Faktor Apa Saja yang Memengaruhi Seseorang Melakukan Bunuh Diri?

Bunuh diri adalah usaha seseorang untuk mengakhiri hidupnya dengan cara suka rela atau sengaja.

Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi orang untuk melakukan bunuh diri ?

Menurut Emile Durkheim dalam bukunya yang berjudul Suicide, bunuh diri adalah suatu tindakan manusia yang lebih memilih kematian daripada kehidupan di dunia.

Durkheim tertarik untuk menjelaskan perbedaan angka bunuh diri antar kelompok, yaitu kenapa suatu kelompok memiliki angka bunuh diri lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok lain.

Durkheim mengasumsikan bahwa hanya fakta sosial yang bisa menjelaskan kenapa suatu kelompok memiliki angka bunuh diri lebih tinggi daripada kelompok lain.

Durkheim mengakui bahwa setiap individu memiliki alasan sendiri kenapa dia bunuh diri, tapi alasan tersebut bukanlah yang sebenarnya. Alasan- alasan itu mungkin bisa dikatakan menunjukkan titik-titik kelemahan individu yang bersangkutan, yang menjadi tempat masuk termudah bagi arus yang ada di luar dirinya yang mengandung dorongan dorongan untuk menghancurkan diri sendiri. Pada intinya, ia ingin menyatakan bahwa bunuh diri adalah karena faktor diluar dirinya atau karena pengaruh lingkungan masyarakat, dan bukan karena dirinya sendiri.

Berikut faktor-faktor yang mempengaruhi seseorang untuk melakukan bunuh diri, menurut Durkheim.

Bunuh Diri dan faktor diluar sosial


Durkheim menawarkan dua cara untuk mengevaluasi angka bunuh diri. Cara yang pertama adalah dengan membandingkan satu tipe masyarakat atau kelompok dengan tipe yang lain. Cara kedua yaitu melihat perubahan angka bunuh diri sebuah kelompok dalam suatu rentang waktu.

Perbedaan angka bunuh diri antara satu kelompok dengan kelompok lain atau dari satu periode dengan periode lain menurut Durkheim adalah akibat dari perbedaan faktor-faktor sosial atau arus sosial.

Di dalam bukunya Durkheim memulai dengan menguji dan menolak serangkaian pendapat alternatif tentang penyebab bunuh diri seperti psikopatologi individu, alkoholisme, ras, keturunan, iklim, temperatur dan imitasi. Durkheim sebagai seorang yang menganut paham positivis ini menggunakan metode yang sangat empiris dalam melihat penyebab dari kasus bunuh diri.

1. Bunuh Diri dan yang berkaitan dengan kejiwaan

Di dalam buku Suicide ini, pertama-tama Durkheim menerangkan bahwa bunuh diri menunjukkan bahwa mereka mempunyai mental yang teralienasi. Hal ini dituliskan di dalam buku Emile Durkheim yang berjudul suicide.

“Suicide shows all the characteristics of mental alienation. From this principle he concluded that suicide, being involuntary, should not be punished by law” (Durkheim, 1952)

Orang yang melakukan tindakan bunuh diri dianggap memiliki mental yang terganggu atau jiwa yang terganggu. Dan oleh karena itu maka suatu tindakan bunuh diri ini tidak ada hukum yang mengaturnya. Seseorang yang melakukan tindakan bunuh diri tidak dapat dikenakan sangsi hukum.

“Suicide may be seen to be for us only a phenomenon resulting from many different causes and appearing under many different forms.” “…proving suicide to be a manifestation of insanity is the less rigorous and conclusive, since because of it negative experience are impossible.” (Durkheim, 1952).

Kita dapat melihat suatu tindakan bunuh diri dari fenomena yang terjadi di masyarakat yang memiliki penyebab dan bentuk yang berbeda-beda. Namun ternyata fenomena bunuh diri yang terjadi ini bukan merupakan karakteristik penyakit jiwa pada diri manusia. Pembuktian bunuh diri dari faktor internal manusia adalah sesuatu yang kurang empiris dan tidak dapat menyimpulkan apapun karena tidak ada satupun manusia yang ingin melukai ataupun menghancurkan dirinya sendiri.

“If suicide can be shown to be a mental disease with its own characteristics and distinc evolution, the question is settled; every suicide is a madman.” (Durkheim, 1952).

Disini kemudian Emile Durkheim menyimpulkan bahwa jika bunuh diri ditunjukkan sebagai suatu penyakit jiwa, dengan karakteristik dan perbedaan yang ditunjukkan di dalamnya, maka kesimpulannya sudah jelas bahwa orang yang melakukan bunuh diri adalah orang gila. Namun kenyataannya tidak semua orang gila mau membunuh dirinya sendiri, dan orang yang memiliki kesadaran penuh atau waras pun juga ada yang melakukan tindakan bunuh diri secara sadar. Maka hubungan korelasi orang yang melakukan bunuh diri adalah orang gila kurang tepat.

Faktor internal yang dapat mempengaruhi seseorang untuk bunuh diri adalah halusinasi dan ilusi.

Terkadang seseorang mau melakukan tindakan bunuh diri karena mereka memiliki tingkat halusinasi yang sangat tinggi yang dapat mengganggu seluruh pikiran dan bahkan mengganggu kehidupannya. Hal ini juga tertulis di dalam buku Emile Durkheim yang berjudul Suicide.

“The patient kills himself to escape from an imaginary danger or disgrace, or to obey an mysterious order from on high” (Durkheim, 1952).

Mereka membunuh diri mereka sendiri untuk menghilang dari bayangan yang membahayakannya atau menuruti panggilan misterius dari sesuatu yang abstrak. Halusinasi ini hanya dialami oleh orang yang ingin melakukan tindakan bunuh diri. Mereka menganggap bahwa dengan bunuh diri maka mereka terlepas dari segala halusinasi dan juga ilusi yang selalu menghantuinya. Selain halusinasi, orang yang mau melakukan tindakan bunuh diri adalah karena dirinya mengalami kesedihan.

“Melancholy suicide is connected with a general state of extreme depression and exaggerated sadness…” (Durkheim, 1952).

Faktor internal ini juga bisa saja merupakan depresi yang sangat berat atau kesedihan mendalam, hal ini disebut dengan bunuh diri melankolis yang menganggap dirinya memiliki kehidupan yang sangat gelap, membosankan dan hanya terdiri atas penderitaan. Penderitaan di dalam kehidupannya ini dijadikan suatu beban besar sehingga ia akan selalu mengalami kesedihan terus menerus. Maka mereka memutuskan untuk mengakhiri kehidupan daripada menjalani kehidupan yang membuatnya selalu tersiksa. Selain bunuh diri yang terjadi karena mengalami kesedihan atau perasaan melankolis ini, ternyata ada juga orang yang melakukan tindakan bunuh diri tanpa memiliki motif apapun.

“Obsessive suicide is caused by no motive, real, or imaginary… He is obsessed by the desire to kill himself, though he perfectly knows he has no reasonable motive for doing so.” (Durkheim, 1952)
“Bunuh diri obsesif adalah bunuh diri yang tidak disebabkan oleh adanya motif tertentu, tidak ada tujuan tertentu dan tidak ada halusinasi atau bayangan tertentu. Dia merasa terobsesi dan memiliki perasaan yang menghendaki untuk membunuh dirinya sendiri. padahal ia mengetahui tidak ada motif ataupun alasan yang mendasarinya untuk melakukan tindakan bunuh diri itu.”

Seseorang yang melakukan tindakan bunuh diri tanpa adanya alasan tertentu disebut dengan bunuh diri obsesif. Banyak sekali motif bunuh diri yang terdapat pada diri internal manusia. Bunuh diri yang disebabkan oleh diri individu ini memiliki motif yang tidak dapat dibuktikan secara empiris, karena hal tersebut menempel pada pikiran subjektif diri individu seperti ilusi, halusinasi, pandangan diri sendiri terhadap sesuatu dan lainnya.

Tidak semua orang memiliki pemikiran yang sama atau pandangan yang sama akan suatu hal, maka bunuh diri yang dilihat dari faktor manusia yang bersifat personal ini tidak bersifat umum dan tidak dapat dibuktikan atau diverifikasi. Maka Emile Durkheim disini kurang mempercayai tindakan bunuh diri yang bersifat internal dari dalam diri individu manusia. Hal ini dituliskan di dalam buku Durkheim.

“There are therefore suicides, and numerous ones at that, not connected with insanity.” (Durkheim, 1952)

Maka suatu tindakan bunuh diri bagi Emile Durkheim disini tidak dapat berhubungan dengan diri manusia secara personal. Suatu tindakan bunuh diri bagi Durkheim disini harus dapat dibuktikan secara empiris dan memiliki karakteristik yang dapat diteliti menurut fakta yang ada. Maka suatu tindakan bunuh diri yang diteliti oleh Durkheim nanti pada akhirnya adalah dengan cara melihat fenomena yang terjadi di sosial atau di masyarakat.

2. Bunuh Diri yang dipengaruhi alkohol

Disini Emile Durkheim kembali menguji dan menolak faktor lain diluar diri manusia yang dapat mempengaruhi seseorang dalam melakukan tindakan bunuh diri, yaitu alkoholisme. Di dalam buku nya yang berjudul Suicide, ia menuliskan tentang alkohol dan pengaruh terhadap tindakan bunuh diri.

“There is a special psychopathic state to which for some time it has been the custom to attribute almost all the ills of our civilization. This is alchoholism.” (Durkheim, 1952).
“at first sight there seems to be a closer relation between the quantity of alcohol consumed and the tendency to suicide, at least for our country.” (Durkheim, 1952)

Pengkonsumsian alkohol di berbagai daerah menjadi penyumbang terbesar bagi terjadinya suatu kesakitan yang menuju pada kematian manusia. Alkohol dianggap sebagai penyebab orang melakukan berbagai tindakan yang tidak stabil. Seseorang yang mengkonsumsi alkohol dapat berbuat sesuatu karena tidak sadar sepenuhnya. Bahkan alkohol disini dikaitkan dengan terjadinya suatu tindakan bunuh diri pada masyarakat.

Pada awalnya Durkheim mengira bahwa ada hubungan keterkaitan antara pengkonsumsian alkohol dengan tingkat bunuh diri yang terjadi di berbagai negara. Pada awalnya asumsi ini karena semakin banyak alkohol yang diminum akan semakin membuat seseorang tidak memiliki kesadaran dan memiliki emosi yang tidak stabil sehingga dapat melakukan tindakan diluar batas seperti melakukan tindakan bunuh diri. Namun ternyata setelah diteliti lagi lebih lanjut menggunakan data data yang empiris, tidak ada hubungan yang seimbang antara bunuh diri dengan alkohol.

Hal ini ditulis oleh Emile Durkheim di dalam buku yang berjudul Suicide.

“…the consumption of alcohol increases almost regularly without the apperance of suicide.” (Durkheim, 1952).

Durkheim sebagai seorang yang sangat empiris ini melakukan penelitian dan menemukan beberapa bukti. Setelah dibuktikan melalui rata-rata dan juga data empiris, orang yang melakukan tindakan bunuh diri meningkat sedangkan tingkat pengkonsumsian alkohol tidak terlalu meningkat secara sigifikan. Atau juga terjadi peningkatan pengkonsumsian alkohol tanpa terjadinya tindakan bunuh diri. Maka suatu tindakan bunuh diri tidak dapat dihubungkan dengan tingkat pengkonsumsian alkohol.

“If they are classified both in regard to suicide and to alcoholic consumption, it appears that the group showing most suicidal tendency is one of those where least alcohol is consumed.” (Durkheim, 1952).

Banyak orang yang mengira bahwa bunuh diri disebabkan oleh alkohol. hal ini karena mereka melihat orang yang meninggal karena bunuh diri ini terakhir kalinya mengkonsumsi alkohol. Tapi pada kenyatannya banyak orang yang mengkonsumsi alkohol namun tidak melakukan tindakan bunuh diri. Jadi pada kesimpulannya mengkonsumsi alkohol tidak berpengaruh terhadap tindakan bunuh diri yang dilakukan oleh seseorang.

3. Bunuh Diri yang dipengaruhi ras dan keturunan

Emile Durkheim menguji faktor keturunan dan juga ras yang berpengaruh pada tindakan bunuh diri. Ia ingin mengetahui apakah suatu tindakan bunuh diri ini terjadi karena faktor keturunan dan juga ras. Hal ini ditulis dalam buku Emile Durkheim.

”each race had a characteristic suicide-rate of its own” (Durkheim, 1952)

Setiap ras atau bangsa mempunyai sifat khas atau ciri ciri tersendiri yang berbeda dengan ras atau bangsa lain dalam melakukan tindakan bunuh diri. Namun pertama-tama sebelum membahas tentang ras dan bangsa disini, Emile Durkheim ingin menjelaskan apa yang dimaksud dengan ras.

“recently race has been understood to mean an aggregate of individuals with clearly common traits, but traits furthermore due to derivation from a common stock” (Durkheim, 1952).

Disini Durkheim menjelaskan bahwa ras adalah sekumpulan individu manusia yang menetap pada suatu tempat tertentu bersama-sama dengan kebiasaan yang sama dan segala sifat dan tindakan yang mereka lakukan berasal dari kebiasaan yang dilakukannya bersama. Pada ras disini berlaku sistem kebiasaan yang turun-menurun dari orang terdahulu kepada keturunan mereka melalui kebiasaan yang mereka lakukan setiap hari.

“without any other criterion being given, it would therefore be very hard to discover the relations of the various races to suicide, for no one could say with accuracy where they begin and ends” (Durkheim, 1952).

Kemudian dalam menjelaskan suatu tindakan bunuh diri yang diasumsikan berasal dari faktor ras dan keturunan, Durkheim menjelaskan bahwa tanpa adanya kriteria yang jelas, sulit untuk menemukan hubungan antara ras dan bunuh diri, karena tidak ada yang dapat menentukan kapan ras ini dimulai dan berakhir, ras ini akan selalu ada sepanjang manusia hidup. Karakteristik ras ini pada kenyataannya dibentuk melalui evolusi melalui keturunan.

“…races still be regarded as concrete, living factors of historical development. In the mingling of peoples, in the melting-pot of history, the great primitive and fundamental races have finally become so blended with each other that they have lost almost all individuality.” (Durkheim, 1952).

Ras adalah sesuatu yang sangat konkret karena dapat dilihat dari faktor kehidupan dan perkembangan sejarahnya. Di dalam suatu ras, setiap orang bercampur dan berkumpul bersama sehingga kehilangan individualitasnya sebagai manusia. Diri individu manusia disini sepenuhnya dipengaruhi oleh fenomena sosial, karakter diri individu manusia ditentukan oleh orang lain di lingkungannya. Segala tindakan individu diatur dan ditentukan oleh lingkungan tempat tinggal nya yang telah mengatur norma-norma dan nilai yang dipercayai dan dianut bersama.

“… a certain influence of ethnic characteristics might possibly be suspected. Even here we shall find that in reality race plays no part.” (Durkheim, 1952).

Karakteristik etnik yang berhubungan dengan ras dan juga keturunan mungkin saja harus dicurigai karena pada kenyataannya ras ini tidak memiliki peranan penting pada kasus bunuh diri. Dengan menunjuk pada rata-rata, perbedaan bunuh diri ternyata tidak ada pengaruhnya dengan ras ataupun keturunan.

Jika banyak anak yang bunuh diri karena orang tuanya melakukan tindakan bunuh diri, maka dapat dikatakan bahwa faktor keturunan dapat mempengaruhi tindakan bunuh diri. Namun kenyataannya tidak, banyak orang yang bunuh diri bukan karena orang tuanya melakukan tindakan bunuh diri. Kurangnya bukti-bukti yang ada pada masyarakat, membuat faktor ras dan keturunan tidak mempengaruhi bunuh diri. Pembuktian bahwa bunuh diri tidak ada kaitannya dengan ras ataupun keturunan diungkapkan Durkheim di dalam bukunya.

“if indeed it were proved that the tendency to suicide is genetically transmitted, it would follow that it depends closely on a definite organic state.” (Durkheim,1952).

Jika dorongan untuk bunuh diri ternyata dipengaruhi oleh ras, keturunan atau faktor genetik, maka suatu tindakan bunuh diri pasti akan meningkat secara signifikan pada suatu negara tertentu secara terus menerus. Namun kenyataannya suatu negara tertentu tidak mengalami peningkatan terus menerus. Berarti suatu tindakan bunuh diri tidak berhubungan dengan ras ataupun keturunan.

“when suicide is said to be hereditary, is it meant merely that the children of suicides by inheriting their parents’ disposition are inclined in like circumstances to behave like them? In this sense the proposition is incontestable but without bearing, for then it is not suicide which is hereditary ; what is transmitted is simply a certain general temprament which, in a given case, may predispose persons to the act but without forcing them, and is therefore not a sufficient explanation of their determination.”(Durkheim, Suicide, 1952).

Disini Durkheim menyimpulkan apa yang ia pikirkan tentang keterhubungan antara bunuh diri dengan ras atau keturunan. Ketika dikatakan bahwa bunuh diri adalah karena faktor keturunan, hal ini berarti ketika sang ayah melakukan tindakan bunuh diri, maka sang anak yang merupakan keturunannya juga seharusnya melakukan tindakan bunuh diri juga mengikuti ayah yang merupakan orang tuanya. Namun pada kenyataanya jarang sekali sang anak mengikuti orang tuanya yang bunuh diri.

Jika semua anak mengikuti orang tuanya yang bunuh diri, akan ada pengurangan jumlah penduduk secara signifikan, karena seseorang memiliki anak untuk mengikutinya mati ketika bunuh diri. Maka disini dapat disimpulkan tidak ada hubungan antara bunuh diri dengan ras atau keturunan. Hal yang diturunkan oleh orang tua kepada anaknya melalui genetik adalah sifat sifat yang berhubungan dengan tempramental. Maka ketika seseorang melakukan tindakan bunuh diri ini bukan karena keturunan dari orang tuanya. Dapat disimpulkan bahwa ras dan keturunan tidak mempengaruhi tindakan bunuh diri yang dilakukan oleh seorang individu manusia.

4. Bunuh Diri yang dipengaruhi faktor alam

Emile Durkheim di dalam bukunya juga menguji faktor alam dapat mempengaruhi tindakan bunuh diri. Hubungan faktor alam dan juga tindakan bunuh diri ini juga diungkapkan oleh Emile Durkheim di dalam bukunya yang berjudul suicide.

“Among such factors an influence on suicide has been attributed to only two : climate and seasonal temperature.” (Durkheim, 1952).

Faktor alam yang dimaksud oleh Durkheim disini adalah cuaca dan temperatur suhu musim. Orang yang melakukan tindakan bunuh diri biasanya suka untuk memilih musim dan cuaca dimana langitnya menunjukkan kegelapan, temperatur udaranya rendah dan lembab. Cuaca yang menunjukkan kesedihan dengan temperatur udara yang rendah cenderung akan membuat orang menjadi semakin melankolis dan melakukan tindakan bunuh diri. Dengan cuaca dan suasana yang mendukung ini, seseorang akan semakin merasakan penderitaannya, keputus asaannya, kesedihan yang mendalam dan ketidak bahagiaan di dalam kehidupan.

Daerah yang dingin dan berkabut adalah tempat yang sangat disukai oleh orang yang ingin melakukan tindakan bunuh diri. Diantara empat musim yang ada, maka musim dingin dan musim gugur adalah musim yang disukai oleh orang yang melakukan tindakan bunuh diri. Namun setelah meneliti lebih lanjut, Durkheim menolak faktor cuaca dan juga musim ini.

“…the relation is not readily discernible between temperature climate and the tendency to suicide.” “Now, far from there being a relation between suicide and a given climate, we know suicide to have flourished in all climates”. (Durkheim, 1952).

Hubungan bunuh diri dengan iklim temperatur, musim dan cuaca ini bersifat kurang empiris karena hubungan diantara keduanya tidak bisa dengan mudah dilihat. Apabila memang bunuh diri berhubungan dengan musim tertentu, maka dapat disimpulkan bahwa pada musim tertentu akan terjadi kenaikan tingkat orang yang melakukan bunuh diri, dan hal ini seharusnya terjadi secara terus menerus. Namun pada kenyataannya tingkatan orang yang melakukan tindakan bunuh diri ini tidak terjadi secara terus menerus pada musim tertentu saja. Selalu terjadi kenaikan dan penurunan tingkatan bunuh diri pada setiap musim. Maka musim tidak dapat mempengaruhi suatu tindakan bunuh diri. Berdasarkan penelitiannya itu, Durkheim kemudian menyimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara bunuh diri dan musim cuaca. Karena tindakan bunuh diri ternyata tidak bergantung pada cuaca dan musim. Bunuh diri dapat terjadi pada semua iklim, musim, dan temperatur.

Suatu tindakan bunuh diri tidak hanya terjadi pada musim dingin dan musim gugur saja, pada musim semi atau pada musim panas pun masih tetap ada yang melakukan tindakan bunuh diri. Apabila memang musim berpengaruh pada tindakan bunuh diri, seharusnya pada musim dingin dan musim gugur, orang yang melakukan tindakan bunuh diri meningkat. Namun pada kenyataannya tidak sepenuhnya benar. Pada musim lain selain musim dingin dan musim gugur, bisa saja terjadi peningkatan angka bunuh diri. Jadi dapat disimpulkan oleh Durkheim bahwa bunuh diri yang dilakukan oleh manusia ini tidak dipengaruhi oleh iklim, cuaca dan musim. Suatu tindakan bunuh diri tidak dipengaruhi oleh iklim, suaca ataupun temperatur, tapi dipengaruhi oleh hal lain, dan Durkheim pada penelitiannya lebih lanjut tetap mencari penyebabnya.

“We must therefore seek the cause of the unequal inclination of peoples for suicide, not in the mysterious effect of climate but in the nature of this civilization, in the manner of its distribution among different countries” (Durkheim, 1952).

Maka pada kesimpulan yang dibuat oleh Durkheim adalah kita harus mencari penyebab kecenderungan orang yang melakukan bunuh diri. Penyebab ini bukan karena efek dari faktor iklim, musim dan cuaca yang ada pada suatu daerah, tapi dari keadaan alamiah peradaban masyarakat yang terjadi pada suatu daerah dan juga berbagai negara.

5. Bunuh Diri yang dipengaruhi faktor imitasi

Durkheim sebenarnya sudah cenderung untuk menghubungkan bunuh diri dengan faktor sosial. Namun sebelum masuk ke faktor sosial, Durkheim masih ingin menguji faktor psikologi, yaitu imitasi. Namun sebelumnya Durkheim ingin menjelaskan apa yang dimaksud dengan imitasi. Definisi tentang imitasi ini dituliskan oleh Durkheim di dalam bukunya.

“that imitation is a purely psychological phenomenon appears clearly from its occurrence between individuals connected by no social bond.” (Durkheim,1952).

Imitasi adalah faktor sosial yang muncul dengan secara jelas diantara dua orang individu, dimana salah satu individu meniru individu yang lain, dan mereka terhubung tanpa adanya ikatan sosial tertentu. Seseorang bisa saja mengikuti ataupun meniru orang lain yang sama sekali ia tidak kenal, setiap orang bisa meniru apapun dari tindakan dan tingkah laku orang lain tanpa harus memiliki ikatan tertentu.

“A cough, a dance-motion, a homicidal impulse may be transferred from one person to another even though there is only chance and temporary contact between them.” (Durkheim, 1952).

Setiap tindakan dan perilaku yang dilakukan oleh seseorang dapat ditiru oleh orang lain. Seperti ketika seseorang batuk, maka kita pun dapat ikut batuk juga tanpa disadari. Ketika seseorang mengeluarkan gerakan tarian, orang lain dapat menirunya. Bahkan dorongan hati untuk membunuh bisa saja diberikan oleh seseorang, karena kita melihatnya sendiri dan ada hasrat untuk meniru dan mengikuti tindakan membunuh juga. Tindakan yang seseorang lakukan ini menyebar karena dilihat oleh orang lain, yang walaupun melihatnya hanya sebentar. Tindakan meniru ini bisa saja langsung diikuti atau dilakukan oleh orang lain.

Banyak sekali individu manusia yang melakukan imitasi atau peniruan di dalam kehidupannya, dari hal-hal yang sangat kecil hingga hal yang sangat besar. Kadang kala, untuk menjaga agar kehidupan manusia selalu berjalan harmonis, manusia melakukan tindakan imitasi atau peniruan, dimana segala tindakan seseorang dipengaruhi oleh orang lain, atau saling mempengaruhi.

Setiap manusia jadi meniru tata cara kehidupan, kebiasaan yang sudah turun menurun di daerah tempat tinggalnya. Namun seiring perkembangan zaman, manusia yang memiliki pengetahuan dan kemajuan di bidang ilmu pengetahuan ini mulai membuat tindakannya sendiri tanpa melakukan peniruan. Ketika terjadi peniruan atau imitasi, hal itu semata-mata bukan karena kita memikirkannya hal itu baik atau tidak di dalam harmoni kehidupan, namun kita mengimitasi atau meniru karena hal itu otomatis kita lakukan ketika melihat orang lain.

“Thus we yawn, laugh, weep, because we see someone yawn, laugh, or weep. Thus also the thought of homicide passes from one to another consciousness.” (Durkheim, 1952).

Disini dijelaskan bahwa ketika ada seseorang yang menguap, tertawa, ataupun menangis, maka orang lain yang melihatnya dapat ikut meniru menguap, tertawa ataupun menangis. Dengan demikian juga bahwa pemikiran untuk melakukan pembunuhan dapat melewati satu orang ke orang lainnya.

Kadang kala di dalam suatu kebudayaan, kita akan selalu mengalami yang dinamakan repetisi, atau suatu hal yang selalu diulang-ulang. Hal ini terjadi karena masyarakat setempat selalu meniru hal yang sudah menjadi tradisi sebelumnya. Maka suatu tindakan imitasi ini memiliki dua jenis, yaitu meniru karena ada alasan dibalik itu, yaitu tindakan yang memang disengaja untuk ditiru. Kemudian meniru dengan reflek dan secara otomatis. Segala sesuatu yang tidak original asli sebenarnya merupakan tindakan meniru atau imitasi. Dan olehkarena itu segala tindakan manusia adalah tindakan yang meniru orang lain di dalam kehidupannya, karena jarang sekali orang yang menemukan sendiri tindakannya.

Durkheim pada awalnya menghubungkan tindakan bunuh diri dengan proses imitasi. Dia menganggap bahwa orang yang melakukan tindakan bunuh diri adalah hasil dari imitasi atau peniruan terhadap apa yang seseorang lihat di dalam kehidupan, maka tak heran ketika cara seseorang untuk bunuh diri sama seperti yang orang lain lakukan.

“as suicide is admittedly disseminated by one or the other of these methods, it would be dependent on social causes and not on individual condition.” (Durkheim, 1952).

Kadang kala bunuh diri ini juga terjadi karena kebiasaan suatu adat tertentu, yang selalu diikuti dan ditiru oleh penerus suatu kebudayaan tersebut.

Maka disini dapat disimpulkan bahwa bunuh diri adalah karena faktor sosial dimana adanya kesadaran kolektif dengan proses meniru dan bukan dari kondisi diri individual manusia.

Namun pada akhirnya Durkheim menolak teori imitasi yang dikemukakan oleh seorang teoritikus yang sezaman dengannya ini, seorang psikolog sosial Prancis yang bernama Gabriel Tarde yang lahir pada tahun 1843 dan meninggal pada tahun 1904.

Teori imitasi mengatakan bahwa seseorang melakukan bunuh diri karena meniru tindakan orang lain.

Namun teori imitasi ini disanggah oleh Durkheim karena ia menemukan bangsa-bangsa yang hidup berdekatan dalam sebuah negeri dengan angka bunuh diri yang tinggi seharusnya juga akan memiliki angka bunuh diri yang tinggi, namun data-data yang ditemukan membuktikan bahwa keduanya tidak berkaitan satu dengan lain. Maka teori imitasi tidak berpengaruh pada angka bunuh diri. Pada dasarnya Durkheim mengakui bahwa bisa saja ada beberapa individu yang melakukan bunuh diri karena meniru, namun ternyata hal ini hanya faktor kecil yang tidak memiliki pengaruh yang signifikan dalam angka bunuh diri.

“…certain as the contagion of suicide is from individual to individual, imitation never seems to propagate it so as to affect the social suicide-rate. Imitation may give rise to more or less numerous individual cases, but it does not contribute to the unequal tendency in different societies to self-destruction, or to that of smaller social groups within each society. …imitation all by itself has no effect on suicide.” (Durkheim, 1952).

Dapat disimpulkan bahwa pengaruh buruh bunuh diri ini terjadi dari individu ke individu lain tanpa adanya pengaruh imitasi. Imitasi memang dapat membuat rata-rata orang yang melakukan tindakan bunuh diri meningkat atau berkurang, tetapi imitasi tidak berkontribusi terhadap kecenderungan seseorang untuk melakukan tindakan menghancurkan dirinya sendiri di dalam suatu kelompok masyarakat. Teori imitasi tidak berhubungan dengan tindakan bunuh diri yang dilakukan oleh seseorang.

Menurut Edward Shneidman faktor-faktor munculnya tindakan bunuh diri adalah sebagai berikut :

  1. Riwayat Keluarga
    Bila seorang anggota keluarga bunuh diri, risiko bahwa orang lain di keluarga itu akan melakukan tindakan yang sama akan meningkat. Faktanya Brent, dkk (dalam Durand & Barlow, 2006) mencatat risiko percobaan bunuh diri yang meningkat enam kali lipat pada anak dari anggota keluarga yang pernah berusaha bunuh diri dibanding anak dari orang yang belum pernah mencoba bunuh diri. Bila salah seorang saudara kandung juga pelaku percobaan bunuh diri, risiko itu akan meningkat lebih tinggi lagi.

    Kemungkinan adanya sesuatu yang sifatnya diturunkan ini didukung oleh beberapa studi terhadap anak-anak yang diadopsi. Salah satunya menemukan peningkatan angka bunuh diri pada keluarga biologis orang-orang yang diadopsi, yang telah melakukan tindakan bunuh diri, jika dibandingkan dengan kelompok kontrol orang- orang yang diadopsi tidak melakukan tindakan bunuh diri. Dalam sebuah studi kecil mengenai orang-orang yang kembarannya telah melakukan bunuh diri, 10 dari 26 kembaran monozigotik yang masih hidup, dan tidak satupun di antara 9 kembaran dizigotik yang msaih hidup yang pernah mencoba bunuh diri. Ini menunjukkan adanya kontribusi biologis (genetik) tertentu untuk bunuh diri, meskipun mungkin relatif kecil.

  2. Neurobiologi
    Berbagai bukti menunjukkan bahwa level serotonim yang rendah mungkin berhubungan dengan bunuh diri dan percobaan bunuh diri dengan menggunakan cara-cara yang keras. Level serotonim yang ekstrem rendah berhubungan dengan impulsivitas, instabilitas, dan kecenderungan untuk memberikan reaksi yang berlebihan terhadap berbagai situasi. Sehingga, dengan level serotonim yang rendah dapat memberikan kontribusi terhadap terciptanya kerentanan untuk bertindak secara impulsif. Ini mungkin meliputi tindakan bunuh diri, yang kadang- kadang merupakan sebuah tindakan impulsif.

    Studi Brent, dkk (dalam Durand & Barlow, 2006) menunjukkan bahwa transmisi kerentanan untuk gangguan kecemasan, termasuk ciri impulsivitas, dapat memperantarai transmisi percobaan bunuh diri dalam keluarga.

  3. Gangguang Psikologis yang Sudah Ada
    Lebih dari 90% orang yang melakukan bunuh diri menderita gangguan psikologis tertentu. Bunuh diri sering kali berhubungan dengan gangguan suasana perasaan, dan ada alasan yang kuat untuk itu. Sebanyak 60% dari seluruh bunuh diri (75% di antara bunuh diri yang dilakukan remaja) berhubungan dengan gangguan suasana perasaan yang sudah ada.

    Lewinhnson, Rohde, dan Seeley (dalam Durand & Barlow, 2006) menyimpulkan bahwa di kalangan remaja perilaku bunuh diri kebanyakan merupakan pengekspresian depresi berat. Tetapi banyak orang yang mengalami gangguan suasana perasaan tidak mencoba bunuh diri dan sebaliknya banyak orang yang mencoba bunuh diri tidak memiliki gangguan suasana perasaan. Jadi, depresi dan bunuh diri meskipun sangat erat terkait, bersifat independen satu sama lain.

    Dengan melihat lebih dekat hubungan antara gangguan suasana perasaan dan bunuh diri, beberapa peneliti mengambil keputusan yang merupakan salah satu komponen khas depresi sebagai prediktor bunuh diri yang kuat.

    Penggunaan dan penyalahgunaan alkohol berhubungan dengan kira- kiran 25%-50% bunuh diri dan sangat menonjol di dalam kasus-kasus bunuh diri yang dilakukan oleh remaja. Brent, dkk (dalam Durand & Barlow, 2006) menemukan bahwa sekitar sepertiga remaja yang melakukan tindakan bunuh diri berada dalam keadaan terintoksikasi saat mereka meninggal dan bahwa lebih banyak lagi yang mungkin berada di bawah pengaruh obat-obatan. Kombinasi berbagai gangguan, seperti penyalahgunaan substansi dan gangguan suasana perasaan atau gangguan perilaku (conduct disorder) pada anak-anak dan remaja, tampaknya menciptakan kerentanan yang lebih kuat dibanding gangguan tunggal mana pun.

    Sebagai contoh, Hawton, dkk (dalam Durand & Barlow, 2006) menyatakan bahwa prevalensi percobaan dan percobaan berulang bunuh diri akan dua kali lebih tinggi bila ada kombinasi gangguan. Bagi remaja menurut Woods, dkk (dalam Durand & Barlow, 2006) menemukan bahwa penyalahgunaan substansi ditambah risk takingbehavior (perilaku ambil risiko) lainnya, misalnya terlibat dalam perkelahian, membawa senjata api, atau merokok, memprediksi bunuh diri pada remaja usia belasan, yang mungki merefleksikan impulsivitas pada remaja yang penuh masalah.

    Esposito dan Clum (dalam Durand & Barlow, 2006) juga mengemukakan bahwa kemunculan gangguan kecemasan dan gangguan suasana perasaan (yang di internalisasikan) memprediksi percobaan bunuh diri pada remaja. Percobaan bunuh diri yang pernah dilakukan sebelumnya merupakan faktor kuat lain yang harus dianggap serius.

    Gangguan lain yang ditandai oleh impulsivitas daripada oleh depresi adalah boderline personality disorder (gangguan kepribadian ambang). Frances dan Blumenthal (dalam Durand & Barlow, 2006) menyatakan bahwa individu-individu ini, yang diketahui menunjukkan gerak-gerik bunuh diri yang manipulatif dan impulsif tetapi sebenarnya belum tentu ingin merusak dirinya sendiri, kadang-kadang secara tidak sengaja membuat diriya sendiri terbunuh (10% dari kasus). Kombinasi antara gangguan kepribadian ambang dan depresi sangat mematikan. Keterkaitan antara bunuh diri dengan gangguan-gangguan psikologis berat, terutama depresi, melatarbelakangi mitos bahwa bunuh diri adalah respons terhadap kekecewaan yang tidak akan dilakukan oleh yang sehat.

  4. Kejadian-kejadian Hidup yang Penuh Tekanan
    Faktor risiko yang terpenting untuk bunuh diri adalah kejadian stressful berat yang memalukan atau membuat orang merasa terhina, misalnya kegagalan (riil maupun tidak riil) di sekolah atau di tempat kerja, penahanan yang terjadi di luar dugaan, atau perasaa cinta yang bertepuk sebelah tangan. Penganiayaan fisik dan seksual juga merupakan sumber stres yang terpenting, bukti-bukti mutakhir membenarkan bahwa stres dan distrupsi akibat bencana alam meningkatkan kemungkinan bunuh diri.

    Berdasarkan data dari 337 negara yang mengalami bencana alam selama tahun 1980an, para peniliti menyimpulkan bahwa angka bunuh diri naik sebesar 13,8% dalam waktu 4 tahun setelah terjadinya banjir, 31% dalam waktu 2 tahun setelah angin topan, dan 62,9% di tahun pertama setelah gempa bumi. Karena kerentanan yang sudah ada sebelumnya termasuk adanya gangguan psikologis, ciri sifat impulsif dan kurangnya dukungan sosial sebuah kejadian yang steressful sering kali dapat membuat orang merasa tidak mampu mengatasi.

Menurut Kartono (2000), faktor - faktor lain yang memberikan kontribusi munculnya kecenderungan bunuh diri antara lain ialah:

  1. Faktor sosiologis
    Berupa disintegrasi dan disorganisasi sosial yang mengakibatkan disintegrasi-disorganisasi pribadi atau personal, masa-masa krisis, peristiwa-peristiwa erosi dari norma-norma, nilai-nilai dan lain-lain.

  2. Faktor ekonomi
    Berupa status ekonomi, depresi ekonomi, jatuh miskin secara mendadak, dan lain-lain.

  3. Faktor politik
    Berupa perubahan-perubahan iklim politik dengan macam-macam tekanannya, degradasi secara politis, perubahan peranan dalam dunia politik dan lain-lain.

  4. Faktor pendidikan
    Misalnya kegagalan studi di sekolah atau universitas. Sehingga orang yang bersangkutan lebih suka memilih kedamaian abadi di balik kematian dirinya, guna menyingkiri macam-macam kesulitan serta aib yang rasa- rasanya tidak dikuasai oleh dirinya.

Dalam Encyclopedia Britannica, bunuh diri didefinisikan sebagai usaha seseorang untuk mengakhiri hidupnya dengan cara suka rela atau sengaja. Kata Suicide berasal dari kata latin Sui yang berarti diri (self), dan kata Caedere yang berarti membunuh (to kill).

Sosiolog Emile Durkheim (1897, 1951) membedakan bunuh diri menjadi empat jenis yaitu : (Upe, 2010:99)

  • Bunuh diri egoistik, yaitu bunuh diri yang dilakukan oleh orang-orang yang merasa kepentingan individu lebih tinggi dari pada kepentingan kesatuan sosialnya,

  • Bunuh diri altruistik, yaitu bunuh diri karena adanya perasaan integrasi antar sesama individu yang satu dengan yang lainnya sehingga menciptakan masyarakat yang memiliki integritas yang kuat, misalnya bunuh diri harakiri di Jepang,

  • Bunuh diri anomi, yaitu tipe bunuh diri yang lebih terfokus pada keadaan moral dimana individu yang bersangkutan kehilangan cita-cita, tujuan dan norma dalam hidupnya,

  • Bunuh diri fatalistik, tipe bunuh diri yang demikian tidak banyak dibahas oleh Durkheim. pada tipe bunuh diri anomi terjadi dalam situasi di mana nilai dan norma yang berlaku di masyarakat melemah, sebaliknya bunuh diri fatalistik terjadi ketika nilai dan norma yang berlaku di masyarakat meningkat dan terasa berlebihan.

Menurut Kartono (2000:145) bunuh diri dapat digolongkan dalam dua tipe, yaitu :

  • Bunuh diri konvensional, adalah produk dari tradisi dan paksaan dari opini umum untuk mengikuti kriteria kepantasan, kepastian sosial dan tuntutan sosial. Misalnya harakiri yang dilakukan di Jepang, mati obong yang dilakukan semasa kerajaan jawa-bali untuk menunjukkan kesetian pada suami yang telah meninggal ataupun Suttee atau membakar diri sendiri yang dilakukan oleh janda di India tengah pada saat penguburan suaminya. bunuh diri ini sudah banyak yang dihapuskan, sebagian dipengaruhi bangsa-bangsa lain atau oleh tekanan bangsa lain, dan sebagian lagi karena adanya banyak perubahan pada kondisi-kondisi sosial.

  • Bunuh diri personal, bunuh diri ini banyak terjadi pada masa modern, karena orang merasa lebih bebas dan tidak mau tunduk pada aturan dan tabu perilaku terentu. Orang tidak ingin terikat oleh kebiasaan-kebiasaan dan konvensi-konvensi yang ada untuk memecahkan kesulitan hidupnya. Sebaliknya, mereka mencari jalan singkat dengan caranya sendiri, yaitu bunuh diri untuk mengatasi kesulitan hidupnya, atas keputusannya sendiri. Karena itu peristiwa bunuh diri adalah bentuk kegagalan seseorang dalam upayanya menyesuaikan diri terhadap tekanan-tekanan sosial dan tuntutan-tuntutan hidup.

Selain itu juga terdapat bunuh diri yang dilakukan dengan adanya bantuan dari seorang dokter atau tenaga medis, bunuh diri ini disebut Euthanasia, yaitu tindakan menghilangkan rasa sakit pada penderita penyakit yang sulit diobati atau menderita sakit keras. Ada dua tipe Eutanasia yaitu Eutanasia aktif dan Eutanasia pasif. dan Eutanasia aktif terjadi apabila kematian disebabkan oleh suatu usaha yang dengan sengaja dilakukan untuk mengakhiri hidup seseorang, seperti dengan injeksi obat yang mematikan dan Eutanasia pasif terjadi ketika seseorang diizinkan mati dengan mencabut perawatan yang tersedia, seperti perlengkapan terapi penopang hidup misal mencabut alat bantu pernafasan. (Santrock, 2002:264)

Apa faktor-faktor penyebab manusia mau melakukan bunuh diri ?

Banyak faktor yang dapat mengakibatkan seseorang melakukan percobaan bunuh diri, menurut Husain (2005:67) faktor-faktor tersebut yaitu:

Adanya gangguan psikologis

Gangguan psikologis dapat menimbulkan tindakan-tindakan berbahaya, baik itu merupakan tindakan bunuh diri yang mematikan, maupun bunuh diri yang tidak mematikan. Depresi dan schizophrenia merupakan gangguan psikologis yang sering berkaitan dengan percobaan bunuh diri.

Dalam studi yang digelar pada tahun 1990, ditemukan bahwa dari 60% laki-laki dan 44% perempuan yang melakukan percobaan bunuh diri menderita depresi. (Apter&Freudenstein, 2000) selain itu antara 30% sampai 50% penderita skizophrenia minimal sekali melakukan percobaan bunuh diri.

Penggunaan alkohol dan narkotik (Substance Abuse)

Penggunaan alkohol dan narkotik merupakan faktor yang sangat penting dalam percobaan bunuh diri, hal ini dapat dilihat dari berbagai penelitian yang menunjukkan bahwa penggunaan narkotik dan obat-obatan lainnya iku ambil bagian dalam kasus bunuh diri dengan prosentase antara 25% sampai 55%. (Murphy, 2000. Dalam Husain, 2005:73)

Krisis kepribadian (Personality Disorder)

Meskipun hubungan antara krisis kepribadian dan bunuh diri belum diyakini secara umum, tapi beberapa penelitian terkini menunjukkan bahwa krisis kepribadian merupakan faktor penting dalam melakukan percobaan bunuh diri. (Linehan et al, 2000) Krisis kepribadian didapatka pada 40%-53% dari orang-orang yang melakukan percobaan bunuh diri. (Brent et al, 1994 ; Lesage et al, 1997 ; Roy&Draper, 1996)

Penyakit-penyakit jasmani (Physical Illnesses)

Penyakit-penyakit jasmani termasuk hal-hal yang paling sering mengakibatkan bunuh diri, khususnya bagi orang-orang tua. (Harwood&Jacoby, 2000) Rasa sakit merupakan faktor penting dalam sekitar 20% dari kasus bunuh diri yang dilakukan orang-orang tua. banyak riset yang mengkaji hubungan antara penyakit jasmani yang kronis dan bunuh diri.

Faktor-faktor genetis (Genetic Factors)

Para pakar yang akhir-akhir ini meneliti bunuh diri secara biologis menyatakan bunuh diri memiliki kesiapan-kesiapan genetis. Meskipun tindakan bunuh diri yang dilakukan salah satu anggota keluarga atau kerabat bukanlah sebab langsung bagi bunuh diri, namun para anggota keluarga ini lebih rentan terhadap bunuh diri dari pada yang lain. Hal ini mengacu pada kenyataan bahwa depresi dan penyakit-penyakit lainnya memiliki kesiapan genetis. Jika tidak mendapatkan penanganan, penyakit-penyakit ini bisa jadi mengakibatkan tindakan bunuh diri.

Perubahan dalam bursa kerja (Labour Market)

Revolusi ekonomi dan teknologi yang terjadi di dunia telah membawa dampak positif dan negatif, disengaja dan tidak sengaja, baik dalam bidang ekonomi, sosial, kejiwaan, politik dan budaya. Semua ini mempengaruhi kesehatan penduduk dunia, diantara permasalahan serius yang dihadapi dunia secara bersama adalah semakin bertambahnya jumlah pengangguran. Krisis moneter dan ekonomi di dunia mengakibatkan bertambahnya pengangguran dan menimbulkan bahaya yang serius.

Kondisi keluarga

Kebanyakan remaja yang memiliki prilaku bunuh diri menghadapi berbagai problem keluarga yang membawa mereka kepada kebimbangan tentang harga diri, serta menumbuhkan perasaan bahwa mereka tidak disukai, tidak diperlukan, tidak dipahami dan tidak dicintai. Mayoritas mereka berasal dari keluarga yang menerapkan sistem pendidikan yang tidak layak. Biasanya para orangtua yang berada disekitar anak berlaku keras terhadapnya, mengabaikannya, atau hanya memperhatikan pertumbuhan fisiknya saja dan bukan prilakunya. Hilangnya cinta kadang ikut berperan bagi perkembangan bahaya bunuh diri.

Kehilangan cinta ini bisa terjadi karena faktor kematian, perceraian, atau menurunnya kasih sayang orangtua dan orang-orang yang memiliki kedudukan penting dalam kehidupan seseorang.

Pengaruh media massa

Berita tentang bunuh diri kadang dapat memicu tindakan bunuh diri, terutama bagi orang-orang yang memang telah mempersiapkan diri untuk melakukannya. Ketika mereka tahu bahwa orang yang mati bunuh diri sebelumnya hidup dengan posisi dan keadaan yang sama dengan yang mereka alami, maka itu bisa mendorong mereka untuk meniru dan melakukan perbuatan yang sama.

Faktor terbesar dari kegiatan bunuh diri Adanya motifasi yang mendasari untuk melakukan bunuh diri.

Motivasi adalah suatu proses dalam diri manusia atau hewan yang menyebabkan organisme tersebut bergerak menuju tujuan yang dimiliki, atau bergerak menjauh dari situasi yang tidak menyenangkan.

Kartono (2000) menyebutkan dua macam motivasi yang mempengaruhi bunuh diri, yaitu :

  1. Motivasi interpersonal, dalam kasus bunuh diri terjadi apabila pribadi yang melakukan tindak bunuh diri terjadi apabila pribadi yang melakukan tindak bunuh diri tersebut lewat perbuatannya berusaha untuk mempengaruhi terjadinya perubahan sikap pada orang lain, atau mengharapkan adanya perubahan tingkah laku pada orang lain. Orang lain disini biasanya adalah orang yang dekat dengan orang yang melakukan bunuh diri tersebut seperti keluarga, teman atau kekasih.

    Motivasi interpersonal ini bisa ditemukan pada semua usia akan tetapi paling banyak pada usia puber/remaja dan usia pertengahan. Perbuatan bunuh diri digunakan sebagai ekspresi dari kemarahan, penolakan dan pemaksaan kesediaan untuk mengubah perilaku orang lain atau untuk menumbuhkan perasaan bersalah kepada mereka.

  2. Motivasi intrapersonal, paling banyak muncul pada orang-orang yang lebih tua, diantaranya karena:

    1. Telah banyak hilang emosi ikatan-ikatan dengan orang lain.

    2. Merasakan adanya tekanan-tekanan dan ketegangan-ketegangan dari dalam dan perlunya melakukan satu perbuatan penting, yaitu bunuh diri.

    3. Mereka merasa bahwa kaitan dengan orang-orang yang dekat dengan dirinya sudah sangat longer, misalnya karena ditinggal mati suami/istri, anak-anak sudah berumah tangga, badan sudah sakit-sakitan dan dilupakan orang.

    4. Hingga muncul kemudian emosi-emosi yang sangat kuat berupa perasaan amat kesepian, merasa tidak diperlukan lagi, tidak bisa bekerja dengan efektif, badan semakin lemah dan sakit-sakitan dan bahwa dia sudah pernah hidup dan kini tidak punya apa-apa lagi. Suasana hatinya dipenuhi unsure depresi, dibarengi keinginan mengucilkan diri dan terkuras tenaganya secara fisik dan emosional. Lalu muncullah keinginan untuk mati.

Motifasi bunuh diri menurut Mintz (1968) (Davison dkk, 2006)

  1. Adanya insting kematian (Thanatos) yaitu kecenderungan untuk kembali ke keadaan bebas tekanan yang ada sebelum kelahiran

  2. Harapan positif dan oleh sikap-sikap persetujuan terhadap legitimasi dari bunuh diri, (D. Stein dkk, 1998) orang yang membunuh dirinya sendiri mungkin berharap bahwa mereka akan dirindukan atau dikenang setelah kematian mereka, orang yang hidup akan merasa bersalah karena telah salah memperlakukan mereka

  3. Upaya untuk memaksakan cintanya pada orang lain

  4. Upaya untuk melakukan perubahan atas kesalahan yang dilihat pada masa lalu

  5. Upaya untuk menyingkirkan perasaan yang tidak diterima, seperti ketertarikan seksual pada lawan jenis

  6. Keinginan untuk reinkarnasi

  7. Keinginan untuk bertemu dengan orang yang dicintai yang telah meninggal

  8. Keinginan atau kebutuhan untuk melarikan diri dari stress, kehancuran, rasa sakit, atau kekosongan emosional. Secara umum bunuh diri merupaka upaya individu untuk menyelesaikan masalah, yang dilakukan dalam kondisi stress berat dan ditandai pertimbangan atas alternative yang sangant terbatas dimana akhirnya penihilan diri muncul sebagai solusi terbaik (Linehan & Sherin, 1988)

Bunuh diri telah menjadi sebuah fenomena menyedihkan yang terjadi di seluruh dunia. Data World Health Organization (WHO) menunjukkan, sekitar 800.000 orang tewas akibat bunuh diri setiap tahunnya. Jumlah ini belum termasuk kasus-kasus percobaan bunuh diri.

Ada beragam faktor yang bisa memicu seseorang untuk bunuh diri, seperti masalah ekonomi, konflik dengan keluarga, ditolak dalam pergaulan, masalah percintaan, pernah mengalami pelecehan seksual, menjadi korban perundungan (bullying), hingga motif terorisme.

Di luar hal-hal tersebut, hasrat ingin bunuh diri juga kerap kali berhubungan dengan kondisi kesehatan mental seseorang. Dikutip dari Alodokter, berikut ini beberapa kondisi kesehatan mental yang bisa memicu seseorang untuk melakukan bunuh diri:

  1. Gangguan bipolar

    Orang yang memiliki gangguan bipolar memiliki risiko 20 kali lebih tinggi untuk melakukan percobaan bunuh diri dibandingkan dengan orang yang tidak mengidap bipolar. Penderita gangguan bipolar kerap mengalami perubahan suasana hati yang sangat drastis dalam kurun waktu yang sempit. Mereka bisa merasa sangat gembira dan bersemangat, kemudian mendadak berubah menjadi sedih, kehilangan semangat dan bahkan depresi.

  2. Depresi berat

    Ciri-ciri umum pada orang yang mengalami depresi berat adalah adanya perasaan putus asa, suasana hati yang buruk, merasa lelah, atau kehilangan minat dan motivasi. Ciri-ciri semacam ini dapat memberi dampak buruk bagi kehidupan orang tersebut secara menyeluruh. Pada akhirnya memicu mereka untuk lebih mungkin mencoba untuk bunuh diri.

  3. Gangguan kepribadian

    Gangguan kepribadian merupakan suatu kondisi yang menyebabkan penderitanya memiliki pola pikir dan perilaku yang tidak sehat dan berbeda dari rata-rata orang biasanya. Kondisi ini bisa membuat penderitanya sulit untuk merasakan, memahami, atau berinteraksi dengan orang lain. Gangguan kepribadian disebabkan oleh kombinasi dari situasi-situasi atau latar belakang kehidupan yang tidak menyenangkan dengan gen yang membentuk emosi seseorang yang diwariskan dari orang tuanya.

  4. Skizofrenia

    Skizofrenia adalah gangguan serius yang mempengaruhi bagaimana seseorang berpikir, merasa dan bertindak. Individu dengan kondisi ini sering mengalami kesulitan membedakan realitas dari delusi mereka. Akibatnya, mereka seringkali menjadi penyendiri dan mengalami kesulitan bergaul dengan orang lain serta sulit berurusan dengan situasi sosial. Diperkirakan, 1 dari 20 orang dengan skizofrenia akan mencoba untuk bunuh diri.

  5. Anoreksia nervosa

    Menjauhi makanan sebisa mungkin dan selalu berbohong bahwa mereka tidak lapar atau sudah makan. Itulah tanda-tanda pengidap anoreksia. Kalangan ini merasa dirinya gemuk sehingga membuat mereka terus-menerus menurunkan berat badan. Diperkirakan 20 persen pengidap anoreksia akan melakukan percobaan bunuh diri setidaknya sekali selama hidupnya.

Faktor Penyebab Bunuh Diri


Bunuh diri bukanlah merupakan satu hal tetapi terdiri dari banyak fenomena yang tumpang tindih. Oleh sebab itu, tidak ada satupun kasus bunuh diri yang memiliki etiologi yang sama (Maris dkk.,2000). Schneidman menyebut bunuh diri sebagai hasil dari “psychache”. Psychache merupakan rasa sakit dan derita yang tidak tertahankan dalam jiwa dan pikiran. Rasa sakit tersebut pada dasarnya berasal dari jiwa seseorang ketika merasakan secara berlebih rasa malu, rasa bersalah, penghinaan, kesepian, ketakutan, kemarahan, kesedihan karena menua, atau berada dalam keadaan sekarat (dalam Maris dkk., 2000). Di samping itu, Mann dari bidang psikiatri mengatakan penyebab bunuh diri berada di otak, akibat kurangnya tingkat 5-HIAA, reseptor post-sinapsis, dan pertanda biologis lainnya (dalam Maris dkk., 2000).

Tidak ada faktor tunggal pada kasus bunuh diri, setiap faktor yang ada saling berinteraksi. Namun demikian, tidak berarti bahwa seorang individu yang melakukan bunuh diri memiliki semua karakteristik di bawah ini. Berikut beberapa faktor penyebab bunuh diri yang didasarkan pada kasus bunuh diri yang berbeda-beda tetapi memiliki efek interaksi di antaranya (Maris, dalam Maris dkk.,2000; Meichenbaum, 2008):

  1. Major-depressive illness, affective disorder
  2. Penyalahgunaan obat-obatan (sebanyak 50% korban percobaan bunuh memiliki level alkohol dalam darah yang positif)
  3. Memiliki pikiran bunuh diri, berbicara dan mempersiapkan bunuh diri
  4. Sejarah percobaan bunuh diri
  5. Sejarah bunuh diri dalam keluarga
  6. Isolasi, hidup sendiri, kehilangan dukungan, penolakan
  7. Hopelessness dan cognitive rigidity
  8. Stresor atau kejadian hidup yang negatif (masalah pekerjaan, pernikahan, seksual, patologi keluarga, konflik interpersonal, kehilangan, berhubungan dengan kelompok teman yang suicidal)
  9. Kemarahan, agresi, dan impulsivitas
  10. Rendahnya tingkat 5-HIAA
  11. Key symptoms (anhedonia, impulsivitas, kecemasan / panik, insomnia global, halusinasi perintah)
  12. Suicidality (frekuensi, intensitas, durasi, rencana dan perilaku persiapan bunuh diri)
  13. Akses pada media untuk melukai diri sendiri
  14. Penyakit fisik dan komplikasinya
  15. Repetisi dan komorbid antara faktor-faktor di atas