agresif baik secara verbal maupun fisik terhadap anak lain karena mereka berkuasa dan tak mau berbagi atau tak bisa menerima jika keinginannya tak segera terpenuhi. Mereka bahkan bias berbuat kasar terhadap orang tua dan saudaranya.

Televisi dan video game

Melihat prilaku agresif dank eras di televisi juga mendorong anak menjadi agresif. Kadang-kadang acara anak-anak mengandung tindak kekerasan seperti acara orang dewasa. Bahkan film kartun pun memberi contoh prilaku agresif. Video game juga sering kali mengajarkan kekerasan dan tak sesuai untuk anak.

Sabotase antar orang tua

Sumber prilaku agresif yang juga penting adalah sikap orang tua yang tak merupakan satu tim. Jika salah satu orang tua memihak kepada anak yang menentang orang tua lainnya, ini akan membangkitkan sikap manipulative dan agresif pada anak karena anak menjadi lebih berkuasa dari orang tua yang di tentangnya itu. Mereka pun belajar tak menghargai orang tua karena orang tua yang satu tak menghargai orang lain.

Kemarahan

Prilaku agresif bisa timbul akibat kemarahan dari dalam diri anak yang muncul karena ada sesuatu yang tak beres dan tak dapat dipahami oleh si anak itu sendiri. Misalnya anak adopsi, sikap traumatis dan lain sebagainya.

Penyakit dan Alergi

Ketegangan dan rasa frustasi yang timbul akibat penyakit, alergi, atau kelemahan yang tak disadari orang tua bisa membuat anak bersikap agresif. Alergi terhadap makanan utama seperti susu gandum bisa menjadi biang keroknya. Kelemahan pendengaran, pandangan, atau intelektual yang tak dapat diungkapkan anak kepada orang tua juga bisa menimbulkan frustasi dan kurangnya pengertian dari orang lain bisa menimbulkan kemarahan atau perilaku agresif.

Frustasi

Frustasi merupakan pengalaman yang tidak menyenangkan, dan frustasi dapat menyebabkan agresi sebagian besar karena adanya fakta tersebut. Dengan kata lain, frustasi kadang-kadang menghasilkan agresi karena adanya hubungan mendasar antara afek negative (perasaan tidak menyenangkan).

Misalnya jika seorang individu mempercayai bahwa dia layak memperoleh kenaikan gaji yang besar dan kemudian menerima jumlah yang jauh lebih sedikit tanpa penjelasan mengapa ini terjadi, ia menyimpulkan bahwa ia diperlakukan dengan sangat tidak adil bahwa hak-haknya yang sah telah diabaikan. Hasilnya: ia dapat memiliki pikiran-pikiran yang hostile, mengalami kemarahan yang intens, dan mencari cara untuk membalas dendam terhadap sumber yang dipersepsikan sebagai penyebab frustasi tersebut (bos atau perusahaan)

Sumber : Dr. Sylvia Rimm. Mendidik Dan Menerapkan Disiplin Pada Anak Prasekolah. Jakarta. PT. Gramedia. 2003.

Terdapat berbagai kondisi yang dapat meningkatkan kemungkinan perilaku agresif. Ada yang berhubungan dengan kondisi motivasional atau afektif, dan ada pula yang merupakan kondisi di luar individu.

Berikut beberapa faktor yang dapat mempengaruhi ke-agresitivitas-an individu.

Frustrasi

Pada tahun 1939 sekelompok psikolog di Yale University (Dollard, Doob, Miller, Mowrer, & Sears, 1939) mengajukan hipotesis bahwa frustrasi menyebabkan agresi. Hipotesis frustrasi-agresi tersebut dipostulatkan:

terjadinya agresi selalu mensyaratkan adanya frustrasi” (Miller, 1941). Namun demikian, frustrasi dapat memiliki akibat lain (tidak selalu agresi).

Frustrasi didefinisikan sebagai kondisi yang berkembang bila lingkungan menghambat/mengganggu respon pencapaian tujuan. Jadi, frustrasi merupakan hasil ketidakmampuan organisme untuk melengkapi serangkaian perilaku.

Fakta yang diperoleh dari berbagai studi menunjukkan bahwa agresi kadang- kadang disebabkan oleh frustrasi (Azrin, Hutchinson, & Hake, 1976; Rule & Percival, 1971).

Misalnya Arnold Buss (1963) yang menciptakan tiga kondisi frustrasi mahasiswa: gagal dalam suatu tugas, kehilangan kesempatan mendapatkan uang, dan kehilangan kesempatan mencapai grade yang lebih tinggi.

Tiap-tiap tipe frustrasi tersebut menghasilkan tingkat agresi yang hampir sama. Dibandingkan dengan kelompok kontrol (subjek yang tidak mengalami frustrasi), tingkat agresi dari subjek yang dirancang mengalami frustrasi (dari tiga tipe frustrasi) adalah lebih tinggi. Namun tingkat agresi dari tiga tipe frustrasi itu tidak tinggi sekali.

Dengan hasil eksperimennya tersebut Buss (1967, 1967) menyimpulkan bahwa frustrasi dan agresi dapat berkaitan hanya bila agresi memiliki nilai instrumental, yaitu bila perilaku agresif akan membantu mengurangi frustrasi.

Marah, merupakan mediator yang penting dalam keterkaitan frustrasi-agresi (Krebs & Miller, 1985).

Leonard Berkowitz (1965b, 1969, 1971, 1989) menekankan interaksi antara kondisi-kondisi dari lingkungan, kognitif internal, dan emosional. Menurut Berkowitz, reaksi terhadap frustrasi “hanya menciptakan kesiapan untuk bertindak agresi”. Lebih lanjut Berkowitz menegaskan bahwa factor penting yang lain adalah adanya petunjuk agresif dari lingkungan yang memicu perilaku agresif.

Frustrasi menciptakan kesiapan dalam bentuk marah, dan secara nyata petunjuk stimulus memicu agresi. Lebih lanjut, pemicu itu sendiri dapat meningkatkan kekuatan respon agresif, khususnya bila respon agresif itu impulsif (Zillman, Katcher, & Milavsky, 1972).

agresivitas

Efek Senjata

Program riset sistematis yang dilakukan oleh Berkowitz dkk di University of Wisconsin telah memperkuat anggapan bahwa petunjuk agresif memicu perilaku agresif.

Dalam salah satu eksperimen Berkowitz (1965), pembantu eksperimenter (confederate) diperkenalkan sebagai Kirk Anderson (diasumsikan menimbulkan asosiasi dengan Kirk Douglas, aktor utama dalam film Champion), atau sebagai Bob Anderson (bukan tokoh agresif). Dalam hal ini petunjuk agresif yang berupa nilai-nilai confederate nampak mempengaruhi tingkat agresif subjek.

Dalam eksperimen tersebut subjek memberikan sengatan listrik lebih tinggi (berperilaku agresif) bila:

  • mereka marah,
  • mereka telah menonton film kekerasan,
  • dihadapkan pada orang yang memiliki nama sama dengan petinju dalam film.
  • sebagai tambahan, subjek yang telah dimarahi selalu lebih agresif daripada subjek yang tidak dimarahi.

Eksperimen lain dari rangkaian eksperimen Berkowitz (Berkowitz & Lepage, 1967) difokuskan pada petunjuk agresif yang berupa nilai senajata. Dalam eksperimen ini, beberapa mahasiswa pria diberi sengatan listrik sebanyak satu atau tujuh kali sengatan oleh mahasiswa lain dan kemudian diberi kesempatan untuk membalas.

Ketika eksperimen berlangsung, sebuah senapan dan revolver terletak di meja terdekat. Beberapa subjek yang lain, sebagai kelompok kontrol, tidak mengalami adanya senjata pada saat berpartisipasi dalam eksperimen. Hasilnya, seperti yang diduga:

  • mahasiswa yang mendapatkan sengatan listrik lebih banyak oleh
    confederate, membalas memberikan sengatan listrik lebih banyak,
  • keberadaan senjata meningkatkan jumlah sengatan listrik, dari rata-rata 4.67 menjadi 6,07.

Efek keberadaan senjata ini memiliki implikasi praktis yang penting. Salah satu implikasinya adalah bahwa sembarangan meletakkan senjata akan mendatangkan bahaya. Berkowitz (1968) mengungkapkan:

“Pistol bukan hanya mengijinkan kekerasan, namun juga dapat menstimulasi kekerasan. Jari menarik pelatuk, namun pelatuk dapat juga menarik jari” (Guns not only permit violence, they can stimulate it as well. The finger pulls the trigger, but the trigger may also be pulling the finger”).

Gejolak Umum (General Arousal)

Model frustrasi-agresi menunjukkan bahwa agresi disebabkan oleh jenis emosi khusus. Model agresi yang lain menunjuk pada kondisi arousal yang umum yang dapat meningkatkan perilaku agresif.

Menurut teori exitation transfer theory (Zillmann, 1979), gejolak yang dihasilkan dari suatu situasi dapat ditransfer pada (atau meningkatkan) kondisi emosi yang lain. Lebih spesifik Zillmann menyatakan bahwa ekspresi marah atau emosi yang lain, tergantung pada tiga faktor:

  • disposisi atau kebiasaan yang dipelajari individu,
  • sumber energisasi atau arousal,
  • interpretasi individu terhadap kondisi arousal

Dengan demikian bagaimana kita menginterpretasikan suatu peristiwa, itu penting dalam menentukan apakah kita akan berperilaku secara agresif.

Serangan Verbal dan Fisik

Serangan verbal maupun fisik merupakan provokasi yang lebih kuat terhadap perilaku agresif, bila dibanding dengan frustrasi. Hal ini ditunjukkan oleh hasil eksperimen Geen (1968):

Dalam eksperimennya Geen menciptakan dua situasi frustrasi dalam permainan puzzle, dan satu situasi lainnya yang memungkinkan para subjek menyelesaikan/melengkapi puzzle-nya (meniadakan kemungkinan frustrasi). Kepada para subjek yang telah menyelesaikan tugas melengkapi puzzle, bagaimanapun juga confederate (pembantu eksperimenter) melakukan penghinaan terhadap kecerdasan ataupun motivasinya.

Akibatnya, agresi para subjek terhadap confederate dalam kondisi ini lebih kuat daripada subjek-subjek yang mengalami kondisi frustrasi.

Stuart Taylor dkk (Taylor, 1967; Tailor & Epstein, 1967) juga menguji efek serangan langsung terhadap agresi. Dalam eksperimen ini diatur sbb: subjek berinteraksi dengan seorang subjek yang lain dan dimungkinkan untuk saling memberikan sengatan listrik.

Secara umum, eksperimen ini memberikan fakta nyata bahwa subjek saling berbalasan. Mereka cenderung memberikan sengatan secara berimbang. Jika salah satu pihak meningkatkan level sengatan, subjek lain juga meningkatkan intensitasnya.

Anjuran Pihak Ketiga (Third Party Instigation)

Agresi tidak selalu terjadi dalam situasi isolasi. Seringkali ada saksi mata atau orang-orang lain yang terlibat dalam interaksi. Misalnya dalam pertandingan tinju bayaran, penonton (audience) dapat memberikan dorongan penuh antusias kepada petinju favoritnya untuk menjatuhkan lawan.

Bagaimana pengaruh anjuran pihak ke tiga terhadap frekuensi ataupun intensitas perilaku agresif?

Dalam eksperimen obedience yang dilakukan oleh Milgram (1963, 1965, 1974) telah dieksplorasi efek anjuran eksperimenter terhadap kehendak individu untuk memberikan sengatan listrik terhadap orang lain. Dalam eksperimen-eksperimen Milgram tersebut nampak jelas adanya pengaruh tekanan eksternal (pihak lain) terhadap subjek yang didorong untuk terus memberikan sengatan listrik, daripada subjek-subjek yang bertindak sendiri tanpa didorong.

Bagaimana bila pihak lain itu pasif (tidak menganjurkan agresi)?

Richard Borden ( 1975) menemukan bahwa pengaruh dari penonton pasif terhadap perilaku agresif seseorang tergantung pada nilai-nilai yang secara implicit dimiliki oleh penontonnya. Misalnya, dalam suatu kasus subjek pria berpartisipasi dalam eksperimen memberi sengatan listrik, ditonton oleh seorang pria atau seorang wanita.

Ternyata subjek yang ditonton oleh pria lebih agresif secara signifikan (meyakinkan) daripada subjek yang ditonton oleh wanita. Setelah penonton pria meninggalkan ruang, para subjek mengurangi agresifitasnya; dan agresifitas mereka tidak terpengaruh oleh kehadiran penonton wanita.

Mengapa jenis kelamin penonton memiliki pengaruh?

Mengenai hal ini Borden mengajukan hipotesis bahwa norma masyarakat kita secara implisit menganjurkan pria menyetujui agresi atau kekerasan, dan wanita sebaliknya.

Untuk menguji hipotesis tersebut Borden melakukan eksperimen kedua, dimana penontonnya adalah anggota club karateka (kemungkinan menyetujui agresi) atau oleh anggota organisasi perdamaian (kemungkinan tidak menyetujui agresi). Dalam eksperimen ini jenis kelamin penonton bercampur, pria dan wanita. Hasil eksperimen: subjek yang ditonton oleh anggota club karate lebih agresif daripada yang ditonton oleh anggota organisasi perdamaian.

Kesimpulannya adalah :

  • Dorongan langsung oleh seorang pengamat atau anggota audience akan meningkatkan agresi seseorang.
  • Pengamat yang merefleksikan nilai-nilai agresif dapat menyebabkan meningkatnya perilaku agresif, seperti halnya efek senjata.

Deindividuasi

Bila orang berada dalam keadaan tidak dapat diidentifikasi (dikenali), mereka lebih mungkin untuk bertindak anti-sosial (agresi).

Philip Zimbardo (1970) melakukan eksperimen dimana empat orang mahasiswa diberi tugas memberikan sengatan listrik kepada mahasiswa lainnya.

Dua orang dari mereka diatur berada dalam situasi yang terselubung: tidak pernah saling memperkenalkan diri dan berada di tempat yang gelap.

Dua orang yang lain ditonjolkan identitasnya: eksperimenter menyambut mereka dengan menyebut namanya, mereka memakai name-tag (kartu bertuliskan nama sebagai tanda pengenal), dan mereka saling berinteraksi dengan menyebut nama depan masing-masing).

Seluruh subjek diberi kebebasan memberikan sengatan listrik satu sama lain, seperti yang mereka kehendaki.

Hasilnya, subjek yang berada dalam kondisi terselubung memberikan sengatan listrik lebih banyak daripada subjek-subjek yang menggunakan name-tag.

Eksperimen-eksperimen lain yang juga menciptakan situasi anonym seperti di atas, hasilnya juga menunjukkan bahwa orang cenderung lebih agresif baik secara verbal maupun fisik bila identitas dirinya terselubung (Cannavale, Scarr, & Pepitone, 1970; Festinger, Pepitone, & Newcomb, 1952; Mann, Newton, & Innes, 1982).

Dalam mendiskusikan deindividuasi, yaitu suatu kondisi yang relatif anonym dimana individu tidak dapat dikenali, Zimbardo (1970) menjelaskan bahwa deindividuasi meminimalkan kepedulian terhadap evaluasi (penilaian) dan memperlemah control diri yang normal yang didasari oleh rasa bersalah, malu, dan ketakutan.

Konsep deindividuasi ini dapat pula diterapkan bagi diri si kurban, bukan hanya bagi agresor. Misalnya, Milgram (1965) menemukan bahwa orang lebih berkehendak untuk memberikan sengatan listrik bila mereka tidak melihat si kurban, dan bila si kurban tidak melihat dirinya. Sedangkan Mann (1981) menemukan bahwa terdapat beberapa kasus, bila penonton sangat dekat dengan subjek, maka subjek tidak melakukan serangan.

Obat-obatan

Obat-obatan banyak digunakan oleh masyarakat kita. Terdapat anggapan di dalam masyarakat bahwa alkohol memfasilitasi agresi, dan sangat umum kartun ayang menggambarkan tentang pemabuk yang bermusuhan.

Stuart Taylor dkk melakukan serangkaian penelitian dimana berbagai dosis alcohol atau THC (tetrahidrocannabinol, zat pengaktif utama ramuan marijuana) diberikan kepada subjek sebelum mereka berpartisipasi dalam eksperimen agresi. Dalam beberpa siatuasi nampak bahwa efeknya hanya nampak bila bila seseorang doprovokasi atau diserang (Taylor, Gammon, & Capasso, 1976).

Eksperimen Taylor et al. (1976), dengan alkohol:

  • Dosis alkohol yang ringan (setara dengan satu cocktail) ternyata menurunkan agresi bila dibanding dengan kelompok yang tidak menggunakan alkohol
  • Dosis alkohol yang lebih besar (setara dengan tiga cocktail) memiliki efek yang sebaliknya memberikan sengatan listrik yang lebih kuat

Eksperimen Myerscough & Taylor, 1985), dengan THC/marijuana:

  • Dosis ringan (0.1 mg per kg berat badan) tidak memiliki efek terhadap perilaku agresif
  • Dosis yang lebih besar (0.3 mg per kg berat badan) cenderung menekan perilaku agresif
  • Dosis yang lebih besar lagi (0.4 mg per kg berat badan) juga tidak memfasilitasi agresi, melainkan justru mengurangi kehendak individu untuk membalas serangan aggressor

Eksperimen Taylor (1986) dengan amphetamine: nampak memiliki sedikit pengaruh terhadap agresi.

Kondisi Lingkungan Fisik

Lingkungan fisik sering mempengaruhi mood. Misalnya, kita mungkin melakukan protes bila di hari yang panas AC di ruangan tidak bekerja, atau bila kebisingan di luar ruang terasa mengganggu.

  • Kebisingan (noise)
    Subjek yang diberi gangguan kebisingan yang tinggi dalam eksperimen di laboratorium, memeberikan sengatan listrik yang lebih tinggi bila disbanding dengan subjek-subjek lain yang mengalami sedikit kebisingan atau yang sama sekali tanpa kebisingan (Donnerstein & Wilson, 1976).

    Namun demikian, pada umumnya, kebisingan meningkatkan agresi hanya bila individu diprovokasi atau dibuat marah.

  • Kualitas Udara
    Udara yang tercemar (asap, rokok) juga dapat memepengaruhi kecenderungan agresi. Kualitas udara dapat diukur dengan mengukur kadar ozon, suatu index polusi udara. Berdasarkan ukuran tsb, James Rotton dan James Frey (1985) melakukan penelitian berdasarkan arsip, untuk mengetahui hubungan antara kualitas udara dan tindak criminal. Hasilnya, bila kualitas ozon meningkat, maka meningkat pula gangguan di dalam keluarga.

  • Suhu Udara
    Banyak pula orang yang menunjukkan adanya hubungan antara suhu dan peristiwa kekerasan. Di Amerika, pada tahun 1960-an mass-media seringkali menekankan adanya pengaruh musim panas yang berkepanjangan (long hot summer). Panas, dicatat sebagai penyebab terjadinya kerusuhan. Penyebabnya, mayoritas gangguan (huru-hara) terjadi pada musim panas (U.S. Riot Commission, 1968).

Namun demikian, bagaimanapun juga hubungan antara temperatur dan agresi tidaklah sederhana. Berdasarkan beberapa beberapa hasil penelitian dengan kawan-kawan, Baron (1977) menjelaskan:

  • Hubungan antara temperatur dengan agresi dimediatori (ditentukan) oleh tingginya afek (emosi) negatif atau ketidaknyamanan yang dialami individu;
  • Hubungan antara ketidaknyamanan tersebut dengan agresi dapat digambarkan sebagai kurve linier. Dengan kata lain, dalam level ketidaknyamanan yang sangat rendah atau sangat tinggi, agresi diminimalkan. Agresi paling sering terjadi dalam level ketidaknyamanan yang menengah (sedang).

Kemarahan yang membuat orang menjadi lebih agresif

Pertanyaan-pertanyaan bagaimana peran marah dan emosi- emosi yang berhubungan dalam menyumbang terjadinya agresi. Apakah marah merupakan bumbu yang diperlukan untuk terjadinya agresi? Bila tidak, apakah yang memainkan peran dalam perilaku agresif?

Untuk menjawab pertanyaan itu kita bersandar pada model cognitive-neoassociationistic yang dikembangkan oleh Leonard Berkowitz (1983a; 1983b)

Menurut model tersebut, yang mendorong agresi secara langsung adalah emosi negatif, bukan rasa marah. Pengalaman marah dapat menunjang (membuat lebih mudah diakses) pikiran-pikiran tentang perilaku agresif (Rule, Taylor, & Doobs, 1987).

Efek menunjang tersebut berlangsung dua arah (bi-directional): berpikir tentang perilaku agresif dapat juga menunjang rasa marah.

Perbedaan Individu Dalam Perilaku Agresif

Agresifitas setiap orang tidaklah sama. Ada orang-orang yang lebih agresif daripada yang lain. Terdapat fakta bahwa perbedaan individu dalam agresi, relative bersifat stabil, khususnya pada pria (Huesmann, Lagerspetz, & Eron, 1934; Olweus, 1979,1984b).

Anak laki-laki 8 tahun yang di kelas dikenal sebagai anak yang suka memukul dan mendorong anak-anak lain, lebih besar kemungkinannya pada usia 30 tahun menjadi pria yang tercatat berbuat kriminal, melecehkan, dan melakukan kekerasan (Eron, 1987).

Alasan stabilitas perilaku agresif tersebut menjadi perdebatan. Beberapa penemu berargumen bahwa terdapat faktor bawaan yang sangat kuat dalam kecenderungan agresi, dan menggunakan studi-studi anak kembar untuk mendukung kesimpulan tersebut (Rushton, Fulker, Neale, Nias, & Eysenck, 1986).

Sebaliknya ada yang menemukan fakta bahwa orang tua, teman-teman sebaya, dan media massa, memberikan konteks dimana agresi diperkuat atau diperlemah, yang mendukung kestabilan agresi.

emosi negatif pembawa agresi
Penggambaran emosi negatif sebagai pembawa agresivitas

Perbedaan Jenis Kelamin

Mengenai perbedaan jenis kelamin dalam perilaku agresif, juga sering diperdebatkan atas dasar faktor penentunya, bawaan atau lingkungan.

  • Eleanor Maccoby dan Carol Jacklin (1974) menyimpulkan bahwa pria lebih agresif, dan bahwa perbedaan tersebut merupakan hasil dari perbedaan dalam kesiapan biologis untuk berperilaku agresif.
  • Alice Eagly dan Valerie Steffen (1986) juga menyimpulkan bahwa pria lebih agresif daripada wanita, namun perbedaan yang nampak dalam riset psikologi sosial itu kecil dan tidak konsisten.

Perbedaan agresi antara pria dan wanita tersebut lebih besar bila yang diteliti adalah agresi fisik (perbedaan dalam agresi verbal dan bentuk agresi yang lain lebih kecil).

Di samping itu, ditemukan bahwa terdapat perbedaan keyakinan mengenai perilaku agresif antara pria dan wanita. Misalnya, wanita lebih merasa bersalah dan cemas bila berperilaku agresif; lebih peduli terhadap bahaya yang dialami kurban; dan lebih takut akan bahayanya bagi diri sendiri.

Menurut Eagly & Steffen, keyakinan tersebut mungkin menentukan sejauh mana kesadaran pria dan wanita dalam memilih perilaku agresif.

Kemampuan Memproses Informasi Sosial

Kenneth Dodge dan Nicki Patrick (1990), setelah mereviu literatur agresi pada anak-anak berpandangan bahwa perbedaan individu dalam perilaku agresi mungkin ditentukan oleh perbedaan dalam kemampuan memproses informasi sosial.

Secara khusus Dodge & Patrick menunjuk perbedaan dalam kemampuan individu:

  1. Untuk menginterpretasi petunjuk-petunjuk dari situasi sosial dan perilaku orang lain;
  2. untuk menghasilkan respon-respon yang dimungkinkan dalam situasi sosial;
  3. Untuk menentukan respon yang mana yang dipilih untuk dilakukan.

Beberapa proses, mencakup pembuatan atribusi (kesimpulan) mengenai intensi/niat yang mendasari perilaku orang lain. Proses atribusi tersebut sebagian mengalami bias, seperti fundamental attribution bias (Ross & Flechter, 1985), yaitu kecenderungan untuk menyimpulkan bahwa tindakan orang lain dilandasi niat yang bersumber dari sifat pribadinya (disposisional).

Remaja dan anak-anak yang agresif, nampak memiliki apa yang oleh Dodge & Crick disebut hostile attributional bias. Dalam simulasi ataupun situasi aktual, bila dibanding anak-anak yang tidak agresif, anak-anak yang agresif lebih suka untuk mengatribusi tindakan-tindakan orang lain itu sebagai tindakan yang dilandasi niat bermusuhan.

Atribusi mereka mengenai niat orang lain pada umumnya juga kurang akurat dibanding mereka yang tidak agresif (Crick & Dodge, 1989; Dodge & Coie, 1987; Dodge & Tomlin, 1987; Sancilo, Plumert, & Hartup, 1989).

Menurut Taylor, Peplau & Sears (2009) munculnya perilaku agresif berkaitan erat dengan rasa marah yang terjadi dalam diri seseorang. Rasa marah dapat muncul dengan sebab-sebab sebagai berikut:

  • Adanya serangan dari orang lain. Misalnya ketika tiba-tiba seseorang menyerang dan mengejek dengan perkataan yang menyakitkan. Hal ini dapat secara refleks menimbulkan sikap agresi terhadap lawan.

  • Terjadinya frustrasi dalam diri seseorang. Frustrasi adalah gangguan atau kegagalan dalam mencapai tujuan. Salah satu prinsip dalam psikologi, orang yang mengalami frustrasi akan cenderung membangkitkan perasaan agresifnya. Keadaan tersebut bisa saja terjadi karena manusia tidak mampu menahan suatu penderitaan yang menimpa dirinya.

  • Ekspektasi pembalasan atau motivasi untuk balas dendam. Intinya jika seseorang yang marah mampu untuk melakukan balas dendam, maka rasa kemarahan itu akan semakin besar dan kemungkinan untuk melakukan agresi juga bertambah besar. Kemarahan itu disebabkan karena kontrol keputusan yang rendah, sehingga seseorang gagal menafsirkan peristiwa dan tidak mampu memperhatikan segi-segi positif secara subjektif.

  • Kompetensi. Agresi yang tidak berkaitan dengan keadaan emosional, tetapi mungkin muncul secara tidak sengaja dari situasi yang melahirkan suatu kompetensi. Secara khusus merujuk pada situasi kompetitif yang sering memicu pola kemarahan, pembantahan dan agresi yang tidak jarang bersifat destruktif.

Baron dan Byrne (2005) menyebutkan beberapa faktor yang mempengaruhi seseorang melakukan agresivitas, yaitu:

  • Faktor-faktor Sosial
    Faktor-faktor sosial merupakan faktor-faktor yang terkait dengan sosial individu yang melakukan perilaku agresif, diantaranya adalah:

    • Frustasi, yang merupakan suatu pengalaman yang tidak menyenangkan, dan frustasi dapat menyebabkan agresi.

    • Provokasi langsung, adalah tindakan oleh orang lain yang cenderung memicu agresi pada diri si penerima, seringkali karena tindakan tersebut dipersepsikan berasal dari maksud yang jahat.

    • Agresi yang dipindahkan, bahwa agresi dipindahkan terjadi karena orang yang melakukannya tidak ingin atau tidak dapat melakukan agresi terhadap sumber provokasi awal.

    • Pemaparan terhadap kekerasan di media, dimana dapat meningkatkan kecenderungan seseorang untuk terlibat dalam agresi terbuka. Keterangsangan yang meningkat, bahwa agresi muncul karena adanya emosi dan kognisi yang saling berkaitan satu sama lain.

    • Keterangsangan seksual dan agresi, dimana keterangsangan seksual tidak hanya mempengaruhi agresi melalui timbulnya afek (misalnya mood atau perasaan) positif dan negatif. Tetapi juga dapat mengaktifkan skema atau kerangka berpikir lainnya yang kemudian dapat memunculkan perilaku nyata yang diarahkan pada target spesifik.

  • Faktor-faktor pribadi
    Berikut ini adalah trait atau karakteristik yang memicu seseorang melakukan perilaku agresif:

    • Pola perilaku Tipe A dan Tipe B. Pola perilaku tipe A memiliki karakter sangat kompetitif, selalu terburu-buru, dan mudah tersinggung serta agresif. Sedangkan pola perilaku tipe B menunjukkan karakteristik seseorang yang sangat tidak kompetitif, yang tidak selalu melawan waktu, dan yang tidak mudah kehilangan kendali.

    • Bias Atributional Hostile, merupakan kecenderungan untuk mempersepsikan maksud atau motif hostile dalam tindakan orang lain ketika tindakan ini dirasa ambigu.

    • Narsisme dan ancaman ego, individu dengan narsisme yang tinggi memegang pandangan berlebihan akan nilai dirinya sendiri. Mereka bereaksi dengan tingkat agresi yang sangat tinggi terhadap umpan balik dari orang lain yang mengancam ego mereka yang besar.

    • Perbedaan gender, pria umumnya lebih agresif daripada wanita, tetapi perbedaan ini berkurang dalam konteks adanya provokasi yang kuat. Pria lebih cenderung untuk menggunakan bentuk langsung dari agresi, tetapi wanita cenderung menggunakan bentuk agresi tidak langsung.

  • Faktor-faktor Situasional
    Faktor situasional merupakan faktor yang terkait dengan situasi atau kontek dimana agresi itu terjadi. Berikut ini adalah faktor situasional yang mempengaruhi agresi:

    • Suhu udara tinggi. Suhu udara yang tinggi cenderung akan meningkatkan agresi, tetapi hanya sampai pada titik tertentu. Diatas tingkat tertentu atau lebih dari 80 derajat fahrenheit agresi menurun selagi suhu udara meningkat. Hal ini disebabkan pada saat suhu udara yang tinggi membuat orang-orang menjadi sangat tidak nyaman sehingga mereka kehilangan energi atau lelah untuk terlibat agresi atau tindakan kekerasan (Baron & Bryne, 2005).

    • Alkohol. Individu ketika mengonsumsi alkohol memiliki kecenderungan untuk lebih agresi. Dalam beberapa eksperimen, partisipan-partisipan yang mengonsumsi alkohol dosis tinggi serta membuat mereka mabuk ditemukan bertindak lebih agresif dan merespon provokasi secara lebih kuat, daripada partisipan yang tidak mengkonsumsi alkohol (Baron & Bryne, 2005).