Hal Apa Saja yang Menunjukkan Keadaan Bahasa-Bahasa Nusantara?

image
Bahasa selalu mengalami perkembangan, bisa berupa peluasan bahasa atau pun kepunahan bahasa. Begitu juga dengan bahasa-bahasa Nusantara.

Hal apa saja yang menunjukkan keadaan bahasa-bahasa Nusantara?

Indonesia menempati peringkat ke dua tertinggi sebagai negara yang memiliki jumlah bahasa daerah setelah Papua Nugini (SIL International:2014), dengan jumlah 746 bahasa daerah dari total bahasa daerah sedunia sekitar 7100 (“Ethnologue Languages of the World,” 2014). Keadaan tersebut tentu membuat suatu kebanggaan tersendiri bagi bangsa Indonesia, bahkan dunia mulai memfokuskan perhatian terhadap kekayaan bahasa di planet ini dengan ditetapkannya tanggal 21 Februari sebagai bahasa ibu oleh UNESCO. Namun mampukah bangsa Indonesia mempertahankan citra sebagai bangsa multilingual, ataukah akan beralih menuju masyarakat monolingual, mengingat gencarnya usaha dan propaganda keberhasilan perencanaan bahasa nasional, yaitu bahasa Indonesia? Berbagai penelitian terhadap bahasa-bahasa daerah di Indonesia cenderung menunjukkan hasil yang seragam yang mengarah kepada pergeseran bahasa, bahkan beberapa diantaranya menuju kepada kepunahan bahasa.

Kondisi bahasa daerah yang semakin terpinggirkan biasanya menjangkiti mereka yang dikategorikan sebagai golongan remaja atau kaum muda. Masa krusial pada aspek daur hidup manusia adalah masa remaja. Usia remaja sangat rentan oleh pengaruh dari dunia luar karena pada usia itu terjadi proses pencarian jati diri. Pada sisi bahasa, remaja menjadi komunitas yang memiliki kecenderungan untuk berubah. Perubahan tersebut seperti tercerabut dari akar bahasanya sendiri. Tidak jarang di perkotaan terjadi fenomena bahwa kaum remaja tidak menguasai lagi bahasa daerahnya, apalagi dengan maraknya apa yang kita kenal dengan bahasa gaul. Sebenarnya bahasa yang sehat adalah bahasa yang produktif, bisa berkembang menyesuaikan dengan perkembangan jaman. Akan tetapi, alangkah bijaknya apabila dasar fondasi bahasa daerah atau bahasa pertama diperkuat terlebih dahulu.

Menurut (Hornberger, 2012) kurang lebih 97% dari penduduk dunia hanya berbicara menggunakan 4% dari seluruh jumlah bahasabahasa yang ada di seluruh dunia, dan sebaliknya, kurang lebih 96% dari bahasa-bahasa di dunia hanya dipakai oleh kurang lebih 3% penduduk dunia. Bahkan bahasa-bahasa dengan penutur yang berjumlah ribuan tidak lagi menjadi bahasa pertama yang diperoleh oleh penutur kategori anak-anak. Bahkan Unesco melalui paper yang berjudul Language Vitality and Endangerment) meramalkan, kurang lebih 90% dari bahasa-bahasa yang ada mungkin akan digantikan oleh bahasa dominan pada akhir abad 21 (Blommaert, 2008).

Lebih lanjut dikemukakan bahwa kepunahan bahasa kemungkinan dapat disebabkan oleh faktor-faktor ekternal seperti, tekanan militer/politik, ekonomi, agama, kebudayaan atau pendidikan, namun juga bisa disebabkan oleh faktor-faktor internal seperti, sikap negative masyarakat tutur bahasa tersebut terhadap bahasanya sendiri. Pada keadaan tertentu tekanan faktor internal kadang bersumber dari factor eksternal, khususnya pada pewarisan bahasa antar generasi (intergenerational transmission of linguistic) dan juga tradisi budaya.

Banyak penutur bahasa ibu beranggapan bahwa kedudukan sosial mereka terrendahkan oleh budaya tradisional mereka, sehingga mereka meyakini bahwa bahasa mereka tidak dapat menjamin kehidupannya(Sapri, 2016). Sehingga sebagian besar dari mereka cenderung meninggalkan bahasa dan budaya mereka dengan harapan dapat lepas dari perlakuan diskriminasi, dan dapat lebih mendapatkan kesempatan dalam beberapa aspek kehidupan seperti kemudahan mobilitas sosial, atau bahkan menyesuaikan diri dengan perkembangan globalisasi, jika bisa berkomunikasi menggunakan bahasa dominan atau bahasa internasional.
Indonesia menempati peringkat ke dua tertinggi sebagai negara yang memiliki jumlah bahasa daerah setelah Papua Nugini (SIL International:2014), dengan jumlah 746 bahasa daerah dari total bahasa daerah sedunia sekitar 7100 (“Ethnologue Languages of the World,” 2014). Keadaan tersebut tentu membuat suatu kebanggaan tersendiri bagi bangsa Indonesia, bahkan dunia mulai memfokuskan perhatian terhadap kekayaan bahasa di planet ini dengan ditetapkannya tanggal 21 Februari sebagai bahasa ibu oleh UNESCO. Namun mampukah bangsa Indonesia mempertahankan citra sebagai bangsa multilingual, ataukah akan beralih menuju masyarakat monolingual, mengingat gencarnya usaha dan propaganda keberhasilan perencanaan bahasa nasional, yaitu bahasa Indonesia? Berbagai penelitian terhadap bahasa-bahasa daerah di Indonesia cenderung menunjukkan hasil yang seragam yang mengarah kepada pergeseran bahasa, bahkan beberapa diantaranya menuju kepada kepunahan bahasa.

Kondisi bahasa daerah yang semakin terpinggirkan biasanya menjangkiti mereka yang dikategorikan sebagai golongan remaja atau kaum muda. Masa krusial pada aspek daur hidup manusia adalah masa remaja. Usia remaja sangat rentan oleh pengaruh dari dunia luar karena pada usia itu terjadi proses pencarian jati diri. Pada sisi bahasa, remaja menjadi komunitas yang memiliki kecenderungan untuk berubah. Perubahan tersebut seperti tercerabut dari akar bahasanya sendiri. Tidak jarang di perkotaan terjadi fenomena bahwa kaum remaja tidak menguasai lagi bahasa daerahnya, apalagi dengan maraknya apa yang kita kenal dengan bahasa gaul. Sebenarnya bahasa yang sehat adalah bahasa yang produktif, bisa berkembang menyesuaikan dengan perkembangan jaman. Akan tetapi, alangkah bijaknya apabila dasar fondasi bahasa daerah atau bahasa pertama diperkuat terlebih dahulu.

Menurut (Hornberger, 2012) kurang lebih 97% dari penduduk dunia hanya berbicara menggunakan 4% dari seluruh jumlah bahasabahasa yang ada di seluruh dunia, dan sebaliknya, kurang lebih 96% dari bahasa-bahasa di dunia hanya dipakai oleh kurang lebih 3% penduduk dunia. Bahkan bahasa-bahasa dengan penutur yang berjumlah ribuan tidak lagi menjadi bahasa pertama yang diperoleh oleh penutur kategori anak-anak. Bahkan Unesco melalui paper yang berjudul Language Vitality and Endangerment) meramalkan, kurang lebih 90% dari bahasa-bahasa yang ada mungkin akan digantikan oleh bahasa dominan pada akhir abad 21 (Blommaert, 2008).

Lebih lanjut dikemukakan bahwa kepunahan bahasa kemungkinan dapat disebabkan oleh faktor-faktor ekternal seperti, tekanan militer/politik, ekonomi, agama, kebudayaan atau pendidikan, namun juga bisa disebabkan oleh faktor-faktor internal seperti, sikap negative masyarakat tutur bahasa tersebut terhadap bahasanya sendiri. Pada keadaan tertentu tekanan faktor internal kadang bersumber dari factor eksternal, khususnya pada pewarisan bahasa antar generasi (intergenerational transmission of linguistic) dan juga tradisi budaya.

Banyak penutur bahasa ibu beranggapan bahwa kedudukan sosial mereka terrendahkan oleh budaya tradisional mereka, sehingga mereka meyakini bahwa bahasa mereka tidak dapat menjamin kehidupannya(Sapri, 2016). Sehingga sebagian besar dari mereka cenderung meninggalkan bahasa dan budaya mereka dengan harapan dapat lepas dari perlakuan diskriminasi, dan dapat lebih mendapatkan kesempatan dalam beberapa aspek kehidupan seperti kemudahan mobilitas sosial, atau bahkan menyesuaikan diri dengan perkembangan globalisasi, jika bisa berkomunikasi menggunakan bahasa dominan atau bahasa internasional.