Faktor-faktor apa saja yang membuat orang mau membantu orang lain?

Perilaku prososial merupakan perilaku yang memiliki intensi untuk mengubah keadaan fisik atau psikologis penerima bantuan dari kurang baik menjadi lebih baik, dalam arti secara material maupun psiologis. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa perilaku prososial bertujuan untuk membantu meningkatkan well being orang lain, dengan maksud untuk menyokong kesejahteraan orang lain.

Faktor-faktor apa saja yang membuat orang mau membantu orang lain ?

Ketika orang mau membantu orang lain adalah akibat dorongan dari perilaku prososial kita sendiri.

Perilaku prososial (prosocial behavior), yaitu setiap perilaku yang memiliki tujuan untuk menguntungkan orang lain (Penner, Dovidio, Piliavin & Schroeder, 2005).

Perilaku prososial dapat dilatarbelakangi motif kepedulian pada diri sendiri dan mungkin pula karena dimotivasi oleh altruisme.

Altruisme merupakan keinginan untuk menolong orang lain walaupun orang yang menolong tersebut harus mengeluarkan biaya atau pengorbanan.

Altruisme merupakan perbuatan menolong yang dilakukan murni tanpa adanya keinginan untuk mengambil keuntungan atau meminta balasan, bahkan terkadang orang tersebut harus mengeluarkan biaya atau pengorbanan bagi dirinya.

Berikut beberapa teori yang menjelaskan terkait dengan perilaku prososial yang dimotivasi oleh altruisme.

Psikologi Evolusioner: Insting dan Gen


Menurut teori evolusi Charles Darwin (1859), seleksi alam merupakan salah satu cara untuk bertahan hidup. Setiap gen yang meneruskan kelangsungan hidup kita dan menaikkan kemungkinan menghasilkan keturunan, kemungkinan akan diturunkan dari generasi ke generasi. Sebaliknya, gen yang memperkecil kemungkinannya untuk mempertahankan hidup maupun menghasilkan keturunan, lebih kecil kemungkinannya untuk diturunkan.

Bagaiman teori evolusi menjelaskan tentang altruisme?

Jika orang-orang mencapai tujuan untuk memastikan bahwa dirinya dapat bertahan hidup, mengapa mereka mau menolong orang lain yang dapat mengorbankan dirinya sendiri? Jika mengacu pada teori evolusi maka tidak akan ada yang namanya altruism, karena orang bertindak untuk mementingkan dirinya sendiri.

Benarkah demikian?

Seleksi Keturunan (Kin Selection)

Orang akan lebih memilih seseorang yang memiliki hubungan genetis daripada yang tidak dalam situasi hidup dan mati, misalnya peristiwa kebakaran.

Kin selection merupakan suatu pemikiran dimana orang berperilaku untuk lebih memilih untuk menolong seseorang yang memiliki hubungan genetis dalam rangka untuk bertahan hidup.

Para psikolog tidak menyarankan bahwa orang harus mempertimbangkan pentingnya biologis dari perilaku mereka sebelum memutuskan untuk menolong atau tidak. Menurut teori evolusi, orang-orang yang mengikuti aturan “pentingnya biologis” lebih dapat bertahan hidup daripada yang tidak.

Norma Timbal Balik (Norm of Reciprocity)

Dalam menjelaskan altruisme, psikolog juga merujuk pada norma timbal balik, yaitu harapan bahwa menolong orang lain akan meningkatkan kemungkinan bahwa mereka akan menolong kita di masa yang akan datang.

Norma Timbal Balik: harapan bahwa menolong orang lain akan meningkatkan kemungkinan mereka akan menolong kita di masa yang akan datang.

Orang-orang yang bertahan hidup adalah orang-orang yang telah memahami arti timbal balik dengan para tetangganya : “Saya akan me nolong kamu sekarang, dengan perjanjian bahwa ketika saya membutuhkan pertolongan, kamu akan membantu saya sebagai balasannya”.

Mempelajari Norma Sosial

Herbert Simon (1990) berpendapat bahwa sangat mudah bagi individu untuk mempelajari norma sosial dari anggota lain dari masyarakat. Orang-orang yang rnempelajari dengan baik norma dan kebiasaan dari suatu masyarakat memiliki keuntungan dalam bertahan hidup.

Karena sejak berabad-abad yang lalu, budaya rnernpelajari hal-hal seperti bagaimana orang dapat bekerja sarna dengan baik, dan orang yang mempelajari aturan ini lebih dapat bertahan hidup daripada yang tidak. Akibatnya, melalui seleksi alam, kemampuan untuk mempelajari norma sosial menjadi bagian dari perbaikan genetis.

Salah satu norma yang dipelajari dan dinilai berharga oleh orang-orang adalah menolong orang lain. Singkatnya, orang-orang secara genetis diprogram untuk mempelajari norma-norma sosial, dan salah satu normanya adalah altruisme (Hoffman, 1981; Kameda, Takezawa, & Hastie, 2003).

Pertukaran Sosial: Costs dan Rewards dalam Menolong


Walaupun beberapa ahli psikologi sosial tidak setuju dengan pendekatan evolusioner tentang perilaku prososial, namun mereka tetap memberikan pandangan bahwa perilaku altruism dapat timbul karena adanya self-interest.

Teori pertukaran sosial berpendapat bahwa kebanyakan dari yang kita lakukan berakar dari keinginan untuk memaksimalkan penghargaan yang akan kita dapat dan menimimalkan pengorbanan yang harus kita lakukan (Homans, 1961; Lawler & Thye, 1999; Thibaut & Kelley, 1959).

Perbedaan teori pertukaran sosial dan pendekatan evolusioner adalah: Teori pertukaran sosial tidak mencari akar dari keinginan itu sendiri, atau tidak diasumsikan bahwa keinginan tersebut ada berdasarkan kondisi genetis. Teori pertukaran sosial mengasumsikan bahwa orang-orang dalam hubungan mereka dengan orang lain berusaha untuk memaksimalkan rasio dari penghargaan sosial yang nantinya akan dapat dibandingkan dengan pengorbanan sosial yang harus dilakukan.

Menolong dapat menjadi suatu yang berharga dalam beberapa cara, antara lain :

  1. Seperti yang kita ketahui dalam norma timbal balik, menolong dapat meningkatkan kemungkinan seseorang akan menolong kita juga sebagai balasannya.

  2. Menolong seseorang merupakan investasi masa depan, akan menjadi pertukaran sosial suatu hari nanti, seseorang akan menolong kita ketika kita membutuhkan pertolongan.

  3. Menolong juga dapat meredakan “tekanan personal” yang ditimbulkan orang lain yang berada di sekeliling kita. Orang akan merasa terganggu ketika mereka melihat orang lain menderita dan mereka menolong orang tersebut paling tidak untuk meredakan “tekanan” mereka sendiri (Dovidio, 1984; Dovidio, Piliavin, Gaertner, Schroeder, & Clark, 1991; Eisenberg & Fabes, 1991).

  4. Dengan menolong orang lain kita juga bisa mendapatkan penghargaan secara sosial dari orang lain dan meningkatkan rasa berharga bagi diri kita sendiri.

Namun di sisi lain, menolong orang lain juga dapat menimbulkan adanya suatu pengorabanan yang besar. Perbuatan menolong menjadi menurun ketika pengorbanan yang harus dilakukan pada perbuatan itu besar, misalnya ketika perbuatan tersebut menempatkan kita pada suatu kondisi membahayakan bagi fisik tubuh kita, yang dapat menyebabkan rasa sakit dan malu, atau yang paling mudah, perbuatan tersebut sangat menyita waktu yang kita miliki (Dovidio et aI, 1991; Dovidio, Piliavin, Gaertner, Schroeder, & Clark, 1981; Piliavin, Piliavin, & Rodin, 1975).

Pada dasarnya, teori pertukaran sosial berpendapat bahwa altruisme yang sesungguhnya itu tidak ada. Orang menolong ketika keuntungan yang didapatkan lebih besar dari pengorbanan yang harus dilakukan.

Empati dan Altruisme : Motif yang Tulus dalam Menolong


Empati: kemampuan untuk menempakan diri sendiri pada posisi orang lain, dan merasakan emosi serta kejadian (misalnya kegembiraan dan kesedihan) seperti yang mereka rasakan.

C. Daniel Batson (1991) adalah tokoh yang paling kuat menyatakan pemikiran bahwa banyak orang yang tekadnya menolong, murni keluar dari kebaikan hati mereka. Batson mengatakan bahwa orang terkadang menolong orang lain untuk alasan pribadi, namun terkadang motif orang tersebut murni altruistik, dimana tujuan mereka yaitu hanya menolong orang lain, walaupun dalam menolong tersebut memerlukan pengorbanan yang besar bagi dirinya.

Batson mengatakan, altruisme yang murni akan muncul ketika kita merasakan empati terhadap orang lain yang membutuhkan bantuan, yaitu menempatkan diri kita pada posisi orang lain serta merasakan emosi dan kejadian seperti yang mereka rasa.

Hal ini juga disebut sebagai Hipotesis Empati-Altruisme dari Batson, yaitu ketika kita merasakan empati pada orang lain, kita akan mencoba menolong orang tersebut dengan alasan altruistik murni, tanpa memperdulikan apa yang akan kita dapat. Batson juga mengatakan, ketika kita tidak merasakan empati, maka perbuatan menolong akan menjadi suatu proses pertukaran sosial.

Hipotesis Empati - Altruisme: Pemikiran bahwa ketika kita merasakan empati pada orang lain, kita akan mencoba menolong orang tersebut dengan alasan altruistik murni, tanpa memperdulikan apa yang akan kita dapat.

KUALITAS PERSONAL DAN PERILAKU PROSOSIAL


Mengapa Sebagian Orang Lebih banyak Menolong Dibanding Orang Lain ?

Beberapa alasan dari pertanyaan diatas adalah sebagai berikut :

  • Perbedaan individu : Kepribadian Altruistik

Para psikolog tertarik dengan asal dari kepribadian altruistik, yaitu kualitas yang ada pada diri seseorang yang menyebabkan orang tersebut menolong orang lain pada berbagai situasi (Eisenberg, Spinrad, & Sadowsky, 2006; Mikulineer, & Shaver, 2005; Penner, 2002). Dalam hal apa seseorang menjadi lebih penolong dibandingkan orang lain?

Kepribadian bukanlah satu-satunya yang menentukan perilaku. Para ahli psikologi sosial mengemukakan bahwa untuk memahami perilaku manusia, kita harus menyadari tekanan dari situasi sebagaimana kita memahami kepribadian. Begitu juga dalam memprediksi seberapa penolong seseorang.

  • Perbedaan Jenis Kelamin dalam Perilaku Prososial

Secara umum pada semua budaya, norma menyebabkan sikap dan perilaku yang berbeda bagi laki-Iaki dan perempuan, hal tersebut dimulai saat proses pertumbuhan sebagai anak laki-Iaki dan anak perempuan. Misalnya pada kebudayaan Barat, laki-laki memiliki peran jenis kelamin lebih heroik dan sangat sopan, sedangkan wanita lebih pengasih dan peduli pada nilai dari hubungan jangka panjang dan tertutup.

Dalam melakukan perilaku prososial tidak didominasi oleh jenis kelamin tertentu, melainkan tergantung pada budaya dimana orang tersebut tumbuh dan berada.

  • Perbedaan Budaya dalam Perilaku Prososial

Orang di berbagai budaya lebih suka menolong orang lain yang merupakan bagian dari in-group mereka, kelompok dimana identitas individu tersebut berada. Orang dimana pun kurang suka menolong seseorang yang dirasa sebagai bagian dari out-group, kelompok dimana identitas mereka tidak berada di dalamnya (Brewer dan Brown, 1998).

Faktor budaya sangat berperan dalam menentukan seberapa kuat garis antara in-group dan out-group.

Bagaimanapun, karena batas antara ‘kita’ dan ‘mereka’ tidak terlalu terlihat di budaya yang saling bergantung (interdependen), orang-orang dalam kebudayaan ini tidak terlalu suka menolong anggota dari out-group bila dibandingkan dengan orang-orang yang berada dalam kebudayaan individualistik (L’Armand & Pepitone, 1975; Leung & Bond, 1984; Triadis, 1994).

Agar ditolong oleh orang lain, sangatlah penting bahwa mereka melihat kita sebagai anggota dari in-group mereka – sebagai ‘salah satu dari mereka’ – dan ini khususnya terjadi pada kebudayaan yang saling bergantung (Ting & Piliavin, 2000).

  • Efek Mood dalam Perilaku Prososial

Mood seseorang dapat mempengaruhi perilaku, dalam hal ini apakah mereka akan menawarkan bantuan atau tidak.

Efek dari Mood Positif: Feel Good, Do Good

Para peneliti menemukan bahwa efek “feel good, do good” berlaku pada situasi yang berbeda-beda, tidak terbatas pada kondisi adanya pemicu yang kita dapatkan seperti ketika kita menemukan sejumlah uang.

Orang-orang lebih suka untuk menolong orang lain ketika mereka sedang dalam mood yang baik untuk sejumlah alasan, misalnya sukses dalam ujian, menerima hadiah, memikirkan pemikiran-pemikiran yang bahagia, dan mendengarkan musik yang menyenangkan (North, Tarrant, & Hargreaves, 2004).

Ketika orang sedang dalam mood yang baik, mereka akan lebih bahagia dalam banyak hal, termasuk menyumbangkan uang, menolong seseorang menemukan barang yang hilang, membimbing teman, mendonorkan darah, dan menolong ternan dalam hal pekerjaan (Carlson, Charlin, & Miller, 1988; Isen, 1999; Salovey, Mayer, & Rosenhan, 1991).

MemiIiki mood yang baik dapat meningkatkan rasa ingin menolong karena :

  1. Mood yang paik membuat kita selalu melihat sisi kehidupan yang cerah. Kita selalu berusaha untuk melihat sisi positif dari orang lain. Ketika kita merasa senang, seseorang yang terlihat ceroboh dan mengganggu akan terlihat sebagai orang yang layak untuk ditolong.

  2. Menolong orang lain juga merupakan cara yang baik untuk mempertahankan mood baik kita.

  3. Mood yang baik meningkatkan perhatian pada diri sendiri. Pada gilirannya, mood yang baik memungkinkan kita berperilaku lebih sesuai dengan nilai-nilai dan ideal-ideal kita.

Negative-State Relief: Feel Bad, Do Good

Salah satu jenis mood yang buruk yang jelas dapat meningkatkan rasa ingin menolong adalah rasa bersalah (Baumeister, Stillwell, & Heartherton, 1994: Estrada-Hollenbeck & Heatherton, 1998).

Ketika seseorang melakukan sesuatu yang membuat ia merasa bersalah, menolong orang lain dapat meringankan perasaan bersalahnya. Kesedihan juga dapat meningkatkan rasa ingin menolong, paling tidak pada beberapa kondisi tertentu (Carlson & Miller, 1987; Salovery et aI, 1991).

Ketika orang sedang sedih, mereka akan termotivasi untuk melakukan aktivitas yang membuat mereka merasa lebih baik (Wegener & Petty, 1994).

Pemikiran bahwa orang menolong orang lain untuk mengurangi kesedihan dan tekanan mereka sendiri disebut dengan hipotesis negative-state relief (Cialdini, Darby, & Vincent, 1973; Cialdini & Fultz, 1990; Cialdini et at 1987).

Seseorang menolong orang lain dengan tujuan untuk menolong dirinya sendiri, untuk meringankan kesedihan dan tekanan yang mereka alami.

Hipotesis Negative-State Relief: Pemikiran bahwa orang menolong orang lain untuk mengurangi kesedihan dan stres mereka sendiri.

SITUASI DETERMINAN PERILAKU SOSIAL


Kapan Seseorang akan Menolong?

Kepribadian, jenis kelamin, budaya, dan suasana hati merupakan hal-hal yang menyebabkan mengapa seseorang menolong orang lain. Namun itu tidaklah berarti seseorang akan menolong secara utuh, tergantung situasi sosial dari orang tersebut.

Lingkungan : Masyarakat Desa vs Masyarakat Kota

Ketika anda yang tengah berjalan tiba-tiba melihat seseorang yang berteriak kesakitan dan mengalami pendarahan yang hebat. Apakah yang akan lakukan?

Ketika kejadian ini berlangsung di pedesaan, hampir setengah orang-orang yang tengah berjalan akan berhenti dan menawarkan bantuan. Di kota besar, hanya 15% orang yang lewat yang berhenti dan menolong (Armanto, 1983).

Penelitian lain menemukan bahwa orang- orang di pedesaan lebih senang menolong ketika diminta untuk mencari anak kecil yang hilang, memberikan arahan, dan mengembalikan surat yang salah alamat. Ditemukan bahwa menolong merupakan sesuatu yang umum di kota-kota kecil beberapa negara, termasuk Amerika Serikat, Kanada, Israel, Australia, Turki, Inggris dan Sudan (Hedge & Yousif, 1992; Stebly, 1987)

Orang-orang yang tumbuh di pedesaan lebih menginternalisasi nilai altruistik. Dalam hal ini, mereka yang tumbuh di pedesaan lebih menyukai untuk menolong, termasuk ketika mereka sedang menggunjungi kota besar. Dengan kata lain, lingkungan menjadi kunci apakah seseorang mengenternalisasi nilai altruistik atau tidak.

Urban-Overload Hypothesis: Teori bahwa orang-orang di kota terbebani oleh berbagai stimulasi secara terus menerus, dan bahwa mereka melindungi diri sendiri agar tidak kewalahan dengan hal itu.

Hasil riset mendukung bahwa urban overload hypotesis lebih dari sekedar ide bahwa tinggal di kota membuat seseorang secara alami menjadi kurang altruistik. Belasan hasil penelitian menunjukkan bahwa bila muncul kesempatan untuk menolong, baik keadaan darurat terjadi di pedesaan maupun di kota besar, saksi-saksi bermunculan (Steblay, 1987).

Dalam studi lapangan yang dilakukan pada 36 kota di Amerika, hasilnya menunjukkan bahwa kepadatan penduduk berhubungan lebih erat dengan perilaku menolong daripada dengan besarnya jumlah penduduk (Levine, dkk, 1994). Semakin besar kepadatan penduduk, semakin sedikit kemungkinan orang untuk menolong.

Residential Mobility (Perpindahan Tempat Tinggal)

Seseorang yang telah tinggal lama di suatu tempat akan lebih mempertahankan perilaku prososial yang membantu komunitas. Tinggal untuk waktu yang lama di suatu tempat mengarah pada kelekatan yang lebih besar terhadap komunitas, lebih saling bergantung antara tetangga satu dan yang lain, dan lebih peduli terhadap reputasi dalam komunitasnya (Baumeister, 1986, Oishi et aI., 2006).

Orang yang tinggal lama di suatu tempat merasa menjadi bagian di komunitasnya. Hal ini didukung oleh eksperimen yang dilakukan oleh Oishi dkk (2006). Seperti yang telah diprediksi peneliti, seseorang yang berada dalam kondisi komunitas yang kuat akan lebih membantu teman kelompok yang sedang berjuang daripada seseorang dalam group yang “sementara”.

Alasan lain mengapa seseorang kurang suka menolong di kota besar adalah karena perpindahan tempat tinggal di kota besar lebih sering dibanding di daerah pedesaan. Seseorang lebih menyukai pindah ke kota, namun kemudian kurang merasakan menjadi bagian yang kuat dalam komunitas.

Jumlah Penonton : Efek Penonton

Bibb Latane dan John Darley (1970), adalah dua orang psikolog sosial yang mengajar di universitas di New York. Mengenai kasus seseorang yang tidak ditolong meski sudah menjerit ketika diserang pembunuh di sebuah apartemen, mereka tidak yakin bahwa alasan tetangganya tidak berhasil menolong adalah stress dan stimulus dari kehidupan perkotaan.

Bystander effect: bahwa semakin banyak jumlah orang di sekitar yang menyaksikan keadaan darurat, semakin sedikit orang yang akan menolong.

Latane dan Darley (1970) mengemukakan deskripsi mengenai bagaimana langkah-langkah seseorang memutuskan untuk ikut membantu dalam keadaan darurat sebagai berikut :

1) MemperhatikanKejadian

John Darey dan Daniel Batson (1973) mendemonstrasikan bahwa sesuatu yang tampak sepele seperti banyaknya orang yang terburu-buru dapat menyebabkan banyak perbedaan mengenai orang seperti apakah mereka.

Peserta penelitian adalah pelajar yang mungkin sangat altruistik, yaitu pelajar seminari yang disiapkan untuk mengabdikan kehidupannya untuk agamanya. Para pelajar diminta untuk berjalan dari gedung ke gedung lain, dimana peneliti akan merekam mereka.

Beberapa dikatakan bahwa mereka terlambat dan harus segera menepati janji mereka. Lainnya deberitahu bahwa mereka harus segera karena asisten di gedung lain telah datang sebelum jadwal.

Ketika mereka berjalan ke gedung lain, setiap pelajar melewati seseorang yang terjatuh di ambang pintu. Orang tersebut (bagian dari eksperimenter) tebatuk-batuk dan mengerang ketika setiap pelajar lewat: akankan pelajar seminari tsb akan berhenti dan menawarkan untuk menolongnya?

Ketika mereka sedang tidak terburu-buru, sebagian besar dari mereka,63%, menolongnya. Ketika mereka sedang terburu-buru hanya 10% berhenti untuk menolong. Kabanyakan dari pelajar yang sedang terburu-buru bahkan tidak menyadari keberadaan orang tersebut.

2) Menginterpretasikan Kejadian Sebagai Situasi Berbahaya/Darurat

Ketika terjadi seuatu kejadian, seseorang akan menginterpretasikan terlebih dahulu apakah kejadian tersebut berbahaya atau tidak. Jika seseorang tersebut berasumsi bahwa tidak terjadi apa-apa, maka mereka tidak akan menolong.

Seseorang akan terlebih dahulu melihat sekitar apakah ada teriakan, apakah teriakan itu berasal dari suatu pesta atau karena ada keadaan bahaya, apakah ada tanda bahwa gedung akan terbakar? Jika tidak, maka mereka tidak akan berbuat apa-apa. Karena keadaan darurat seringkali terjadi secara tiba-tiba dan merupakan kejadian yang membingungkan, penonton cenderung untuk terdiam, mengamati dengan ekspresi kosong, dan mencoba untuk mencari tahu apakah yang sebenarnya terjadi. Ketika mereka saling menatap satu sama lain, dan mereka melihat bahwa orang lain tidak terlalu memperhatikan, hal ini disebut pengabaian pluralistic (pluralistic ignorance)

Pengabaian pluralistic (pluralistic ignorance): penonton berasumsi bahwa tidak ada suatu masalah dalam keadaan darurat, karena tidak satupun orang yang memperhatikan.

3) Mengasumsikan Tanggung Jawab

Pada eksperimen mengenai adanya penyerangan, di mana partisipan percaya bahwa mereka satu-satunya orang yang mendengar teriakan seseorang yang mengalami penyerangan, maka tanggung jawab secara mutlak berada padanya.

Jika ia tidak menolong, maka tidak ada satupun juga yang akan menolong, maka orang tersebut mungkin akan tewas. Hasilnya, dalam kondisi ini hampir semua menolong dengan segera.

Namun jika ini terjadi dengan banyak orang yang mendengar teriakan maka akan terjadi diffusion of responsibility. Hal ini terjadi kerena terdapat banyak orang, penonton tidak merasa bahwa ia adalah satu-satunya orang yang harus bertanggung jawab dan harus bereaksi.

Diffusion of responsibility: fenomena dimana masing-masing penonton merasakan penurunan rasa tanggung jawab karena bertambahnya jumlah saksi mata

4) Mengetahui Bagaimana Cara Untuk Menolong

Dalam membantu, setelah urutan-urutan terdahulu terpenuh, kondisi lain juga harus dipenuhi : Mereka harus memutuskan pertolongan tepat apa yang harus dilakukan.

5) Memutuskan Implementasi untuk Menolong

Meskipun kita mengetahui bantuan apa yang tepat untuk diberikan, masih terdapat alasan mengapa kita memutuskan untuk menolong. Satu hal, mungkin kita tidak cukup kompeten untuk memberikan bantuan yang tepat. Bahkan ketika kita mengetahui pertolongan apa yang dibutuhkan, kita harus mempertimbangkan resiko bila kita memberikan pertolongan.

Ketika suatu permintaan diberikan secara umum, sekumpulan orang dengan jumlah orang yang banyak akan merasa bahawa mereka tidak memiliki tanggung jawab untuk menolong. Namun ketika dialamatkan kepada yang lebih spesifik dengan mencantumkan nama, orang-orang akan lebih merasa memiliki tanggung jawab untuk menolong.

Sifat Hubungan: Komunal VS Hubungan Pertukaran Sosial

Hubungan komunal adalah suatu hubungan di mana mereka yang di dalamnya memiliki perhatian utama terhadap kesejahteraan orang lain (contohnya : anak), sedangkan hubungan pertukaran di dominasi oleh rasa ekuitas - yaitu apa yang kita berikan kepada suatu hubungan sama dengan apa yang kita dapatkan dari hubungan tersebut.

Hubungan komunal pada dasarnya berbeda dengan hubungan pertukaran sosial: bukan hanya berdasarkan pada pengaruh rewards dari hubungan; orang-orang pada hubungan komunal tidak terlalu terfokus pada keuntungan yang akan mereka peroleh dari menolong, mereka hanya ingin untuk memenuhi kebutuhan orang lain. Orang-orang pada hubungan komunal tidak terlalu memperhatikan apa yang akan mereka dapatkan dibandingkan dengan orang-orang pada hubungan pertukaran sosial.

BAGAIMANA MENINGKATKAN PERILAKU MENOLONG?


Orang-orang tidaklah selalu ingin dibantu. Seseorang tidak ingin terlihat tidak kompeten, oleh sebab itu mereka mereka memutuskan untuk mengalami kesulitan dengan diam, meskipun keadaan tersebut menurunkan kesempatannya untuk menyelesaikan tugasnya dengan baik.

Walaupun demikian, dunia akan menjadi tempat yang lebih baik jika banyak orang yang membantu mereka yang membutuhkan bantuan. Tetapi walaupun berhati baik, orang yang altruistik dapat gagal untuk menolong ketika suatu kendala terjadi dalam situasi tertentu, seperti ketika berada dilingkungan perkotaan dan ketika berada di antara banyak penonton.

Bagiamana meningkatkan kemungkinan perilaku menolong?

Meningkatkan Kemungkinan Saksi Mata Ambil Bagian Untuk Menolong

Hasil penelitian menunjukkan bahwa mengajarkan perihal hambatan saksi mata (dalam situasi darurat) untuk menolong, dapat meningkatkan kemungkinan mereka yang diajar untuk menolong dalam situasi darurat.

Kita hanya dapat berharap bahwa dengan mengetahui rintangan untuk berperilaku prososial akan membuat kita lebih mudah menanggulangi rintangan tersebut sebaik mungkin.

Psikologi Positif dan Perilaku Prososial

Dalam psikologi telah lahir bidang baru yang disebut Psikologi Positif, berfokus pada kekuatan-kekuatan dan kebajikan atau keluhuran hati (virtues) yang dimiliki manusia.

Lahirnya Psikologi positif dibidani oleh Martin Seligman, orang yang berpengaruh dalam psikologi klinis. Sebagai seorang psikolog klinis ia mengatakan bahwa seharusnya psikologi tidak hanya mempelajari tentang penyakit, kelemahan, dan kerusakan.

Pergerakan psikologi positif sangat bermanfaat, mengoreksi penekanan pada penyakit di psikologi klinis serta telah menuntun banyaknya penelitian yang menarik, termasuk perilaku menolong. _______________________________________________________________________
Sumber: Aronson, E., Wilson. T.D., & Akert, R.M. (2007). Social Psychology (6th edition). Singapore: Pearson Prentice Hall.

Pada dasarnya kita membantu orang lain untuk diri kita sendiri. Ketika kita membantu orang lain maka kita akan merasa lebih baik, merasa terpuaskan atau malah kita merasa bahwa kita sudah menjadi bagian dari sesuatu yang luar biasa.

Tetapi mengapa masih banyak orang-orang yang tidak mau atau berat untuk membantu orang lain ?

Menurut Ervin Staub, Professor of Psychology Emeritus, Founding Director of the Psychology of Peace and Violence Program at the University of Massachusetts, kebiasaan membantu orang lain harus dilatih mulai kecil.

Anak umur 3 tahun yang telah diajari oleh orangtuanya terkait konsekuensi atas perilakunya kepada orang lain, terutama perilaku buruk, akan lebih menimbulkan rasa empati kepada orang lain.

Dengan menekankan konsekuensi atas tindakannya kepada orang lain, baik tindakan baik maupun buruk, akan berkontribusi atas pengembangan rasa kepedulian dan tanggungjawab kepada orang lain.

Selain itu, anak-anak yang dibesarkan dengan cinta dan kasih sayang, serta dibimbing dengan nilai-nilai positif akan berdampak pada pengembangan perasaan positif terhadap masyarakat sosial.

Oleh karena itu, kebiasaan untuk membantu orang lain haruslah mulai diajarkan kepada anak-anak usia dini. Membantu orang lain bisa menjadi “virus” kebaikan, dimana kebaikan tersebut akan memberikan efek domino kepada masyarakat.

Video ini dapat mengisnpirasi kita bagaimana saling membantu akan berdampak luar biasa bagi masyarakat sosial kita

Membantu orang lain membutuhkan motivasi diri, dimana motivasi diri bisa muncul dari mana saja, dari lingkungan, masyarakat luas, terutama orang-orang terdekat. Dengan selalu memotivasi diri kita untuk selalu membantu orang lain, maka secara otomatis, akan menumbuhkan rasa empati kita kepada lingkungan, menumbuhkan nilai-nilai moral dan meningkatkan orientasi prososial kita.

Bukankan Urip iku Urup ?

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perilaku menolong

Faktor situasional


1. Kehadiran orang lain

Penelitian yang dilakukan oleh Darley dan Latane, 1970 (dalam Taylor dkk,2009:479) menunjukkan hasil bahwa orang yang melihat kejadian darurat akan lebih suka memberi pertolongan apabila mereka sendirian daripada bersama orang lain. Sebab jika hanya satu orang yang menyaksikan korban menderita, dia sepenuhnya bertanggung jawab untuk merespons situasi dan akan merasa bersalah jika tidak campur tangan. Namun jika beberapa orang yang hadir dalam situasi tersebut, bantuan akan datang dari berbagai sumber.

Staub ( 1978 ) (dalam Sampson,1976 dalam dayakisni, 2009) justru menemukan kontradiksi dengan fenomena di atas, karena dalam penelitiannya terbukti bahwa individu yang berpasangan atau bersama orang lain lebih suka bertindak prososial dibandingkan bila individu seorang diri. Sebab dengan kehadiran orang lain akan mendorong individu untuk lebih mematuhi norma-norma sosial yang dimotivasi oleh harapan mendapat pujian.

2. Menolong orang yang disukai (Helping Those You Like)

Kebanyakan penelitian lebih tertarik meneliti pertolongan yang diberikan seseorang kepada orang asing, karena sudah jelas orang tersebut akan sangat cenderung menolong anggota keluarga dan teman. Seseorang akan cenderung menolong orang asing yang menjadi korban, jika si korban tersebut memiliki persamaan (usia, ras) dengan si penolong tersebut ( Shaw, Borough, & Fink dalam Baron, Byrne, & Branscombe, 2006 dalam skripsi Doris Evalina, 2010).

3. Pengorbanan yang harus dikeluarkan

Meskipun calon penolong tidak mengalami kekaburan tanggung jawab, tetapi bila pengorbanan (misalnya; uang, waktu, tenaga, resiko terluka fisik) diantisipasi terlalu banyak, maka kecil kemungkinan baginya untuk bertindak prososial (William, 1981 dalam Dayakisni & Hudaniah, 2009). Sebaliknya kalau pengorbanan rendah dengan pengukuh kuat, orang akan lebih siap memberi bantuan (Baron & Byrne, 1994 dalam Dayakisni & Hudaniah, 2009).

4. Atribusi terhadap korban

Seseorang akan termotivasi untuk memberikan bantuan pada orang lain bila ia mengasumsikan bahwa ketidakberuntungan korban adalah diluar kendali korban (Weiner, 1980 dalam Sarwono, 2009:133). Oleh karena itu, seseorang akan lebih bersedia memberikan sumbangan kepada pengemis cacat dan tua dibandingkan dengan pengemis yang sehat dan muda. Dengan demikian, pertolongan tidak akan diberikan bila bystander mengasumsika kejadian yang kurang menguntungkan pada korban adalah akibat kesalahan korban sendiri (atribusi internal).

5. Ada Model

Seperti yang dijelaskan dalam teori belajar sosial, adanya model yang melakukan tindakan menolong dapat mendorong seseorang untuk memberikan pertolongan pada orang lain. Contoh dalam kejadian sehari-hari, misalnya banyak tempat seperti rumah makan atau pasar swalayan yang menyediakan kotak amal dan sudah ada uang di dalamnya, hal ini tentunya dimaksudkan untuk menarik perhatian pengunjung yang datang ke tempat itu agar mau turut menyumbang.

6. Desakan Waktu

Orang yang sibuk dan tergesa-gesa cenderung tidak menolong, sedangkan orang yang punya waktu luang lebih besar kemungkinannya untuk memberikan pertolongan kepada orang yang memerlukannya

7. Sifat Kebutuhan Korban

Kesediaan untuk menolong dipengaruhi oleh kejelasan bahwa korban benar-benar membutuhkan pertolongan (clarity of need), korban memang layak mendapatkan bantuan yang dibutuhkan (legitimate of need), dan bukanlah tanggung jawab korban sehingga ia memerlukan bantuan dari orang lain (atribusi eksternal) (Deaux, Dane, Wrightsman, 1993 dalam Sarwono, 2009:134).

Faktor personal


1. Suasana Hati (mood)

Emosi seseorang dapat mempengaruhi kecenderungannya untuk menolong
(Baron, Byrne & Branscome, 2006 dalam Sarwono, 2009). Emosi sendiri
sering dibagi menjadi dua bagian, yaitu emosi positif dan negatif.

  • Emosi positif, Pada umumnya seseorang yang sedang memiliki mood yang baik akan lebih cenderung menampilkan perilaku menolong. Ada banyak bukti bahwa orang bersedia menolong dalam keadaan good mood, misalnya setelah menemukan uang (Isen & Simmonds, 1978 dalam Taylor, 2009:471), atau ketika mereka baru saja menemukan hadiah (Isen & Levin, 1972 dalam Taylor, 2009:471) atau setelah mendengarkan music yang menyenangkan (Fried & Berkowitz, 1979 dalam Taylor, 2009:471). Mood positif menyebabkan kita mempunyai pikiran lebih positif dan kita memberi bantuan guna mempertahankan mood positif tersebut (Taylor,dkk,2009:472).

  • Emosi negatif, Pada umumnya, seseorang yang berada dalam mood negatif cenderung kurang dalam menolong oranglain. Hal itu benar, bahwa seorang yang tidak senang (unhappy) sedang fokus pada masalahnya, cenderung kurang dalam perilaku prososial. Efek dari bad mood terhadap tindakan menolong adalah lebih kompleks (Carlson & Miller, 1987 dalam Taylor, 2009), mood buruk menyebabkan kita fokus pada diri kita dan kebutuhan kita, maka ini akan menurunkan kemungkinan kita untuk membantu orang lain. Akan tetapi, di lain pihak emosi negatif dapat memiliki sebuah dampak positif pada perilaku menolong. Jika kita menganggap tindakan membantu orang lain menyebabkan diri kita merasa lebih baik dan mengurangi perasaan buruk kita, maka kita lebih mungkin untuk memberi bantuan (Cialdini, Darby, & Vincent, 1973; Schaller & Cialdini, 1988 dalam Taylor dkk,2009)

2. Sifat

Beberapa penelitian membuktikan terdapat hubungan antara karakteristik seseorang dengan kecenderungannya untuk menolong. Orang yang mempunyai sifat pemaaf (forgiveness), ia akan mempunyai kecenderungan mudah menolong (Karremans, dkk, 2005 dalam Sarwono, 2009).

3. Jenis Kelamin

Peranan Gender terhadap kecenderungan seseorang untuk menolong sangat bergantung pada situasi dan bentuk pertolongan yang dibutuhkan. Berdasarkan hasil pengukuran yang dilakukan terhadap perilaku menolong yang aktual, menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara pria dan wanita. Sekalipun ditemukan perbedaan, maka kecenderungan yang lebih besar akan mengarah pada pria, bukan wanita (Pivilain & Unger, 1985). Hal ini didukung oleh hasil yang diperoleh Eagley dan Crowley (Taylor, dkk, 2009) melalui sebuah review meta-analisis yang dilakukan terhadap 172 penelitian mengenai perilaku menolong.

Simpulan yang diperoleh dari review meta-analisis menunjukkan bahwa pria lebih menolong daripada wanita. Pria lebih cenderung utuk menawarkan pertolongan daripada wanita, walaupun wanita dinilai lebih menolong daripada pria dan kelihatannya lebih peduli untuk memberikan pertolongan. Riset behavioral menyatakan bahwa pria lebih menolong daripada wanita, paling tidak dalam situasi publik yang melibatkan orang yang tidak dikenal terutama jika ada yang melihat aksinya (Taylor,dkk, 2009).

4. Usia

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa terdapat korelasi positif antara usia dan perilaku menolong (Peterson, 1983 dalam Dayakisni & Hudaniah, 2009). Dengan bertambahnya usia individu akan makin dapat memahami atau menerima norma-norma sosial (Staub, 1978, dalam Dayakisni & Hudaniah, 2009).

Empati dan Disposisi Kepribadian Lainnya


Disposisi kepribadian adalah karakteristik kecenderungan perilaku individu. Disposisi kepribadian adalah berdasarkan perbedaan dalam komposisi genetik, pengalaman, atau kombinasi dari keduanya. Salah satu aspek dari perilaku menolong adalah rasa percaya kepada orang lain (interpersonal trust ).

Individu yang tidak memiliki kepercayaan terhadap orang lain cenderung kurang dalam berperilaku menolong (Baron & Byrne, 2005).

1. Empati

Seseorang yang memiliki empati dapat merasakan dan memahami apa yang dirasakan oleh orang lain. Empati terdiri dari respon afektif dan respon kognitif terhadap emosional yang sedang dirasakan oleh orang lain dan berkaitan dengan simpati, sebuah keinginan untuk memecahkan masalah orang lain, dan memahami perspektif (perspective taking) orang lain (Baron, Byrne, & Branscombe, 2006 dalam skripsi Doris Evalina, 2010).

Komponen afektif dari empati juga melibatkan simpati, yaitu tidak hanya merasakan penderitaan orang lain, tetapi juga perhatian dan melakukan sesuatu untuk mengurangi penderitaan tersebut. Komponen kognitif dari empati tersebut berkaitan dengan kemampuan untuk memahami atau mempertimbangkan sudut pandang orang lain, dikenal dengan istilah perspective taking.

Para psikolog sosial mengidentifikasi tiga tipe dari perspective taking (Batson, dkk dalam Baron, Byrne, & Branscombe, 2006 dalam skripsi Doris Eva Lina,2010) :

  • Mampu membayangkan bagaimana oranglain mempersepsikan sebuah kejadian dan bagaimana akhirnya perasaan mereka.
  • Mampu membayangkan bagaimana seandainya kita berada dalam situasi tersebut.
  • Mengidentifikasi terhadap karakter-karakter fiktif, yaitu perasaan simpati kepada seseorang dalam sebuah cerita. Dalam hal ini, adanya sebuah reaksi emosional terhadap kegembiraan (joys), dukacita (sorrows), dan ketakutan (fears) dari sebuah karakter dalam sebuah buku, bioskop atau program tv.

2. Belief in A Just World

Orang yang menolong menganggap dunia itu sebagai tempat yang adil dan dapat diprediksikan, dimana perilaku yang baik mendapat ganjaran baik dan perilaku yang buruk mendapat hukuman. Keyakinan ini mengarahkan pada kesimpulan bahwa menolong orang yang membutuhkan tidak hanya sekedar suatu perbuatan yang baik untuk dilakukan, akan tetapi orang yang menolong juga akan mendapat keuntungan dari perbuatannya.

3. Social Responsibility

Tanggung jawab sosial berada pada mereka yang menawarkan bantuan. Mereka menampilkan keyakinan bahwa setiap orang bertanggung jawab untuk melakukan yang terbaik saat menolong orang yang membutuhkannya.

4. Internal Locus of Control

Hal ini adalah keyakinan individu bahwa ia dapat memilih untuk melakukan sesuatu yang dapat memaksimalkan hasil yang baik dan meminimalkan hasil yang buruk.

5. Low Egocentrism

Individu yang gagal untuk menolong relatif egosentris, cenderung self absorbed dan kompetitif. Menurut Batson dan Oleson (dalam Feldman, 1995 dalam Baron&Byrne,2005). Seorang egois mungkin juga memberikan pertolongan tetapi hanya untuk mengurangi personal distress yang dirasakannya atau dimotivasi oleh adanya self-benefit.

Faktor-faktor yang mempengaruhi tindakan prososial ada empat (Mahmudah, 2012), yaitu: situasi sosial, karakteristik orang yang terlibat, faktor-faktor internal tertentu/mediator internal (mood, empati, urusan dorongan/keinginan pada orang tertentu yang muncul dengan aktivitas untuk berbuat menolong), latar belakang kepribadian (orientasi nilai,
pemberian atribut, sosialisasi).

Menurut Staub (Dayakisni & Hudaniah, 2009) terdapat beberapa faktor yang mendasari seseorang untuk bertindak prososial, yaitu :

  • Self-Gain
    Harapan seseorang untuk memperoleh atau menghindari kehilangan sesuatu, misalnya ingin mendapatkan pengakuan, pujian atau takut dikucilkan.

  • Personal Values and Norm
    Adanya nilai-nilai dan norma sosial yang diinternalisasikan oleh individu selama mengalami sosialisasi dan sebagian nilai-nilai serta norma tersebut berkaotan dengan tindakan prososial, seperti berkewajiban menegakkan kebenaran dan keadilan serta adanya norma timbal balik.

  • Empathy
    Kemampuan seseorang untuk ikut merasakan perasaan atau pengalaman orang lain. kemampuan untuk empati ini erat kaitannya dengan pengambilan peran. Jadi prasyarat untuk mampu melakukan empati, individu harus memiliki kemampuan untuk melakukan pengambilan peran.

Menurut Baron & Byrne (2005) faktor-faktor yang mempengaruhi seseorang untuk mengambil keputusan melakukan perilaku prososial terhadap orang lain oleh bystander (seseorang yang berada di tempat kejadian), antara lain:

  • Menyadari adanya situasi darurat. Situasi darurat tidak dapat terjadi menurut jadwal, jadi tidak ada cara untuk mengantisipasi kapan, dimana masalah yang tidak diharapkan akan terjadi.

  • Menginterpretasikan keadaan sebagai situasi darurat. Meskipun bystander memperhatikan apa yang terjadi di sekitarnya, namun bystander hanya memiliki informasi yang tidak lengkap dan terbatas mengenai apa yang kira-kira sedang dilakukan seseorang.

  • Mengasumsikan bahwa adalah tanggung jawabnya untuk menolong. Ketika bystander memberi perhatian kepada beberapa kejadian eksternal dan menginterpretasikannya sebagai suatu situasi darurat, tingkahlaku prososial akan dilakukanhanya jika bystander tersebut mengambil tanggung jawab untuk menolong. Pada banyak keadaan, tanggung jawab memiliki kejelasan pada posisinya. Misalnya perawat adalah mereka yang harus melakukan pelayanan terhadap para pasien.

  • Mengetahui apa yang harus dilakukan. Bystander yang sedang berada pada situasi darurat, harus mempertimbangkan apakah ia tahu tentang cara menolong orang yang berada pada situasi darurat tersebut. Pada umumnya sebagian situasi darurat mudah ditangani. Jika seorang bystander memiliki pengetahuan, pengalaman, atau kecakapan yang dibutuhkan, maka ia cenderung merasa bertanggung jawab dan akan memberikan bantuannya dengan atau tanpa kehadiran bystander lain.

  • Mengambil keputusan terakhir untuk menolong. Meskipun seorang bystander telah melewati keempat langkah sebelumnya dengan jawaban “iya”, perilaku menolong mungkin saja tidak akan terjadi kecuali mereka membuat keputusan akhir untuk bertindak. Pertolongan pada tahap akhir ini dapat dihambat oleh rasa takut terhadap adanya konsekuensi negatif yang potensial. Secara umum, perilaku menolong mungkin tidak akan muncul karena biaya potensialnya dinilai terlalu tinggi, kecuali jika orang memiliki motivasi yang luar biasa besar untuk membantu.

Selain itu, masih terdapat beberapa faktor tambahan sebagai pengaruh pribadi dalam munculnya perilaku prososial, yaitu:

  • Menolong orang yang disukai. Segala hal faktor yang dapat meningkatkan ketertarikan bystander kepada korban akan meningkatkan kemungkinan terjadinya respon prososial apabila individu tersebut membutuhkan pertolongan.

  • Atribusi menyangkut tanggung jawab korban. Pertolongan tidak diberikan secara otomatis ketika seorang bystander mengasumsikan bahwa kejadian tersebut akibat kesalahan korban sendiri, terutama jika penolong yang potensial cenderung mengasumsikan bahwa kebanyakan kesialan dapat dikontrol. Jika demikian, masalah dipersepsikan sebagai kesalahan korban.

  • Model-model prososial: kekuatan dari contoh positif. Dalam situasi darurat, kita mengindikasikan bahwa keberadaan bystander lainnya yang tidak berespons dapat menghambat tingkah laku menolong. Hal yang juga sama benarnya adalah bahwa keberadaan bystander yang menolong memberi model sosial yang kuat dan hasilnya adalah suatu peningkatan dalam tingkah laku menolong di antara bystander lainnya. Disamping model prososial di dalam dunia nyata, model- model yang menolong dalam media juga berkontribusi pada pembentukan norma sosial yang mendukung tingkah laku prososial.