Engkau Pasti Tidak Akan Masuk Surga!


Kesombongan, berasal dari kata sombong, yang dalam KBBI berarti menghargai diri secara berlebihan; congkak; pongah. Kesombongan adalah sebuah perasaan di mana kita merasa lebih baik dari orang lain, bisa dalam hal fisik, harta, maupun ilmu. Banyak di antara kita yang merasa terlalu bangga usai mengetahui suatu ilmu baru atau pengetahuan baru, membuat kita seakan lebih pintar dari teman-teman kita, yang bisa saja membuat kita justru merendahkan orang lain, dan merasa sudah cukup untuk tak perlu menambah ilmu lebih banyak lagi.

Padahal benar kata pepatah, jadilah gelas yang setengah penuh, jangan jadi gelas yang penuh. Itu artinya kita harus mau tetap mendengar perkataan orang lain, dan mau untuk terus belajar dan memperdalam ilmu dan pengetahuan. Kita manusia hidup di dunia ini janganlah merasa paling pintar, paling benar, paling tahu.

“Dan seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan laut (menjadi tinta), ditambahkan kepadanya tujuh laut (lagi) sesudah-(kering)-nya, niscaya kalimat Allah tidak akan habis ditulis.” (QS. Luqman: 27)

Ayat tersebut merupakan analogi betapa luasnya ilmu Allah nan begitu luas dan banyak, membuat manusia tak pantas untuk menyombongkan diri atas apapun dalam dirinya, termasuk ilmunya. Manusia hanyalah makhluk ciptaannya, yang ilmunya pun hanya sedikit perkara dunia dan jauh lebih sedikit lagi untuk perkara akhirat.

“Demi Allah, tidaklah dunia dibandingkan akhirat kecuali seperti seseorang dari kalian mencelupkan jarinya ke laut, maka lihatlah apa yang tersisa di jarinya jika ia keluarkan dari laut?” (HR Muslim)



Sebuah kisah diriwiyatkan oleh Abu Hurairah, di mana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bercerita tentang dua orang pria bersaudara dari kaum Bani Israil. Salah seorang di antara keduanya adalah seorang ahli ibadah, sementara seorang lainnya adalah seorang pendosa.

Sang ahli ibadah itu selalu melihat saudaranya sang pendosa itu berbuat dosa, dan ia pun selalu berkata, “Berhentilah dari berbuat dosa!”

Hingga suatu hari sang ahli ibadah melihat sang pendosa kembali berbuat dosa, dan kemudian ia kembali berkata, “Berhentilah dari berbuat dosa!” Namun, kali ini sang pendosa menjawab, “Biarkan aku bersama Rabb-ku. Apakah kau diutus untuk selalu mengawasiku?”

Kemudian sang ahli ibadah pun menjawab, “Demi Allah, Allah tidak akan mengampunimu!” atau berkata, “Allah tidak akan memasukkanmu ke dalam surga!”

Allah subhanahu wa ta’ala pun mencabut nyawa keduanya, sehingga sang ahli ibadah dan sang pedosa berkumpul di sisinya. Kemudian Allah bertanya kepada sang ahli ibadah, “Apakah kau lebih tahu dari-Ku? Atau apakah kau mampu melakukan apa yang ada dalam kekuasaan-Ku?”

Kemudian Allah berkata pada sang pendosa, “Pergi dan masuklah kau ke dalam surga dengan Rahmat-Ku.” Setelahnya Allah berfirman kepada para malaikat, “Bawalah ia (sang ahli ibadah itu) ke neraka.”

(Hadits shahih riwayat Abu Dawud dan Ahmad)



Dari kisah tersebut kita ketahui bahwa manusia tidak sepantasnya menyombongkan dirinya dan merasa lebih baik dari pada orang lain. Manusia sungguh dapat tertipu pada apa yang dapat membuatnya masuk ke surga, maupun apa yang bisa menjebaknya masuk ke neraka. Kita sebagai manusia hanya dapat berusaha semaksimal mungkin untuk terus menjalankan seluruh perintah-Nya dan menjauhi seluruh larangan-Nya. Biarkan Allah yang menilai amal saleh kita berdasarkan catatan yang dituliskan malaikat.

“Ketika dua orang malaikat mencatat amal perbuatannya, seorang duduk di sebelah kanan dan yang lain duduk di sebelah kiri. Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya, melainkan ada di dekatnya, malaikat pengawas yang selalu hadir.” (QS. Qaaf: 17-18)

Sehingga walau merasa sudah cukup rajin dan taat menjalankan ibadah yang diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, tidak pantas rasanya kemudian kita menilai amal saleh orang lain dari apa yang terlihat melalui mata kepala kita. Kita tak tahu perihal hati orang lain, atau perihal apa yang ia lakukan di balik pintu. Bisa saja ia telah melakukan sesuatu yang lebih baik dari pada kita, dan bisa saja ia memiliki derajat yang lebih tinggi di mata Allah subhanahu wa ta’ala.

Anas bin Malik RA pernah meriwayatkan, “Selama aku berkhidmat kepada Rasulullah selama sepuluh tahun, aku tidak pernah mendengar beliau berkata ‘Ah’. Beliau juga tidak pernah mempertanyakan apa yang aku kerjakan, tidak pernah mengatakan kenapa kamu tidak begini, kenapa tidak begitu.” (HR Bukhari-Muslim)

Jika kita tarik mundur pada saat penciptaan manusia, sebagian salaf menerangkan bahwa dosa yang pertama kali dilakukan kepada Allah yaitu kesombongan.

Allah berfirman:

“Sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu (Adam), lalu Kami bentuk tubuhmu, kemudian Kami katakan kepada Para Malaikat: “Bersujudlah kamu kepada Adam”, Maka mereka pun bersujud, kecuali Iblis. Dia tidak Termasuk mereka yang bersujud.” (QS. Al-A’raaf: 11)

Allah berfirman:

“Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu aku menyuruhmu?” Iblis menjawab: “Saya lebih baik daripadanya: Engkau ciptakan saya dari api sedang Dia, Engkau ciptakan dari tanah”. (QS. Al-A’raaf: 12)

Allah berfirman:

“Turunlah kamu dari surga itu; karena kamu tidak sepatutnya menyombongkan diri di dalamnya, Maka keluarlah, Sesungguhnya kamu termasuk orang-orang yang hina”. (QS. Al-A’raaf: 13)

Iblis merasa begitu sombong hingga tak mau bersujud kepada Adam ‘alaihis salaam karena Adam tercipta dari tanah, sedangkan Iblis tercipta dari api. Iblis merasa api lebih tinggi derajatnya dibandingkan tanah, dan dosa pertama pun terjadi, yaitu kesombongan. Dengan kesombongan itu Iblis akhirnya diusir dari surga dalam keadaan hina.



Dari ayat tersebut kita ketahui betapa tidak disukainya sifat sombong oleh Allah subhanahu wa ta’ala, di mana sombong itu sendiri bukan tentang hanya menolak kebenaran, tetapi juga meremehkan orang lain, dijelaskan dalam hadist berikut:

“Tidak akan masuk surga seseorang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan sebesar biji sawi.” Ada seseorang yang bertanya, “Bagaimana dengan seorang yang suka memakai baju dan sandal yang bagus?” Beliau menjawab, “Sesungguhnya Allah itu indah dan menyukai keindahan. Sombong adalah menolak kebenaran dan meremehkan orang lain.“ (HR. Muslim)

Dari penjelasan di atas semoga kita dapat sebuah pelajaran, bahwa hanya Allah subhanahu wa ta’ala yang pantas untuk sombong, Tuhan seluruh umat, Pencipta alam semesta beserta isinya, lagi Maha Berkuasa dan Maha Mengetahui atas segala sesuatu. Kita manusia ciptaan-Nya tentu tak pantas untuk menyombongkan diri atas seluruh karunia yang diberikan Pencipta kita. Bahkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, suri tauladan kita saja tidak berani untuk sombong.

Diriwayatkan dari Iyadh bin Himar radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda: ‘Sesungguhnya Allah mewahyukan kepadaku agar kalian bersikap rendah hati, hingga tidak seorang pun yang bangga atas yang lain, dan tidak ada yang berbuat aniaya terhadap yang lain.” (HR. Muslim)


Ditulis oleh: Bethari Berlianti
Berdasarkan: Al Quran & Hadist
Sumber Gambar: Google yang diedit dengan Canva