Faktor apa saja yang menyebabkan orang sakit jiwa?


Sebab pasti dari penyakit gangguan mental atau kejiwaan memang tidaklah diketahui karena pada dasarnya ada berbagai hal yang bisa menjadi latar belakarng seseorang mengalami sakit jiwa. Faktor lingkungan sekitar atau justru faktor genetik, atau bahkan kombinasi dari faktor-faktor lain tertentu bakal turut memperbesar kemungkinan seseorang mengidap sakit jiwa.

1 Like

Berikut di bawah ini merupakan faktor paling umum dari kondisi sakit jiwa pada seseorang :

  1. Mempunyai keluarga satu darah yang memiliki riwayat gangguaan kejiwaan. Ini dikarenakan ada gen-gen tertentu yang bisa membuat risiko seseorang terganggu jiwanya meningkat. Persoalan hidup dapat menjadi pemicu paling besar yang kemungkinan pernah penderita sakit jiwa alami sebelumnya.

  2. Neurotransmiter atau senyawa kimia alami yang ada pada bagian otak berperan sangat vital bagi kesehatan kejiwaan dan mental seseorang. Reaksi kimia ini dapat mengalami perubahan dan kemudian memberi pengaruh pada suasana hati seseorang serta beragam aspek kesehatan mental penderitanya.

  3. Hormon yang tidak seimbang pun dapat dimasukkan pada faktor pemicu sakit jiwa sehingga kesehatan mental pun akhirnya terpengaruh dan ini benar-benar terjadi pada beberapa kasus.

  4. Terkena paparan obat-obatan, minuman keras, racun maupun virus ketika masih berada di dalam kandungan.

  5. Mengonsumsi obat-obatan terlarang secara berkepanjangan dan akhirnya sampai kecanduan.

  6. Mengalami trauma dan tekanan-tekanan serius, seperti halnya menjadi korban bencana alam atau mengalami pelecehan seksual (dalam banyak kasus yang terjadi adalah pemerkosaan).

  7. Sebelumnya dulu pernah mengalami yang namanya sakit jiwa.

  8. Mempunyai teman hanya sedikit atau bahkan sama sekali tidak memiliki teman sehingga kerap merasa sendiri.

  9. Otak mengalami kerusakan.

  10. Mengidap penyakit parah atau kronis, contohnya kanker.

  11. Memiliki kehidupan berlika-liku dan penuh tekanan, seperti perceraian atau kesulitan dalam hal keuangan; kematian dari anggota keluarnya juga mengakibatkan kesedihan mendalam yang berisiko berujung pada gangguan jiwa seseorang.

Gejala utama atau gejala yang paling menonjol pada gangguan jiwa terdapat pada unsur kejiwaan, tetapi penyebab utamanya mungkin di badan (somatogenik), di lingkungan sosial (sosiogenik), ataupun psikis (psikogenik), (Maramis, 2010). Biasanya tidak terdapat penyebab tunggal, akan tetapi beberapa penyebab sekaligus dari berbagai unsur itu yang saling mempengaruhi atau kebetulan terjadi bersamaan, lalu timbullah gangguan badan ataupun gangguan jiwa. Menurut Stuart & Sundeen (2008) penyebab gangguan jiwa dapat dibedakan atas:

  • Faktor Biologis/Jasmaniah

    • Keturunan
      Peran yang pasti sebagai penyebab belum jelas, mungkin terbatas dalam mengakibatkan kepekaan untuk mengalami gangguan jiwa tapi hal tersebut sangat ditunjang dengan faktor lingkungan kejiwaan yang tidak sehat.
    • Jasmaniah
      Beberapa peneliti berpendapat bentuk tubuh seseorang berhubungan dengan ganggua jiwa tertentu. Misalnya yang bertubuh gemuk/endoform cenderung menderita psikosa manik depresif, sedang yang kurus/ectoform cenderung menjadi skizofrenia.
    • Temperamen
      Orang yang terlalu peka/sensitif biasanya mempunyai masalah kejiwaan dan ketegangan yang memiliki kecenderungan mengalami gangguan jiwa.
    • Penyakit dan cedera tubuh
      Penyakit-penyakit tertentu misalnya penyakit jantung, kanker, dan sebagainya mungkin dapat menyebabkan merasa murung dan sedih. Demikian pula cedera/cacat tubuh tertentu dapat menyebabkan rasa rendah diri.
  • Ansietas dan Ketakutan
    Kekhawatiran pada sesuatu hal yang tidak jelas dan perasaan yang tidak menentu akan sesuatu hal menyebabkan individu merasa terancam, ketakutan hingga terkadang mempersepsikan dirinya terancam.

  • Faktor Psikologis
    Bermacam pengalaman frustasi, kegagalan dan keberhasilan yang dialami akan mewarnai sikap, kebiasaan dan sifatnya. Pemberian kasih sayang orang tua yang dingin, acuh tak acuh, kaku dan keras akan menimbulkan rasa cemas dan tekanan serta memiliki kepribadian yang bersifat menolak dan menentang terhadap
    lingkungan.

  • Faktor Sosio-Kultural
    Beberapa penyebab gangguan jiwa menurut Wahyu (2012) yaitu :

    • Penyebab primer (primary cause)
      Kondisi yang secara langsung menyebabkan terjadinya gangguan jiwa, atau kondisi yang tanpa kehadirannya suatu gangguan jiwa tidak akan muncul.
    • Penyebab yang menyiapkan (predisposing cause)
      Menyebabkan seseorang rentan terhadap salah satu bentuk gangguan jiwa.
    • Penyebab yang pencetus (precipatating cause)
      Ketegangan-ketegangan atau kejadian-kejadian traumatik yang langsung dapat menyebabkan gangguan jiwa atau mencetuskan gangguan jiwa.
    • Penyebab menguatkan (reinforcing cause)
      Kondisi yang cenderung mempertahankan atau mempengaruhi tingkah laku maladaptif yang terjadi.
    • Multiple cause
      Serangkaian faktor penyebab yang kompleks serta saling mempengaruhi. Dalam kenyataannya, suatu gangguan jiwa jarang disebabkan oleh satu penyebab tunggal, bukan sebagai hubungan sebab akibat, melainkan saling mempengaruhi antara satu faktor penyebab dengan penyebab lainnya.
  • Faktor Presipitasi
    Faktor stressor presipitasi mempengaruhi dalam kejiwaan seseorang. Sebagai faktor stimulus dimana setiap individu mempersepsikan dirinya melawan tantangan, ancaman, atau tuntutan untuk koping. Masalah khusus tentang konsep diri disebabkan oleh setiap situasi dimana individu tidak mampu menyesuaikan. Lingkungan dapat mempengaruhi konsep diri dan komponennya. Lingkungan dan stressor yang dapat mempengaruhi gambaran diri dan hilangnya bagian badan, tindakan operasi, proses patologi penyakit, perubahan struktur dan fungsi tubuh, proses tumbuh kembang, dan prosedur tindakan serta pengobatan (Stuart & Sundeen, 2008)

Gangguan jiwa disebabkan oleh banyak faktor yang beriteraksi satu sama lain. Berikut penjelasannya :

Pengalaman Traumatis Sebelumnya

Sebuah survey yang dilakukan oleh Whitfield, Dubeb, Felitti, and Anda (2005) di San Diego, Amerika Serikat selama 4 tahun terhadap 50,000 pasien psychosis menemukan sebanyak 64% dari responden pernah mengalami trauma waktu mereka kecil (sexual abuse, physical abuse, emotional abuse, and substance abuse). Penelitian lain yang dilakukan oleh Hardy et al. (2005) di UK terhadap 75 pasien psychosis menemukan bahwa ada hubungan antara kejadian halusinasi dengan pengalaman trauma. 30,6% mereka yang mengalami halusinasi pernah mengalami trauma waktu masa kecil mereka.

Faktor Biologi

  • Faktor Genetik

Hingga saat ini belum ditemukan adanya gen tertentu yang menyebabkan terjadinya gangguan jiwa. Akan tetapi telah ditemukan adanya variasi dari multiple gen yang telah berkontribusi pada terganggunya fungsi otak (Mohr, 2003). Sebuah penelitian yang dilakukan oleh National Institute of Health di Amerika serikat telah menemukan adanya variasi genetik pada 33000 pasien dgn diagnosa skizofrenia, Autis, ADHD, bipolar disorder dan mayor deppressive disorder. (NIH, USA, 2013). Penelitian tersebut menemukan bahwa Variasi CACNA1C dan CACNB2 diketahui telah mempengaruhi circuitry yang meliputi memori, perhatian, cara berpikir dan emosi (NIH, USA, 2013). Disamping itu juga telah ditemukan bahwa dari orang tua dan anak dapat menurunkan sebesar 10%. Dari keponakan atau cucu sebesar 2–4% dan saudara kembar identik sebesar 48%.

  • Gangguan sturktur dan fungsi otak

Menurut Frisch & Frisch (2011), Hipoaktifitas lobus frontal telah menyebabkan afek menjadi tumpul, isolasi sosial dan apati. Sedangkan gangguan pada lobus temporal telah ditemukan terkait dengan munculnya waham, halusinasi dan ketidak mampuan mengenal objek atau wajah.

Gangguan prefrontal pada pasien skizofrenia berhubungan dengan terjadinya gejala negatif seperti apati, afek tumpul serta miskin nya ide dan pembicaraan. Sedangkan pada bipolar disorder, gangguan profrontal telah menyebabkan munculnya episode depresi, perasaan tidak bertenaga dan sedih serta menurunnya kemampuan kognitif dan konsentrasi. Dsifungsi sistim limbik berkaitan erat dengan terjadinya waham , halusinasi, serta gangguan emosi dan perilaku. Penelitian terbaru menemukan penyebab AH adanya perubahan struktur dalam sirkuit syaraf yaitu adanya kerusakan dalam auditory spatial perception(Hunter et all,2010)

  • Neurotransmitter

Menurut Frisch & Frisch (2011), Neurotransmiter adalah senyawa organik endogenus membawa sinyal di antara neuron. Neurotransmitter terdiri dari:

  1. Dopamin: berfungsi membantu otak mengatasi depresi, meningkatkan ingatan dan meningkatkan kewaspadaan
  2. Serotonin: pengaturan tidur, persepsi nyeri, mengatur status mood dan temperatur tubuh serta berperan dalam perilaku aggresi atau marah dan libido
  3. Norepinefrin: Fungsi Utama adalah mengatur fungsi kesiagaan, pusat perhatian dan orientasi; mengatur “fight-flight”dan proses pembelajaran dan memory
  4. Asetilkolin: mempengaruhi kesiagaan, kewaspadaan, dan pemusatan perhatian
  5. Glutamat: pengaturan kemampuan memori dan memelihara fungsi automatic

Faktor Psikoedukasi

Faktor ini juga tidak kalah pentingnya dalam kontribusinya terhadap terjadinya gangguan jiwa. Sebuah penelitian di Jawa yang dilakukan oleh Pebrianti, Wijayanti, dan Munjiati (2009) menemukan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara tipe pola asuh keluarga dengan kejadian Skizofrenia. Sekitar 69% dari responden (penderita skizofrenia) diasuh dengan pola otoriter, dan sekitar 16,7% diasuh dengan pola permissive.

Penelitian lain yang dilakukan oleh Erlina, Soewadi dan Pramono si Sumatra Barat tentang determinan faktor timbulnya skizofrenia menemukan bahwa pola asuh keluarga patogenik mempunyai risiko 4,5 kali untuk mengalami gangguan jiwa skizofrenia dibandingkan dengan pola asuh keluarga tidak patogenik. Adapun yang mereka maksud dengan pola suh patogenik tersebut antara lain :

  1. Melindungi anak secara berlebihan karena memanjakannya

  2. Melindungi anak secara berlebihan karena sikap “berkuasa” dan “harus tunduk saja” 3.Sikap penolakan terhadap kehadiran si anak (rejected child)

  3. Menentukan norma-norma etika dan moral yang terlalu tinggi

  4. Penanaman disiplin yang terlalu keras

  5. Penetapan aturan yang tidak teratur atau yang bertentangan

  6. Adanya perselisihan dan pertengkaran antara kedua orang tua

  7. Perceraian

  8. Persaingan dengan sibling yang tidak sehat

  9. Nilai-nilai yang buruk (yang tidak bermoral)

  10. Perfeksionisme dan ambisi (cita-cita yang terlalu tinggi bagi si anak)

  11. Ayah dan atau ibu mengalami gangguan jiwa (psikotik atau non-psikotik)

Berkaitan dengan penelantaran anak, sebuah penelitian yang telah dilakukan oleh Schafer et al (2007) pada 30 pasien wanita dengan skizofrenia, menemukan adanya korelasi yang bermakna antara anak-anak yang ditelantarkan baik secara fisik maupun mental dengan gangguan jiwa. Pada analisis multivariabel, Schafer menemukan bahwa mereka yang mempunyai status ekonomi rendah berisiko 7,4 kali untuk menderita ganguan jiwa skizofrenia dibanding dengan mereka yang mempunyai status ekonomi tinggi . Artinya mereka dari kelompok ekonomi rendah kemungkinan mempunyai risiko 7,4 kali lebih besar mengalami kejadian skizofrenia dibandingkan mereka yang dari kelompok ekonomi tinggi.

Faktor Koping

Menurut Lazarus (2006), Ketika individu mengalami masalah, secara umum ada dua strategi koping yang biasanya digunakan oleh individu tersebut, yaitu:

  1. Problem-solving focused coping, dimana individu secara aktif mencari penyelesaian dari masalah untuk menghilangkan kondisi atau situasi yang menimbulkan stres

  2. Emotion-focused coping, dimana individu melibatkan usaha-usaha untuk mengatur emosinya dalam rangka menyesuaikan diri dengan dampak yang akan timbul akibat suatu kondisi atau situasi yang penuh tekanan. Individu yang menggunakan problem solving focused coping* cenderung berorientasi pada pemecahan masalah yang dialaminya sehingga bisa terhindar dari stres yang berkepanjangan sebaliknya individu yang senantiasa menggunakan emotion focused coping cenderung berfokus pada ego mereka sehingga masalah yang dihadapi tidak pernah ada pemecahannya yang membuat mereka mengalami stres yang berkepanjangan bahkan akhirnya bisa jatuh kekeadaan gangguan jiwa berat.

Stressor Psikososial

Faktor stressor psikososial juga turut berkontribusi terhadap terjadinya gangguan jiwa. Seberapa berat stressor yang dialami seseorang sangat mempengaruhi respon dan koping mereka. Seseorang mengalami stressor yang berat seperti kehilangan suami tentunya berbeda dengan seseorang yang hanya mengalami strssor ringan seperti terkena macet dijalan. Banyaknya stressor dan seringnya mengalami sebuah stressor juga mempengaruhi respon dan koping. Seseorang yang mengalami banyak masalah tentu berbeda dengan seseorang yang tidak punya banyak masalah.

Pemahaman dan Keyakinan Agama

Pemahaman dan keyakinan agama ternyata juga berkontribusi terhadap kejadian gangguan jiwa. Beberapa penelitian telah membuktikan adanya hubungan ini. Sebuah penelitian ethnografi yang dilakukan oleh Saptandari (2001) di Jawa tengah melaporkan bahwa lemahnya iman dan kurangnya ibadah dalam kehidupan sehari – hari berhubungan dengan kejadian gangguan jiwa. Penelitian saya di tahun 2011 juga telah menemukan adanya hubungan antara kekuatan iman dengan kejadian gangguan jiwa. Pada pasien yang mengalami halusinasi pendengaran, halusinasinya tidak muncul kalau kondisi keimanan mereka kuat (Suryani, 2011).