Mengapa Kita Kecanduan Berbelanja?

shopaholic

Adiksi atau Kecanduan belanja (shopping addiction) termasuk gangguan kesehatan mental yang dapat menyebabkan konsekuensi berbahaya, tidak hanya secara finansial, tapi juga secara pribadi dan dalam berhubungan dengan keluarga.

Lalu faktor-faktor apa yang membuat kita kecanduan berbelanja ?

Menurut Faber dan O’Guinn (1992 dalam Edwards, 1993: 68) definisi dari shopping addiction atau compulsive buying adalah perilaku berbelanja yang kronis, berulang yang telah menjadi respon utama dalam suatu situasi atau perasaan negatif.

Definisi shopping addiction atau compulsive buying menurut Edwards (1993: 67) adalah suatu bentuk berbelanja yang abnormal dimana konsumen yang bermasalah memiliki kekuatan yang kuat, tidak terkontrol, kronis dan keinginan berulang untuk berbelanja. Compulsive buying merupakan suatu cara untuk menghilangkan perasaan negatif seperti stres dan kecemasan.

Menurut Rook (1987 dalam Edwards, 1993) para compulsive buyer ini menderita akan kehilangan kontrol impuls kronis yang menjadi repetitif dan pada akhirnya akan menemukan konsekuensinya. Rook (1987 dalam Edwards, 1993) juga menyatakan bahwa compulsive buyer menggunakan berbelanja dan menghabiskan uang untuk mengatasi kecemasan dan stress, dimana kedua hal tersebut merupakan dorongan utama compulsive buying.

Para compulsive buyer menemukan bahwa berbelanja memberikan suatu rasa lega dari kecemasan dan sama seperti proses adiksi lainnya, membutuhkan belanja yang terus menerus untuk mendapatkan tingkat well-being yang sama.

Tingkatan Shopping Addiction

Kontinum compulsive buying dikembangkan oleh Edwards (1993) digunakan untuk mengklasifikasikan konsumen berdasarkan tingkat kompulsivitas dalam berbelanja. Terdapat lima kontinum menurut Edwards yaitu:

  • non-compulsive level
    konsumen dengan tingkat non-compulsive atau normal diasumsikan bebelanja hanya kebutuhan atau yang diperlukan saja.

  • recreational spending level
    konsumen dengan tingkat berbelanja ini terkadang saja atau pada waktu teretntu menggunakan berbelaja untuk menghilangkan stres atau untuk merayakan sesuatu.

  • low (borderline) level
    konsumen dengan tingkat berbelanja ini adalah seseorang yang berada di antara recreational dan kompulsif.

  • medium (compulsive) level
    konsumen dengan tingkat berbelanja ini sebagian besar berbelanja untuk menghilangkan kecemasan.

  • high (addicted) level
    Sama dengan tingkat kompulsif, pada tingkatan ini juga konsumen berbelanja sebagian besar untuk menghilangkan kecemasan, tetapi pada addicted level ini konsumen memiliki perilaku berbelanja yang ekstrim dan membuat kesulitan atau gangguan yang serius dalam kehidupan sehari - harinya.

Penyebab – Penyebab Shopping Addiction

Masalah yang menjadi penyebab terjadinya shopping addiction ini adalah sebagian besar dari hal – hal di lingkungan seperti pekerjaan, keluarga, pasangan, pajak, atasan, dan sebagainya.

O’ Connor (2005) menjelaskan bahwa pengaruh sosial sangat mempengaruhi psikologis dan sikap berbelanja seseorang hingga membuat seseorang menjadi shopaholic. Berbelanja merupakan suatu simptom utama dan emosi menjadi pemicunya.

Adanya studi juga yang menyatakan bahwa compulsive buyer biasanya memiliki tingkat kepercayaan diri yang rendah, tingkat berkhayal yang tinggi dan tingkat depresi, kecemasan dan obsesi yang tinggi (Scherhorn dkk, 1990 dalam Edwards, 1993).

Siklus Shopping Addiction

Terdapat suatu siklus menurut Edwards (1993) yang menjadi penyebab shopping addiction yang disebut dengan spending cycle. Tahapan spending cycle yaitu :

  • Bermula dengan perasaan kekosongan dalam diri seseorang, self esteem yang rendah dan perasaan incompleteness.

  • Lingkungan di sekitarnya seperti memberikan sinyal bahwa apabila seseorang memiliki sesuatu maka orang tersebut menjadi penting, berharga, dan disukai. Sinyal ini datang dari keluarga, teman, teman kerja, media dan lainnya yang mempunyai pengaruh pada seseorang

  • Seseorang akan berbelanja untuk mendapatkan perasaan sukses dan akan membagi ceritanya kepada lingkungan yang akan kagum pada dirinya.

Ketika tagihan datang maka Ia akan merasa tidak memiliki kekuatan lagi dan merasakan incompleteness lagi sehingga akan berulang ke tahap awal.

Inti penyebab dari shopping addiction adalah self esteem yang rendah dan perasaan incompleteness. Aktivitas berbelanja itu sendiri diasosiasikan dengan perasaan bahagia dan kekuatan yang secara langsung memuaskan diri seseorang. Efek setelahnya yaitu perasaan bersalah akan mendorong seseorang untuk berbelanja lagi agar bisa mendapatkan emosi sesaat yang tinggi tersebut ketika berbelanja.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh San Francisco State University menunjukkan bahwa perilaku shopaholic terkait dengan adanya gangguan psikologis obsesif-kompulsif dimana gangguan ini ditandai dengan munculnya pikiran obsesif (pikiran yang berulang yang tidak dapat dikendalikan dan selalu menghantui) sehingga menimbulkan perilaku compulsif (berulang) untuk menghilangkan pikiran obsesif yang terjadi.

Inilah penyebab shopaholic mengalami kecanduan belanja. dan inilah mengapa seorang shopaholic sulit mengendalikan keinginannya untuk berbelanja.

Menurut Kent Monroe, profesor pemasaran dan seorang peneliti dari University of Illinois mengatakan, kecanduan belanja bisa menyakiti dirinya sendiri. Bahkan bisa menghancurkan hubungannya dengan keluarga, pasangan, dan para sahabat.

Yang membuat kita jadi kecanduan belanja antara lain :

  • Ada rasa bahagia ketika mereka berbelanja.
    Ketika berbelanja, otak mereka memproduksi endorfin dan dopamin, yang membuat mereka merasa senang dan bahagia. Karena muncul perasaan baik itu, lama-lama mereka menjadi ‘ketagihan’ untuk berbelanja.

  • Tidak mampu mengatasi perasaan negatif.
    Perasaan negatif ini antara lain rasa kesepian, sedih, sakit hati, depresi, ketakutan, dan amarah. Karenanya berbelanja menjadi tempat pelarian. Ketika mereka merasa kacau, kemudian membeli barang yang mereka inginkan, muncul rasa bahagia yang bisa menyisihkan perasaan negatif tersebut.

  • Ada kekosongan dalam hati mereka.
    Menurut Monroe, orang-orag yang hatinya kosong cenderung mengisinya dengan hal-hal yang bisa membuat mereka bahagia dalam sekejap. Salah satunya dengan belanja. Ketika mendapatkan barang yang mereka inginkan, kekosongan ini seakan terganti untuk sementara. Dan ketika rasa itu timbul kembali, mereka akan kembali berbelanja. Hal ini akan terus terulang sebelum mereka sadar kalau kekosongan itu hanya terisi untuk sementara.

  • Sensasi unik muncul.
    Sebagian orang tidak merasa sangat bahagia setelah mendapatkan barang yang mereka beli, berapa pun harganya. Tapi mereka menikmati sensasi yang muncul saat mereka mencari barang yang pas untuk mereka beli. Untuk itu, sebagain besar kaum perempuan menghabiskan waktu berjam-jam untuk ‘cuci mata.’ Sering kali mereka menyesal karena telah membeli barang yang tidak berguna saat sampai di rumah.

  • Kurangnya keinginan yang terpenuhi saat masih kecil.
    Ingat, kan, ketika kita masih kecil, pasti ada keinginan untuk memiliki mainan yang kamu lihat di TV. Atau ingin punya barang yang sama dengan teman-temanmu. Nah, ada sebagain anak-anak yang rasa keinginannya itu tidak terpenuhi. Bisa karena orangtuanya tidak sanggup membelikan, atau mereka mencoba mendidik anak-anak mereka untuk tidak boros. Tapi, mereka lupa untuk memberikan pengertian kenapa tidak boleh membeli semua yang mereka inginkan. Akhirnya, saat si anak sudah beranjak dewasa dan memiliki penghasilan sendiri, mereka seperti ‘membalas dendam’ dengan membeli apa saja yang mereka inginkan.

  • Gaya hidup.
    Sadar atau tidak, kamu bergaul dengan orang-orang yang pikirannya sama. Termasuk gaya hidupnya. Artinya, ketika kamu ingin bergaul dengan orang-orang kaya, kamu tidak akan berhasil jika gaya hidupmu tidak sama dengan mereka. Sebagian perempuan ingin meningkatkan derajat atau posisi yang berkaitan dengan jabatan suaminya atau hanya sekedar status sosialnya. Untuk meningkatkan derajat dan status sosial, mereka juga harus menyamakan gaya hidup mereka dengan kalangan tersebut. Akhirnya muncul dorongan untuk membeli pakaian, mobil, makanan, hingga sepatu mewah.