Getaran-getaran Cinta

Taman Surga

Mendengar secara mutawatir dari banyak orang sama dengan melihat secara langsung, dan ia memiliki kekuatan hukum yang sama dengan melihat. Misalnya kamu lahir dari ayah dan ibumu; Meski kamu tidak melihat kelahiranmu secara langsung, namun karena kamu mendengar ucapan ini berulang kali dari banyak orang, kamu menerimanya sebagai kebenaran. Sehingga ketika ada seseorang yang berkata padamu: “Keduanya tidak melahirkanmu,” niscaya kamu tidak akan mendengarkannya. Begitu juga ketika kamu medengar dari banyak orang bahwa kota Baghdad dan Makkah itu memang ada. Seandainya dikatakan padamu bahwa Baghdad dan Makkah tidak pernah ada, niscaya dirimu tidak akan mempercayainya, meskipun ia bersumpah.

Jadi, ketika telinga mendengar kabar dengan jalan mutawatir, maka ia akan memiliki kekuatan hukum yang sama dengan melihat secara langsung. Karena secara lahiriah, ucapan yang mutawatir sama sahihnya dengan pandangan mata. Ucapan yang mutawatir terkadang dimiliki oleh seseorang, sehingga dirinya bukanlah satu personal lagi melainkan seratus ribu orang. Karena satu ucapan darinya serupa dengan seratus ribu ucapan. Apa yang mengherankan dari hal itu? Seorang raja yang, meskipun sosoknya hanya satu orang, memiliki hukum seratus ribu kali lipat. Meski ada seratus ribu orang berkata bahwa tidak seorang pun yang melaksanakan titahnya, namun saat sang raja mengeluarkan titahnya, apa yang dikatakannya akan dilaksanakan.

Hal semacam ini masih sering terjadi di dunia lahiriah, sebab kehadirannya di alam arwah lebih baik dan lebih kukuh. Meski dirimu telah mengelilingi seluruh dunia ini, namun karena kamu belum pernah melihatnya dengan Tuhan dalam benak, kamu harus mengelilinginya sekali lagi;

“Katakanlah: ‘Berjalanlah di muka bumi, kemudian perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan itu [QS. al-An’am: 11] .”

Perjalanan itu bukan untuk-Ku, tetapi untuk bawang merah dan bawang putih. Ketika kamu menyusuri dunia ini bukan karena Aku, tetapi untuk tujuan lain, maka tujuan itu akan menjadi selubung bagimu yang menghalangi pandanganmu untuk dapat melihat-Ku.”

Seperti halnya ketika kamu mencari seseorang dengan bersungguh-sungguh di pasar, tetapi kamu tidak bisa melihat seorang pun. Meski kerumunan manusia ada di situ, kamu melihat mereka laksana khayalan saja. Atau ketika kamu mencari satu permasalahan dalam salah satu kitab, maka kamu akan mengerahkan telinga, mata dan akalmu untuk satu masalah ini. Kamu membolak-balik lembaran kitab, tetapi tidak melihat apa pun. Namun ketika kamu memiliki tujuan pada selain itu, maka di mana pun kamu berada, kamu akan akan memperhatikan masalah itu dan tidak akan melihat masalah ini lagi.

Pada zaman Umar ra., terdapat seseorang yang telah lanjut usia yang karena kerentaannya, anak perempuannya sampai menyusui dirinya dan merawatnya laksana bayi. Umar berkata pada perempuan itu:

“Di zaman ini tidak ditemukan seorang anak seperti dirimu yang memenuhi hak ayahnya.”

Ia pun menjawab:

“Benar apa yang Anda katakan, tetapi ada perbedaan di antara kami. Meski aku tidak pernah meremehkan pelayanan terhadap dirinya, saat ayahku mendidik dan melayaniku, ia sampai gemetar karena khawatir sesuatu yang dibencinya akan menimpaku. Sedangkan aku melayani ayahku disertai doa kepada Allah siang dan malam agar dia segera mati, sehingga aku tidak lagi mengurusinya dan terbebas dari gangguannya. Ketika aku melayani ayahku, ke mana bisa aku temukan gemetar seperti yang dimiliki ayahku karena untukku?”

Umar berkata:

“Perempuan ini lebih mengerti dari pada Umar.”

Maksudnya: “Aku telah menghukumi sesuatu dari tampakan luarnya, sementara dia berbicara tentang esensi dari permasalahannya.” Orang yang bijak akan melihat esensi dari sesuatu sehingga dia akan mengetahui hakikatnya. Umar takut tidak dapat melihat hakikat-hakikat dan rahasia segala sesuatu. Seperti inilah sejarah hidup para shahabat, mendapatkan hikmah dalam diri mereka, namun mereka justru memuji orang lain.

Ada banyak sekali orang yang tidak mampu ‘aktif ’ karena hatinya lebih tentram ketika mereka ‘pasif.’ Dengan cara yang sama, cahaya pada siang hari seluruhnya bersumber dari matahari, namun jika seseorang terus melihat matahari sepanjang hari, hal itu akan merusak dan menyilaukan kedua matanya. Akan lebih baik baginya untuk menyibukkan diri dengan pekerjaan yang lain, karena ia pasif untuk dapat memandang bulat fisik matahari. Demikian juga menyebut makanan yang lezat di hadapan orang sakit akan memotivasinya untuk menghasilkan kekuatan dan hasrat untuk sembuh. Namun kehadiran makanan itu justru akan menjadi rintangan bagi kesehatannya.

Oleh sebab itu, maklumlah jika getaran dan cinta adalah sebuah keharusan dalam mencari Allah. Barangsiapa yang tidak memiliki getaran cinta, maka dia harus melayani mereka yang memilikinya. Buah-buahan sama sekali tidak akan menempel di batang-batang pohon jika ia tidak memiliki getaran, berbeda dengan kuncup tangkai yang selalu bergetar. Meski demikian, keberadaan batang pohon dapat menguatkan kuncup-kuncup agar tidak berguguran, dan dengan perantaraan buah, mereka akan selamat dari tebasan kampak (ditebang). Ketika getaran cinta itu datang dengan perantaraan tebasan kapak, maka tidak bergetar adalah lebih baik bagi batang agar ia dapat melayani orang-orang yang sering bergetar karena cinta.

Selama dia adalah Mu’inuddin (penolong agama) dan bukan ‘Ainuddin (esensi agama), karena adanya huruf mim yang ditambahkan sebelum ‘ain, maka itu adalah sebuah kekurangan. Karena penambahan atas sesuatu yang telah sempurna adalah sebuah kekurangan.

Dengan cara yang sama, meski enam jari bagi satu tangan merupakan sebuah penambahan, namun sejatinya ia adalah kekurangan. Ahad ( ) adalah kesempurnaan, tetapi Ahmad ( ) belumlah sempurna. Ketika huruf mim-nya dibuang, maka ia akan menjadi kesempurnaan yang paripurna. Karena Allah meliputi segala sesuatu, maka apa pun yang disandarkan kepada-Nya adalah sebuah kekurangan. Angka satu terkandung di semua bilangan, tanpa ada angka satu, maka bilangan tidak akan ada.

Sayyid Burhanuddin sedang menuturkan sebuah nasihat. Tiba-tiba ada seseorang yang menyela dan berkata: “Kami butuh pembicaraan yang tidak ada bandingannya.”

Sayyid menjawab: “Kamu, wahai orang yang tidak ada bandingannya, kemari dan dengarkan ucapan yang tak ada bandingannya!” Pada akhirnya, kamu hanyalah bandingan dari dirimu, kamu bukanlah tubuh ini, kamu hanyalah bayangan darinya. Ketika manusia mati, mereka berkata: “Fulan telah meninggal.” Jika manusia itu adalah jasadnya, ke mana ia pergi? Maka hendak kamu menyadari bahwa bentuk luarmu adalah bandingan dari batinmu, dan dari bentuk luarmu orang akan bisa menilai batinmu. Segala sesuatu terlihat di mata dikarenakan ketebalannya. Seperti nafas yang tidak terlihat saat cuaca panas, namun akan terlihat ketika udara itu dingin karena ketebalan dan kepekatan cuaca.

Adalah kewajiban Nabi Saw. untuk menunjukkan kekuatan Allah dan memperingatkan manusia dengan perantaraan dakwah. Meski demikian, beliau tidak dibebani kewajiban untuk membawa manusia ke tingkat kesiapan untuk menerima hakikat ketuhanan, Dia yang melakukan hal itu. Allah memiliki dua sifat: kemurkaan dan kelembutan. Para Nabi menampakkan keduanya, Mukmin menampakkan kelembutan-Nya, dan orang-orang kafir menampakkan kemurkaan-Nya.

Mereka yang mengenal kebenaran melihat diri mereka dalam diri Nabi, mendengar suara mereka, dan mencium aroma mereka darinya. Manusia tidak akan mengingkari dirinya sendiri. Karena itu, para Nabi berkata kepada umatnya: “Kami adalah kalian, dan kalian adalah kami, tidak ada kesamaran di antara kita.” Saat seseorang berkata: “Ini tanganku,” tak akan ada yang meminta dalil akan pernyataan itu karena tangan adalah anggota yang bersambung dengan manusia. Namun saat dia berkata: “Fulan adalah anakku,” maka ia akan dituntut untuk mengutarakan dalil, karena anak adalah bagian yang terpisah.

Sumber : Jalaluddin Rumi, 2014, Fihi Ma Fihi, F Forum