Faktor-Faktor apa saja yang menyebabkan Cinderella complex?

Cinderella complex adalah kondisi dimana wanita masih mengharap orang lain atau sesuatu yang berasal dari luar diri mereka untuk mengubah kehidupan mereka. Dalam diri mereka tersembunyi suatu keinginan untuk diselamatkan dan suatu keinginan yang dalam akan ketergantungan.

Faktor-Faktor apa saja yang menyebabkan Cinderella complex ?

Berdasarkan beberapa penelitian yang terdahulu, faktor-faktor yang mempengaruhi kecenderungan Cinderella complex antara lain :

Konsep diri

Menurut penelitian yang Handayani & Novianto (2004), menunjukan bahwa keyakinan yang tumbuh dalam konsep diri perempuan mengenai ciri-ciri sifat yang distereotipkan untuk mengakibatkan perempuan tergantung dan tidak kompeten. Menurut hurlock (1997). keberhasilan seseorang untuk mandiri adalah remaja harus memiliki konsep diri yang stabil. Konsep diri akan membantu remaja dalam memandang dirinya dengan cara yang lebih konsisten sehingga akan meningkatkan harga diri dan memperkecil peresaan tidak mampu.

Pola asuh

Menurut Anggraini & Astuti (2003), pola asuh berpengaruh pada terjadinya kecenderungan Cinderella complex pada perempuan. Kareana Keluarga merupakan kelompok sosial yang pertama dimana anak dapat berinteraksi. Pengaruh keluarga dalam pembentukan dan perkembangan kepribadian sangatlah besar artinya. Banyak faktor dalam keluarga yang ikut berpengaruh dalam proses perkembangan anak.

Salah satu faktor dalam keluarga yang mempunyai peranan penting dalam pembentukan kepribadian adalah praktik pengasuhan anak. Hal tersebut dikuatkan oleh pendapat Brown (1961) yang mengatakan bahwa keluarga adalah lingkungan yang pertama kali menerima kehadiran anak. Orang tua mempunyai berbagai macam fungsi yang salah satu di antaranya ialah mengasuh putra-putrinya.

Dalam mengasuh anaknya orang tua dipengaruhi oleh budaya yang ada di lingkungannya. Di samping itu, orang tua juga diwarnai oleh sikap-sikap tertentu dalam memelihara, membimbing, dan mengarahkan putra-putrinya. Sikap tersebut tercermin dalam pola pengasuhan kepada anaknya yang berbeda-beda, karena orang tua mempunyai pola pengasuhan tertentu.

Sosial budaya

Menurut Anggraini & Astuti (2003) menyatakan banyak pengaruh budaya patriarkis tersebut menyebabkan munculnya Cinderella complex. Hasil data penelitian menunjukan bahwa tingkat kecenderungan Cinderella complex yang rendah walaupun sebagian besar subjek berasal dari suku jawa yang seringkali dianggap lekat dengan budaya patriarki.

Uyun (2002) menyatakan bahwa budaya jawa perempuan masih di anggap inferior, namun dalam perkembangannya perbedaan antara kedua jenis kelamin dianggap sebagai kekuatan yang saling melengkapi dan memungkinkan terbentuknya hubungan serasi dalam rangka membangun masyarakat yang sakiyeg sakeka kapti (manusia yang mempunyai kesamaan tanggung jawab).

Agama

Nashori (1999) menemukan bahwa remaja yang berhasil di sekolah atau dalam aktifitasnya diluar itu memiliki ciri-ciri cukup religius, banyak terlibat dalam kegitan agama, dan sebagainya. Salah satu hal yang harus digaris bawahi yaitu keberagamaan atau kemtangan beragama ikut serta mempengaruhi kemandirian seseorang.

Ahyadi (1991) menyatakan bahwa kematangan kepribadian yang dilandasi oleh kehidupan beragama akan menunjukan sikap dalam menghadapi masalah, norma, dan nilai-nilai yang ada di masyarakat, terbuka terhadap realitas, serta mempunyai arah tujuan yang jelas dalam kehidupannya. Jika hal itu ditidak terpenuhi bisa mengakibarkan kecenderungan Cinderella complex.

Menurut Dr. Dan Kiley (1983) mengembangkan diagnosis klinis dari yang menujukan gejala-gejala Cinderella complex yaitu:

  • Berfantasi bahwa mereka hidup teraniaya atau terlantar

  • Perempuanya yang selalu memiliki impian bahwa di luar sana, entah di mana, ada lawan jenis yang akan memberikan kebahagiaan kepada kita. Akibatnya mereka agak susah menjalin hubungan dengan lawan jenis karena kesulitan mendapatkan pria yang ideal alias ‘prince charming’

  • Lemah dalam menghadapi masalah atau cenderung melarikan diri dari masalah (tidak kuat mental)

  • Ingin selalu dilindungi.

Santoso, dkk. (2008) mengemukakan faktor-faktor yang mempengaruhi cinderella complex antara lain: pola asuh orang tua, media komunikasi massa, pekerjaan atau tugas yang menuntut pribadi, dan agama.

Berkaitan dengan faktor pola asuh orang tua, Dowling (1995) menjelaskan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi cinderella complex yaitu sikap overprotective orang tua, dapat dilihat dari penjelasan “kemampuan anak-anak perempuan ini untuk berkembang menjadi manusia yang mandiri dihambat oleh sikap protektif orang tua”.

Dowling juga menyebutkan bahwa seorang wanita yang mandiri tidak gentar menghadapi tugas-tugas yang mampu dan siap ia laksanakan (Dowling, 1995). Hal tersebut menunjukkan adanya faktor pekerjaan atau tugas yang menuntut pribadi yang mempengaruhi cinderella complex

Wulansari (2010) mengatakan bahwa cinderella complex dipengaruhi oleh faktor eksternal maupun faktor internal. Faktor eksternal meliputi peran penting lingkungan pada tumbuh kembangnya cinderella complex di dalam diri perempuan, seperti :

1. Budaya

Budaya patriarki yang masih lekat di dalam masyarakat Indonesia menyebabkan ketergantungan (Anggriany dan Astuti, 2003).

2. Pola asuh orang tua

Orang tua dalam mendidik anak memberi nilai bahwa ciri-ciri sifat yang secara stereotipe diasosiasikan dengan laki-laki lebih bernilai dibandingkan perempuan sehingga perempuan merasa inferior.

3. Media massa

Media menyajikan standar nilai kecantikan atau keindahan yang pada akhirnya akan mempengaruhi terjadinya kecenderungan cinderella complex pada diri perempuan.

Sedangkan faktor internal yang mempengaruhi cinderella complex ialah harga diri. Sesuai dengan penjelasan Dowling (1995) yaitu kepercayaan diri serta harga diri yang rendah menghalangi perempuan untuk mandiri karena perempuan merasa tidak kompeten dengan dirinya sendiri. Perempuan yang tergantung memiliki harga diri yang rendah sehingga seringkali menekan inisiatifnya dan membuang aspirasinya (Dowling, 1995).

Pengalaman juga merupakan faktor yang berpengaruh dalam cinderella complex, seperti yang dikatakan Dowling bahwa pengalaman juga memiliki andil di dalam cinderella complex yang menjadikan wanita demikian ketakutan (1995).

Faktor yang Mempengaruhi Cinderella

Complex Menurut Dowling (1994) terdapat lima faktor yang mempengaruhi Cinderella Complex pada seseorang, yaitu:

a. Kebutuhan untuk dicintai tidak terpenuhi selama masa kecil.

b. Adanya dominasi orang tua yang membatasi anak dalam menentukan segala aktifitas

c. Adanya pertolongan dan perlindungan yang berlebihan pada wanita

d. Budaya yang menganggap wanita adalah makhluk lemah.

e. Media massa yang menampilkan cerita dan standar kecantikan wanita Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa faktor Cinderella Complex adalah kebutuhan untuk dicintai tidak terpenuhi selama masa keci, dominasi orang tua, budaya yang menganggap wanita adalah makhluk lemah dan media massa.

Faktor yang berpengaruh terhadap kecenderungan Cinderella complex adalah konsep diri. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Maccoby dan Jacklin (1974, dikutip Handayani & Novianto, 2004, h.172-173), menunjukkan bahwa keyakinan yang tumbuh dalam konsep diri perempuan mengenai ciri-ciri sifat yang distereotipkan untuknya mengakibatkan perempuan tergantung dan tidak kompeten.

Brooks & Emmert (dikutip Rakhmat, 2007, h.105), keberhasilan seseorang melakukan sesuatu banyak tergantung pada kualitas konsep dirinya, baik positif maupun negatif. Keyakinan yang tumbuh di dalam konsep diri perempuan karena adanya stereotipe gender dari lingkungan maupun dari faktor internal dapat memunculkan kecenderungan Cinderella complex. Seseorang yang tergantung disebabkan karena memiliki harga diri yang rendah sehingga membutuhkan dukungan dan bimbingan orang lain (Livesly, Schroeder, & Jackson, 1990, dikutip Halgin & Whitbourne, 2000, h.158-159). Dowling (1992, h.103) menjelaskan perempuan yang tergantung memiliki harga diri yang rendah sehingga seringkali menekan inisiatif dan aspirasinya. (Dowling, 1992, h.25-29).

Menurut Calhoun & Acocella (1990, h.71-73), harga diri berhubungan dengan konsep diri. Individu yang memiliki konsep diri yang positif akan memiliki penilaian yang positif terhadap dirinya sehingga dapat menerima dirinya sendiri secara apa adanya. Individu yang memiliki konsep diri yang negatif akan memiliki penilaian negatif terhadap dirinya sehingga merasa bahwa dirinya tidak cukup berharga dibandingkan oranglain. Menurut Hurlock (1997, h.235), keberhasilan seorang untuk mandiri adalh remaja harus memiliki konsep diri yang stabil. Konsep diri yang stabil akan membantu remaja dalam memandang dirinya dengan cara yang lebih konsisten sehingga akan meningkatkan harga diri dan memperkecil perasaan tidak mampu.

Referensi

http://ejournal.psikologi.fisip-unmul.ac.id/site/wp-content/uploads/2019/05/JURNAL%20NADIA%20AULIA%20(05-20-19-11-06-44).pdf
http://eprints.undip.ac.id/11136/1/RINGKASAN_SKRIPSI.pdf