Etos Kerja dalam Perspektif Islam, apa dan bagaimana?

Membicarakan etos kerja dalam Islam, berarti menggunakan dasar pemikiran bahwa Islam, sebagai suatu sistem keimanan, tentunya mempunyai pandangan tertentu yang positif terhadap masalah etos kerja.

Dalam bukunya yang berjudul “AlTawhid: Its Implication for Thought and Life Ismail”, Ismail al-Faruqi melukiskan Islam sebagai a religion of action dan bukan a religion faith. Oleh karena itu Islam sangat menghargai kerja. Dalam sistem teologi Islam keberhasilan manusia dinilai di akhirat dari hasil amal dan kerja yang dilaksanakannya di dunia.

Menurut Nurcholish Madjid, dalam bukunya yang berjudul Islam Agama Kemanusiaan, etos kerja dalam Islam adalah hasil suatu kepercayaan seorang Muslim, bahwa kerja mempunyai kaitan dengan tujuan hidupnya, yaitu memperoleh perkenan Allah Swt. Berkaitan dengan ini, penting untuk ditegaskan bahwa pada dasarnya, Islam adalah agama amal atau kerja (praxis).

Inti ajarannya ialah bahwa hamba mendekati dan berusaha memperoleh ridha Allah melalui kerja atau amal saleh, dan dengan memurnikan sikap penyembahan hanya kepada-Nya.

Toto Tasmara, dalam bukunya Etos Kerja Pribadi Muslim, menyatakan bahwa “bekerja” bagi seorang Muslim adalah suatu upaya yang sungguh-sungguh, dengan mengerahkan seluruh asset, fikir dan zikirnya untuk mengaktualisasikan atau menampakkan arti dirinya sebagai hamba Allah yang harus menundukkan dunia dan menempatkan dirinya sebagai bagian dari masyarakat yang terbaik (khaira ummah), atau dengan kata lain dapat dikatakan bahwa dengan bekerja manusia itu memanusiakan dirinya.

Prinsip-prinsip Dasar Etos Kerja dalam Islam


Sebagai agama yang menekankan arti penting amal dan kerja, Islam mengajarkan bahwa kerja itu harus dilaksanakan berdasarkan beberapa prinsip berikut:

1. Bahwa perkerjaan itu dilakukan berdasarkan pengetahuan.

Sebagaimana dapat dipahami dari firman Allah dalam al-Qur‟an,

Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang kamu tidak mempunyai pengetahuan mengenainya.”(QS, 17: 36).

2. Pekerjaan harus dilaksanakan berdasarkan keahlian

Sebagaimana dapat dipahami dari hadis Nabi Saw,

Apabila suatu urusan diserahkan kepada bukan ahlinya, maka tunggulah saat kehancurannya.” (Hadis Shahih riwayat al-Bukhari).

3. Amal atau kerja itu juga harus dilakukan dalam bentuk saleh

Sehingga dikatakan amal saleh, yang secara harfiah berarti sesuai, yaitu sesuai dengan standar mutu. Berorientasi kepada mutu dan hasil yang baik sebagaimana dapat dipahami dari firman Allah,

Dialah Tuhan yang telah menciptakan mati dan hidup untuk menguji siapa di antara kalian yang dapat melakukan amal (pekerjaan) yang terbaik; kamu akan dikembalikan kepada Yang Maha Mengetahui yang ghaib dan yang nyata, lalu Dia memberitahukan kepadamu tentang apa yang telah kamu kerjakan.” (QS. Al-Mulk: 67: 2).

####4. Pekerjaan itu diawasi oleh Allah, Rasul dan masyarakat

Oleh karena itu harus dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab, sebagaimana dapat dipahami dari firman Allah,

Katakanlah: Bekerjalah kamu, maka Allah, Rasul dan orang-orang beriman akan melihat pekerjaanmu.”(QS. 9: 105).

5. Pekerjaan dilakukan dengan semangat dan etos kerja yang tinggi.

Pekerja keras dengan etos yang tinggi itu digambarkan oleh sebuah hadis sebagai orang yang tetap menaburkan benih sekalipun hari telah akan kiamat.

Dari Anas Ibn Malik (dilaporkan bahwa) ia berkata: Rasulullah Saw. telah bersabda, “Apabila salah seorang kamu menghadapi kiamat sementara di tangannya masih ada benih hendaklah ia tanam benih itu.” (H.R. Ahmad).

6. Orang berhak mendapatkan imbalan atas apa yang telah ia kerjakan.

Ini adalah konsep pokok dalam agama. Konsep imbalan bukan hanya berlaku untuk pekerjaan-pekerjaan dunia, tetapi juga berlaku untuk pekerjaan-pekerjaan ibadah yang bersifat ukhrawi. Di dalam al-Qur‟an ditegaskan bahwa:

Allah membalas orang-orang yang melakukan sesuatu yang buruk dengan imbalan setimpal dan memberi imbalan kepada orang-orang yang berbuat baik dengan kebaikan.”(QS. 53: 31).

7. Nilai setiap bentuk kerja itu tergantung kepada niat-niat yang dipunyai pelakunya

Jika tujuannya tinggi (seperti tujuan mencapai ridha Allah) maka ia pun akan mendapatkan nilai kerja yang tinggi, dan jika tujuannya rendah (seperti, hanya bertujuan memperoleh simpati sesama manusia belaka), maka setingkat itu pulalah nilai kerjanya tersebut.

Sabda Nabi Saw itu menegaskan bahwa nilai kerja manusia tergantung kepada komitmen yang mendasari kerja itu. Tinggi rendah nilai kerja itu diperoleh seseorang sesuai dengan tinggi rendah nilai komitmen yang dimilikinya.

Dan komitmen atau niat adalah suatu bentuk pilihan dan keputusan pribadi yang dikaitkan dengan sistem nilai yang dianutnya. Oleh karena itu komitmen atau niat juga berfungsi sebagai sumber dorongan batin bagi seseorang untuk mengerjakan atau tidak mengerjakan sesuatu, atau, jika ia mengerjakannya dengan tingkat-tingkat kesungguhan tertentu.

“Sesungguhnya (nilai) segala pekerjaan itu adalah (sesuai) dengan niat-niat yang ada, dan setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan. Maka barang siapa yang hijrahnya (ditujukan) kepada (ridla) Allah dan Rasul-Nya, maka ia (nilai) hijrahnya itu (mengarah) kepada (ridla) Allah dan Rasul-Nya; dan barang siapa yang hijrahnya itu ke arah (kepentingan) dunia yang dikehendakinya, atau wanita yang hendak dinikahinya, maka (nilai) hijrahnya itu pun mengarah kepada apa yang menjadi tujuannya.”

8. Kerja atau amal adalah bentuk keberadaan manusia.

Artinya, manusia ada karena kerja, dan kerja itulah yang membuat atau mengisi keberadaan kemanusiaan. Jika filsuf Perancis, Rene Descartes, terkenal dengan ucapannya, “Aku berpikir maka aku ada” (Cogito ergo sum) – karena berpikir baginya bentuk wujud manusia– maka sesungguhnya, dalam ajaran Islam, ungkapan itu seharusnya berbunyi “Aku berbuat, maka aku ada.” Pandangan ini sentral sekali dalam sistem ajaran Islam.

Ditegaskan bahwa manusia tidak akan mendapatkan sesuatu apa pun kecuali yang ia usahakan sendiri:

“Belumkah ia (manusia) diberitahu tentang apa yang ada dalam lembaran-lembaran suci (Nabi (Musa)? Dan Nabi Ibrahim yang setia? Yaitu bahwa seseorang yang berdosa tidak akan menanggung dosa orang lain. Dan bahwa tidaklah bagi manusia itu melainkan apa yang ia usahakan. Dan bahwa usahanya itu akan diperlihatkan (kepadanya), kemudian ia akan dibalas dengan balasan yang setimpal. Dan bahwa kepada Tuhanmu lah tujuan yang penghabisan”. ( QS, al-Najm/52:: 36-42.)

Itulah yang dimaksudkan dengan ungkapan bahwa, kerja adalah bentuk eksistensi manusia. Yaitu bahwa harga manusia, yakni apa yang dimilikinya – tidak lain ialah amal perbuatan atau kerjanya itu. Manusia ada karena amalnya, dengan amalnya yang baik itu manusia mampu mencapai harkat yang setinggi-tingginya, yaitu bertemu Tuhan dengan penuh keridlaan.

“Barang siapa benar-benar mengharap bertemu Tuhannya, maka hendaknya ia berbuat baik, dan hendaknya dalam beribadat kepada Tuhannya itu ia tidak melakukan syirik,” (yakni, mengalihkan tujuan pekerjaan selain kepada Allah, Sang Maha Benar, al-Haqq, yang menjadi sumber nilai terdalam pekerjaan manusia). (QS, al-Kahfi/18: 110)

Dalam ajaran Islam, beramal dengan semangat penuh pengabdian yang tulus untuk mencapai keridlaan Allah dan meningkatan taraf kesejahteraan hidup umat adalah fungsi manusia itu sendiri sebagai khalifatullah fi alArdl.

Dalam beramal, zakat misalnya, bisa dimanfaatkan hasilnya untuk keperluan yang bersifat konsumtif, seperti menyantuni anak yatim, janda, orang yang sudah lanjut usia, cacat fisik atau mental dan sebagainya, secara teratur per bulan, atau sampai akhir hayatnya, atau sampai mereka mampu mandiri dalam mencukupi kebutuhan pokok hidupnya

9. Membuat orang mukmin menjadi kuat

Menangkap pesan dasar dari sebuah hadis shahih yang menuturkan sabda Rasulullah Saw yang berbunyi “Orang mukmin yang kuat lebih disukai Allah”, redaksinya kira-kira begini:

Orang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih disukai Allah „azza wa jalla dari pada orang mukmin yang lemah, meskipun pada kedua-duanya ada kebaikan. Perhatikanlah hal-hal yang bermanfaat bagimu, serta mohonlah pertolongan kepada Allah, dan janganlah menjadi lemah. Jika sesuatu (musibah) menimpamu, maka janganlah berkata: “Andaikan aku lakukan sesuatu, maka hasilnya akan begini dan begitu”. Sebaliknya berkatalah: “Ketentuan (qadar) Allah, dan apa pun yang dikehendaki-Nya tentu dilaksanakan-Nya”. Sebab sesungguhnya perkataan “andaikan” itu membuka perbuatan setan”.

Dengan demikian, untuk membuat kuatnya seorang mukmin seperti dimaksudkan oleh Nabi Saw, manusia beriman harus bekerja dan aktif, sesuai petunjuk lain:

“Katakan (hai Muhammad): “Setiap orang bekerja sesuai dengan kecenderungannya (bakatnya)…” ( QS, al-Isra‟ /17: 84.)

Juga firman-Nya,

“Dan jika engkau bebas (berwaktu luang), maka bekerja keraslah, dan kepada Tuhan-Mu berusahalah mendekat”. ( QS, al-Insyirah /94: 7)

Karena perintah agama untuk aktif bekerja itu, maka Robert N. Bellah mengatakan, dengan menggunakan suatu istilah dalam sosiologi modern, bahwa etos yang dominan dalam Islam ialah menggarap kehidupan dunia ini secara giat, dengan mengarahkannya kepada yang lebih baik (ishlah).

Maka adalah baik sekali direnungkan firman Allah dalam surah alJumu‟ah:

“Maka bila sembahyang itu telah usai, menyebarlah kamu di bumi, dan carilah kemurahan (karunia) Allah, serta banyaklah ingat kepada Allah, agar kamu berjaya”. (QS, al-Jumu‟ah /62: 10)

Dan katakanlah : “Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang mengetahui akan yang gaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan” (QS At-Taubah, 9 : 105)

Katakanlah : Hai kaumku, berbuatlah sepenuh kemampuanmu, sesungguhnya akupun berbuat (pula). Kelak kamu akan mengetahui, siapakah (diantara kita) yang akan memperoleh hasil yang baik dari dunia ini. Sesungguhnya orang yang dzalim itu tidak akan mendapat keberuntungan” (QS Al An’am (6) : 135)

Istilah ‘kerja’ dalam Islam bukanlah semata-mata merujuk kepada mencari rezeki untuk menghidupi diri dan keluarga dengan menghabiskan waktu siang maupun malam, dari pagi hingga sore, terus menerus tak kenal lelah, tetapi kerja mencakup segala bentuk amalan atau pekerjaan yang mempunyai unsur kebaikan dan keberkahan bagi diri, keluarga dan masyarakat sekelilingnya serta negara.

Dengan kata lain, orang yang berkerja adalah mereka yang menyumbangkan jiwa dan tenaganya untuk kebaikan diri, keluarga, masyarakat dan negara tanpa menyusahkan orang lain.

Dalam satu hadits yang diriwayatkan oleh Umar r.a., berbunyi :

’Bahwa setiap amal itu bergantung pada niat, dan setiap individu itu dihitung berdasarkan apa yang diniatkannya …’

Dalam riwayat lain, Rasulullah SAW bersabda :

Binasalah orang-orang Islam kecuali mereka yang berilmu. Maka binasalah golongan berilmu, kecuali mereka yang beramal dengan ilmu mereka. Dan binasalah golongan yang beramal dengan ilmu mereka kecuali mereka yang ikhlas. Sesungguhnya golongan yang ikhlas ini juga masih dalam keadaan bahaya yang amat besar …’

Alangkah baiknya kalau umat Islam dapat bergerak dan bekerja dengan tekun dan mempunyai tujuan yang satu, yaitu ‘mardatillah’ (keridhaan Allah) itulah yang dicari dalam semua urusan.

Dari situlah akan lahir nilai keberkahan yang sebenarnya dalam kehidupan yang penuh dengan curahan rahmat dan nikmat yang banyak dari Allah. Inilah golongan yang diistilahkan sebagai golongan yang tenang dalam ibadah, ridha dengan kehidupan yang ditempuh, serta optimis dengan janji-janji Allah.

Bekerja adalah manifestasi amal saleh. Bila kerja itu amal saleh, maka kerja adalah ibadah. Dan bila kerja itu ibadah, maka kehidupan manusia tidak bisa dilepaskan dari kerja.

Suatu hari Rasulullah SAW berjumpa dengan Sa’ad bin Mu’adz Al-Anshari. Ketika itu Rasul melihat tangan Sa’ad melepuh, kulitnya gosong kehitam-hitaman seperti terpanggang matahari.

“Kenapa tanganmu?,” tanya Rasul kepada Sa’ad.

“Wahai Rasulullah,” jawab Sa’ad,

“Tanganku seperti ini karena aku mengolah tanah dengan cangkul itu untuk mencari nafkah keluarga yang menjadi tanggunganku”.

Seketika itu beliau mengambil tangan Sa’ad dan menciumnya seraya berkata,

“Inilah tangan yang tidak akan pernah disentuh api neraka”.

Dalam kisah lain disebutkan bahwa ada seseorang yang berjalan melalui tempat Rasulullah SAW. Orang tersebut sedang bekerja dengan sangat giat dan tangkas. Para sahabat kemudian bertanya,

“Wahai Rasulullah, andaikata bekerja semacam orang itu dapat digolongkan jihad fi sabilillah, maka alangkah baiknya.”

Mendengar itu Rasul pun menjawab,

“Kalau ia bekerja untuk menghidupi anak-anaknya yang masih kecil, itu adalah fi sabilillah; kalau ia bekerja untuk menghidupi kedua orangtuanya yang sudah lanjut usia, itu adalah fi sabilillah; kalau ia bekerja untuk kepentingan dirinya sendiri agar tidak meminta minta, itu juga fi sabilillah.” (HR AthThabrani).

Pentingnya Etos Kerja yang Tinggi

1. Surat ar-Ra‟du: 11

“Baginya (manusia) ada malaikat-malaikat yang selalu menjaganya bergiliran, dari depan dan belakangnya. Mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak mengubah suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya dan tidak ada pelindung bagi mereka selain Dia.” (Q.S ar-Ra’du: 11)

Dalam tafsirnya al Maraghi memberikan penjelasan bahwa Allah tidak akan mengubah sesuatu, apa yang ada pada suatu kaum, berupa nikmat dan kesehatan, lalu mencabutnya dari mereka sehingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri, seperti kezaliman sebagian mereka terhadap sebagian yang lain dan kejahatan yang menggerogoti tatanan masyarakat serta menghancurkan umat. Seperti bibit penyakit yang menghancurkan individu.

Dalam tafsirnya Quraish Shihab menjelaskan bahwasanya Allah menjadikan para mu’aqqibat (malaikat) untuk melakukan tugasnya dalam memelihara manusia, Allah juga tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka, yakni kondisi kejiwaan/sisi dalam mereka, seperti mengubah kesyukuran menjadi kekufuran, ketaatan menjadi kedurhakaan, iman menjadi penyekutuan Allah, dan ketika itu Allah akan mengubah ni’mat (nikmat) menjadi niqmat (bencana), hidayah menjadi kesesatan, kebahagiaan menjadi kesengsaraan, dan seterusnya.

Menurut Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah, dapat disimpulkan bahwasanya dalam ayat tersebut memiliki beberapa makna, yakni:

  • Pertama, ayat tersebut berbicara tentang perubahan sosial bukan perubahan individu.

  • Kedua, kata qaum juga menunjukkan bahwa hukum kemasyarakatan ini tidak hanya berlaku untuk kaum muslimin atau satu suku, ras dan agama tertentu, tetapi ia berlaku umum, kapan dan di mana pun mereka berada.

  • Ketiga, dimaknai dengan dua pelaku perubahan, yakni pelaku pertama Allah dan pelaku kedua adalah manusia.

  • Keempat, perubahan yang dilakukan oleh Allah haruslah didahului oleh perubahan yang dilakukan oleh masyarakat menyangkut sisi dalam mereka.

Dalam ayat ini Allah memberitahukan bahwa Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum, sampai perubahan itu ada pada diri mereka sendiri, atau pembaharuan dari salah seorang diantara mereka dengan sebab.

Syaikh Imam al-Qurthubi, dalam tafsirnya “Tafsir al-Qurthubi” memberi contoh terkait hal tersebut seperti sebagaimana Allah merubah keadaan pasukan Uhud yang akhirnya menang setelah pasukan panah memperbaiki kesalahan mereka sendiri, artinya Allah tidak akan menimpakan azab pada seseorang sehingga dia berbuat dosa. Akan tetapi, suatu musibah dapat diturunkan kepada seseorang atau suatu kaum lantaran perbuatan dosa orang lain.

2. Surat at-Taubah: 105.

“Dan Katakanlah: "Bekerjalah kamu, Maka Allah dan RasulNya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan. (Q.S At-Taubah : 105)

Menurut pendapat Hamka, ayat ke-105 dari Surat at-Taubah dihubungkan dengan surat al-Isra’ ayat 84:

“Katakanlah: tiap-tiap orang beramal menurut bakatnya tetapi Tuhan engkau lebih mengetahui siapakah yang lebih mendapat petunjuk dalam perjalanan”.

Setelah dihubungkan dengan ayat tersebut, dapat diketahui bahwa Allah menyuruh manusia untuk bekerja menurut bakat dan bawaan, yaitu manusia diperintahkan untuk bekerja sesuai tenaga dan kemampuannya.

Artinya manusia tidak perlu mengerjakan pekerjaan yang bukan pekerjaannya, supaya umur tidak habis dengan percuma. Dengan demikian, manusia dianjurkan untuk tidak bermalas-malas dan menghabiskan waktu tanpa ada manfaat. Mutu pekerjaan harus ditingkatkan, dan selalu memohon petunjuk Allah.

Al-Maraghi pada ayat tersebut menjelaskan bahwa, Allah memerintahkan kepada Rasulullah Muhammad saw supaya menyampaikan kepada orang-orang yang bertaubat agar bekerja untuk meraih kebahagiaan dunia dan kebahagiaan akhirat, serta bekerja untuk dirimu dan bangsamu, karena kerja merupakan kunci kebahagiaan, bukan sekedar alasan yang dikemukakan ketika tidak mengerjakan sesuatu, atau hanya sekedar mengaku giat dan bekerja keras.

Serta Allah akan melihat pekerjaan yang dilakukan umat manusia, baik pekerjaan baik maupun pekerjaan buruk. Dan Allah mengetahui tentang tujuan dari pekerjaan manusia serta niat-niat manusia, walaupun tidak diucapkan.

Al-Maraghi juga menyebutkan sabda Nabi Muhammad saw yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Baihaqi dalam kitabnya,

“Andaikan salah seorang di antara kamu beramal dalam sebuah batu besar yang tertutup rapat, tidak mempunyai pintu atau jendela, niscaya Allah akan mengeluarkan amalnya itu kepada umat manusia, apapun bentuk amal itu”.

Manusia akan dikembalikan kepada Allah yang Maha mengetahui semua isi hati, dan apa yang manusia utarakan besok pada hari kiamat, dan Allah tidak samar atas segala urusan yang tersembunyi atau yang nyata.

Kemudian Allah memberitahukan hasil amal manusia kepada manusia, serta memberi balasan atas amal manusia sesuai dengan perbuatan yang dilakukannya di dunia, baik itu perbuatan baik maupun perbuatan yang buruk.

Menurut Hasbi ash-Shidieqy dalam tafsirnya menyebutkan bahwa Rasulullah saw. diperintah oleh Allah untuk menyampaikan kepada umatnya

“Bekerjalah untuk duniamu dan untuk akhiratmu, untuk dirimu dan kaummu, karena amal perbuatan yang menjadi sumber kebahagiaan dan Allah akan melihat amalmu. Baik berupa amal kebajikan maupun amal kejahatan atau kemaksiatan. Dan amal umat manusia juga akan dilihat oleh Rasul dan para mu’minin, serta mereka akan memberikan semua hakmu di dunia.”

Pada hari kiamat, manusia akan dikembalikan kepada Allah yang mengetahui segala rahasia manusia dan mengetahui semua perkara yang manusia perlihatkan. Allah pada hari kiamat akan menerangkan semua amal perbuatan manusia serta memberikan balasan yang sesuai dengan amal perbuatan manusia di muka bumi.

Jika manusia ketika dimuka bumi amalnya baik, tentu akan mendapatkan pembalasan yang baik pula. Sebaliknya, jika manusia berbuat maksiat, maka pasti akan mendapatkan siksa dari Allah.

3. Surat al-Qashas: 77.

“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan kebahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah kepada orang lain sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan dimuka bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (Q.S al-Qashas: 77)

Hamka menafsirkan ayat ini dan tidak melupakan kebahagiaanmu di dunia yaitu harus ingat bahwasanya manusia di dunia ini hidup untuk mencari bekal di akhirat nantinya, maka harta benda yang diperoleh manusia di dunia tidak akan dibawa mati.

Selagi manusia hidup di dunia maka harta benda itu harus digunakan dengan sebaik-baiknya, tidak boleh disia-siakan. Berbuat baiklah, nafkahkanlah rezekimu yang dianugerahkan Allah di jalan kebajikan. Selanjutnya dilarang akan membuat kerusakan di dunia ini, seperti merugikan orang lain, memutuskan tali silaturahmi, berbuat aniaya, menyakiti hati sesama manusia, dan lain sebagainya. Bahwasanya Allah tidak menyukai orang-orang yang membuat kerusakan di muka bumi, Tuhan pasti akan membalasnya cepat atau lambat, dan manusia tidak mempunyai kekuatan dan daya upaya untuk mengelaknya.

Al-Maraghi memberikan penjelasan pada ayat ini tentang nasehat dari kisah Qarun,

  • Pertama, pergunakanlah harta dan nikmat yang banyak yang banyak yang diberikan Allah kepadamu ini untuk mentaati Tuhanmu dan mendekatkan diri kepada-Nya dengan berbagai macam cara pendekatan yang mengantarkanmu kepada perolehan pahala-Nya di dunia dan di akhirat.

  • Kedua, janganlah kamu meninggalkan bagianmu dari kesenangan dunia dari perkara makan, minum dan pakaian, karena Tuhanmu mempunyai hak terhadapmu, dirimu mempunyai hak terhadapmu, demikian pula keluargamu, mempunyai hak terhadapmu.

  • Ketiga, berbuat baiklah kepada makhluk Allah, sebagaimana Dia telah berbuat baik kepadamu dengan nikmat-Nya yang dilimpahkan kepadamu, karena itu, tolonglah makhluk-Nya dengan harta dan kemuliaanmu, muka manismu, menemui mereka secara baik, dan memuji mereka tanpa sepengetahuan mereka. Keempat, dan janganlah kamu tumpukkan segenap kehendakmu untuk berbuat kerusakan di muka bumi dan berbuat buruk kepada makhluk Allah. Karena sesungguhnya Allah tidak akan memuliakan orang-orang yang membuat kerusakan.

Al-Qurthubi menafsirkan ayat ini, berusahalah untuk mendapatkan akhirat (surga) dengan mempergunakan modal yang Allah berikan di dunia. Sudah sepantasnya bagi manusia untuk berusaha mendapatkan pahala untuk kehidupan di akhirat nanti selama masih hidup di dunia ini, bukan malah sombong dengan keadaan dirinya.

Menurut sebagian besar ulama‟ dan Ibnu Abbas yang dikutip al-Qurthubi dalam tafsirnya yaitu “janganlah kau habiskan umurmu kecuali hanya untuk mencari bekal di akhirat nanti, karena bekal untuk akhirat itu hanya bisa dicari di dunia”. Sedangkan menurut al-Qurthubi sendiri

“Berbuatlah untuk duniamu seakan-akan kamu akan hidup selama-lamanya dan berbuatlah untuk akhiratmu seakan-akan kamu akan mati esok hari”.

Dan taatlah kepada Allah dan sembahlah Dia, sebagaimana Allah telah memberimu rezeki yang berlimpah, jangan membuat kerusakan atau berbuat maksiat di atas permukaan bumi, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.

4. Surat al-Jumu’ah: 10.

“Apabila telah ditunaikan sembahyang, maka bertebaranlah kamu di muka bumi, dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung”. (Q.S alJumu’ah: 10)

Menurut al-Qurthubi, bentuk perintah di sini menunjukkan hukum boleh (bukan wajib). Allah berfirman: Apabila kalian selesai menunaikan shalat, maka bertebaranlah kalian di muka bumi untuk berniaga dan memenuhi kebutuhan kalian, dan carilah rezeki-Nya.

Hamka menafsirkan dalam ayat ini bahwasanya, perintah untuk bertebaran di muka bumi ini dilakukan setelah melakukan kewajiban yaitu shalat jum’at. Bila adzan jum’at dikumandangkan maka hentikanlah segala kegiatan, laksanakanlah shalat jum‟at dahulu baru melanjutkan kegiatan selanjutnya. Yaitu bekerja dan berusaha, mencari rezeki yang telah Allah sebarkan di muka bumi ini.

Karena karunia Allah bermacam-macam seperti bertani, berladang, menggembala, beternak, berniaga, jual-beli, dan berbagai macam pekerjaan halal lainnya. Dan setelah melakukan kerja dan berusaha maka selanjutnya diperingatkan agar tidak lupa akan adanya Allah sang maha pencipta, yang melandasi diri untuk tidak melakukan perbuatan tercela. Dengan mengingat Allah maka tidak akan melakukan hal-hal yang di luar dugaan dan akan menjadi orang-orang yang beruntung.

Menurut al-Maraghi, apabila kamu telah menunaikan shalat jum‟at, maka bertebaranlah untuk mengurus kepentingan-kepentingan duniawimu setelah kamu menunaikan apa yang bermanfaat bagimu untuk akhiratmu.

Carilah pahala dari Tuhanmu, ingatlah Allah dan sadari pengawasan-Nya dalam segala urusanmu, karena Dia-lah yang maha mengetahui segala rahasia dan bisikan. Tidak ada sedikit pun yang tersembunyi bagi-Nya dari segala urusanmu. Mudah-mudahan kamu mendapatkan keberuntungan di dunia dan di akhiratmu.

Menurut Ibnu Katsir, Setelah ayat yang melarang jual-beli di saat mendengar adzan jum‟at maka pada ayat ke-10 ini dianjurkan sesudah shalat jum‟at berkeliaran di atas bumi untuk mencari rezeki, karunia Allah. Tetapi pada akhir ayat mengatakan supaya banyak berdzikir dan jangan sampai perlombaan mencari rezeki dunia ini menghalangi dzikrullah, sebab dalam dzikrullah itu terletak keuntungan dan kejayaan, kebahagiaan yang besar.

5. Surat al-Mulk: 15.

“Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezki-Nya. Dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan”. (Q.S al-Mulk: 15)

Menurut al-Maraghi, sesungguhnya Tuhanmulah yang menundukkan dan memudahkan bumi ini bagimu. Dialah yang menjadikan bumi itu tenang dan diam, tidak oleng dan tidak pula bergoncang, karena Dia menjadikan gunung-gunung padanya, Dia juga mengadakan mata air-mata air padanya, untuk memberi minum kepadamu dan kepada binatang ternakmu, tumbuh-tumbuhanmu dan buah-buahanmu.

Dan Dia pun mengadakan padanya jalan-jalan, maka pergilah kamu ke ujung-ujungnya yang kamu suka dan bertebaranlah di segala penjurunya, untuk mencari penghidupan dan berdagang. Dan makanlah banyak rezeki yang diadakan-Nya bagimu karena karunia-Nya, sebab berusaha untuk mencari rezeki itu tidak menghilangkan ketakwaan kepada Allah.

Penafsiran Sayyid Quthb: Sebagai manusia yang diciptakan Allah di muka bumi, yang sudah di sediakan kelengkapan hidup di bumi ini. Tidaklah manusia di biarkan untuk bermalas-malasan, berpangku tangan, menganggur dan tidak berusaha. Sebagai manusia diharuskan untuk bekerja, berusaha sekuat tenaga untuk mencari rezeki dan memakmurkan bumi ini.

Ayat ini menjadi pegangan orang islam dalam menghadapi perkembangan zaman dan teknologi. Setelah kita dianjurkan untuk bekerja dan berusaha selanjutnya Allah mengingatkan kita kembali, yang hanya kepada-Nya kita kembali. Jadi, memang kita dianjurkan untuk bekerja dan berusaha namun harus berdasarkan iman, tidak boleh meninggalkan kewajiban kita sebagai hamba-Nya. Tidak lupa untuk dimintai pertanggung jawaban atas apa yang sudah dilakukan di dunia ini.

6. Surat al-Insyiroh: 6-7.

“Maka apabila kamu telah selesai (dari suatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain, dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap”. (Q.S alInsyiroh: 7-8)

Menurut Hamka, apabila telah selesai suatu pekerjaan atau suatu rencana telah menjadi kenyataan, maka bersiaplah buat memulai pekerjaan yang baru. Dengan kesadaran bahwa segala pekerjaan telah usai atau yang akan engkau mulai lagi tidak lepas daripada kesulitan, tapi dalam kesulitan itu pasti ada kemudahan. Ada saja kemudahan dari Allah, asal selalu menyandarkan segala pekerjaan itu kepada Iman. Dan hanya kepada Allah berharap segalanya.

Menurut Quraish Shihab, pada ayat ke-7 ini memberikan petunjuk bahwa seseorang harus memiliki kesibukan. Bila telah berakhir suatu pekerjaan, ia harus memulai lagi dengan pekerjaan yang lain sehingga dengan ayat ini seorang muslim tidak akan pernah menyia-nyiakan waktunya.

Kata penghubung و pada ayat 7 ke ayat 8 berarti bahwa seseorang selalu harus menghubungkan antara kesungguhan berusaha dan harapan serta kecenderungan hati kepada Allah. Ini dapat di nilai sejalan dengan ungkapan “bekerja sambil berdo’a” walau tentunya kedua ayat tersebut mengandung makna yang jauh lebih dalam dari ungkapan ini.

Pada ayat ini perlu ditekankan lagi karena pada ayat ke-7 diperintahkan untuk bekerja dan berusaha baru kemudian pada ayat ke-8 di perintahkan untuk berdo‟a, menggantungkan harapan kepada Allah.