Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kebahagian (well being) seseorang?

Kebahagiaan adalah istilah umum yang menunjukkan kenikmatan atau kepuasan yang menyenangkan dalam kesejahteraan, keamanan, atau pemenuhan keinginan. Kebahagiaan adalah pencapaian cita-cita dan keberhasilan dalam apa yang diinginkan. Kebahagiaaan, merupakan tujuan utama dalam kehidupan manusia.

Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kebahagian (well being) seseorang?

Faktor-faktor yang mempengaruhi kebahagian (well-being) seseorang, dilihat dari sudut pandang ilmu psikologi, antara lain ; Faktor Demografis, Faktor Dukungan Sosial, Evaluasi terhadap Pengalaman Hidup, Locus of Control (LOC) dan Faktor Religiusitas.

Faktor Demografis

Beberapa faktor demografis yang mempengaruhi kebahagian psikologi (well-being) antara lain :

1. Usia

Dalam penelitiannya, Ryff dan Keyes (1995) menemukan bahwa dimensi penguasaan lingkungan dan dimensi otonomi mengalami peningkatan seiring bertambahnya usia, terutama dari dewasa muda hingga dewasa madya.

Dimensi hubungan positif dengan orang lain juga mengalami peningkatan seiring bertambahnya usia. Sebaliknya, dimensi tujuan hidup dan pertumbuhan pribadi memperlihatkan penurunan seiring bertambahnya usia, penurunan ini terutama terjadi pada dewasa madya hingga dewasa akhir.

Dari penelitian tersebut menunjukkan tidak adanya perbedaan yang signifikan dalam dimensi penerimaan diri selama usia dewasa muda hingga dewasa akhir.

2. Jenis Kelamin

Penelitian Ryff (dalam Ryff & Keyes, 1995) menemukan bahwa dibandingkan pria, wanita memiliki skor yang lebih tinggi pada dimensi hubungan yang positif dengan orang lain dan dimensi pertumbuhan pribadi.

3. Status Sosial Ekonomi

Perbedaan kelas sosial juga mempengaruhi kondisi psychological well-being seorang individu. Data yang diperoleh dari Wisconsin Longitudinal Study memperlihatkan gradasi sosial dalam kondisi wellbeing pada dewasa madya.

Data tersebut memperlihatkan bahwa pendidikan tinggi dan status pekerjaan meningkatkan psychological wellbeing, terutama pada dimensi penerimaan diri dan dimensi tujuan hidup (Ryff, 1994).

Mereka yang menempati kelas sosial yang tinggi memiliki perasaan yang lebih positif terhadap diri sendiri dan masa lalu mereka, serta lebih memiliki rasa keterarahan dalam hidup dibandingkan dengan mereka yang berada di kelas sosial yang lebih rendah.

4. Budaya

Penelitian mengenai psychological well-being yang dilakukan di Amerika dan Korea Selatan menunjukkan bahwa responden di Korea Selatan memiliki skor yang lebih tinggi pada dimensi hubungan positif dengan orang lain dan skor yang rendah pada dimensi penerimaan diri.

Hal ini dapat disebabkan oleh orientasi budaya yang lebih bersifat kolektif dan saling ketergantungan. Sebaliknya, responden Amerika memiliki skor yang tinggi dalam dimensi pertumbuhan pribadi (untuk responden wanita) dan dimensi tujuan hidup (untuk responden pria), serta memiliki skor yang rendah dalam dimensi otonomi, baik pria maupun wanita (Ryff, 1994).

Dukungan Sosial

Menurut Davis (dalam Pratiwi, 2000), individu-individu yang mendapatkan dukungan sosial memiliki tingkat psychological well-being yang lebih tinggi.

Dukungan sosial diartikan sebagai rasa nyaman, perhatian, penghargaan, atau pertolongan yang dipersepsikan oleh seorang individu yang didapat dari orang lain atau kelompok

Dukungan ini dapat berasal dari berbagai sumber, diantaranya pasangan, keluarga, teman, rekan kerja, dokter, maupun organisasi sosial.

Dari penelitian-penelitian yang dilakukan oleh Cobb (1976), Cohen & McKay (1984), House (1984), Schaefer, Coyne, & Lazarus (1981), dan Wills (1984), ada empat jenis dukungan sosial, yaitu:

1. Dukungan Emosional (emotional support)

Dukungan emosional melibatkan empati, kepedulian, dan perhatian terhadap seseorang. Dukungan ini memberikan rasa nyaman, aman, dimiliki, dan dicintai pada individu penerima, terutama pada saat-saat stress.

2. Dukungan Penghargaan (esteem support)

Dukungan penghargaan muncul melalui pengungkapan penghargaan yang positif, dorongan atau persetujuan terhadap pemikiran atau perasaan, dan juga perbandingan yang positif antara individu dengan orang lain. Dukungan ini membangun harga diri, kompetensi, dan perasaan dihargai.

3. Dukungan Instrumental (tangible or instrumental support)

Dukungan instrumental melibatkan tindakan konkrit atau memberikan pertolongan secara langsung.

4. Dukungan Informasional (informational support)

Dukungan informasional meliputi pemberian nasehat, petunjuk, saran, atau umpan balik terhadap tingkah laku seseorang.

Evaluasi terhadap Pengalaman Hidup

Ryff (1989) mengemukakan bahwa pengalaman hidup tertentu dapat mempengaruhi kondisi psychological well-being seorang individu. Pengalaman-pengalaman tersebut mencakup berbagai bidang kehidupan dalam berbagai periode kehidupan. Evaluasi individu terhadap pengalaman hidupnya memiliki pengaruh yang penting terhadap psychological well-being (Ryff, 1995).

Pernyataan ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Ryff dan Essex (1992) mengenai pengaruh interpretasi dan evaluasi individu pada pengalaman hidupnya terhadap kesehatan mental. Interpretasi dan evaluasi pengalaman hidup diukur dengan mekanisme evaluasi diri oleh Rosenberg (dalam Ryff & Essex, 1992) dan dimensi-dimensi psychological wellbeing digunakan sebagai indikator kesehatan mental individu.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa mekanisme evaluasi diri ini berpengaruh pada psychological well-being individu, terutama dalam dimensi penguasaan lingkungan, tujuan hidup, dan hubungan yang positif dengan orang lain.

Mekanisme evaluasi diri yang dikemukakan oleh Rosenberg (dalam Ryff & Essex, 1992) adalah sebagai berikut:

1. Mekanisme Perbandingan Sosial (Social Comparison)

Dalam mekanisme perbandingan sosial, individu mempelajari dan mengevaluasi dirinya dengan cara membandingkan dirinya dengan orang lain. Perbandingan ini dapat mengarah pada evaluasi diri positif, negatif, atau netral, bergantung pada standar yang digunakan untuk perbandingan, yang dalam hal ini biasanya adalah orang atau kelompok referensi.

2. Mekanisme Perwujudan Penghargaan (Reflected Appraisal)

Mekanisme ini mengikuti premis simbolik interaksionis yang mengemukakan bahwa individu dipengaruhi oleh sikap yang ditunjukkan orang lain terhadap dirinya, sehingga lama-kelamaan individu akan memandang diri mereka sendiri sesuai dengan pandangan orang lain terhadap diri mereka.

Dengan kata lain, umpan balik yang dipersepsikan individu dari significant others selama mereka mengalami suatu pengalaman hidup tertentu merupakan suatu mekanisme evaluasi diri.

3. Mekanisme Persepsi Diri terhadap Tingkah Laku (Behavioral Self Perceptions)

Menurut Bern (dalam Ryff & Essex, 1992), individu menyimpulkan mengenai kecenderungan, kemampuan dan kompetensi mereka dengan cara mengobservasi tingkah laku mereka sendiri. Observasi diri ini merupakan bagian dari proses dimana individu memberikan makna terhadap pengalaman hidup mereka.

Mereka yang mempersepsikan perubahan positif dalam diri diharapkan dapat memandang pengalaman secara lebih positif sehingga dapat menunjukkan penyesuaian diri yang baik.

4. Mekanisme pemusatan psikologis (Psychological Centrality)

Dalam mekanisme ini, dikemukakan bahwa konsep diri tersusun dari beberapa komponen yang tersusun secara hirarki dan sifatnya memusat pada diri.

Dengan kata lain, ada komponen yang lebih terpusat darikomponen lain, dimana semakin terpusat suatu komponen, maka pengaruhnya semakin besar terhadap konsep diri. Oleh karena itu, untuk memahami dampak dari pengalaman hidup terhadap kondisi psychological well-being, maka harus dipahami pula sejauh mana persitiwa dan dampaknya mempengaruhi komponen utama atau komponen perifer dari konsep diri seseorang.

Jika pengalaman tersebut hanya mempengaruhi komponen yang bersifat perifer, maka mekanisme perbandingan sosial, perwujudan penghargaan, dan persepsi diri terhadap tingkah laku kurang berpengaruh terhadap psychological well-being, namun jika suatu pengalaman hidup mempengaruhi komponen komponen inti konsep diri, maka mekanisme perbandingan sosial, perwujudan penghargaan, dan persepsi diri terhadap tingkah laku akan sangat berpengaruh terhadap psychological well-being.

Untuk mendapatkan informasi mengenai inti dari identitas seorang individu, maka dapat ditanyakan seberapa penting komponen-komponen hidup yang berbeda, seperti kesehatan, keluarga, teman, dll, bagi mereka. Dalam kaitannya dengan penelitian ini, maka peneliti dapat menanyakan seberapa penting arti sebuah pernikahan dan keluarga bagi diri individu.

Locus of Control (LOC)

Locus of control didefinisikan sebagai suatu ukuran harapan umum seseorang mengenai pengendalian (kontrol) terhadap penguatan (reinforcement) yang mengikuti perilaku tertentu (Rotter, dalam Anastasi, 1997).

Beberapa penelitian (Phares, dalam Suherni, 2002) mencoba mengklasifikasikan ciri-ciri orang yang memiliki locus of control internal dan eksternal sebagai berikut:

  1. Seseorang dengan LOC internal akan mencari informasi yang lebih banyak dibandingkan dengan orang yang memiliki LOC eksternal. Seseorang dengan LOC internal lebih banyak menggunakan data dan informasi yang akan menolong mereka dalam mengambil keputusan. Ia meyakini bahwa apa yang terjadi pada mereka ditentukan oleh diri mereka sendiri. Berbeda dengan LOC eksternal yang menganggap kejadian yang menimpa diri mereka disebabkan oleh faktor eksternal, seperti takdir dan kendali orang lain.

  2. Seseorang dengan LOC internal akan lebih aktif dan konstruktif dalam situasi yang frustrasi. Mereka akan mengambil tindakan dalam menghadapi rintangan.

  3. Seseorang yang mempunyai LOC internal akan lebih memberikan perhatian pada umpan balik atas tindakan mereka. Tingkah laku mereka secara penuh dipengaruhi oleh kesuksesan dan kegagalan masa lalu. Kalau mereka gagal, mereka akan mencari alternatif jalan keluar. Sedangkan seseorang dengan LOC eksternal akan menaruh perhatian yang sedikit pada umpan balik, lebih kaku, dan kurang adaptif.

  4. Seseorang yang mempunyai LOC internal akan bertahan dalam tekanan sosial dan pengaruh masyarakat dibandingkan orang yang memiliki LOC eksternal dan sikap mereka relatif stabil. Sedangkan seseorang dengan LOC eksternal akan bersikap lebih konformis.

Robinson et.al (dalam Pratiwi, 2000) mengemukakan bahwa locus of control dapat memberikan peramalan terhadap well-being seseorang. Individu dengan locus of control internal pada umumnya memiliki tingkat psychological well-being yang lebih tinggi dibanding individu dengan locus of control eksternal.

Faktor Religiusitas

Penelitian-penelitian mengenai psikologi dan religiusitas yang dilakukan antara lain oleh Ellison dan Levin (1998), Ellison el.at (2001), Koenig (2004), Krause dan Ellison (2003) menemukan hubungan positif antara religiusitas dan psychological well-being (Flannelly, Koenig, Ellison, Galek, & Krause, 2006).

Kemudian, Chatter dan Ellison (dalam Levin, 1994) juga menemukan adanya kaitan antara keterlibatan religius (religious involvement) dengan well-being.

Dalam penelitian yang berjudul Religious Involvement Among Older African Americans yang ditulis oleh Levin (dalam Chatters & Taylor, 1994) ditemukan beberapa hal yang menunjukkan fungsi psikososial dari agama yang antara lain:

  • Doa dapat berperan penting sebagai coping dalam menghadapi masalah pribadi,
  • Partisipasi aktif dalam kegiatan keagamaan dapat berdampak pada persepsi rasa penguasaan lingkungan dan meningkatkan self-esteem,
  • Keterlibatan religius merupakan prediktor evaluasi kepuasan hidup.

Faktor Internal

Menurut Martin Seligman, terdapat tiga faktor internal yang berkontribusi terhadap kebahagiaan, yaitu :

1. Kepuasan terhadap masa lalu

Kepuasan terhadap masa lalu dapat dicapai melalui tiga cara:

  • Melepaskan pandangan masa lalu sebagai penentu masa depan seseorang.

  • Gratitude (bersyukur) terhadap hal-hal baik dalam hidup akan meningkatkan kenangan-kenangan positif.

  • Forgiving dan forgetting (memaafkan dan melupakan) perasaan seseorang terhadap masa lalu tergantung sepenuhnya pada ingatan yang dimilikinya. Salah satu cara untuk menghilangkan emosi negatif mengenai masa lalu adalah dengan memaafkan. Memaafkan dapat menurunkan stress dan meningkatkan kemungkinan terciptanya kepuasan hidup.

Defenisi memaafkan menurut Affinito adalah memutuskan untuk tidak menghukum pihak yang menurut seseorang telah berlaku tidak adil padanya, bertindak sesuai dengan keputusan tersebut dan mengalami kelegaan emosi setelahnya.

2. Optimisme terhadap masa depan

Optimisme didefinisikan sebagai ekspektasi secara umum bahwa akan terjadi lebih banyak hal baik dibandingkan hal buruk di masa yang akan datang.

3. Kebahagiaan pada masa sekarang

Kebahagiaan masa sekarang melibatkan dua hal, yaitu:

Pleasure yaitu kesenangan yang memiliki komponen sensori dan emosional yang kuat, sifatnya sementara dan melibatkan sedikit pemikiran.

Pleasure terbagi menjadi dua, yaitu bodily pleasures yang didapat melalui indera dan sensori, dan higher pleasures yang didapat melalui aktivitas yang lebih kompleks.

Ada tiga hal yang dapat meningkatkan kebahagiaan sementara, yaitu

  • Menghindari habituasi dengan cara memberi selang waktu cukup panjang antar kejadian menyenangkan;
  • Savoring (menikmati) yaitu menyadari dan dengan sengaja memperhatikan sebuah kenikmatan;
  • Mindfulness (kecermatan) yaitu mencermati dan menjalani segala pengalaman dengan tidak terburu–buru dan melalui perspektif yang berbeda.

Gratification yaitu kegiatan yang sangat disukai oleh seseorang namun tidak selalu melibatkan perasaan tertentu, dan durasinya lebih lama dibandingkan pleasure, kegiatan yang memunculkan gratifikasi umumnya memiliki komponen seperti menantang, membutuhkan keterampilan dan konsentrasi, bertujuan, ada umpan balik langsung, pelaku tenggelam di dalamnya, ada pengendaian, kesadaran diri pupus, dan waktu seolah berhenti.

Dapat disimpulkan dari tiga faktor internal dari Seligman yang merumuskan tiga emosi positif berdasarkan orientasi waktunya, yaitu ; emosi positif yang ditujukan pada masa lalu, masa sekarang dan masa depan.

  • Emosi positif yang ditujukan pada masa lalu, seperti rasa puas, damai dan bangga.
  • Emosi positif yang ditujukan pada masa sekarang, seperti kenikmatan lahiriah (misalnya kelezatan makanan, kehangatan, dan orgasme) dan kenikmatan yang lebih tinggi seperti senang, gembira, dan nyaman.
  • Emosi positif yang ditujukan pada masa depan, seperti optimisme, harapan, kepastian (confidence), kepercayaan (trust), dan keyakinan (faith). Emosi positif pada masa depan tersebut ditunjang oleh bagaimana individu memandang masa depannya.

Faktor Eksternal

Berikut adalah faktor-faktor ekternal yang mempengaruhi kebahagiaan seseorang, yaitu:

  • Budaya, Triandis mengatakan bahwa faktor budaya dan sosial politik berperan dalam tingkat kebahagiaan seseorang.

  • Kehidupan Sosial, Menurut Seligman, orang yang sangat bahagia menjalani kehidupan sosial yang kaya dan memuaskan, paling sedikit menghabiskan waktu sendirian dan mayoritas dari mereka bersosialisasi.

  • Agama atau Religiusitas, orang yang religius lebih bahagia dan lebih puas terhadap kehidupan daripada orang yang tidak religius. Hal ini dikarenakan agama memberikan harapan akan masa depan dan menciptakan makna dalam hidup bagi manusia.

  • Pernikahan, Seligman mengatakan bahwa pernikahan sangat erat hubungannya dengan kebahagiaan. Kebahagiaan orang yang menikah mempengaruhi panjang usia dan besar penghasilan dan hal ini berlaku pada laki-laki maupun perempuan.

  • Usia, kepuasan hidup sedikit meningkat sejalan dengan bertambahnya usia, afek positif sedikit melemah, dan afek negatif tidak berubah menjelaskan hal yang berubah ketika seseorang menua adalah intensitas emosi dimana perasaan “mencapai puncak dunia” dan “terpuruk dalam keputusasaan” berkurang seiring dengan bertambahnya umur dan pengalaman.

  • Uang, Seligman menjelaskan bahwa di Negara yang sangat miskin, kaya bisa berarti lebih bahagia. Namun di Negara yang lebih makmur dimana hampir semua orang memperoleh kebutuhan dasar, peningkatan kekayaan tidak begitu berdampak pada kebahagiaan.

  • Kesehatan, kesehatan objektif yang baik tidak begitu berkaitan dengan kebahagiaan. Menurut Seligman yang penting adalah persepsi subjektif kita terhadap seberapa sehat diri kita.

  • Jenis Kelamin, jenis kelamin memiliki hubungan yang tidak konsisten dengan kebahagiaan. Wanita memiliki kehidupan emosional yang lebih ekstrim daripada pria. Wanita mengalami lebih banyak emosi positif dengan intensitas yang lebih tinggi dibandingkan pria. Seligman juga menjelaskan bahwa tingkat emosi rata–rata pria dan wanita tidak berbeda namun wanita lebih bahagia dan juga lebih sedih daripada pria.

Berbagai faktor yang mempengaruhi kebahagiaan seseorang, diantaranya,

  1. Hidup dalam suasana demokrasi yang sehat.

    Sebagian lingkungan memang mengubah kebahagiaan menjadi lebih baik. Namun upaya mengubah lingkungan biasanya mahal dan tidak praktis, banyak orang yang meremehkan tentang kebahagiaan orang lain. Sebagian besar orang tanpa memandang lingkungan objektif mereka mengatakan mereka merasa bahagia dan bersamaan dengan itu, mereka sangat rendah dalam memperkirakan kebahagiaan orang lain (Seligman, 2005).

  2. Kepuasan kerja

    Kepuasan kerja merupakan salah satu factor pembentuk kebahagiaan dalam kehidupan seseorang. Perasaan puas pada hasil kerja sendiri dan perasaan berfaedah berkorelasi erat dengan kebahagiaan. Pekerjaan bukan hanya menjadi alat umtuk mendapatkan uang, tetapi juga isyarat bahwa seseorang dibutuhkan dan dihargai oleh orang lain, dan juga untuk meyakinkan bahwa seseorang telah melakukan hal yang bermanfaat. Hasil kerja yang memuaskan, baik yang diberi upah atau tidak, mendorong seseorang untuk memandang ke depan dan berpartisipasi menciptakan kebaikan bersama (Khavari dalam Mardliyah, 2010).

  3. Menikah

    Perkawinan juga memiliki hubungan yang sangat erat dengan kebahagiaan seseorang. Perkawinan terkadang dicerca sebagai belenggu dan terkadang dipuji sebagai kenikmatan abadi. Kebahagiaan orang yang menikah mempengaruhi panjang usia dan besar penghasilan dan ini berlaku baik pada laki-laki maupun perempuan. Namun perkawinan yang tidak harmonis menurunkan kebahagiaan (Seligman, 2005).

  4. Memiliki jaringan sosial yang kaya

    Orang-orang yang sangat berbahagia orang yang terlibat dalam hubungan romantis. Orang yang sangat bahagia jauh berbeda dengan orang rata-rata dan orang yang tidak bahagia, yaitu mereka menjalani kehidupan sosial yang kaya dan memuaskan. Orang-orang yang sangat berbahagia paling sedikit menghabiskan waktu sendirian dan kebanyakan dari mereka bersosialisasi. Berdasarkan penilaian sendiri maupun teman, mereka mendapat nilai tertinggi dalam berinteraksi (Seligman, 2005).

  5. Hindari kejadian negatif dan emosi negatif

    Dalam emosi negatif, hanya terdapat sedikit korelasi negative antara emosi positif dan emosi negatif.Ini berarti, jika banyak memiliki emosi negatif, mungkin lebih sedikit memiliki emosi positif dibandingkan dengan rata-rata. Meskipun demikian, ini tidak tercampak dari kehidupan riang gembira. Demikian pula dengan, meskipun memiliki banyak emosi positif dalam hidup, tidak berarti terlindungi dari kepedihan. Kegembiraan tertinggi datang setelah terbebas dari ketakutan terburuk (Seligman, 2005).

  6. Beragama

    Relevansi yang paling langsung tampak pada fakta bahwa data survey secara konsisten menunjukkan bahwa orang-orang yang religius lebih bahagia dan lebih puas terhadap kehidupan daripada orang yang tidak religius. Agama mengisi manusia dengan harapan akan masa depan dan menciptakan makna dalam hidup (Seligman, 2005).

Menurut Seligman (2005) dalam bukunya yang berjudul "Authentic Happiness: Using the New Positive Psychology to Realize Your Potential for Lasting Fulfillment” membedakan kebahagiaan yang bersifat sementara dengan kebahagiaan yang menetap. Kebahagiaan yang menetap merupakan hasil kontribusi dari lingkungan (circumstances) dan faktor-faktor yang berada dibawah pengendalian diri seseorang (voluntary control).

Lingkungan (circumstances)

Seligman memberikan delapan faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi kebahagiaan seseorang, namun tidak semua memiliki pengaruh yang besar terhadap kebahagiaan. Faktor-faktor lingkungan yang berkontribusi terhadap kebahagiaan seseorang menurut Seligman, diantara lain adalah:

  1. Uang
    Dinegara-negara yang sangat miskin, yang disana kemiskinan dapat mengancam nyawa, memang kaya bisa lebih berarti bahagia. Namun, dinegara yang lebih makmur, tempat hampir semua orang memperoleh kebutuhan dasar, peningkatan kekayaan tidak begitu berdampak pada kebahagiaan pribadi. Individu yang menempatkan uang di atas goal (tujuan) yang lainnya juga akan cenderung menjadi kurang puas dengan pemasukan dan kehidupannya secara keseluruhan (Seligman 2005).

  2. Pernikahan
    Pernikahan memiliki dampak yang jauh lebih besar dibanding uang dalam mempengaruhi kebahagiaan seseorang. Individu yang menikah cenderung lebih bahagia dari pada mereka yang tidak menikah, namun jika isteri merasa tidak bahagia dalam rumah tangganya, ia memiliki tingkat kebahagiaan yang lebih rendah dibandingkan mereka yang bahkan tidak menikah. Lebih bahagianya individu yang telah menikah bisa karena pernikahan menyediakan keintiman psikologis dan fisik, konteks untuk memiliki anak, membangun rumah tangga, dan mengafirmasi identitas, serta peran sosial sebagai orang tua.

  3. Kehidupan sosial
    Orang yang sangat bahagia berbeda dengan orang rata-rata dan orang yang tidak bahagia. Individu yang memiliki tingkat kebahagiaan tinggi umumnya memiliki kehidupan sosial yang memuaskan dan menghabiskan banyak waktu bersosialisasi. Orang yang sangat bahagia paling sedikit menghabiskan waktu sendirian. Sehingga keikutsertaan seseorang dalam aktivitas yang membuatnya bertemu dengan banyak teman akan berkontribusi positif terhadap kebahagiaan. Pertemanan yang terjalin juga sebaiknya terbuka antara satu sama lain sehingga berkontribusi terhadap kebahagiaan, karena dalam pertemanan tersedia dukungan sosial dan terpenuhinya akan kebutuhan afiliasi.

  4. Emosi positif
    Melalui penelitian yang dilakukan oleh Norman Bradburn (1969) diketahui bahwa individu yang mengalami banyak emosi negatif akan mengalami lebih sedikit emosi positif, dan sebaliknya. Hanya terdapat sedikit korelasi negatif antara emosi positif dengan emosi negatif. Ini berarti, jika memiliki banyak emosi negatif, maka dimungkinkan memiliki lebih sedikit emosi positif dibandingkan dengan rata-rata. Meskipun demikian, tidak berarti orang yang memiliki banyak emosi negatif akan tercampak dari kehidupan yang gembira. Demikian pula meskipun individu memiliki banyak emosi positif dalam hidup, tidak berarti individu tersebut sangat terlindung dari kepedihan.

  5. Usia
    Sebuah studi mengenai kebahagiaan terhadap 60.000 orang dewasa di 40 negara membagi kebahagiaan ke dalam tiga komponen, yaitu kepuasan hidup, afek menyenagkan, dan afek tidak menyenangkan. Kepuasan hidup meningkat perlahan seiring dengan usia, afek menyenangkan menurun sedikit, dan afek tidak menyenangkan tidak berubah. Berdasarkan hasil tersebut, maka usia muda bukan berarti lebih bahagia dibandingkan dengan usia tua.

  6. Agama
    Hubungan sebab akibat antara agama dan hidup yang lebih sehat dan lebih promasyarakat sudah bukan misteri. Banyak agama melarang penggunaan narkotika, kejahatan, perselingkuhan, dan sebaliknya mendukung untuk beramal, hidup sederhana, dan bekerja keras. Pada masa puncak behaviorisme, manfaat emosional dari agama dijelaskan berasal dari dorongan emosional yang lebih besar. Menurut pandangan ini pula orang-orang religius berkumpul bersama membentuk suatu komunitas perkawanan yang simpatik dan ini membuat mereka merasa lebih baik. namun, tidak hanya sekedar itu, terdapat korelasi yang lebih mendasar. Agama mengisi manusia dengan harapan akan masa depan dan menciptakan makna dalam hidup. Oleh karena itu, individu yang religius, dalam artian menjalankan perintah agama dan mengikuti perintah keagamaan tertentu akan mendapatkan kontribusi yang positif terhadap kebahagiaannya dibandingkan yang tidak religius.

  7. Kesehatan
    Kesehatan yang dapat berpengaruh terhadap kebahagiaan adalah kesehatan yang dipersepsikan individu (kesehatan subyektif), bukan kesehatan yang sebenarnya dimiliki (kesehatan obyektif). Sehingga individu yang merasa dirinya sehat akan mendapat kontribusi positif terhadap kebahagiaannya dibanding individu yang merasa dirinya kurang sehat, terlepas dari kondisi kesehatan mereka yang sesungguhnya. Namun jika sakit yang dialami parah dan berkepanjangan, kebahagiaan dapat mengalami penurunan walaupun tidak terlalu banyak.

  8. Pendidikan, iklim, ras, dan jender
    Keempat hal ini memiliki pengaruh yang tidak terlalu besar terhadap tingkat kebahagiaan seseorang. Pendidikan mempunyai pengaruh yang sedikit terhadap kebahagiaan. Pendidikan dapat sedikit meningkatkan kebahagiaan pada mereka yang berpenghasilan rendah karena pendidikan merupakan sarana untuk mencapai pendapatan yang lebih baik. iklim di daerah dimana seseorang tinggal dan ras juga tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kebahagiaan.

    Sedangkan jender, antara pria dan wanita tidak terdapat perbedaan pada keadaan emosinya, namun ini karena wanita cenderung lebih bahagia dan lebih sedih dibandingkan pria.

Pengendalian diri seseorang (voluntary control)

Menurut Seligman, terdapat tiga faktor yang berada dibawah pengendalian diri seseorang (voluntary control) yang berkontribusi terhadap kebahagiaan, yaitu kepuasan terhadap masa lalu, optimisme terhadap masa depan, dan kebahagiaan pada masa sekarang. Ketiga hal tersebut tidak selalu dapat dirasakan secara bersamaan, seseorang bisa saja bangga dan puas terhadap masa lalunya namun merasa getir dan pesimis terhadap masa sekarang dan yang akan datang.

Faktor yang berada dibawah pengendalian diri seseorang (voluntary control) yang berkontribusi terhadap kebahagiaan berbeda dengan faktor lingkungan, dimana faktor ini merupakan hal-hal yang berada dalam kontrol secara sadar seseorang. Faktor ini terdiri atas kepuasan terhadap masa lalu, optimisme terhadap masa depan, dan kebahagiaan pada masa sekarang.

1. Kepuasan terhadap masa lalu

Kepuasan terhadap masa lalu dapat dicapai melalui tiga cara:

  1. Merubah pandangan masa lalu sebagai penentu masa depan seseorang.
    Misalnya, seorang anak yang dulunya pernah mengalami pengalaman yang tidak mengenakkan dalam keluarganya seperti halnya broken home, maka dia tidak menganggap bahwa masa depannya akan hancur.

  2. Gratitude (bersyukur)
    Dengan adanya gratitude terhadap hal-hal baik dalam hidup akan meningkatkan kenangan-kenangan positif. Rasa syukur dapat menambah kepuasan hidup adalah bahwa rasa ini menambah intensitas, kekerapan, maupun kesan yang baik tentang masa lalu. Misalnya pada anak yang orang tuanya bercerai (broken home), kepuasan hidup dapat dicapai jika ia lebih berfokus pada hal-hal yang baik dan menyenangkan dalam kehidupannya bersama keluarganya.

  3. Forgiving and Forgetting (memaafkan dan melupakan)
    Perasaan seseorang mengenai masa lalu tergantung sepenuhnya pada ingatan yang dimilikinya. Salah satu cara untuk menghilangkan emosi negatif mengenai masa lalu adalah dengan memaafkan. Dengan memaafkan dapat memungkinkan tercapainya kepuasan hidup. Adapun melupakan disini bukan berarti menghilangkan memori mengenai suatu hal, namun mengubah atau menghilangkan hal yang menyakitkan.

2. Optimisme terhadap masa depan

Emosi positif mengenai masa depan mencakup keyakinan (faith), kepercayaan (Trust), kepastian (confidence), harapan dan optimisme. Optimisme dan harapan memberikan daya tahan yang lebih baik dalam meghadapi depresi tatkala musibah melanda.

Orang pesimistis memikirkan hal-hal buruk dengan kata “selalu” Dan “tidak pernah”. Mereka mudah menyerah dan percaya bahwa penyebab kejadian buruk yang menimpa mereka bersifat permanen, kejadian itu akan terus berlangsung selalu hadir mempengaruhi hidup mereka. Sedangkan orang optimistis memikirkan hal-hal buruk dalam istilah “kadang-kadang”, dan “akhir-akhir ini”, lebih mengarah pada penyebab kejadian buruk itu bersifat sementara. Orang optimis jika dihadapkan pada kesulitan, mereka memandangnya sebagai tantangan dan berusaha lebih keras. Mereka juga percaya bahwa kekalahan tersebut bukan karena kesalahan mereka, melainkan karena keadaan atau lingkungan. Hal ini bukan berarti tidak pernah merasa bersalah atau egois, namun mereka memiliki kemampuan untuk membangkitkan diri sendiri dengan mengedepankan hal-hal positif yang dimiliki.

Seligman mengungkapkan sebuah model untuk meningkatkan optimisme yang kemudian ia sebut model ABCDE.

  1. A (adversity), adalah kondisi menyulitkan yang dihadapi

  2. B (belief) adalah kepercayaan atau interpretasi seseorang mengenai kesulitan tersebut dan alasan terjadinya

  3. C (consequences) adalah konsekuensi atas belief yang dimiliki bersifat pribadi dan permanen maka akan cenderung menyerah terhadap masalah, sedangkan jika belief yang dimiliki sebaliknya, orang tersebut akan merasa energized.

  4. D (disputation), yaitu menyangkal atau menolak pemikiran atau belief pesimis yang dimiliki. Terdapat empat cara untuk menyangkal belief negatif.

    • Evidence, menyangkal belief negatif dengan mengedepankan fakta mengenai kejadian.

    • Alternative, mencari berbagai faktor yang berkontribusi terhadap munculnya kejadian tersebut dan berfokus kepada yang paling tidak destruktif, misalnya yang dapat diubah, spesifik, dan nonpersonal.

    • Implications, mencari implikasi dari kejadian dan menimbang seberapa fatal akibatnya jika belief yang dimiliki benar.

    • Usefulness, berpikir bahwa berkutat pada belief yang negatif tidak akan membantu dan justeru menghambat.

  5. E (energization), yaitu hasil yang didapat, biasanya berupa perasaan lega atau bersemangat kembali setelah berhasil meenyangkal pemikiran pesimis.

3. Kebahagiaan pada masa sekarang

Kebahagiaan pada masa sekarang melibatkan dua hal:

  1. Pleasures, yaitu kesenangan yang memiliki komponen sensori dan emosional yang kuat, sifatnya sementara dan melibatkan sedikit pemikiran. Pleasures terbagi menjadi dua, yaitu bodily pleasures yang didapat melalui indera atau sensori, dan higher pleasures yang didapat melalui aktifitas yang lebih kompleks. Ada tiga hal yang dapat meningkatkan kebahagiaan sementara, yaitu menghindari habituasi dengan memberikan selang waktu yang cukup panjang antar kejadian menyenangkan, savoring (menikmati) yaitu menyadari dan dengan sengaja memperhatikan sebuah kenikmatan, serta mindfulness (kecermatan) yaitu mencermati dan menjalani segala pengalaman dengan tidak terburu-buru dan melaui perspektif yang berbeda. Contoh dari kenikmatan adalah gairah, rasa senang, nyaman, dan ceria.

  2. Gratification, yaitu kegiatan yang sangat disukai oleh seseorang namun tidak selalu melibatkan perasaan tertentu, dan durasinya lebih lama dibandingkan dengan pleasures. Kegiatan yang memunculkan gratifikasi umumnya memiliki komponen seperti menantang, membutuhkan ketrampilan dan konsentrasi, bertujuan, ada umpan balik langsung, pelaku tenggelam di dalamnya, ada pengendalian, kesadaran diri pupus, dan waktu seolah berhenti. Seligman menekankan gratifikasi tidak muncul setelah melakukan aktifitas yang menyenangkan, namun muncul saat individu telah menggunakan kekuatan (strength) dan keutamaan (virtue) saat melakukan aktifitas tersebut.

Semakin banyak faktor-faktor lingkungan (circumstances) dan faktor yang berada dibawah pengendalian diri seseorang (voluntary control) yang berkontribusi, semakin besar kemungkinan individu untuk merasakan Authentic Happiness.