Film perjuangan perempuan Indonesia

Film apa sajakah yang kamu ketahui yang mengangkat tema dan cerita tentang perjuangan perempuan Indonesia?

Tjoet Nja’ Dhien (1988)
Cosmo mulai daftar ini dengan film yang paling jadul, tapi juga yang paling epik. Disutradarai oleh Eros Djarot, film produksi 1988 ini mengangkat kisah perjuangan pahlawan perempuan Cut Nyak Dhien (diperankan gemilang oleh Christine Hakim) dalam perang panjang antara Aceh melawan Pemerintah Kolonial Belanda. Rentang waktu yang menjadi fokus di film ini adalah masa 6 tahun antara kematian Teuku Umar (Slamet Rahardjo) suami Cut Nyak Dhien yang membuatnya bersumpah untuk membalas dendam, kegigihannya menghadapi tentara Belanda yang dipimpin oleh Kapten Veltman (Rudy Wowor), tikaman dari belakang oleh sebagian orang Aceh yang menjadi antek Belanda, hingga ketika akhirnya sebuah pengkhianatan dengan tujuan mulia menuntaskan perjuangan perempuan ningrat asal Lampadang tersebut. Meskipun pada akhirnya Cut tertangkap dan diasingkan ke Tanah Jawa, perjuangannya terus mengobarkan semangat rakyat Aceh dari dulu hingga kini.

Sutradara Eros Djarot membutuhkan waktu 2 tahun untuk merampungkan film ini, sebuah waktu yang cukup panjang namun membuahkan hasil yang manis. Menghadirkan sinematografi pertempuran yang dramatis arahan George Kamarullah, musik latar oleh Idris Sardi, dan akting tanpa cela para aktor dan aktris kawakan, film ini tak hanya menjadi mahakarya bagi dunia film Indonesia dan meraih 9 Piala Citra, tapi juga sukses mengharumkan nama Indonesia di ajang film internasional saat ditayangkan di Cannes dan menjadi wakil Indonesia di ajang Academy Awards ke-62 (tahun 1990) untuk kategori Film Berbahasa Asing Terbaik. Cosmo berharap suatu saat film ini bisa direstorasi dan ditayangkan kembali agar bisa ditonton semua orang.

Sokola Rimba (2013)
Di film yang digarap oleh Riri Riza ini, Prisia Nasution memerankan sosok Butet Manurung, perempuan Batak yang menjadi aktivis, perintis, dan pelaku pendidikan alternatif bagi masyarakat terasing dan terpencil di Indonesia. Kepeduliannya terhadap pemerataan pendidikan membuahkan sistem Sokola Rimba, sebuah sekolah rintisan yang ia terapkan bagi Suku Kubu di Taman Nasional Bukit Dua Belas, Jambi dengan metode antropologis, di mana ia tak hanya mengajarkan membaca, menulis, dan berhitung, tapi juga ikut tinggal dan hidup bersama masyarakat didiknya.

Versi film menggambarkan bagaimana Butet awalnya bekerja di sebuah lembaga konservasi di wilayah Jambi menemukan panggilan jiwanya berkat pertemuan tak terduga dengan seorang anak Suku Rimba bernama Nyungsang Bungo (diperankan oleh anak Suku Rimba asli dengan nama yang sama) yang meminta Butet untuk mengajarinya membaca. Menghadapi pertentangan dari tempatnya bekerja maupun dari suku Bungo sendiri yang masih percaya bahwa ilmu pengetahuan akan mendatangkan malapetaka, Butet tetap bertahan pada pendiriannya. Tangan dingin duet Riri Riza dan Mira Lesmana, serta keandalan akting para pemain membuahkan film ini penghargaan Film Terbaik Piala Maya 2013, Pemeran Utama Wanita Terfavorit Indonesian Movie Awards 2014, dan nominasi Pemeran Anak Terbaik di ajang yang sama.

3 Srikandi (2016)
“Yang paling penting dalam hidup bukan menaklukkan, tapi berjuang keras,” demikian bunyi kutipan Pierre de Coubertin, bapak Olimpiade modern, yang membuka film karya Iman Brotoseno ini. Kutipan tersebut tentu bukan asal tempel, karena film ini memang bercerita tentang kiprah tiga atlet panah perempuan Indonesia yang berhasil mencatatkan sejarah dengan meraih medali di ajang Olimpiade.

Ketiga Srikandi tersebut adalah Nurfitriyana (Bunga Citra Lestari), Lilies Handayani (Chelsea Islan), dan Kusuma Wardhani (Tara Basro), tiga atlet memanah dari latar belakang yang berbeda dan mengemban masalahnya masing-masing, mulai dari orangtua yang tak suportif, konflik asmara, hingga tuntutan pernikahan. Ketiganya dipersatukan nasib saat menjadi tim panahan yang akan mewakili Indonesia di Olimpiade Musim Panas 1988 di Seoul, Korea Selatan. Di bawah bimbingan pelatih Donald Pandiangan (Reza Rahardian) yang galak, ketiga perempuan tersebut ditempa fisik, mental, dan emosinya untuk memberikan hasil terbaik bagi Indonesia. Film tentang atlet Indonesia memang masih bisa dihitung jari, apalagi yang tentang atlet perempuan, namun dengan semangat nasionalisme yang ditularkan film ini, tampaknya kita butuh lebih banyak film lagi.

Athirah (2016)
Lagi-lagi, duet Riri Riza dan Mira Lesmana kembali menghadirkan film biografi yang sayang dilewatkan begitu saja. Menggandeng Salman Aristo sebagai penulis skenario, film yang diangkat dari novel biografi Hajjah Athirah Kalla, ibu dari Wakil Presiden Jusuf Kalla karya Alberthiene Endah ini dibintangi oleh Cut Mini Theo sebagai pemeran utama, di samping nama-nama lain seperti Tika Bravani, Jajang C Noer, Christoffer Nelwan, dan Nino Prabowo.

Film ini dibuka dengan kehidupan perempuan Bugis bernama Athirah (Cut Mini) dan suaminya, Puang Aji (Arman Dewarti) yang memutuskan pindah dari Bone ke Makassar, di mana mereka membangun bisnis dari nol dan meraih sukses. Awalnya, kehidupan mereka terlihat baik-baik saja dengan anak-anak yang sehat dan kebiasaan berkumpul di meja makan menyantap makanan khas Sulawesi Selatan dan berdiskusi tentang apa saja. Semua menjadi tak baik-baik saja, saat suatu hari Puang Aji melontarkan keinginannya untuk meminang perempuan lain. Bagaimanapun, di Sulawesi Selatan tahun 50-an, poligami bukan hal yang aneh, dan perempuan seringkali mengalah dan tak punya kuasa untuk menolaknya. Dihadapkan dengan situasi tersebut, Athirah harus bergulat dengan perasaan pribadi serta keutuhan keluarganya, termasuk sang putra Ucu (Christoffer Nelwan) yang telah beranjak remaja dan kelak menjadi salah satu tokoh penting negeri ini.

Selain cerita dan sinematografi yang menarik, Athirah juga menjadi kesempatan bagi kita untuk mengintip budaya Sulawesi Selatan yang hadir dalam bentuk makanan khas serta keindahan sarung khas Bugis yang kabarnya selalu menjadi rebutan antara Cut Mini, Jajang C.Noer, dan Chitra Subijakto yang menjadi penata kostum. Film ini dengan judul internasional Emma’ pun telah diputar di berbagai festival film internasional bergengsi mulai dari Vancouver, Busan, hingga Tokyo.

Kartini (2017)
Sebut kata emansipasi dan nama Kartini mungkin yang paling pertama mencuat bagi banyak orang. Sebagai tokoh emansipasi perempuan yang paling ikonis di negeri ini, bukan hal yang mengherankan bila banyak yang tertarik untuk memfilmkan kehidupan sang putri Jepara. Sebelumnya, kisah hidup Kartini pernah difilmkan dalam R.A. Kartini (1984) besutan Sjumandjaja yang menggandeng Yenny Rachman sebagai Kartini, sementara di Surat Cinta Untuk Kartini (2016) karya Azhar Kinoi Lubis, yang terpilih menjadi Kartini adalah aktris pendatang baru Rania Putri Sari. Lalu, bagaimana dengan film Kartini terbaru dari Hanung Bramantyo ini? Dirilis tepat setahun lalu, film ini menghadirkan banyak aktor dan aktris papan atas. Sebut saja Dian Sastrowardoyo sebagai Kartini, Christine Hakim, Ayushita, Acha Septriasa, Adinia Wirasti, Reza Rahadian, Denny Sutomo, Djenar Maesa Ayu, Denny Sumargo, dan Dwi Sasono.

Kartini versi Hanung mengambil rentang waktu dari 1883-1903 ketika Kartini hidup di Jepara. Kita melihat bagaimana Kartini dari kecil terusik melihat ibunya, Ngasirah (Christine Hakim), yang hanya selir dan tak berdarah ningrat seperti orang terbuang di rumahnya sendiri. Dihadapkan dengan kondisi masyarakat di mana kaum perempuan masih dianggap warga kelas dua di mana menjadi istri dan ibu adalah satu-satunya takdir yang diharapkan, Kartini muda mendapat pencerahan ketika kakak lelakinya Sosrokartono (Reza Rahadian) meninggalkan kunci lemari penuh buku miliknya. Yang menarik, bila Kartini umumnya digambarkan sebagai perempuan Jawa yang lemah lembut, film ini menceritakan sisi rebel masa remaja Kartini yang gemar bercanda dengan Kardinah (Ayushita) dan Roekmini (Acha Septriasa), memanjat tembok, dan berlari bebas di pantai sambil mengangkat sarung batiknya. Rasanya mirip seperti menonton Marie Antoinette karya Sofia Coppola yang mengingatkan kita bahwa di zaman apapun, gadis remaja, terlepas dari apapun status dan kungkungan tradisi yang mengikatnya memendam api yang sama bergeloranya. Ditunjang oleh riset sejarah dan artistik yang tak main-main, film ini berhasil masuk ke jajaran film terlaris tahun 2017 di semester pertama dengan pendapatan sebesar Rp 19 miliar dari pemutaran di bioskop

Nyai Ahmad Dahlan (2017)
Menjadi debut film sutradara Olla Ata Adonara, film ini bercerita tentang sosok Nyai Ahmad Dahlan yang bernama asli Siti Walidah, tokoh emansipasi perempuan yang merupakan istri dari pendiri Muhammadiyah, Kiai Ahmad Dahlan. Diperankan oleh Tika Bravani, kita diajak mengenal sosok pahlawan perempuan asal Kampung Kauman, Yogyakarta ini yang berani menolak kawin paksa dan menjadi perempuan pertama yang pernah memimpin Kongres Muhammadiyah tahun 1962 dan mendirikan organisi perempuan Sopo Treno yang kini bernama Aisyiyah.

Meskipun kental akan nuansa Islam, namun sang penulis skenario Dyah Kalsitorini menegaskan bahwa film ini tak hanya ditujukan untuk umat Islam saja, tapi untuk siapapun yang mencintai sejarah Indonesia. Berkat dukungan penuh dari keluarga besar Muhammadiyah, proses syuting film yang berlangsung di Jogja ini berjalan lancar dan bahkan mereka diizinkan memakai kostum serta perabotan asli peninggalan sang Nyai. Yang juga patut dicatat, film ini menggambarkan tiga fase kehidupan Nyai dari umur 17, 30-an hingga 76 tahun yang semuanya diperankan tunggal oleh Tika dengan efek make-up yang menarik.

Sumber: Inspiratif! 6 Film Perjuangan Perempuan Indonesia