Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi Konservatisme Akuntansi?

Konservatisme akuntansi

Konservatisme akuntansi merupakan preferensi terhadap metode-metode akuntansi yang menghasilkan nilai paling rendah untuk aset dan pendapatan, sementara nilai paling tinggi untuk utang dan biaya, atau menghasilkan nilai buku ekuitas yang paling rendah.

Diterapkannya prinsip konservatisme dalam pencatatan dan pelaporan keuangan perusahaan dipicu oleh beberapa faktor, di antaranya adalah faktor pengontrakan, kontrak hutang, biaya hukum serta proses politik.

Pengontrakan (contracting)


Penjelasan pengontrakan sebagai pendorong timbulnya praktek konservatisme merupakan sumber yang paling dahulu muncul dan memiliki argumentasi yang telah berkembang dengan sempurna. Penjelasan pengontrakan tersebut didasarkan pada praktek akuntansi dan pengawasan manajemen yang telah lama dijalankan, sementara penjelasan mengenai penentu konservatisme lainnya didasarkan pada fenomena akuntansi yang baru berkembang beberapa tahun terakhir.

Penjelasan pengontrakan ini secara umum sangat erat kaitannya dengan teori keagenan ( agency theory) dimana pada prakteknya, para pemilik perusahaan mewakilkan pengelolaan perusahaan kepada manajemen yang ditunjuknya. Hal ini dilakukan dengan tujuan agar manajemen dapat mengatur perusahaan hingga mencapai kinerja yang optimal untuk memberikan manfaat serta keuntungan sebesar-besarnya kepada pemilik perusahaan. Kinerja yang optimal ditunjukkan dengan perolehan keuntungan yang besar, harga saham perusahaan yang tinggi dan pertumbuhan bisnis perusahaan yang berkelanjutan. Manajemen akan memperoleh insentif lebih besar jika mereka mampu mencapai kinerja perusahaan yang optimal yang dapat terlihat diantaranya melalui laporan keuangan perusahaan yang mencatat keuntungan yang besar.

Pemberian insentif kepada manajemen yang didasarkan pada keuntungan yang diperoleh perusahaan tersebut dapat mendorong manajemen untuk melakukan tindakan manipulatif. Yaitu dengan membesar-besarkan keuntungan yang diperoleh serta asset yang dimiliki perusahaan dan mengecilkan jumlah kerugian dan kewajiban yang harus ditanggung perusahaan, agar manajemen dapat memperoleh insentif yang besar. Tindakan manajemen tersebut, pada akhirnya dapat mengorbankan kesejahteraan pemilik perusahaan bahkan mengorbankan nilai perusahaan itu sendiri.

Watts (2003) memberikan penjelasan secara terperinci mengenai teori keagenan serta kaitannya dengan pengontrakan melalui dua atribut pengukuran akuntansi, yaitu :

1. Timeliness

Kontrak yang dilakukan antara pihak-pihak yang berkepentingan terhadap perusahaan dilakukan untuk mengurangi biaya keagenan, dimana manajer maupun pihak lain di dalam perusahaan berusaha memaksimumkan kesejahteraan mereka dengan mengorbankan nilai perusahaan maupun kesejahteraan pihak lainnya. Kontrak antara pihak- pihak terkait tersebut dilakukan dengan memasukkan biaya yang diperlukan untuk menyelaraskan pemberian insentif bagi pihak yang terlibat kontrak dengan tujuan maksimisasi nilai perusahaan.

Beberapa contoh kontrak yang dibuat untuk mengurangi biaya keagenan, antara lain kontrak hutang anatara perusahaan dengan kreditor, kontrak kompensasi manajemen, dan kontrak kepegawaian. Pihak-pihak yang terkait di dalam kontrak, umumnya menghendaki adanya pengukuran kesesuaian kinerja dengan kontrak yang telah ditetapkan tepat pada waktunya ( timely measure) . Hal tersebut, mendorong efektivitas pengukuran kinerja dan pemberian kompensasi kepada manajemen, karena tindakan yang dilakukan manajemen yang berpengaruh terhadap nilai perusahaan diukur kesesuaiannya dengan kontrak yang telah ditetapkan pada periode dimana tindakan tersebut dilaksanakan. Lebih jauh, timely measure menurunkan kemungkinan manajemen memanfaatkan masa jabatannya yang singkat untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya.

Sebagai contoh : Manajer akan mengacuhkan future positive NPV project yang dapat menghasilkan earning negatif saat ini, karena keuntungan dari proyek tersebut baru diperhitungkan pada periode setelah masa jabatannya berakhir.

2. Verifiability

Beberapa informasi yang berguna untuk penilaian kinerja yang terkait di dalam kontrak terkadang tidak memiliki bukti-bukti yang cukup kuat. Sebagai contoh, informasi mengenai ekspektasi peningkatan arus kas perusahaan di masa yang akan datang karena adanya pengembangan produk merupakan hal yang berguna untuk evaluasi kinerja manajemen serta pemberian kompensasi atas kinerjanya. Namun, ekspektasi peningkatan arus kas perusahaan tersebut hanyalah sebuah estimasi dan tidak ada yang dapat memastikan kepastiannya di masa yang akan datang. Verifikasi ataupun kecukupan bukti merupakan hal yang sangat diperlukan untuk memperkuat kontrak tersebut di depan hukum. Oleh karena itu, nilai earning atau estimasi arus kas di masa yang akan datang yang tidak dapat diverifikasi perolehannya, tidak dimasukkan ke dalam kontrak.

Sementara itu, ketika perusahaan memiliki ekspektasi nilai arus kas negatif di masa yang akan datang dan tidak terikat dengan kontrak maka tidak ada konsekuensi hukum untuk future loss tersebut. Atau dengan kata lain, tidak diperlukan verifikasi yang tinggi terhadap pengakuan loss seperti yang diperlukan terhadap pengakuan gain.

Terdapatnya perbedaan tingkat verifikasi antara pengakuan gain dan loss tersebut terjadi karena adanya perbedaan imbalan yang dapat diperoleh para pihak terkait dari kontrak yang telah disepakati. Sebagai contoh, dalam kontrak hutang antara perusahaan dengan kreditor, kreditor tidak memiliki kompensasi tambahan dari semakin besarnya nilai aktiva bersih perusahaan, yang menjadi kepentingan mereka hanyalah perusahaan dapat memproduksi aktiva yang cukup untuk membayar kewajibannya. Sehingga, kreditor lebih memperhatikan pada nilai terendah dari earning dan aktiva bersih yang dimiliki perusahaan di akhir periode. Sementara, manajemen tentu berkepentingan terhadap semakin tingginya nilai earning dan aktiva bersih yang dapat dihasilkan perusahaan, karena hal tersebut menentukan tingkat kompensasi mereka.

Dalam menilai sebuah kontrak hutang, yang menjadi perhatian utama dari kreditor adalah kemungkinan perusahaan memiliki cukup aktiva bersih untuk memenuhi kewajibannya. Nilai masa depan dari aktiva bersih perusahaan tidak dapat diverifikasi kepastiannya sehingga tidak diikutsertakan dalam penilaian kontrak hutang. Watts (2003) mengargumentasikan bahwa dalam kasus terjadinya hutang yang tidak dapat dipenuhi perusahaan, kurator (pihak yang menengahi dan menyelesaikan pembagian aktiva perusahaan kepada pihak-pihak yang berhak sesuai urutan prioritasnya) menggunakan akuntansi konservatif dalam mengestimasi nilai aktiva perusahaan untuk dibagikan kepada pihak terkait. Dalam hal ini kurator menghitung semua kemungkinan kerugian yang ditanggung perusahaan dan tidak sedikitpun mengakui keuntungan yang tidak dapat diverifikasi.

Selain itu, bukti lain yang menunjukkan bahwa kontrak hutang mengikuti prinsip konservatisme adalah tidak dimasukkannya nilai aktiva tidak berwujud dalam penghitungan nilai minimum aktiva bersih yang harus dimiliki perusahaan agar dapat memenuhi kewajibannya dari kontrak hutang tersebut. Hal itu disebabkan karena nilai aktiva tidak berwujud tidak dapat diverifikasi, seperti goodwill .

Dalam kasus kontrak kompensasi manajemen, manajemen umumnya memiliki superioritas informasi dibandingkan stakeholder perusahaan lainnya dalam hal kebijakan perusahaan serta efeknya terhadap arus kas di masa yang akan datang. Jika dalam kontrak kompensasi tidak dipersyaratkan adanya verifikasi yang lebih tinggi dalam pengakuan keuntungan yang dijadikan dasar pemberian bonus bagi manajemen maka manajemen dapat melakukan tindakan manipulatif dengan memberikan estimasi nilai arus kas di masa yang akan datang secara berlebihan.

Terbatasnya masa jabatan manajemen serta terbatasnya tanggung jawab yang dapat dibebankan pada manajemen merupakan faktor pemicu yang paling penting dalam penerapan konservatisme pada kontrak kompensasi. Hal itu disebabkan pemulihan kondisi perusahaan dari kerugian yang dialami akibat kelebihan pemberian bonus dan investasi akan sulit dilakukan perusahaan jika manajer meninggalkan perusahaan sebelum arus kas hasil estimasi dari investasi yang menjadi kebijakan manajer tersebut dapat terealisasikan. Selain itu, tindak kecurangan yang dilakukan manajemen dengan memanipulasi estimasi arus kas akan sulit dibedakan dengan kerugian yang dapat dialami akibat risiko bisnis perusahaan. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, maka penerapan konservatisme dalam kontrak kompensasi berupa pensyaratan tingkat verifikasi yang lebih tinggi terhadap keuntungan daripada kerugian merupakan solusi terbaik bagi perusahaan untuk menjaga tindakan manajemen agar sesuai dengan tujuan peningkatan nilai perusahaan.

Konservatisme merupakan sistem dan mekanisme yang paling efektif untuk mengatur berbagai kontrak perusahaan dengan berbagai pihak agar tetap sejalan dengan tujuan peningkatan nilai perusahaan dan melindungi kesejahteraan pihak-pihak yang terlibat di dalam kontrak dengan perusahaan. Watts (2003) merangkum berbagai keuntungan yang dapat diperoleh dengan penerapan prinsip konservatisme dalam berbagai kontrak yang dibuat oleh perusahaan, diantaranya adalah :

Pada kontrak jaminan hutang, konservatisme mengurangi kemungkinan manajemen membatalkan investasi perusahaan pada proyek dengan nilai NPV positif, melebih-lebihkan nilai aktiva dan earning yang dilaporkan perusahaan dan membuat mekanisme pemberian dividen yang efektif kepada para pemegang saham tanpa mengorbankan kepentingan kreditor.

Pada kontrak kompensasi, konservatisme mengurangi kemungkinan adanya upaya manajemen untuk melebih-lebihkan nilai aktiva bersih dan earning demi keuntungan pribadinya.

Dalam tata kelola perusahaan, konservatisme memberikan sinyal dalam penyelidikan adanya proyek dengan NPV negatif dan memberikan kesempatan bagi pengelola perusahaan untuk mengambil tindakan yang diperlukan untuk mencegah terjadinya kerugian.

Pada akhirnya, peningkatan nilai perusahaan yang disebabkan oleh penerapan prinsip konservatisme memberikan tambahan kesejahteraan bagi seluruh stakeholder perusahaan.

Konservatisme dan Kontrak Utang


Dalam perjanjian kontrak utang, pada umumnya kreditor mensyaratkan kriteria-kriteria tertentu sebagai covenant atas utang yang diberikan. Hal tersebut dilakukan agar kreditur memperoleh jaminan bahwa perusahaan memiliki cukup kas untuk memenuhi kewajibannya kepada kreditur. Umumnya Debt Covenant tersebut berpedoman pada angka ataupun rasio akuntansi, seperti debt to equity, debt to asset , dan lain sebagainya.

Dalam kaitannya dengan kontrak utang, Watts dan Zimmerman (1990) mengajukan teori mengenai debt/equity hypothesis. Teori tersebut menyatakan bahwa semakin tinggi rasio debt to equity sebuah perusahaan, semakin besar probabilita manajer perusahaan tersebut menggunakan metode akuntansi yang lebih optimis untuk meningkatkan nilai laporan laba. Hal tersebut disebabkan semakin tingginya rasio debt equity perusahaan, maka semakin dekat perusahaan pada batas minimal rasio yang dipersyaratkan dalam kontrak utang. Semakin ketat batas yang dipersyaratkan dalam kontrak utang, maka semakin besar kemungkinan terjadinya pelanggaran kontrak utang. Dalam situasi tersebut, manajer yang memilih metode akuntansi yang lebih optimis akan mengurangi kemungkinan perusahaan melanggar kontrak utangnya dan menghindari perusahaan dari biaya renegosiasi kontrak utang.

Berbeda dengan debt to equity hypothesis, Ahmed, et al (2000) menyatakan bahwa semakin tinggi tingkat leverage perusahaan, yang menunjukkan semakin besarnya klaim kreditur terhadap aktiva yang dimiliki perusahaan, maka akan semakin tinggi konflik kepentingan antara bondholder dan shareholder. Kreditur yang ingin memperoleh jaminan bahwa perusahaan memiliki kemampuan finansial untuk melunasi kewajibannya akan memberikan persyaratan kepada perusahaan berupa restriksi atas pembayaran dividen baik secara langsung maupun tidak langsung dalam perjanjian kontrak utang (Smith dan Warner, 1979 ; Healy dan Palepu, 1990).

Restriksi langsung diterapkan dengan membatasi jumlah maksimum pemberian dividen kepada pemegang saham (Begley, 1994). Sementara, restriksi tidak langsung diterapkan dengan menetapkan besar rasio tertentu pada neraca yang harus dipertahankan perusahaan. Dalam hal ini, pengukuran akuntansi sangat mempengaruhi kebijakan pembatasan dividen dalam kontrak utang perusahaan. Dalam kaitannya dengan praktek akuntansi konservatif, penerapan prinsip tersebut akan mengurangi kemungkinan perusahaan memberikan pembayaran dividen yang berlebih kepada para pemegang saham. Oleh karena itu kreditur akan mensyaratkan penggunaan akuntansi konservatif pada perusahaan dengan tingkat utang yang tinggi.

Litigation


Ball et al, (1999) dan (2000) menyatakan bahwa lingkungan hukum yang berlaku pada suatu wilayah tertentu mempunyai dampak yang signifikan dalam kebijakan manajer dalam melaporkan kondisi keuangan perusahaannya (Juanda, 2007, p.6-7). Dalam hal ini, manajer akan menyeimbangkan biaya litigasi yang akan timbul dengan manfaat yang diperoleh dari pelaporan keuangan dengan kebijakan akuntansi yang agresif. Sehingga, perusahaan yang beroperasi pada wilayah dengan lingkungan hukum yang ketat akan cenderung menerapkan kebijakan akuntansi yang konservatif.

Manajer harus lebih berhati-hati dan mencermati kebijakan akuntansi yang diterapkan dalam melaporkan kondisi keuangan perusahaannya. Karena, sedikit kesalahan dalam penggunaan kebijakan akuntansi di wilayah hukum tempat perusahaan beroperasi dapat berpotensi menimbulkan tuntutan hukum serta biaya litigasi yang harus ditanggung perusahaan. Dalam prakteknya, kesalahan dalam memperkirakan kemungkinan keuntungan yang dapat diperoleh perusahaan berpotensi lebih tinggi menimbulkan tuntutan hukum dibandingkan kesalah dalam memperkirakan kemungkinan kerugian yang dialami perusahaan. Kellog (1984) menemukan bahwa pernyataan laba atau aset yang berlebihan lebih cenderung menyebabkan tuntutan hukum daripada pernyataan laba atau aset yang lebih rendah dengan rasio 13:1 (Watts, 2003, p.216).

Juanda (2007) menyatakan bahwa Risiko litigasi merupakan risiko yang melekat pada perusahaan yang memungkinkan terjadinya ancaman litigasi oleh stakeholder perusahaan yang merasa dirugikan. Dalam penelitiannya, Juanda menggunakan rasio likuiditas dan solvabilitas sebagai proksi dari risiko keuangan perusahaan. Rasio likuiditas menunjukkan bahwa semakin kecil nilai rasio yang dimiliki sebuah perusahaan semakin rendah kemampuan perusahaan untuk melunasi hutang-hutang lancarnya. Sehingga, semakin besar kemungkinan perusahaan terkena tuntutan hukum. Dalam kondisi tersebut, Juanda (2007) menyatakan bahwa perusahaan akan cenderung menerapkan akuntansi konservatif untuk menghindari risiko litigasi yang lebih besar.

Political Cost


Biaya politis muncul akibat adanya konflik kepentingan antara manajer dengan pemerintah sebagai pihak ketiga yang memiliki wewenang untuk mengalihkan kekayaan perusahaan kepada masyarakat sesuai peraturan yang berlaku. Watts dan Zimmerman (1986) menyatakan bahwa manajer memiliki kecenderungan untuk mengurangi nilai laporan laba untuk menghindari biaya politik yang besar. Hal tersebut disebabkan dalam proses pengalihan kekayaan perusahaan kepada kepentingan publik, pemerintah menggunakan informasi- informasi berbasis akuntansi. Wydia (2004) menyatakan bahwa semakin besar perusahaan, semakin besar perhatian pemerintah terhadapnya dan semakin besar kemungkinan untuk diatur. Dalam hal ini, perusahaan besar cenderung menjadi sorotan pemerintah dalam setiap undang-undang yang ditetapkannya.

Berdasarkan penjelasan di atas, biaya politis seringkali diproksikan dengan ukuran perusahaan. Lasdi (2008) menggunakan proksi sales growth dalam melihat ukuran perusahaan, sementara Belkoui dan Karpik (1989) dan Wydia (2004) menggunakan proksi net sales.