Apa saja Faktor Penyebab Campur Kode?

faktorpenyebabcampurkode

Beberapa waktu yang lalu, gaya bahasa yang digunakan anak remaja Jakarta Selatan menjadi perbincangan di dunia maya. Hal ini disebabkan karena mereka menggunakan campur kode ( code mixing ) dalam bahasa sehari-hari mereka, seperti menyisipkan kata “which is”, “literally” dan sebagainya.

Apa saja Faktor Penyebab Campur Kode?

Campur kode terjadi ketika dua bahasa atau lebih disatukan dalam suatu kalimat atau percakapan. Menurut Kim (2006: 43) ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya campur kode pada gaya bahasa seseorang, yaitu :

  1. Kemampuan menguasai dua bahasa atau lebih.
  2. Bertujuan untuk membangun kesepahaman antara pembicara dengan pendengar.
  3. Lingkungan masyarakat bilingual atau multilingual.
  4. Situasi. Campur kode yang digunakan sesorang sering sekali terjadi pada situasi informal.
  5. Kekurangan kosakata dalam suatu bahasa dan ketidakmampuan untuk menemukan kosakata yang sesuai dalam suatu bahasa.
  6. Gengsi.

1. Pembicara dan Pribadi Pembicara

Pembicara kadang-kadang sengaja bercampur kode terhadap mitra bahasa karena dia mempunyai maksud dan tujuan tertentu. Dipandang dari pribadi pembicara, ada berbagai maksud dan tujuan bercampur kode antara lain pembicara ingin mengubah situasi pembicaraan, yakni dari situasi formal yang terikat ruang dan waktu ke situasi non-formal yang tidak terikat ruang dan waktu. Pembicara kadang-kadang melakukan campur kode bahasa satu ke dalam bahasa yang lain karena kebiasaan.

2. Mitra Bicara

Mitra bicara dapat berupa individu atau kelompok. Dalam masyarakat bilingual, seorang pembicara yang mula-mula menggunakan satu bahasa dapat bercampur kode menggunakan bahasa lain dengan mitra bicaranya yang mempunyai latar belakang bahasa daerah yang sama. Seorang bawahan yang berbicara dengan seorang atasan mungkin menggunakan bahasa Indonesia dengan disisipi kata-kata dalam bahasa daerah yang nilai tingkat tuturnya tinggi dengan maksud untuk menghormati. Sebaliknya, seorang atasan yang berbicara dengan bawahan mungkin menggunakan bahasa Indonesia dengan disisipi kata-kata daerah (Jawa ngoko) yang memiliki tingkat tutur rendah dengan maksud untuk menjalin keakraban. Pertimbangan mitra bicara sebagai orang ketiga juga dapat menimbulkan campur kode jika orang ketiga ini diketahui tidak dapat menggunakan bahasa yang mula-mula digunakan kedua pembicara. Misalnya, pembicara dan mitra bicara menggunakan bahasa Jawa bercampur kode menggunakan bahasa Inggris karena hadirnya seorang penutur Inggris yang memasuki situasi pembicaraan.

3. Tempat Pembicaran dan Waktu Pembicaraan Berlangsung

Pembicaraan yang terjadi di sebuah terminal bus di Indonesia, misalnya, dilakukan oleh masyarakat dari berbagai etnis. Dalam masyarakat yang begitu kompleks semacam itu akan timbul banyak campur kode dan campur kode. Alih bahasa atau campur kode itu dapat terjadi dari bahasa yang satu ke dalam bahasa yang lain, dan dari tingkat tutur suatu bahasa ke tingkat tutur bahasa yang lain. Seorang penjual karcis bus di sebuah terminal yang multilingual pada jam-jam sibuk bercampur kode dengan cepat dari bahasa satu ke dalam bahasa yang lain dan juga melakukan campur kode atau bahasa.

4. Modus Pembicaraan

Modus pembicaraan merupakan sarana yang digunakan untuk berbicara. Modus lisan (tatap muka, melalui telepon,atau melalui audio visual) lebih banyak menggunakan ragam non-formal dibandingkan dengan modus tulis (surat dinas, surat kabar, buku ilmiah) yang biasanya menggunakan ragam formal. Dengan modus lisan lebih sering terjadi campur kode dan campur kode daripada dengan menggunakan modus tulis.

5. Topik Pembicaraan

Dengan menggunakan topik tertentu, suatu interaksi komunikasi dapat berjalan dengan lancar. Campur kode dan campur kode dapat terjadi karena faktor topik. Topik ilmiah disampaikan dalam situasi formal dengan menggunakan ragam formal. Topik non-ilmiah disampaikan dalam situasi “bebas”, “santai” dengan menggunakan ragam non-formal. Dalam ragam non-formal kadang kadang terjadi “penyisipan” unsur bahasa lain, di samping itu topik pembicaraan non-ilmiah (percakapan sehari-hari) menciptakan pembicaraan yang santai. Pembicaraan yang santai juga dapat menimbulkan campur kode.