Membicarakan etos kerja dalam Islam, berarti menggunakan dasar pemikiran bahwa Islam, sebagai suatu sistem keimanan, tentunya mempunyai pandangan tertentu yang positif terhadap masalah etos kerja.
Dalam bukunya yang berjudul “AlTawhid: Its Implication for Thought and Life Ismail”, Ismail al-Faruqi melukiskan Islam sebagai a religion of action dan bukan a religion faith. Oleh karena itu Islam sangat menghargai kerja. Dalam sistem teologi Islam keberhasilan manusia dinilai di akhirat dari hasil amal dan kerja yang dilaksanakannya di dunia.
Menurut Nurcholish Madjid, dalam bukunya yang berjudul Islam Agama Kemanusiaan, etos kerja dalam Islam adalah hasil suatu kepercayaan seorang Muslim, bahwa kerja mempunyai kaitan dengan tujuan hidupnya, yaitu memperoleh perkenan Allah Swt. Berkaitan dengan ini, penting untuk ditegaskan bahwa pada dasarnya, Islam adalah agama amal atau kerja (praxis).
Inti ajarannya ialah bahwa hamba mendekati dan berusaha memperoleh ridha Allah melalui kerja atau amal saleh, dan dengan memurnikan sikap penyembahan hanya kepada-Nya.
Toto Tasmara, dalam bukunya Etos Kerja Pribadi Muslim, menyatakan bahwa “bekerja” bagi seorang Muslim adalah suatu upaya yang sungguh-sungguh, dengan mengerahkan seluruh asset, fikir dan zikirnya untuk mengaktualisasikan atau menampakkan arti dirinya sebagai hamba Allah yang harus menundukkan dunia dan menempatkan dirinya sebagai bagian dari masyarakat yang terbaik (khaira ummah), atau dengan kata lain dapat dikatakan bahwa dengan bekerja manusia itu memanusiakan dirinya.
Prinsip-prinsip Dasar Etos Kerja dalam Islam
Sebagai agama yang menekankan arti penting amal dan kerja, Islam mengajarkan bahwa kerja itu harus dilaksanakan berdasarkan beberapa prinsip berikut:
1. Bahwa perkerjaan itu dilakukan berdasarkan pengetahuan.
Sebagaimana dapat dipahami dari firman Allah dalam al-Qur‟an,
“Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang kamu tidak mempunyai pengetahuan mengenainya.”(QS, 17: 36).
2. Pekerjaan harus dilaksanakan berdasarkan keahlian
Sebagaimana dapat dipahami dari hadis Nabi Saw,
“Apabila suatu urusan diserahkan kepada bukan ahlinya, maka tunggulah saat kehancurannya.” (Hadis Shahih riwayat al-Bukhari).
3. Amal atau kerja itu juga harus dilakukan dalam bentuk saleh
Sehingga dikatakan amal saleh, yang secara harfiah berarti sesuai, yaitu sesuai dengan standar mutu. Berorientasi kepada mutu dan hasil yang baik sebagaimana dapat dipahami dari firman Allah,
“Dialah Tuhan yang telah menciptakan mati dan hidup untuk menguji siapa di antara kalian yang dapat melakukan amal (pekerjaan) yang terbaik; kamu akan dikembalikan kepada Yang Maha Mengetahui yang ghaib dan yang nyata, lalu Dia memberitahukan kepadamu tentang apa yang telah kamu kerjakan.” (QS. Al-Mulk: 67: 2).
####4. Pekerjaan itu diawasi oleh Allah, Rasul dan masyarakat
Oleh karena itu harus dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab, sebagaimana dapat dipahami dari firman Allah,
“Katakanlah: Bekerjalah kamu, maka Allah, Rasul dan orang-orang beriman akan melihat pekerjaanmu.”(QS. 9: 105).
5. Pekerjaan dilakukan dengan semangat dan etos kerja yang tinggi.
Pekerja keras dengan etos yang tinggi itu digambarkan oleh sebuah hadis sebagai orang yang tetap menaburkan benih sekalipun hari telah akan kiamat.
Dari Anas Ibn Malik (dilaporkan bahwa) ia berkata: Rasulullah Saw. telah bersabda, “Apabila salah seorang kamu menghadapi kiamat sementara di tangannya masih ada benih hendaklah ia tanam benih itu.” (H.R. Ahmad).
6. Orang berhak mendapatkan imbalan atas apa yang telah ia kerjakan.
Ini adalah konsep pokok dalam agama. Konsep imbalan bukan hanya berlaku untuk pekerjaan-pekerjaan dunia, tetapi juga berlaku untuk pekerjaan-pekerjaan ibadah yang bersifat ukhrawi. Di dalam al-Qur‟an ditegaskan bahwa:
“Allah membalas orang-orang yang melakukan sesuatu yang buruk dengan imbalan setimpal dan memberi imbalan kepada orang-orang yang berbuat baik dengan kebaikan.”(QS. 53: 31).
7. Nilai setiap bentuk kerja itu tergantung kepada niat-niat yang dipunyai pelakunya
Jika tujuannya tinggi (seperti tujuan mencapai ridha Allah) maka ia pun akan mendapatkan nilai kerja yang tinggi, dan jika tujuannya rendah (seperti, hanya bertujuan memperoleh simpati sesama manusia belaka), maka setingkat itu pulalah nilai kerjanya tersebut.
Sabda Nabi Saw itu menegaskan bahwa nilai kerja manusia tergantung kepada komitmen yang mendasari kerja itu. Tinggi rendah nilai kerja itu diperoleh seseorang sesuai dengan tinggi rendah nilai komitmen yang dimilikinya.
Dan komitmen atau niat adalah suatu bentuk pilihan dan keputusan pribadi yang dikaitkan dengan sistem nilai yang dianutnya. Oleh karena itu komitmen atau niat juga berfungsi sebagai sumber dorongan batin bagi seseorang untuk mengerjakan atau tidak mengerjakan sesuatu, atau, jika ia mengerjakannya dengan tingkat-tingkat kesungguhan tertentu.
“Sesungguhnya (nilai) segala pekerjaan itu adalah (sesuai) dengan niat-niat yang ada, dan setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan. Maka barang siapa yang hijrahnya (ditujukan) kepada (ridla) Allah dan Rasul-Nya, maka ia (nilai) hijrahnya itu (mengarah) kepada (ridla) Allah dan Rasul-Nya; dan barang siapa yang hijrahnya itu ke arah (kepentingan) dunia yang dikehendakinya, atau wanita yang hendak dinikahinya, maka (nilai) hijrahnya itu pun mengarah kepada apa yang menjadi tujuannya.”
8. Kerja atau amal adalah bentuk keberadaan manusia.
Artinya, manusia ada karena kerja, dan kerja itulah yang membuat atau mengisi keberadaan kemanusiaan. Jika filsuf Perancis, Rene Descartes, terkenal dengan ucapannya, “Aku berpikir maka aku ada” (Cogito ergo sum) – karena berpikir baginya bentuk wujud manusia– maka sesungguhnya, dalam ajaran Islam, ungkapan itu seharusnya berbunyi “Aku berbuat, maka aku ada.” Pandangan ini sentral sekali dalam sistem ajaran Islam.
Ditegaskan bahwa manusia tidak akan mendapatkan sesuatu apa pun kecuali yang ia usahakan sendiri:
“Belumkah ia (manusia) diberitahu tentang apa yang ada dalam lembaran-lembaran suci (Nabi (Musa)? Dan Nabi Ibrahim yang setia? Yaitu bahwa seseorang yang berdosa tidak akan menanggung dosa orang lain. Dan bahwa tidaklah bagi manusia itu melainkan apa yang ia usahakan. Dan bahwa usahanya itu akan diperlihatkan (kepadanya), kemudian ia akan dibalas dengan balasan yang setimpal. Dan bahwa kepada Tuhanmu lah tujuan yang penghabisan”. ( QS, al-Najm/52:: 36-42.)
Itulah yang dimaksudkan dengan ungkapan bahwa, kerja adalah bentuk eksistensi manusia. Yaitu bahwa harga manusia, yakni apa yang dimilikinya – tidak lain ialah amal perbuatan atau kerjanya itu. Manusia ada karena amalnya, dengan amalnya yang baik itu manusia mampu mencapai harkat yang setinggi-tingginya, yaitu bertemu Tuhan dengan penuh keridlaan.
“Barang siapa benar-benar mengharap bertemu Tuhannya, maka hendaknya ia berbuat baik, dan hendaknya dalam beribadat kepada Tuhannya itu ia tidak melakukan syirik,” (yakni, mengalihkan tujuan pekerjaan selain kepada Allah, Sang Maha Benar, al-Haqq, yang menjadi sumber nilai terdalam pekerjaan manusia). (QS, al-Kahfi/18: 110)
Dalam ajaran Islam, beramal dengan semangat penuh pengabdian yang tulus untuk mencapai keridlaan Allah dan meningkatan taraf kesejahteraan hidup umat adalah fungsi manusia itu sendiri sebagai khalifatullah fi alArdl.
Dalam beramal, zakat misalnya, bisa dimanfaatkan hasilnya untuk keperluan yang bersifat konsumtif, seperti menyantuni anak yatim, janda, orang yang sudah lanjut usia, cacat fisik atau mental dan sebagainya, secara teratur per bulan, atau sampai akhir hayatnya, atau sampai mereka mampu mandiri dalam mencukupi kebutuhan pokok hidupnya
9. Membuat orang mukmin menjadi kuat
Menangkap pesan dasar dari sebuah hadis shahih yang menuturkan sabda Rasulullah Saw yang berbunyi “Orang mukmin yang kuat lebih disukai Allah”, redaksinya kira-kira begini:
“Orang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih disukai Allah „azza wa jalla dari pada orang mukmin yang lemah, meskipun pada kedua-duanya ada kebaikan. Perhatikanlah hal-hal yang bermanfaat bagimu, serta mohonlah pertolongan kepada Allah, dan janganlah menjadi lemah. Jika sesuatu (musibah) menimpamu, maka janganlah berkata: “Andaikan aku lakukan sesuatu, maka hasilnya akan begini dan begitu”. Sebaliknya berkatalah: “Ketentuan (qadar) Allah, dan apa pun yang dikehendaki-Nya tentu dilaksanakan-Nya”. Sebab sesungguhnya perkataan “andaikan” itu membuka perbuatan setan”.
Dengan demikian, untuk membuat kuatnya seorang mukmin seperti dimaksudkan oleh Nabi Saw, manusia beriman harus bekerja dan aktif, sesuai petunjuk lain:
“Katakan (hai Muhammad): “Setiap orang bekerja sesuai dengan kecenderungannya (bakatnya)…” ( QS, al-Isra‟ /17: 84.)
Juga firman-Nya,
“Dan jika engkau bebas (berwaktu luang), maka bekerja keraslah, dan kepada Tuhan-Mu berusahalah mendekat”. ( QS, al-Insyirah /94: 7)
Karena perintah agama untuk aktif bekerja itu, maka Robert N. Bellah mengatakan, dengan menggunakan suatu istilah dalam sosiologi modern, bahwa etos yang dominan dalam Islam ialah menggarap kehidupan dunia ini secara giat, dengan mengarahkannya kepada yang lebih baik (ishlah).
Maka adalah baik sekali direnungkan firman Allah dalam surah alJumu‟ah:
“Maka bila sembahyang itu telah usai, menyebarlah kamu di bumi, dan carilah kemurahan (karunia) Allah, serta banyaklah ingat kepada Allah, agar kamu berjaya”. (QS, al-Jumu‟ah /62: 10)