Apa Saja Faktor-faktor Terjadinya Burnout pada Pegawai?

faktor burnout

Burnout merupakan sindrom kelelahan, baik secara fisik maupun mental yang termasuk di dalamnya berkembang konsep diri yang negatif, kurangnya konsentrasi serta perilaku kerja yang negatif (Pines & Maslach, 1993).

Apa yang membuat pegawai sebuah perusahaan mengalami burnout ?

1 Like

Menurut Leiter & Maslach (1997) burnout biasanya terjadi karena adanya ketidaksesuaian antara pekerjaan dengan pekerja. Ketika adanya perbedaan yang sangat besar antara individu yang bekerja dengan pekerjaannya akan mempengaruhi performasi kerja.

Leiter & Maslach (1997) membagi beberapa faktor yang mempengaruhi munculnya burnout, yaitu:

Work Overloaded

Work overload kemungkinan terjadi akibat ketidaksesuaian antara pekerja dengan pekerjaannya. Pekerja terlalu banyak melakukan pekerjaan dengan waktu yang sedikit. Overload terjadi karena pekerjaan yang dikerjaan melebihi kapasitas kemampuan manusia yang memiliki keterbatasan.

Hal ini dapat menyebabkan menurunnya kualitas pekerja, hubungan yang tidak sehat di lingkungan pekerjaan, menurunkan kreativitas pekerja, dan menyebabkan burnout.

Lack of Work Control

Semua orang memiliki keinginan untuk memiliki kesempatan dalam membuat pilihan, keputusan, menggunakan kemampuannya untuk berfikir dan menyelesaikan masalah, dan meraih prestasi. Adanya aturan terkadang membuat pekerja memiliki batasan dalam berinovasi, merasa kurang memiliki tanggung jawab dengan hasil yang mereka dapat karena adanya kontrol yang terlalu ketat dari atasan.

Rewarded for Work

Kurangnya apresiasi dari lingkungan kerja membuat pekerja merasa tidak bernilai. Apresiasi bukan hanya dilihat dari pemberian bonus (uang), tetapi hubungan yang terjalin baik antar pekerja, pekerja dengan atasan turut memberikan dampak pada pekerja. Adanya apresiasi yang diberikan akan meningkatkan afeksi positif dari pekerja yang juga merupakan nilai penting dalam menunjukkan bahwa seseorang sudah bekerja dengan baik.

Breakdown in Community

Pekerja yang kurang memiliki rasa belongingness terhadap lingkungan kerjanya (komunitas) akan menyebabkan kurangnya rasa keterikatan positif di tempat kerja. Seseorang akan bekerja dengan maksimal ketika memiliki kenyamanan, kebahagiaan yang terjalin dengan rasa saling menghargai, tetapi terkadang lingkungan kerja melakukan sebaliknya.

Ada kesenjangan baik antar pekerja maupun dengan atasan, sibuk dengan diri sendiri, tidak memiliki quality time dengan rekan kerja. Terkadang teknologi seperti handphone, computer membuat seseorang cenderung menghilangkan social contact dengan orang disekitar. Hubungan yang baik seperti sharing, bercanda bersama perlu untuk dilakukan dalam menjalin ikatan yang kuat dengan rekan kerja.

Hubungan yang tidak baik membuat suasana di lingkungan kerja tidak nyaman, full of anger, frustasi, cemas, merasa tidak dihargai. Hal ini membuat dukungan sosial menjadi tidak baik, kurang rasa saling membantu antar rekan kerja.

Treated Fairly

Perasaan tidak diperlakukan tidak adil juga merupakan faktor terjadinya burnout. Adil berarti saling menghargai dan menerima perbedaan. Adanya rasa saling menghargai akan menimbulkan rasa keterikatan dengan komunitas (lingkungan kerja). Pekerja merasa tidak percaya dengan lingkungan kerjanya ketika tidak ada keadilan. Rasa ketidakadilan biasa dirasakan pada saat masa promosi kerja, atau ketika pekerja disalahkan ketika mereka tidak melakukan kesalahan.

Dealing with Conflict Values

Pekerjaan dapat membuat pekerja melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan nilai mereka. Misalnya seorang sales terkadang harus berbohong agar produk yang ditawarkan bisa terjual. Namun hal ini dapat menyebabkan seseorang menurunkan performa, kualitas kerjanya karena tidak sesuai dengan nilai yang dimiliki.

Seseorang akan melakukan yang terbaik ketika melakukan apa yang sesuai dengan nilai, belief, menjaga integritas dan self respect.

Selanjutnya, Sullivan (1989) menjelaskan beberapa faktor yang dapat menyebabkan burnout sebagai berikut :

Environmental Factor

Faktor lingkungan merupakan faktor yang berkaitan dengan konflik peran, beban kerja yang berlebihan, kurangnya dukungan sosial, keterlibatan terhadap pekerjaan, tingkat fleksibilitas waktu kerja. Dalam keluarga, faktor lingkungan termasuk dalam jumlah anak, keterlibatan dalam keluarga serta, kualitas hubungan dengan anggota keluarga.

Individual Factor

Faktor individu meliputi faktor demografik seperti jenis kelamin, etnis, usia, status perkawinan, latar belakang pendidikan; faktor kepribadian seperti tipe keperibadian introvert atau extrovert, konsep diri, kebutuhan, motivasi, kemampuan dalam mengendalikan emosi, locus of control.

Social Cultural Factor

Faktor social cultural berkaitan dengan nilai, norma, kepercayaan yang dianut dalam masyarakat yang berkaitan dengan pelayanan sosial.

Work family conflict merupakan bagian dari environmental factor. Seperti yang dikemukakan Kinnunen, Vermulst, Gerris & Makikangas (2003) bahwa work family conflict terjadi akibat tekanan lingkungan kerja (tipe dari pekerjaan, keterlibatan kerja, fleksibilitas waktu kerja) dan lingkungan keluarga (jumlah anak, keterlibatan dalam keluarga, kualitas hubungan dengan anggota keluarga).

Terdapat beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya burnout dikalangan pegawai, diantaranya :

I. Faktor individu

Seorang manusia yang tidak hanya memiliki peranan khas di dalam lingkungan sosialnya, melainkan juga mempunyai kepribadian serta pola tingkah laku yang spesifik dari dirinya. Faktor individu berhubungan dengan beberapa komponen diantaranya :

  1. Jenis kelamin
    Maslach dan Jackson (Cherniss, 1987:137) menemukan bahwa pria yang burnout cenderung mengalami depersonalisasi sedangkan wanita yang burnout cenderung mengalami kelelahan emosional.

  2. Usia
    Maslach dan Jackson (Cherniss, 1987) maupun Schaufeli dan Buunk (Cooper, dkk, 2001) menemukan pekerja yang berusia muda lebih tinggi mengalami burnout daripada pekerja yang berusia tua. Namun tidak ada batasan umur dalam kriteria pekerja yang berusia muda maupun pekerja yang berusia tua.

  3. Tingkat Pendidikan
    Menurut Maslach dan Jackson (dalam Nurjayadi, 2004) menyebutkan bahwa tingkat pendidikan juga turut berperan dalam sindrom burnout. Hal ini didasari oleh kenyataan bahwa stres yang terkait dengan masalah pekerjaan seringkali dialami oleh pekerja dengan pendidikan yang rendah.

  4. Status Perkawinan.
    Annual Review of Psychology (dalam Nurjayadi, 2004) melaporkan bahwa individu yang belum menikah (khususnya laki-laki) dilaporkan lebih rentan terhadap sindrom burnout dibandingkan individu yang sudah menikah. Namun perlu penjelasan lebih lanjut untuk status perkawinan. Mereka yang sudah menikah bisa saja memiliki resiko untuk mengalami burnout jika perkawinannya kurang harmonis atau mempunyai pasangan yang tidak dapat memberikan dorongan sosial (Nurjayadi, 2004).

II. Faktor kepribadian

Kepribadian atau personality pada dasarnya merupakan sebuah karakteristik psikologi dan perilaku yang dimiliki individu yang bersifat permanent yang dapat membedakan antara individu yang satu dengan induvidu yang lainnya. Adapun faktor kepribadian di bagi menjadi beberapa bagian diantaranya :

  1. Konsep diri rendah
    Maslach (Sutjipto, 2001) menunjukkan bahwa individu yang memiliki konsep diri rendah rentan terhadap burnout. Individu dengan konsep diri rendah mempunyai karakteristik tidak percaya diri dan memiliki penghargaan diri yang rendah.

  2. Perilaku tipe A
    Friedman dan Rosenman (dalam Cherniss, 1987:129) menyebutkan bahwa individu yang memiliki perilaku tipe A cenderung menunjukkan kerja keras, kompetitif dan gaya hidup yang penuh dengan tekanan waktu. Individu dengan perilaku tipe A lebih memungkinkan untuk mengalami burnout daripada individu yang lainnya.

  3. Individu yang introvert
    Individu yang introvert akan mengalami ketegangan emosional yang lebih besar saat menghadapi konflik, mereka cenderung menarik diri dari kerja dan hal ini akan menghambat efektivitas penyelesaian konflik (Kahn dalam Cherniss, 1987).

  4. Locus of control eksternal
    Rotter (dalam Cherniss, 1987) menjelaskan bahwa individu dengan locus of control eksternal meyakini bahwa keberhasilan dan kegagalan yang dialami disebabkan oleh kekuatan dari luar diri. Mereka meyakini bahwa dirinya tidak berdaya terhadap situasi menekan sehingga mudah menyerah dan bila berlanjut mereka bersikap apatis terhadap pekerjaan.

  5. Individu yang fleksibel
    Kahn dalam Cherniss (1987:131) menemukan bahwa individu yang fleksibel rentan terhadap konflik peran karena mereka kesulitan untuk mengatakan tidak terhadap peran yang datang dengan tuntutan ekstra yang dapat mempengaruhi munculnya burnout.

III. Faktor pekerjaan

Kahn dan pekerjanya (dalam Cherniss, 1987) menemukan bahwa konflik peran dan ambiguitas peran merupakan dua faktor dalam lingkup pekerjaan yang memberi kontribusi terhadap stres, ketegangan dan sikap emosional yang dihubungkan dengan burnout.

Cherniss (1987) menjelaskan bahwa peran yang berlebihan ikut memberi kontribusi dengan bertambahnya stres dan burnout, karena itu akan berpengaruh kuat pada koping. Kahn (dalam Cherniss,1987) mengemukakan bahwa adanya konflik peran merupakan faktor yang potensial terhadap timbulnya burnout. Konflik peran ini muncul karena adanya tuntutan yang tidak sejalan atau bertentangan.

IV. Faktor organisasi

Faktor-faktor seperti gaya kepemimpinan, iklim organisasi, kekuatan struktur (Cherniss, 1987) dapat mempengaruhi tingkat burnout pada karyawan. . Eastburg, dkk (dalam Cooper, 2001) menjelaskan bahwa kedua dukungan dari supervisor dan teman sebaya memberi kontribusi bertambahnya kelelahan emosi.

Menurut Lee dan Ashforth (1996), ada beberapa faktor yang menyebabkan burnout, yaitu :

  1. Tekanan pekerjaan, seperti:

    • Ambiguitas, yaitu keadaan dimana karyawan tidak tahu apa yang harus dilakukan, menjadi bingung, dan menjadi tidak yakin karena kurangnya pemahaman atas hak-hak dan kewajiban yang dimiliki karyawan yang melakukan pekerjaan.

    • Konflik peran, yaitu suatu perangkat harapan atau lebih berlawanan dengan lainnya sehingga dapat menjadi penekanan yang penting bagi sebagian orang.

    • Stres kerja, apabila tekanan yang dialami karyawan bersifat menetap dalam jangka waktu yang lama, maka kan menyebabkan burnout karena kondisi tubuhnya tidak mampu membangun kembali kemampuannya untuk menghadapi pemicu stres.

    • Beban kerja, apabila seorang karyawan menanggung banyak pekerjaan dalam waktu relatif singkat, maka dapat membuat karyawan tertekan dan akan menyebabkan burnout.

  2. Dukungan, seperti:

    • Dukungan sosial, yaitu tersedianya sumber yang dapat dipanggil ketika dibutuhkan untuk memberi dukungan, sehingga orang tersebut cenderung lebih percaya diri dan sehat karena yakin ada orang lain yang membantunya saat kesulitan.

    • Dukungan keluarga, keluarga mempunyai andil besar untuk meringankan beban yang dialami meskipun hanya dalam bentuk dukungan emosional, yaitu perilaku memberi perhatian dan mendengarkan dengan simpatik.

    • Dukungan teman sekerja, teman sekerja yang suportif memungkinkan karyawan menanggulangi tekanan pekerjaan.

    • Kekompakan suatu kelompok, beberapa ahli mengatakan bahwa hubungan yang baik antara beberapa anggota kelompok kerja merupakan faktor penting dalam kesejahteraan dan kesehatan organisasi.

Faktor-Faktor yang memengaruhi Job Burnout


Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya burnout dapat dikategorikan menjadi dua kategori, yaitu:

1. Faktor Internal

Karakteristik demografis: Burnout berhubungan dengan jenis kelamin, usia, pendidikan, status perkawinan, dan lain sebagainya (Ahola, 2007)

  • Usia

Diantara karyawan yang lebih muda tingkat burnout dilaporkan lebih tinggi daripada di antara mereka yang berumur lebih dari 30 atau 40 tahun. Usia dengan pengalaman kerja yang masih sedikit, sehingga burnout tampaknya lebih berisiko sebelumnya dalam karir seseorang (Maslach, Schaufeli dan Leiter, 2001).

  • Jenis Kelamin

Variabel demografis seks belum menjadi prediktor kuat burnout (meskipun beberapa pendapat bahwa burnout lebih dari pengalaman perempuan). Beberapa studi menunjukkan burnout yang lebih tinggi bagi perempuan, beberapa menunjukkan skor yang lebih tinggi untuk laki-laki, dan yang lain tidak menemukan perbedaan keseluruhan. Perbedaan seks yang kecil tapi konsisten adalah bahwa laki-laki sering skor lebih tinggi pada cynicism. Ada juga kecenderungan dalam beberapa penelitian bagi perempuan untuk skor sedikit lebih tinggi pada exhaustion (Maslach, Schaufeli dan Leiter, 2001).

  • Tingkat Pendidikan

Pendidikan baik dasar dan kejuruan memiliki efek utama yang signifikan pada burnout. Tingkat burnout adalah sedikit lebih tinggi diantara perempuan yang tidak menyelesaikan sekolah komprehensif dari pada mereka yang menyelesaikannya.

Perempuan yang memiliki pendidikan kejuruan memiliki tingkatan sedikit agak lebih tinggi pada exhaustion dan berkurangnya profesionalitas daripada wanita dengan pendidikan tingkat lembaga (institute). Dan lebih tinggi pada cynicism daripada wanita dengan pendidikan tingkat sekolah (Ahola, 2007).

  • Status perkawinan

Berkaitan dengan status perkawinan, mereka yang belum menikah (terutama laki-laki) tampaknya lebih rentan terhadap burnout dibandingkan dengan mereka yang sudah menikah. Orang yang berstatus single tampaknya mengalami tingkat burnout lebih tinggi daripada mereka yang bercerai (Maslach, Schaufeli dan Leiter, 2001).
Efek dari status perkawinan diantara laki-laki adalah signifikan untuk setiap dimensi burnout. Tingkat burnout lebih tinggi diantara laki-laki yang belum menikah (Ahola, 2007)

  • Kepribadian

Individu yang mempunyai tipe kepribadian locus of control eksternal lebih rentan terhadap burnout daripada individu yang mempunyai tipe kepribadian locus of control internal (Jaya dan Rahmat, 2005).

  • Sikap Terhadap Pekerjaan

Orang-orang mempunyai harapan yang berbeda dalam bekerja. Dalam beberapa kasus ini harapan yang sangat tinggi, baik dari segi sifat pekerjaan (misalnya menarik, menantang, menyenangkan) dan kemungkinan mencapai keberhasilan (misalnya menyembuhkan pasien, mendapatkan promosi). Apakah seperti harapan yang tinggi dianggap idealis atau realistis.

Salah satu hipotesis adalah bahwa mereka merupakan faktor risiko untuk burnout. Harapan yang tinggi membuat orang bekerja terlalu keras dan melakukan terlalu banyak, sehingga mengarah ke exhaustion dan cynicism, akhirnya ketika upaya yang tinggi tidak menghasilkan apa yang mereka harapkan (Maslach, Schaufeli dan Leiter, 2001).

2. Faktor Eksternal

  • Kelebihan Beban Kerja

Umumnya, beban kerja adalah yang paling langsung berhubungan dengan aspek kelelahan dari burnout (Maslach, Schaufeli dan Leiter, 2001). Kelebihan beban kerja atau work overload merupakan salah satu prediktor yang paling penting dari burnout (Nirel, at., all, 2008).
Kelebihan beban kerja merupakan suatu tekanan pekerjaan yang dapat menimbulkan penurunan kondisi tubuh karyawan. Hal tersebut dikarenakan tuntutan kerja yang harus dikerjakan oleh karyawan dengan kurun waktu tertentu dan membutuhkan banyak kemampuan yang dimilik oleh karyawan tersebut.

  • Konflik Peran

Prediktor job burnout adalah linkungan dan individu itu sendiri. Prediktor dari lingkungan adalah sumber stres, seperti kelebihan beban kerja, konflik peran, ambiguitas peran (Knežević, 2011).

  • Dukungan Sosial

Menurut Rush dalam Sulistyantini (1997), burnout dapat hilang dengan menghilangkan terlebih dahulu stres yang dialami individu, yaitu salah satunya dengan mengaktifkan dukungan sosial (Lailani, 2001).

Parasuraman, dkk; menyatakan bahwa dukungan sosial berhubungan dengan burnout . Dukungan sosial yang diterima dari atasan, teman kerja, dan keluarga mempunyai andil yang besar untuk meringankan beban seseorang yang mengalami burnout (Andarika, 200)

  • Kondisi Fisik Tempat Kerja

Penelitian yang dilakukan oleh Khotimah (2010), tentang hubungan antara persepsi lingkungan kerja psikologis dengan burnout pada perawat RSU Budi Pekalongan, menunjukkan arah hubungan negatif yang signifikan antara persepsi terhadap lingkungan kerja psikologis dengan burnout . Semakin negatif persepsi terhadap lingkungan kerja psikologis maka semakin tinggi burnout , demikian pula sebaliknya semakin positif persepsi terhadap lingkungan kerja psikologis maka semakin rendah burnout .

  • Manajemen Perusahaan

Karyawan diharapkan untuk memberikan lebih dalam hal waktu, tenaga, keterampilan, dan fleksibilitas, sedangkan mereka menerima lebih sedikit dari segi peluang karir, pekerjaan yang lama, keamanan kerja, dan sebagainya. Pelanggaran kontrak psikologis cenderung untuk menimbulkan burnout (Maslach, Schaufeli dan Leiter, 2001).

  • Karakteristik Pekerjaan

Tuntutan pekerjaan kuantitatif (misalnya terlalu banyak bekerja untuk waktu yang tersedia) telah dipelajari oleh para peneliti burnout, dan temuan itu mendukung pendapat umum bahwa
burnout merupakan respon terhadap kelebihan beban kerja. Begitu pula dengan tuntutan pekerjaan yang bersifat kualitatif (Maslach, Schaufeli dan Leiter, 2001).

Menurut Simamora dalam Rahman (2007), faktor-faktor yang mempengaruhi burnout antara lain:

  • Kurangnya dukungan sosial dari atasan
  • Imbalan yang diberikan tidak mencukupi atau tidak tepat
  • Pekerjaan yang berulang-ulang atau sedikit memberikan ruang gerak bagi kreativitas
  • Kondisi kerja yang tidak menyenangkan atau menekan
  • Pekerjaan yang monoton atau tidak variatif.

Baron dan Greenberg dalam Andarika (2004), mengemukakan bahwa terdapat 2 faktor yang mempengaruhi munculnya burnout, yaitu:

  1. Faktor eksternal, yang meliputi kondisi kerja yang buruk, kurangnya kesempatan untuk promosi, adanya prosedur/aturan-aturan yang kaku, gaya kepemimpinan yang kurang konsiderasi dan tuntutan pekerjaan.

  2. Faktor internal, yang meliputi jenis kelamin, usia maupun harga diri.

Maslach dan Leiter (1997) dalam Gunarsa (2004) mengungkapkan bahwa sumber/penyebab terjadinya burnout dapat ditelusuri ke dalam 6 macam bentuk ketidaksesuaian antara orang dan pekerjaannya, yaitu:

  • Kelebihan beban kerja.
  • Kurangnya kontrol.
  • Sistem imbalan yang tidak memadai.
  • Terganggunya sistem komunitas dalam pekerjaan.
  • Hilangnya keadilan.
  • Konflik nilai.