Faktor Apa Saja yang Dapat Membuat Seseorang Mempunyai Perilaku Memaafkan (Forgiving)?

memaafkan

Banyak orang yang susah sekali memaafkan kesalahan orang lain, tetapi tidak sedikit yang orang yang mempunyai perilaku mudah sekali dalam memaafkan orang lain.

Faktor-faktor apa saja yang dapat membuat seseorang mempunyai perilaku memaafkan (forgiving) ?

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Mullet, Houdbine, Laumonier, dan Girard (1998), mereka mengelompokkan berbagai faktor yang dapat mempengaruhi perilaku memaafkan, baik yang berasal dari internal maupun eksternal individu, ke dalam empat kategori, yaitu karakteristik orang yang menjadi korban, karakteristik orang yang melakukan kesalahan, karakteristik kesalahan, dan kondisi setelah kesalahan terjadi.

  • Karakteristik orang yang menjadi korban meliputi usia (semakin tinggi usia, semakin mau memaafkan), gender, religiusitas, filosofi personal individu, dan mood.

  • Karakteristik orang yang melakukan kesalahan meliputi kedekatan sosial (social proximity) antara dia dengan orang yang memaafkan.

  • Karakteristik kesalahan meliputi tingkat keparahan dari akibat yang ditimbulkan, intensi melakukan kesalahan, kelalaian dalam melakukan kesalahan.

  • Kondisi setelah kesalahan terjadi meliputi dendam, pembatalan konsekuensi, permintaan maaf dari orang yang melakukan kesalahan, tekanan dari pihak lain, dan berlalunya waktu.

Studi yang dilakukan Azar, Mullet, dan Vinsonneau (1999) menemukan satu faktor lagi, yakni pendidikan. Menurut hasil studi tersebut, orang yang memiliki pendidikan lebih tinggi cenderung lebih mudah memaafkan. Dalam pandangan orang yang pendidikannya lebih tinggi, orang yang melakukan kesalahan juga merupakan korban yang harus direhabilitasi, bukan dihukum. Sebaliknya, orang yang pendidikannya lebih rendah cenderung menuntut keadilan atas apa yang menimpa mereka.

McCullough (2000) juga mengungkapkan beberapa faktor yang memiliki kaitan erat dengan perilaku memaafkan, yakni empati, represi, supresi, kualitas hubungan, dan permintaan maaf.

Berdasarkan studi yang dilakukannya, empati merupakan mediator antara permintaan maaf dari orang yang melakukan kesalahan dan kemauan korban untuk memaafkan. Dengan kata lain, pemintaan maaf yang dilakukan dapat memunculkan empati pada korban sehingga mendorongnya untuk memaafkan orang yang melakukan kesalahan.

Faktor lainnya, yakni represi, terjadi ketika korban terus menerus memikirkan kesalahan yang dilakukan dan merasa sangat terganggu oleh kesalahan tersebut. Beberapa individu bahkan seringkali melakukan supresi atas ruminasi tersebut sehingga pemikiran mengenai kesalahan menjadi bagian dari alam bawah sadarnya.

Represi adalah suatu mekanisme yang digunakan untuk menghilangkan hal-hal yang kurang baik pada diri kita ke alam bawah sadar. Karena jika hal ini tidak kita lakukan, maka kita akan melakukan suatu perbuatan yang tidak dapat dibenarkan oleh norma-norma sosial. Dengan mekanisme ini, kita akan terhindar dari situasi tanpa kehilangan wibawa kita.

Contohnya adalah ketika dalam sebuah pertandingan sepak bola kita disinggung oleh lawan, perasaan tidak suka kita terhadap lawan atau perasaan marah kita terhadap lawan, kita repres ke dalam alam bawah sadar kita dengan tujuan menghindari hal-hal yang kurang baik dalam sebuah pertandingan, seperti melakukan pelanggaran-pelanggaran dan sebagainya.

Supresi adalah suatu proses yang digolongkan sebagai mekanisme pertahanan tetapi sebenarnya merupakan analog dari represi yang disadari.

Perbedaan supresi dengan represi adalah pada supresi seseorang secara sadar menolak pikirannya keluar alam sadarnya dan memikirkan yang lain. Dengan demikian supresi tidak begitu berbahaya terhadap kesehatan jiwa, karena terjadinya dengan sengaja, sehingga ia mengetahui apa yang dibuatnya.

Contohnya : saat menuju ke tempat pertandingan atau sebelum pertandingan dimulai ada beberapa atlet yang sering dilihat sedang mendengarkan musik atau berbincang-bincang dengan rekan setimnya tentang bahasan diluar pertandingan tersebut. Hal ini dimaksudkan untuk mengalihkan perhatiannya untuk sementara waktu guna mengatasi ketegangan yang dihadapi.

Semakin rendah tingkat ruminasi dan supresi dari ruminasi tersebut, semakin tinggi kemauan memaafkan.

Kualitas hubungan yang meliputi kedekatan, komitmen, dan kepuasan, juga dapat mempengaruhi perilaku memaafkan. Orang akan lebih mau memaafkan ketika hubungan tersebut lebih dekat, komitmen yang terbentuk lebih kuat, dan kepuasan yang diperoleh dari hubungan tersebut lebih tinggi.

Adanya permintaan maaf dari orang yang melakukan kesalahan juga terbukti meningkatkan kemungkinan munculnya perilaku memaafkan pada korban (McCullough, 2000).

Faktor-faktor untuk memiliki perilaku memaafkan berkorelasi dengan sejumlah variabel, seperti personality traits, emosi, self-esteem, simptom-simptom psikologis, agreeableness dan stabilitas emosional (dalam teori Big Five personality taxonomy).

Studi lainya juga menunjukkan relasi yang positif dengan religiositas dan spiritualitas, empati, atribusi dan appraisal, serta ruminasi tentang transgresi (McCullough, 2001).

Empati

Empati sering diartikan sebagai pengalaman vacarious mengenai kondisi emosional orang lain. Empati bersama perspective-taking memfasilitasi banyak kualitas prososial seperti kesediaan untuk menolong dan memaafkan.

Empati membantu menjelaskan mengapa berbagai variabel sosial-psikologis berpengaruh atas forgiveness. Misalnya, efek permohonan maaf oleh transgresor atas kesediaan korban untuk memaafkan hampir sepenuhnya dimediasi oleh efek maaf tadi atas empati dari korban terhadap transgresor (McCullough, 200, 2001).

Bahkan McCullough berani menyatakan bahwa empati sebagai variabel psikologis satu-satunya yang terbukti membantu orang melakukan forgiveness terhadap transgresi dalam kondisi eksperimental.

Agreeableness

Agreeableness adalah dimensi personalitas yang mencakup altruisme, empati, care, dan generositas. Dimensi ini secara tipikal dinilai tinggi pada deskriptor seperti “memaafkan” dan rendah pada deskriptor seperti “membalas dendam.”

Di samping itu, orang yang menunjukkan disposisi memaafkan cenderung kurang eksploitatif dan lebih berempati terhadap orang lain. Tanggungjawab moral yang tinggi dan tendensi yang besar untuk berbagi dengan orang lain juga menjadi karakteristik yang sering dilaporkan.

memaafkan

Stabilitas emosional

Stabilitas emosional merupakan dimensi personalitas yang mencakup vulnerabilitas yang rendah terhadap pengalaman-pengalaman emosi negatif. Orang yang stabil secara emosional cenderung untuk tidak moody atau sensitif berlebihan.

Mereka memiliki skor yang lebih tinggi pada pengukuran-pengukuran disposisi forgiveness dibandingkan dengan subyek yang secara emosional kurang stabil (McCullough, 2001).

Spiritualitas

Dimensi kepribadian lainnya yang berhubungan dengan disposisi memaafkan adalah religiositas atau spiritualitas. Hasil sejumlah studi menunjukkan bajwa orang yang memandand diri mereka sangat religius cenderung menilai tinggi forgiveness dan melihat diri mereka sebagai lebih memaafkankan dibandingkan dengan mereka yang memandang diri kurang religius/spiritual (McCullough & Worthington, 1999; McCullough, Bono, & Root, 2005)

Ruminasi dan supresi

Faktor lainnya yang berkaitan dengan seberapa orang mau memaafkan adalah seberapa jauh korban melakukan ruminasi dan supresi. Ruminasi sebagai tendensi untuk mengalami pikiran, afek dan image intrusif mengenai kejadian masa lampau nampaknya menjadi perintang untuk forgiveness.

Ruminasi intrusif dan upaya untuk melakukan supresi atas ruminasi ini berkorelasi dengan motivasi menghindar dan membalas dendam. Studi longitudiianl mengindikasikan bahwa seberapa jauh orang mampu mereduksi ruminasi merupakan prediktor yang baik untuk seberapa besar kemajuan dalam memaafkan transgresor (McCullough, 2001).

Beberapa faktor yang berpengaruh terhadap perilaku memaafkan, menurut beberapa ahli antara lain :

  • Empati
    Empati adalah kemampuan seseorang untuk ikut merasakan perasaan atau pengalaman orang lain. Kemampuan untuk empati ini erat kaitannya dengan pengambilalihan peran. Melalui empati terhadap pihak yang menyakiti, seseorang dapat memahami perasaan pihak yang menyakiti merasa bersalah dan tertekan akibat perilaku yang menyakitkan. Dengan alasan itulah beberapa penelitian menunjukkan bahwa empati berpengaruh terhadap proses pemaafan (McCullough dkk, 1997, 1998, 2003).

    Empati juga menjelaskan variabel sosial psikologis yang mempengaruhi pemberian maaf yaitu permintaan maaf (apologies) dari pihak yang menyakiti. Ketika pelaku meminta maaf kepada pihak yang disakiti maka hal itu bisa membuat korban lebih berempati dan kemudian termotivasi untuk memaafkannya.

  • Atribusi terhadap pelaku dan kesalahannya
    Penilaian akan mempengaruhi setiap perilaku individu. Artinya, bahwa setiap perilaku itu ada penyebabnya dan penilaian dapat mengubah perilaku individu (termasuk pemaafan) di masa mendatang. Dibandingkan dengan orang yang tidak memaafkan pelaku, orang yang memaafkan cenderung menilai pihak yang bersalah lebih baik dan penjelasan akan kesalahan yang diperbuatnya cukup adekuat dan jujur. Pemaaf pada umumnya menyimpulkan bahwa pelaku telah merasa bersalah dan tidak bermaksud menyakiti sehingga ia mencari penyebab lain dari peristiwa yang menyakitkan itu. Perubahan penilaian terhadap peristiwa yang menyakitkan ini memberikan reaksi emosi positif yang kemudian akan memunculkan pemberian maaf terhadap pelaku (Takaku, 2001).

  • Tingkat kelukaan
    Beberapa orang menyangkal sakit hati yang mereka rasakan untuk mengakuinya sebagai sesuatu yang sangat menyakitkan. Kadang-kadang rasa sakit membuat mereka takut seperti orang yang dikhianati dan diperlakukan secara kejam. Mereka merasa takut mengakui sakit hatinya karena dapat mengakibatkan mereka membenci orang yang sangat dicintainya, meskipun melukai. Mereka pun menggunakan berbagai cara untuk menyangkal rasa sakit hati mereka. Pada sisi lain, banyak orang yang merasa sakit hati ketika mendapatkan bukti bahwa hubungan interpersonal yang mereka kira akan bertahan lama ternyata hanya bersifat sementara. Hal ini sering kali menimbulkan kesedihan yang mendalam. Ketika hal ini terjadi, maka pemaafan tidak bisa atau sulit terwujudkan (Smedes, 1984).

  • Karekteristik kepribadian
    Ciri kepribadian tententu seperti ekstravert menggambarkan beberapa karakter seperti bersifat sosial, keterbukaan ekspresi, dan asertif. Karakter yang hangat, kooperatif, tidak mementingkan diri, menyenang- kan, jujur, dermawan, sopan dan fleksibel juga cenderung menjadi empatik dan bersahabat. Karakter lain yang diduga berperan adalah cerdas, analitis, imajinatif, kreatif, bersahaja, dan sopan (McCullough dkk., 2001).

  • Kualitas hubungan
    Seseorang yang memaafkan kesalahan pihak lain dapat dilandasi oleh komitmen yang tinggi pada relasi mereka. Ada empat alasan mengapa kualitas hubungan berpengaruh terhadap perilaku memaafkan dalam hubungan interpersonal.

    • Pertama, pasangan yang mau memaafkan pada dasarnya mempunyai motivasi yang tinggi untuk menjaga hubungan.

    • Kedua, dalam hubungan yang erat ada orientasi jangka panjang dalam menlain hubungan di antara mereka.

    • Ketiga, dalam kualitas hubungan yang tinggi kepentingan satu orang dan kepentingan pasangannya menyatu.

    • Keempat, kualitas hubungan mempunyai orientasi kolektivitas yang menginginkan pihak-pihak yang terlibat untuk berperilaku yang memberikan keuntungan di antara mereka (McCullough dkk., 1998).

Referensi
  • McCullough, M.E, Wortington, E.L, and Rachal, K.C. 1997. Interpersonal Forgiving in Close Relationships. Journal of Personality and Social Psychology 73 (2), 321-336.
  • McCullough, M.E, Wortington, E.L, Rachal, K.C, Sandage, S.J., Brown, S.W, and Hight, T.L. 1998. Interpersonal Forgiving in Close Relationships : II. Theoritical Elaboration and Measurement. Journal of Personality and Social Psychology, 75, (6), 1586-1603.
  • McCullough, M.E., Bellah, C.G., Kilpatrick, S.D., and Johnson, J.L. 2001. Vengefulness: Relationship with Forgiveness, Rumination, Well-Being, and The Big Five. Personality and Social Psychology Bulletin, 27, 601-610.
  • McCullough, M.E, Fincham, F.D and Tsang, J. 2003. Forgiveness, Forbearance and Time : The Temporal Unfolding of T r a n s g r e s s i o n - R e l a t e d Interpersonal Motivations. Journal of Personality and Social Psychology, 84 (3), 540557.
  • Smedes, L.B. 1984. Forgive and Forget: Healing The Hurts We Don’t Deserve. San Francisco: Harpersan.
  • Takaku, S. 2001. The Affects of Apology and Perspective Taking on Interpersonal Forgiveness : A Dissonance-Attribution Model of Interpersonal Forgiveness. Journal of Social Psychology, 141 (4), 494-508 .

Dalam perspektif ilmu psikologi, pemaafan pada seseorang dapat dipengaruhi oleh banyak faktor. Faktor-faktor tersebut adalah:

Tingkat Penyesalan

Tingkat penyesalan bisa jadi menjadi sebuah faktor kemauan seseorang untuk memaafkan dan oleh karenanya menjadi sebuah pertimbangan tambahan yang penting bagi peneliti. Pada dasarnya, sulit bagi seseorang untuk memaafkan orang lain ketika ia tidak mengakui bahwa ia telah melakukan kesalahan atau bertanggung jawab atas perbuatan salah mereka.

Ketika berdiskusi dengan seorang klien yang menceraikan suaminya Haucks memahami bahwa seseorang yang sangat menyesal merasa sangat tidak bahagia dalam perbuatannya, merasa sakit, menderita, dan, dalam beberapa kasus, takut. Perasaan menyesal dapat menyebabkan dua hal: rasa bersalah dan belas kasih. Rasa bersalah muncul sebagai akibat menganggap diri sendiri tidak bijak, tidak baik, tidak beretika, atau tidak beragama. Inilah yang menjadi faktor penyebab seseorang berpotensi memaafkan.

Religiusitas (keberagamaan)

Doktrin dan motivasi yang tinggi dalam agama diyakini menjadi faktor yang sangat berpengaruh terhadap kemauan seseorang untuk memaafkan orang lain. Salah satu alasan yang mendukung tentu adalah keinginan untuk mendapatkan ampunan dari Tuhannya dan semakin dekat dengan Tuhan. Sebuah penelitian menunjukan bahwa kegiatan kelompok agama yang bersifat emosional seperti sharing dan doa bersama, terbukti membantu individu memaafkan orang lain.

Adanya pengaruh signifikan antara religiusitas dengan sikap pemaafan seseorang juga dapat diukur melalui intensitas hubungan seseorang dengan Tuhannya melalui kehadirannya ke tempat ibadah. Bedell menemukan bahwa intensitas kehadiran seseorang di tempat ibadah berpengaruh terhadap potensi pemaafannya.

Namun demikian tidak semua penelitian menggambarkan adanya pengaruh religiusitas terhadap pemaafan. Sebuah penelitian pilot study oleh Tsang, McCullough dan Hyot (2005) menyatakan bahwa secara tidak langsung religiusitas memiliki potensi untuk memunculkan pemaafan pada seseorang karena pada dasarnya setiap agama mengajarkan cinta dan kasih sayang yang mendorong sikap memaafkan. Akan tetapi, hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa kecil hubungan positif antara religiusitas dan pemaafan.

Selain itu dalam penelitian yang sama, Tsang, McCullough dan Hyot (2005) menyatakan bahwa religiusitas juga dapat membuat seseorang melakukan pembalasan. Hal tersebut memungkinkan religiusitas sebagai alasan seseorang untuk tidak memaafkan kesalahan orang lain. Hasil penelitian tersebut tidak sejalan dengan hasil penelitian metanalisis tentang hubungan religiusitas dan pemaafan oleh Kurniati (2011) yang menyatakan bahwa ada hubungan positif antara religiusitas dengan pemaafan akan tetapi tidak ada hubungan signifikan antara religiusitas dengan unforgiveness.

Kualitas hubungan interpersonal

Seseorang yang memaafkan kesalahan pihak lain dapat dilandasi oleh komitmen yang tinggi pada relasi mereka. Menurut McCullough, ada empat alasan mengapa kualitas hubungan berpengaruh terhadap perilaku memaafkan dalam hubungan interpersonal.

  • Pertama, pasangan yang mau memaafkan pada dasarnya mempunyai motivasi yang tinggi untuk menjaga hubungan.
  • Kedua, dalam hubungan yang erat ada orientasi jangka panjang dalam menlain hubungan di antara mereka.
  • Ketiga, dalam kualitas hubungan yang tinggi kepentingan satu orang dan kepentingan pasangannya menyatu.
  • Keempat, kualitas hubungan mempunyai orientasi kolektivitas yang menginginkan pihak-pihak yang terlibat untuk berperilaku yang memberikan keuntungan di antara mereka.