Faktor-faktor apa saja yang dapat menjadi penyebab penyakit gangguan bipolar atau Bipolar Disorder?

Gangguan bipolar

Gangguan bipolar atau Bipolar Disorder adalah kondisi seseorang yang mengalami perubahan suasana hati secara fluktuatif dan drastis,misalnya tiba-tiba menjadi sangat bahagia dari yang sebelumnya murung. Nama lain dari gangguan bipolar adalah manik depresif.

Lalu apa sajakah penyebab penyakit Bipolar Disorder?

Penyebab bipolar disorder secara pasti masih belum bisa dipastikan oleh para ahli. Meskipun begitu para ahli meyakini beberapa faktor penyebab penyakit bipolar, diantaranya adalah:

  • Faktor Gangguan Otak, Adanya gangguan pada produksi atau keseimbangan zat-zat pengantar sinyal antar saraf di dalam otak, sehingga kinerja saraf yang bertugas mengatur suasana hati menjadi terganggu.

  • Faktor genetika atau keturunan, mengingat sebagian besar kasus gangguan bipolar dialami oleh mereka yang juga memiliki saudara atau orang tua dengan kondisi yang sama.

  • Faktor stres. Banyak kasus gangguan bipolar yang terjadi pada penderita yang sering mengalami tekanan dalam hidupnya, bekas trauma yang mereka alami dari stres akan terus membekas hingga membentuk kepribadian bipolar disorder.

  • Faktor gaya hidup negatif diduga turut memiliki dampak terbentuknya gangguan bipolar dalam diri seseorang, seperti misalnya kecanduan alkohol dan penyalahgunaan obat-obatan.

bipolar

Hingga kini, para ahli belum mengetahui apa yang menyebabkan terjadinya gangguan bipolar. Beberapa berpendapat bahwa kondisi ini disebabkan oleh ketidakseimbangan neurotransmitter atau zat pengontrol fungsi otak. Selain itu, ada juga yang berpendapat bahwa gangguan bipolar berkaitan dengan faktor genetik (keturunan).

Beberapa faktor yang diduga bisa meningkatkan risiko seseorang terkena gangguan bipolar adalah mengalami stres tingkat tinggi, pengalaman traumatik, kecanduan minuman beralkohol atau obat-obatan terlarang, dan memiliki riwayat keluarga dekat (saudara kandung atau orang tua) yang menderita gangguan bipolar.

Faktor-faktor lainnya yang bisa memicu kemunculan gejala atau umumya ditemukan bersamaan dengan gangguan bipolar adalah :

  • Masalahg rumah tangga, keuangan atau pekerjaan
  • Kecanduan minuman beralkohol atau obat-obatan terlarang
  • Masalah rumah tangga, keuangan atau pekerjaan
  • Gangguan tidur
  • Penyakit fisik

Psikiater dr Dharmawan Ardi Purnama, SpKJ mengatakan bahwa penyebab dari gangguan bipolar merupakan genetik. Akan tetapi, belum diketahui gen tunggal yang menyebabkan gangguan bipolar karena masalah ini merupakan hasil interaksi dari banyak gen dan banyak faktor.

Salah satu usaha untuk mengungkap gen penyebab gangguan bipolar dilakukan oleh para peneliti dari University of Michigan dalam Heinz C. Prechter Bipolar Research Program. Dalam studi raksasa ini; para peneliti mengumpulkan dan menganalisis data genetika, emosi, pengalaman hidup, catatan medis, motivasi, pola makan, temperamen, pola tidur, dan pola pikir dari 1.100 pasien selama bertahun-tahun. Lebih dari 730 pasien di antaranya mengalami gangguan bipolar.

Hasil yang telah dipublikasikan dalam International Journal of Epidemiology pada 2017 ini lagi-lagi menemukan bahwa meskipun gangguan bipolar menurun dalam keluarga, tidak ada satu gen tertentu, seperti pada kanker payudara, yang bisa dipastikan sebagai penyebab masalah kesehatan jiwa ini.

Para peneliti justru menemukan bahwa gangguan bipolar tidak disebabkan oleh satu hal saja, tetapi oleh perubahan genetik, ketidakseimbangan kimiawi, kejadian eksternal, dan hal-hal lainnya; walaupun dua gen bernama CACNA1 dan ANK3 diduga memiliki pengaruh pada terjadinya gangguan bipolar. Menariknya, para peneliti dalam program studi ini juga mendapati bahwa neuron pasien gangguan bipolar mengekspresikan lebih banyak gen untuk reseptor membran dan saluran ion, terutama gen untuk reseptor dan saluran yang mengirim dan menerima sinyal kalsium antara sel. Padahal, sinyal kalsium ini penting untuk perkembangan dan fungsi neuron.

Masalah tersebut, ujar para peneliti dalam makalah di jurnal Translational Psychiatry pada tahun 2014, seperti pengiriman surat dan paket yang salah arah. Petunjuk serupa mengenai penyebab gangguan bipolar juga ditunjukkan oleh studi yang dipublikasikan oleh profesor neurologi, psikiatri, dan genetika manusia dari University of California, Los Angeles, Daniel Geschwind bersama koleganya di jurnal Sciences pada Februari 2018. Mereka mengungkapkan bahwa penderita gangguan bipolar memiliki pola ekspresi gen di otak yang mirip dengan penderita autisme dan penderita skizofrenia. Kesamaan ini berupa pengaktifan astrosit dan penekanan gen yang ada pada sinaps, percabangan di antara neuron, yang menyebabkan miskomunikasi sel otak.

Pertanyaannya adalah gen apa yang menyebabkan menganggu pengiriman dan penerimaan sinyal antara sel otak hingga terjadi miskomunikasi ini. Profesor Markus Nothen dari University of Bonn, Jerman, bersama tim internasionalnya menganalisis informasi genetis dari 9.747 pasien gangguan bipolar dan 14.278 individu yang tidak mengalami gangguan bipolar.

Secara total, ada 2,3 juta wilayah DNA yang dipelajari. Dalam jurnal Nature Communications pada 2014, tim ini berhasil mengidentifikasikan lima kandidat gen penyebab gangguan bipolar, yakni ANK3 seperti yang diduga oleh para peneliti dari University of Michigan, ODZ4, TRANK1, ADCY2 pada kromosom 5 dan MIR2113-POU3F2 pada kromosom 6. Nothen dan kolega secara khusus tertarik untuk mempelajari ADCY2 lebih lanjut karena gen ini berfungsi dalam produksi enzim yang mengonduksikan sinyal ke sel-sel saraf. Selain miskomunikasi sel otak, beberapa studi juga menemukan masalah lain pada otak, seperti tingkat keasaman yang tinggi dan penipisan materi abu-abu, yang diduga sebagai penyebab gangguan bipolar. Dugaan mengenai tingginya tingkat keasaman otak pada pasien gangguan bipolar ini semakin dikuatkan oleh temuan Tsuyoshi Miyakawa dari Fujita Health University dan timnya dalam jurnal Neuropsychopharmacology pada 2017.

Setelah menganalisis hasil dari 10 studi yang membandingkan otak pasien skizofernia dan bipolar yang sudah meninggal dengan subyek kontrol, tim Miyakawa menemukan bahwa median nilai pH pasien bipolar lebih rendah daripada subyek kontrol. Hasil serupa juga ditemukan tim ketika memeriksa lima model tikus yang memiliki gen untuk kondisi gangguan bipolar. Meski demikian, studi ini dilakukan pada pasien yang sudah meninggal sehingga masih perlu ditindaklanjuti dengan pencitraan otak pasien yang masih hidup. Selain itu, apakah keasaman otak yang mungkin menjadi karakteristik pasien gangguan bipolar ini adalah efek atau penyebab masih belum jelas.

Pada tahun yang sama, sebuah konsorsium global yang terdiri dari 76 pusat penelitian dan 26 tim peneliti di seluruh dunia memublikasikan hasil dari studi MRI terbesar terhadap 6.503 individu dalam jurnal Molecular Psychiatry. 2.447 pasien dipelajari memiliki gangguan bipolar, sedangkan 4.056 individu sisanya tidak. Mereka menemukan adanya penipisan materi abu-abu, terutama pada lobus frontal dan lobus temporal yang mengatur kontrol diri dan emosi, pada pasien gangguan bipolar.

Terapi Gangguan Bipolar


Selain penyebab, para peneliti juga terus mengeksplorasi efektifitas dan keamanan berbagai pengobatan dan penanganan gangguan bipolar. Salah satunya telaahan yang baru dipublikasikan di jurnal Bipolar Disorder. Para peneliti menemukan bahwa terapi litium paling efektif dalam mengontrol gejala gangguan bipolar dibanding monoterapi lainnya setelah menelaah sembilan studi observasi terkontrol yang melibatkan 14.271 pasien dengan gangguan bipolar di Swedia, Denmark, Amerika Serikat, Jerman, Italia, Inggris, Australia dan Kanada. Selain lebih efektif dalam mengontrol gejala gangguan bipolar, litium juga ditemukan mengurangi risiko bunuh diri dan kemunculan demensia pada pasien dengan gangguan bipolar. Efektifitas dari terapi garam litium semakin setelah ditemukan dapat meminimalisir penipisan materi abu-abu dan memperbaiki pola sinyal kalsium diterima dan dikirim oleh sel otak.

Litium juga ditemukan dapat membantu mengurangi gejala gangguan bipolar yang disebabkan oleh masalah protein. Setelah para peneliti yang berbasis di San Diego, Amerika Serikat mengidentifikasikan adanya gangguan pada protein CRMP2 yang meregulasi jaringan neural, studi lanjutan mereka yang dipublikasikan dalam PNAS menemukan bahwa litium dapat menormalkan protein ini.

Di samping terapi litium, terapi lain yang belakangan menjadi fokus para peneliti adalah penggunaan terapi cahaya dan terapi hormon untuk pasien gangguan bipolar. Terapi cahaya sebetulnya digunakan untuk menangani gejala seasonal affective disorder (SAD), sebuah gangguan mood yang terjadi pada musim-musim tertentu. Terapi ini menggunakan cahaya putih buatan untuk menggantikan peran cahaya matahari pada musim dingin.

Dalam sebuah studi awal yang melibatkan 46 pasien gangguan bipolar, para peneliti dari Feinberg School of Medicine, Northwestern University mendapati bahwa terapi cahaya mengurangi episode depresi pada 68 persen pasien gangguan bipolar, sedangkan plasebo hanya mengurangi depresi pada 22 persen pasien gangguan bipolar. Terapi ini juga ditemukan aman dan tidak menimbulkan perubahan mood dari depresi ke mania oleh Francesco Benedetti dari Scientific Institute Ospedale San Raffaele yang menelaah 41 makalah tentang penggunaan terapi cahaya pada 799 pasien.

Sementara itu, studi yang diuraikan dalam jurnal Bipolar Disorder pada Januari 2018 oleh Olivia M Dean dari IMPACT Strategic Research Centre, Deakin University, Australia, dan kolega menunjukkan bahwa terapi hormon, terutama tamoxifen yang sebetulnya untuk kanker payudara, memiliki dampak positif bagi penderita gangguan bipolar. Akan tetapi, Dharmawan berpendapat bahwa terapi cahaya dan hormon belum bisa diaplikasikan di Indonesia untuk pasien gangguan bipolar.

Psikiater Indonesia menghindari terapi hormon karena kemungkinan efek sampingnya yang berbahaya. Untuk saat ini, terapi di samping pengobatan yang paling memungkinkan menurut Dharmawan adalah electroconvulsive therapy (ECT) atau terapi kejut listrik. Saat ini, para psikiater dan ahli di rumah sakit jiwa Indonesia terus mengembangkan terapi ECT dengan anestesi untuk terapi gangguan bipolar agar semakin aman dan efektif.

Sumber : Mencari Pemahaman Baru tentang Gangguan Bipolar lewat Sains