Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi regulasi diri dalam belajar ?

Regulasi diri  dalam belajar

Regulasi diri dalam belajar merupakan keterampilan belajar ( learning skill ) yang perlu dimiliki oleh setiap pemelajar yang ingin berhasil dalam proses pendidikannya. Terbentuknya penerapan regulasi diri dalam belajar secara menetap akan membentuk sikap kerja yang tidak saja bermanfaat ketika masih duduk dibangku pendidikan tetapi merupakan sikap kerja yang menjadi modal bagi individu ketika kelak menjadi pekerja yang efektif.*

Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi regulasi diri dalam belajar ?

Keterampilan regulasi diri dalam belajar, pembentukannya dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti faktor internal maupun eksternal. Berikut faktor-faktor yang berpengaruh terhadap regulasi diri dalam belajar.

Faktor internal


Menurut Woolfolk (2010) regulasi diri dalam belajar secara internal dipengaruhi oleh pengetahuan, volition dan motivasi . Individu yang melakukan strategi regulasi diri harus memiliki pengetahuan tentang proses berpikirnya. Melalui proses strategi regulasi diri pengetahuan-pengetahuan yang tersimpan secara deklaratif maupun prosedural dapat diingat dan diaplikasikan pada situasi yang berbeda. Pengetahuan tentang proses berpikir ini memungkinkan individu melakukan evaluasi tentang perencanaan, regulasi dan belajar. Proses ini disebut sebagai proses metakognitif, yaitu kemampuan untuk berpikir tentang proses berpikirnya sendiri (McKeache).

Pada aspek tindakan (voliton) maka individu yang sudah menerapkan regulasi diri belajar ini akan mengalami perasaan terlibat, melakukan sepenuh hati dan tanpa konflik (a sense of volitional) dalam proses belajarnya (Deci, Ryan & William,1996). Kondisi tersebut akan menimbulkan dorongan motivasional sebagai aspek ketiga untuk membuat keputusan dalam meregulasi proses belajarnya (Schutz,1994).

Kerangka teoritik komponen motivasional berasal dari model Expectancy-Value of motivation theory (Eccles, 1983;Pintrich, 1988, 1989). Teori ini mengajukan ada tiga sub-komponen berbeda dalam motivasi yaitu sub-komponen harapan, sub-komponen nilai dan sub-komponen reaksi emosi.

  • Sub-komponen harapan menunjukkan seberapa besar keyakinan individu akan kemampuannya menyelesaikan tugas atau tujuan. Semakin individu yakin akan kemampuannya menyelesaikan tugas, semakin pula individu menggunakan strategi metakognitif untuk menyelesaikan tugasnya, bertahan untuk menggunakan strategi kognitif, dibandingkan dengan mahasiswa yang kurang yakin akan kemampuannya (Fincham & Cain,1986; Paris & Oka, 1986; Schunk, 1985). Sub-komponen ini menjawab pertanyaan, “Apakah saya mampu menyelesaikan tugas ini?”

  • Sub-komponen nilai menunjukkan seberapa penting sebuah tugas bagi dirinya dengan membuat tujuan tugas dan menunjukkan ketertarikan terhadap tugas dengan memberikan bobot kepentingan tugas tersebut bagi dirinya (Pintrich & Groot, 1990). Sub-komponen ini merupakan jawaban dari pertanyaan, “mengapa saya mengerjakan tugas ini?” Penelitian menunjukkan bahwa individu dengan motivasi seperti ini memiliki orientasi tujuan menguasai tugas. Biasanya semakin menguasai tugas semakin mereka menggunakan kemampuan metakognitif maupun strategi kognitifnya untuk melaksanakan tugasnya dengan tuntas (Ames & Archer, 1988; Dweck & Elliott, 1983; Eccles, 1983; Meece, Blumenfeld, & Hoyle, 1988; Nolen,1988; Paris & Oka, 1986, dalam Pintrich & Groot, 1990).

  • Sub-komponen reaksi emosi menjawab pertanyaan, “bagaimanakah perasaan saya terhadap tugas ini?” Dalam konteks perkuliahan reaksi emosi yang paling sering muncul adalah kecemasan, terutama ketika menghadapi tes atau ujian (Wiegfield & Eccles, 1989, dalam Pintrich & Groot, 1990). Sub-kmponen kecemasan ini berhubungan dengan persepsi individu akan kompetensinya dimana kecemasan berhubungan dengan strategi kognitif, metakognitif dan pengelolaan diri (Benjamin, McKeachie, Lin, & Holinger, 1981; Culler & Holahan, 1980; Tobias, 1985, dalam Pintrich & Groot, 1990).

    Menurut Pintrich dan Groot (1990), tidak terlalu mudah membedakan antara individu yang pencemas dan tidak dalam hal prestasi belajar karena sering terjadi hasil prestasi mereka sama. Meskipun demikian penelitian Benyamin dan kawan-kawan (1981), menunjukkan bahwa individu dengan kecemasan tinggi dan individu dengan kecemasan rendah dapat dibedakan pada efektivitas proses meta kognitif yang digunakan. Individu dengan kecemasan tinggi sering menggunakan metakognitif yang tidak efektif seperti misalnya menunda tugas. Penelitian lain menunjukkan individu dengan kecemasan tinggi menunjukkan hasil prestasi yang kurang konsisten dan cenderung menghindari tugas yang sulit (Hill & Wigfield, 1984, dalam Pintrich & Groot, 1990).

Dengan proses timbal balik dari penggunaan strategi kognitif, motivasi, dan strategi tingkah laku, dapat dikatakan bahwa untuk melihat internalisasi dari regulasi diri dalam belajar maka komponen motivasional ini harus dikaitkan dengan keinginan dan kesediaan individu untuk menerima tantangan tugas yang lebih sulit serta mau menghadapi tugas yang tidak disukai. Penjelasan ini menunjukkan bagaimana komponen motivasional berperan penting dalam pembentukan keterampilan regulasi diri dalam belajar.

Faktor eksternal


Faktor eksternal terdiri dari faktor kesempatan untuk melakukan regulasi diri seperti terlihat pada jenis rumpun ilmu dimana mahasiswa berada, dan dukungan sosial.

Faktor kesempatan untuk meregulasi diri

Regulasi diri dipengaruhi oleh kondisi lingkungan yang berupa kesempatan untuk meregulasi diri dan ketersediaan sumber belajar (Boekaerts & Niemivierta, 2000; Pintrich, 2000). Bentuk ketersediaan sumber belajar terlihat dari mudah tidaknya siswa/mahasiswa mengakses informasi seperti fasilitas perpustakaan baik yang biasa maupun online . Selain itu sumber-sumber bacaan dan bahan materi ajar yang memudahkan mahasiswa untuk mempelajari materi juga akan memengaruhi pula tingkah laku siswa/mahasiswa dalam menerapkan regulasi diri dalam belajar seperti dalam mengerjakan tugas, pekerjaan rumah atau ujian.

Bentuk pemberian kesempatan menerapkan regulasi diri dalam belajar dapat terlihat dari pendekatan institusi terhadap jalannya proses belajar mengajar. Di lingkungan kampus yang menerapkan prinsip student centered learning maka proses belajar difokuskan pada keaktifan mahasiswa dalam mengakses ilmu pengetahuan. Dalam student centered learning mahasiswa harus aktif melibatkan diri dalam proses belajar, seperti mencari informasi, membaca literatur, bersikap kritis tidak menerima begitu saja ajaran yang diterima dari dosen. Proses pendekatan ini akan memengaruhi tingkah laku belajar mahasiswa yang berbeda dari pendekatan yang sifatnya teacher cendered learning , yaitu proses belajar yang berpusat pada guru atau dosen.

Faktor Rumpun ilmu

Rumpun ilmu adalah kategorisasi keilmuan berdasarkan aktivitas akdemik di program studi pada fakultas-fakultas di lingkungan universitas. Di Universitas Indonesia kategorisasi ini muncul karena adanya anggapan di lingkungan pengelola akademik bahwa dalam setiap disiplin ilmu atau program studi terdapat keunikan tersendiri yang membedakan disiplin ilmu satu dengan lainnya.

Faktor dukungan sosial

Pada dasarnya regulasi diri dalam belajar bisa dikembangkan dan ditingkatkan agar terjadi internalisasi dalam penerapannya dengan bantuan dan bimbingan
orang disekitar individu seperti orang tua (keluarga), dosen, teman sebaya, sekolah, profesional dan masyarakat. Profesional di bidang perkembangan karir pun dapat menjadi pengaruh yang signifikan untuk mempromosikan prestasi akademik. Faktor sosial turut memengaruhi dalam hal tujuan, usaha dan pengawasan (Finkel & Fitzsimons, 2011). Menurut Wentzel (1997, 1998, 2002); Zimmerman & Martinez-Ponz (1990), dukungan sosial yang diterima siswa dari orang tua, guru dan teman sekelas berdampak pada penerapan keterampilan regulasi diri dalam belajar dan dengan sendirinya juga memengaruhi keberhasilan akademik mereka (dalam Rubel, D.P., 2008).

Dukungan Sosial


Dukungan sosial adalah seperangkat persepsi umum dan spesifik tentang dukungan tingkahlaku yang dapat memengaruhi kesejahteraan mental dan fisik seseorang dan dapat menolongnya pada situasi yang menekan (Demaray & Malecki, 2003). Diakui bahwa penelitian-penelitian yang dilakukan selama 20 tahun terakhir menunjukkan, dukungan sosial memegang peranan penting dalam pembentukan keterampilan regulasi diri belajar, namun bagaimana bentuk hubungan dari sumber-sumber dukungan dan penggunaan dari strategi regulasi diri belajar tetap belum jelas (Demaray & Malecki, 2002; Wenz-Gross & Siperstein, 1998).

Winemiller, Mitchell, Sutcliff, dan Cline (1993) menemukan bahwa dari berbagai literatur tentang dukungan sosial sejak tahun 1980an tidak ditemukan definisi operasional yang cukup jelas bagi bentuk dukungan sosial tersebut, serta penggunaannya dalam pengukuran yang terstandar bagi konstruk tersebut. Dapat dikatakan terdapat banyak sumber-sumber dukungan sosial yang perlu digali lebih lanjut bentuk kongkretnya, baik dukungan dari orang tua, guru maupun teman sekelas atau sebaya.

Berdasarkan pada deskripsi dukungan sosial di atas, Demaray dan Malecki (2002) menyusun konstruk dukungan sosial berdasarkan pada persepsi individu dari berbagai sumber yang disebut The Child and Adolescent Social Support Scale (CASSS). Skala ini bertujuan mengukur persepsi individu akan dukungan sosial yang diterima dengan melihat luas jaringan dukungan yang diperoleh individu, dalam arti agen-agen mana saja yang memberikan dukungan sosial. Kemudian frekuensi dari dukungan yang diterima seperti sesering apa dukungan itu dirasakan oleh individu dan seberapa penting dukungan tersebut bagi individu.

Pada dasarnya skala CASSS disusun Malecki dan kawan-kawan (2002) dengan menggunakan model penelitian Tardy (1985) yang mengkonseptualisasikan dukungan sosial berdasarkan lima hal yaitu : arah (direction), kedudukan (disposition), gambaran/evaluasi (description/evaluation), isi (content), dan jejaring kerja (networking).

  • Arah menunjukkan ide tentang dukungan sosial yang diterima dan diberikan.

  • Disposisi mengacu pada apakah dukungan sosial bermanfaat dan digunakan.

  • Deskripsi menunjukkan tipe dukungan sosial yang diterima dan dari siapa dukungan itu;

  • Evaluasi menggambarkan kepuasan individu akan dukungan yang diterimanya;

  • Isi menunjukkan empat komponen isu tergantung pada situasi dimana dukungan sosial tersebut diberikan, yaitu komponen emosi, intrumental, informasional dan dukungan penilaian seperti pemberian umpan balik.

  • Jejaring kerja menunjukkan pihak-pihak yang dapat memberikan dukungan sosial tersebut pada individu.

Malecki dan kawan-kawan (2002), meneliti dukungan sosial yang dialami oleh siswa dari kelas 3 sampai kelas 12. Mereka menemukan hubungan yang positif antara dukungan sosial yang diterima dengan variabel-variabel lain seperti keterampilan sosial, konsep diri, dan keterampilan beradaptasi. Siswa yang menerima dukungan sosial yang tinggi menunjukkan kemungkinan yang lebih kecil untuk gagal dalam prestasi akademiknya dibandingkan dengan siswa yang tingkat dukungan sosialnya lebih rendah (Demaray & Malecki, 2006).

Pada intinya secara umum siswa yang lebih muda dilaporkan menerima dukungan sosial lebih besar, terutama dari orang tua dan gurunya dibandingkan dengan siswa yang lebih tua usianya. Penelitian lain yang dilakukan oleh Demaray dan Malecki (2002) menunjukkan adanya hubungan yang signifikan negatif antara dukungan sosial dengan kenakalan dan kecemasan. Artinya semakin kecil dukungan sosial semakin tinggi angka kenakalan dan tingkat kecemasannya.

Hal ini menunjukkan bahwa semakin positif dukungan sosial yang dipersepsi mahasiswa semakin kecil kemungkinannya mahasiswa mengalami kecemasan dan menampilkan tingkah laku menyimpang.

Menurut Rubel (2008) dukungan sosial yang diterima siswa pada waktu sekolah dasar dengan ketika sekolah menengah maupun di perguruan tinggi tentu berbeda bentuk dan intensitasnya. Selain itu bagaimana persepsi dan keterkaitan dukungan sosial secara spesifik selama individu belajar dari sejak kanak-kanak hingga remaja tidak terdokumentasi secara baik. Oleh karena itu Rubel (2008) mengembangkan skala dukungan sosial yang telah dikonstruk oleh Malecki dkk.(2003a), dengan mengemukakan komponen isi (content) yaitu mengacu pada sumber-sumber dukungan seperti orang tua, guru dan teman, serta frekuensi (frequency) untuk menentukan dukungan tingkah laku spesifik mana yang paling penting bagi individu.

Penelitian Demaray dan Malecki (2003a) dilakukan untuk menguji perbedaan perkembangan dalam menilai derajat kepentingan dukungan sosial. Hasilnya menunjukkan bahwa siswa yang lebih muda cenderung menilai dukungan sosial dari berbagai sumber seperti orang tua, guru dan teman sebaya sebagai sesuatu yang penting dibandingkan dengan siswa yang lebih besar atau lebih dewasa. Namun walaupun siswa yang lebih dewasa menganggap dukungan sosial tidak terlalu penting dan munculnya pun lebih kecil frekuensinya, tetapi siswa yang tidak memiliki cukup dukungan sosial dan interaksi sosial yang positif dengan teman sebaya dan orang dewasa lainnya akan mengalami resiko masalah akademik yang lebih besar dibandingkan mereka yang mempunyai pengalaman dukungan sosial yang cukup besar (Midgley, Feldlaufer, & Eccles, 1989; Wentzel, 1998). Jadi sebenarnya dukungan yang diterima oleh siswa/mahasiswa dari orang tua, guru dan teman sebayanya akan terintegrasi ke dalam kesuksesan akademiknya sepanjang proses belajarnya (Wentzel, 1998).

Berdasarkan meta analisis yang dilakukan oleh Ryan dan Deci (2000) disimpulkan bahwa individu yang memiliki determinasi diri dan regulasi diri biasanya berada di lingkungan dimana mereka mempunyai:

  • model yang memiliki perilaku tersebut
  • kesempatan untuk mengalami keberhasilan dalam melakukan tingkah laku regulasi diri tersebut, dan
  • didukung oleh lingkungan untuk mampu melakukan tingkah laku regulasi diri secara bebas dan membuat pilihan-pilihan sendiri.

Situasi tersebut akan efektif ketika terdapat aspek-aspek seperti perhatian dan dukungan, harapan yang tinggi dan pemberian kesempatan untuk berpartisipasi aktif serta meminimalisasi faktor yang dapat menimbulkan kerentanan dan resiko negatif (Henderson & Milstein, 1996). Idealnya individu perlu hidup dalam lingkungan yang aman, teratur, bebas alkohol dan narkotika, baik di lingkungan sekolah, keluarga dan masyarakat sekitar (Lapan, 2004).

Universitas Indonesia

Berdasarkan penjelasan di atas dapat dikatakan bahwa dukungan sosial membawa dampak yang bermaka terhadap perkembangan kualitas keterampilan belajar seperti halnya regulasi diri dalam belajar. Keterampilan belajar akan membuat individu pun terampil pula dalam hal membuat keputusan, mempunyai inisiatif untuk berkembang, melakukan apa yang terbaik yang dimiliki serta ketangguhan dalam menyesuaikan diri terhadap tuntutan perkembangan maupun perubahan yang terjadi di lingkungannya dalam hal pendidikan maupun karirnya kelak.

Sumber : Wahyu Indianti, Dukungan sosial dan regulasi diri dalam belajar untuk membangun adaptabilitas karir Pada mahasiswa baru Universitas Indonesia, Universitas Indonesia.