Faktor-faktor yang mempengaruhi kebahagian (well-being) seseorang, dilihat dari sudut pandang ilmu psikologi, antara lain ; Faktor Demografis, Faktor Dukungan Sosial, Evaluasi terhadap Pengalaman Hidup, Locus of Control (LOC) dan Faktor Religiusitas.
Faktor Demografis
Beberapa faktor demografis yang mempengaruhi kebahagian psikologi (well-being) antara lain :
1. Usia
Dalam penelitiannya, Ryff dan Keyes (1995) menemukan bahwa dimensi penguasaan lingkungan dan dimensi otonomi mengalami peningkatan seiring bertambahnya usia, terutama dari dewasa muda hingga dewasa madya.
Dimensi hubungan positif dengan orang lain juga mengalami peningkatan seiring bertambahnya usia. Sebaliknya, dimensi tujuan hidup dan pertumbuhan pribadi memperlihatkan penurunan seiring bertambahnya usia, penurunan ini terutama terjadi pada dewasa madya hingga dewasa akhir.
Dari penelitian tersebut menunjukkan tidak adanya perbedaan yang signifikan dalam dimensi penerimaan diri selama usia dewasa muda hingga dewasa akhir.
2. Jenis Kelamin
Penelitian Ryff (dalam Ryff & Keyes, 1995) menemukan bahwa dibandingkan pria, wanita memiliki skor yang lebih tinggi pada dimensi hubungan yang positif dengan orang lain dan dimensi pertumbuhan pribadi.
3. Status Sosial Ekonomi
Perbedaan kelas sosial juga mempengaruhi kondisi psychological well-being seorang individu. Data yang diperoleh dari Wisconsin Longitudinal Study memperlihatkan gradasi sosial dalam kondisi wellbeing pada dewasa madya.
Data tersebut memperlihatkan bahwa pendidikan tinggi dan status pekerjaan meningkatkan psychological wellbeing, terutama pada dimensi penerimaan diri dan dimensi tujuan hidup (Ryff, 1994).
Mereka yang menempati kelas sosial yang tinggi memiliki perasaan yang lebih positif terhadap diri sendiri dan masa lalu mereka, serta lebih memiliki rasa keterarahan dalam hidup dibandingkan dengan mereka yang berada di kelas sosial yang lebih rendah.
4. Budaya
Penelitian mengenai psychological well-being yang dilakukan di Amerika dan Korea Selatan menunjukkan bahwa responden di Korea Selatan memiliki skor yang lebih tinggi pada dimensi hubungan positif dengan orang lain dan skor yang rendah pada dimensi penerimaan diri.
Hal ini dapat disebabkan oleh orientasi budaya yang lebih bersifat kolektif dan saling ketergantungan. Sebaliknya, responden Amerika memiliki skor yang tinggi dalam dimensi pertumbuhan pribadi (untuk responden wanita) dan dimensi tujuan hidup (untuk responden pria), serta memiliki skor yang rendah dalam dimensi otonomi, baik pria maupun wanita (Ryff, 1994).
Dukungan Sosial
Menurut Davis (dalam Pratiwi, 2000), individu-individu yang mendapatkan dukungan sosial memiliki tingkat psychological well-being yang lebih tinggi.
Dukungan sosial diartikan sebagai rasa nyaman, perhatian, penghargaan, atau pertolongan yang dipersepsikan oleh seorang individu yang didapat dari orang lain atau kelompok
Dukungan ini dapat berasal dari berbagai sumber, diantaranya pasangan, keluarga, teman, rekan kerja, dokter, maupun organisasi sosial.
Dari penelitian-penelitian yang dilakukan oleh Cobb (1976), Cohen & McKay (1984), House (1984), Schaefer, Coyne, & Lazarus (1981), dan Wills (1984), ada empat jenis dukungan sosial, yaitu:
1. Dukungan Emosional (emotional support)
Dukungan emosional melibatkan empati, kepedulian, dan perhatian terhadap seseorang. Dukungan ini memberikan rasa nyaman, aman, dimiliki, dan dicintai pada individu penerima, terutama pada saat-saat stress.
2. Dukungan Penghargaan (esteem support)
Dukungan penghargaan muncul melalui pengungkapan penghargaan yang positif, dorongan atau persetujuan terhadap pemikiran atau perasaan, dan juga perbandingan yang positif antara individu dengan orang lain. Dukungan ini membangun harga diri, kompetensi, dan perasaan dihargai.
3. Dukungan Instrumental (tangible or instrumental support)
Dukungan instrumental melibatkan tindakan konkrit atau memberikan pertolongan secara langsung.
4. Dukungan Informasional (informational support)
Dukungan informasional meliputi pemberian nasehat, petunjuk, saran, atau umpan balik terhadap tingkah laku seseorang.
Evaluasi terhadap Pengalaman Hidup
Ryff (1989) mengemukakan bahwa pengalaman hidup tertentu dapat mempengaruhi kondisi psychological well-being seorang individu. Pengalaman-pengalaman tersebut mencakup berbagai bidang kehidupan dalam berbagai periode kehidupan. Evaluasi individu terhadap pengalaman hidupnya memiliki pengaruh yang penting terhadap psychological well-being (Ryff, 1995).
Pernyataan ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Ryff dan Essex (1992) mengenai pengaruh interpretasi dan evaluasi individu pada pengalaman hidupnya terhadap kesehatan mental. Interpretasi dan evaluasi pengalaman hidup diukur dengan mekanisme evaluasi diri oleh Rosenberg (dalam Ryff & Essex, 1992) dan dimensi-dimensi psychological wellbeing digunakan sebagai indikator kesehatan mental individu.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa mekanisme evaluasi diri ini berpengaruh pada psychological well-being individu, terutama dalam dimensi penguasaan lingkungan, tujuan hidup, dan hubungan yang positif dengan orang lain.
Mekanisme evaluasi diri yang dikemukakan oleh Rosenberg (dalam Ryff & Essex, 1992) adalah sebagai berikut:
1. Mekanisme Perbandingan Sosial (Social Comparison)
Dalam mekanisme perbandingan sosial, individu mempelajari dan mengevaluasi dirinya dengan cara membandingkan dirinya dengan orang lain. Perbandingan ini dapat mengarah pada evaluasi diri positif, negatif, atau netral, bergantung pada standar yang digunakan untuk perbandingan, yang dalam hal ini biasanya adalah orang atau kelompok referensi.
2. Mekanisme Perwujudan Penghargaan (Reflected Appraisal)
Mekanisme ini mengikuti premis simbolik interaksionis yang mengemukakan bahwa individu dipengaruhi oleh sikap yang ditunjukkan orang lain terhadap dirinya, sehingga lama-kelamaan individu akan memandang diri mereka sendiri sesuai dengan pandangan orang lain terhadap diri mereka.
Dengan kata lain, umpan balik yang dipersepsikan individu dari significant others selama mereka mengalami suatu pengalaman hidup tertentu merupakan suatu mekanisme evaluasi diri.
3. Mekanisme Persepsi Diri terhadap Tingkah Laku (Behavioral Self Perceptions)
Menurut Bern (dalam Ryff & Essex, 1992), individu menyimpulkan mengenai kecenderungan, kemampuan dan kompetensi mereka dengan cara mengobservasi tingkah laku mereka sendiri. Observasi diri ini merupakan bagian dari proses dimana individu memberikan makna terhadap pengalaman hidup mereka.
Mereka yang mempersepsikan perubahan positif dalam diri diharapkan dapat memandang pengalaman secara lebih positif sehingga dapat menunjukkan penyesuaian diri yang baik.
4. Mekanisme pemusatan psikologis (Psychological Centrality)
Dalam mekanisme ini, dikemukakan bahwa konsep diri tersusun dari beberapa komponen yang tersusun secara hirarki dan sifatnya memusat pada diri.
Dengan kata lain, ada komponen yang lebih terpusat darikomponen lain, dimana semakin terpusat suatu komponen, maka pengaruhnya semakin besar terhadap konsep diri. Oleh karena itu, untuk memahami dampak dari pengalaman hidup terhadap kondisi psychological well-being, maka harus dipahami pula sejauh mana persitiwa dan dampaknya mempengaruhi komponen utama atau komponen perifer dari konsep diri seseorang.
Jika pengalaman tersebut hanya mempengaruhi komponen yang bersifat perifer, maka mekanisme perbandingan sosial, perwujudan penghargaan, dan persepsi diri terhadap tingkah laku kurang berpengaruh terhadap psychological well-being, namun jika suatu pengalaman hidup mempengaruhi komponen komponen inti konsep diri, maka mekanisme perbandingan sosial, perwujudan penghargaan, dan persepsi diri terhadap tingkah laku akan sangat berpengaruh terhadap psychological well-being.
Untuk mendapatkan informasi mengenai inti dari identitas seorang individu, maka dapat ditanyakan seberapa penting komponen-komponen hidup yang berbeda, seperti kesehatan, keluarga, teman, dll, bagi mereka. Dalam kaitannya dengan penelitian ini, maka peneliti dapat menanyakan seberapa penting arti sebuah pernikahan dan keluarga bagi diri individu.
Locus of Control (LOC)
Locus of control didefinisikan sebagai suatu ukuran harapan umum seseorang mengenai pengendalian (kontrol) terhadap penguatan (reinforcement) yang mengikuti perilaku tertentu (Rotter, dalam Anastasi, 1997).
Beberapa penelitian (Phares, dalam Suherni, 2002) mencoba mengklasifikasikan ciri-ciri orang yang memiliki locus of control internal dan eksternal sebagai berikut:
-
Seseorang dengan LOC internal akan mencari informasi yang lebih banyak dibandingkan dengan orang yang memiliki LOC eksternal. Seseorang dengan LOC internal lebih banyak menggunakan data dan informasi yang akan menolong mereka dalam mengambil keputusan. Ia meyakini bahwa apa yang terjadi pada mereka ditentukan oleh diri mereka sendiri. Berbeda dengan LOC eksternal yang menganggap kejadian yang menimpa diri mereka disebabkan oleh faktor eksternal, seperti takdir dan kendali orang lain.
-
Seseorang dengan LOC internal akan lebih aktif dan konstruktif dalam situasi yang frustrasi. Mereka akan mengambil tindakan dalam menghadapi rintangan.
-
Seseorang yang mempunyai LOC internal akan lebih memberikan perhatian pada umpan balik atas tindakan mereka. Tingkah laku mereka secara penuh dipengaruhi oleh kesuksesan dan kegagalan masa lalu. Kalau mereka gagal, mereka akan mencari alternatif jalan keluar. Sedangkan seseorang dengan LOC eksternal akan menaruh perhatian yang sedikit pada umpan balik, lebih kaku, dan kurang adaptif.
-
Seseorang yang mempunyai LOC internal akan bertahan dalam tekanan sosial dan pengaruh masyarakat dibandingkan orang yang memiliki LOC eksternal dan sikap mereka relatif stabil. Sedangkan seseorang dengan LOC eksternal akan bersikap lebih konformis.
Robinson et.al (dalam Pratiwi, 2000) mengemukakan bahwa locus of control dapat memberikan peramalan terhadap well-being seseorang. Individu dengan locus of control internal pada umumnya memiliki tingkat psychological well-being yang lebih tinggi dibanding individu dengan locus of control eksternal.
Faktor Religiusitas
Penelitian-penelitian mengenai psikologi dan religiusitas yang dilakukan antara lain oleh Ellison dan Levin (1998), Ellison el.at (2001), Koenig (2004), Krause dan Ellison (2003) menemukan hubungan positif antara religiusitas dan psychological well-being (Flannelly, Koenig, Ellison, Galek, & Krause, 2006).
Kemudian, Chatter dan Ellison (dalam Levin, 1994) juga menemukan adanya kaitan antara keterlibatan religius (religious involvement) dengan well-being.
Dalam penelitian yang berjudul Religious Involvement Among Older African Americans yang ditulis oleh Levin (dalam Chatters & Taylor, 1994) ditemukan beberapa hal yang menunjukkan fungsi psikososial dari agama yang antara lain:
- Doa dapat berperan penting sebagai coping dalam menghadapi masalah pribadi,
- Partisipasi aktif dalam kegiatan keagamaan dapat berdampak pada persepsi rasa penguasaan lingkungan dan meningkatkan self-esteem,
- Keterlibatan religius merupakan prediktor evaluasi kepuasan hidup.