Entah sejak kapan udara berubah menjadi dingin. Angin yang berembus seolah membawa serpihan es saat membelai halus kulit. Gulita lebih kelam dari biasanya. Senyap. Sepi menyeruak berkawan hampa yang datang setelahnya. Saat itu, suara isakan sesak itu terdengar lebih jelas di telingaku.
Mata ini perih, seperih hati yang terasa tertusuk besi tajam bermata ganda. Aku tak pernah menyangka semuanya akan menjadi begini. Bulir bening mulai mengalir dari pelupuk mata. Aku ingin memeluknya, tapi tak berani. Hanya bisa duduk sambil menarik lututku dan menangis di ruangan yang berbeda.
Aku terus berlari tak peduli seberapa jauh jarak yang akan kutempuh. Aku harus menemuinya, harus. Tak boleh berhenti sebelum ketemu. Sedikit waktu terlewat, dan semua akan terlambat.
Buk!
Aku terjatuh. Kurasakan kakiku perih, berdarah tersayat ranting yang runcing. Darah mulai mengalir, tapi aku tak peduli. Aku segera bangkit dan bersiap berlari lagi namun seseorang menarik lenganku, mencegahku.
“Sudah kak, jangan diteruskan. Ku mohon,” ujarnya.
Aku tak peduli, segera kuhempaskan tangannya, namun ia memegangiku lagi.
“Kumohon kak… Kumohon… Akan semakin banyak masalah yang datang jika kau tetap mengejarnya, membunuhnya bukanlah satu-satunya jalan,” ujarnya lagi dengan suara mulai parau. Ia mulai memelukku, membatasi gerakku seraya menatap mataku penuh harap untuk berhenti.
Kurasakan hatiku perih. Aku paling benci rasa ini, seolah tak berdaya padahal aku masih bisa berusaha.
Kakiku lemas. Aku terduduk di tanah. Tangisku pecah. Aku terus memaki dan merutuk, berteriak seolah yang kubenci ada didepanku.
“Bajingan! Jahat! Aku benci…!” seruku mengumpat.
“Mengapa semua ini terjadi Vi… Mengapa?”
Vivi, adik perempuanku bisa menangis sambil berusaha memelukku. Perasaanku kini campur aduk jadi satu. Sedih, marah, kecewa, benci dan yang paling sulit untuk kuakui : Cinta.
“Aku pasti akan membantumu Kurnia,” ujarnya sambil meletakkan buku-buku di meja. “Kita akan membuat sekolah walau tak seperti HBS.”
“Ya, tapi lebih bagus,” sahutku menanggapi.
“Wah, ternyata kakak punya mimpi besar juga ya,” balas Vivi memuji. Ia lantas meembereskan barang-barangnya dan pamit pulang duluan. Aku hanya tersenyum.
“Aku hanya ingin menjadi guru, meneruskan perjuangan bapak,” jelasku dengan mata menerawang ke depan. “Aku harus hidup saat negeri ini merdeka, juga setelahnya.”
“Wah, kalau begitu aku juga akan berjuang untuk tetap hidup agar bisa berada di sampingmu saat itu.”
Aku tertegun mendengar ucapannya saat itu. Ia mulai menatapku dalam dan menggenggam tanganku.
“Apakah kau mau bersamaku selamanya?” tanyanya.
Aku masih terdiam, terpaku, terkagum sendiri dengan ucapannya. Jantungku berdegup kencang.
“Ehem…” seseorang berdehem membuyarkan pikiranku. Kulihat bapak yang sudah berdiri di ambang pintu menatap kami dengan alis terangkat. Aku segera melepaskan tangannya.
“Bapak,” sapaku.
“Sini kamu,” ujarnya tegas.
Aku menurut dan segera berjalan ke arahnya.
“Pulang, sudah sore,” titahnya.
Dengan perasaan kesal, aku berjalan keluar meninggalkan gubuk sekolah. Bapak menatap sisni ke arahnya sebelum berjalan mengikutiku dari belakang.
“Bapak kan sudah bilang, jangan dekat-dekat dengan Belanda itu.”
“Namanya Nicholas. Bukan Belanda,” balasku.
“Sama saja. Pokoknya jangan dekat-dekat dengannya.”
“Dia berbeda Pak,” bantahku.
“Jangan bodoh. Kau bisa saja dijadikan alat. Suatu saat kau bisa saja dibunuhnya. Kita tak pernah tau maksud seseorang.”
“Dia serius. Dia ingin membantu kita. Dia berbeda… Dia bilang ingin aku bersamanya nanti.”
Aku langsung masuk kamarku enggan berdebat lagi dengannya.
Hari-hari berikutnya aku tak berbicara dengan bapak. Aku bahkan menghindar untuk bertemu dengannya. Aku sibuk dalam mengajari anak-anak di gubuk sekolah. Jika di rumah pun, aku hanya membantu ibu, selepasnya berdiam diri di kamar. Aku tak ikut makan bersama, baru keluar setelah mereka selesai makan. Bagiku, bapak sudah kelewatan dan ini puncaknya.
Nicholas berbeda. Ia adalah orang yang baik dan aku percaya itu. Ia selalu membantuku bahkan mau mencarikan beberapa buku untuk anak-anak. Terlebih dengan ungkapannya saat itu. Aku percaya akan kata-katanya dan aku selalu percaya padanya. Ya, aku selalu percaya padanya sampai kejadian itu terjadi.
Saat itu dini hari. Desa tiba-tiba ramai. Orang-orang mulai berlarian panik. Ibu membangunkanku dan Vivi buru-buru. Aku segera terjaga meski pandangan masih belum sempurna.
“Desa kita di serang. Cepat bangun,” ujar ibu sambil mengemasi barang-barang yang bisa dibawa. Ia kemudian menarik kami untuk berlari bersamanya. Bapak sudah menunggu di belakang.
“Kita mau kemana?” tanyaku.
“Ke tempat persembunyian,” ujar bapak sambil membimbing kami.
Suara senapan berbunyi berulang kali. Aku melihat desa yang mulai menjadi lautan api. Malam itu, desa terang dengan rumah-rumah warga yang dibakar.
Pagi begitu cepat menyapa. Kami semua taka da yang berani tidur semalam. Mata kami terjaga takut jika mereka menemukan tempat persembunyian ini. Beberapa dari kami berjaga-jaga. Para lelaki siaga dengan senjata seadanya, sementara para ibu sibuk menenangkan anaknya yang muali menangis ketakutan.
Seorang bayi sedari tadi menangis tak henti-henti akibat tak kuasa menahan dahaga. Ibunya tak bisa menyusui sebab air susunya tak keluar dan ia kehilangan banyak cairan. Aku menatap miris bayi dan ibu itu sebelum akhirnya memutuskan untuk menghampiri.
Bapak melihatnya. Ia segera pergi bersama beberapa orang lelaki untuk mencari air.
“Ini, minumlah airku dulu,” ujar Vivi memberikan botol miliknya.
Ibu itu lantas meminumnya hingga tersisa sedikit sekali untuk si pemilik botol.
“Vi, sepertinya kita juga harus membantu. Aku tau di dekat sini ada beberapa tanaman yang bisa di makan,” ujarku disambut anggukan Vivi. Kami pun pergi.
Satu jam berlalu kami masih mencari tumbuhan yang bisa dimakan. Perhitunganku ternyata meleset, tempat yang kumaksud ternyata cukup jauh dari tempat persembunyian. Terlalu beresikio untuk pergi ke sana. Akhirnya, kami memutuskan untuk mencari di sekitar tempat persembunyian mengurangi resiko buruk yang akan menimpa.
“Ayoh Vi, kurasa sudah cukup,” ujarku mengajaknya pulang.
Srek…
Aku berhenti sebentar. Seperti ada suara orang menyibak semak-semak. Sabit yang ku pegang segera kugenggam erat. Aku mulai siaga. Aku mengaba-ngaba Vivi untuk kembali duluan dan tetap siaga. Aku tak ingin terjadi sesuatu padanya.
Srek… suara itu makin terdengar jelas. Sepertinya ada seseorang yang mendekat. Aku semakin was-was.
Aku sudah siap menghunuskan sabitku saat orang tersebut muncul, namun segera kutahan karena ia ternyata orang yang kukenal.
“Nicholas?” tanyaku bingung. “Mengapa kau ada di sini?”
“Oh Kurnia, aku mencarimu,” ujarnya.
“Syukurlah kau baik-baik saja.” Ia memelukku erat meluluhkanku. Sejenak aku merasa tenang hingga ingin menangis. Aku menyadari ada yanga neh dari aroma tubuhnya. Tak seperti biasanya. Ia seperti bau anyir dan asap. Pandanganku teralihkan pada pisau berdarah yang ia letakkan di belakangnya.
“Aku kira aku tak bisa bertemu denganmu lagi,” ujarnya.
Aku hanya tersenyum simpul membalas.
“Jaga dirimu baik-baik. Kau harus selamat,” pesannya. “Aku harus segera kembali sebelum mereka curuga.”
Belum sempat aku bertanya ia sudah pergi duluan. Perasaanku jadi tak tenang. Jujur, aku jadi ragu padanya.
Orang-orang sudah berkerumun saat semua aku datang. Wajah mereka bersedih dan takut. Sebagian menangis meraung-raung. Aku mencoba melihat apa yang terjadi. Betapa terkejutnya aku ketika melihat ibu menangis sambil memeluk jasad bapak.
“Bapak…” seruku ikut duduk di samping ibu dan memeluk jasad bapak.
Kulihat jasad bapak banyak luka-luka sayatan. Satu luka dalam di lehernya. Luka yang mungkin ditimbulkan oleh benda tajam kecil seperti pisau.
“Biadap kau Nicholas!” seruku memaki.
Ia hanya tersenyum sinis menanggapi.
“Kau adalah gadis yang paling lugu yang pernah kutemui Kurnia,” ucapnya kemudian terkekeh meremehkan.
“Diam kau. Aku akan menghabisimu. Kau harus mati di tanganku,” seruku.
Duel maut antara kami tak terelakkan. Aku berusaha membunuhnya, dan dia berusaha bertahan untuk tetap hidup. Kami tak mau mengalah. Beruntung dulu bapak mengajariku seni bela diri, jadi aku cukup bisa mengimbangi. Nicholas pasti takkan menyangka.
Benar saja, ia terlihat kewalahan menghadapiku. Nicholas terpojok. Ia kini sudah sangat kelelahan.
“Wah, ternyata aku salah menilaimu Kurnia,” ujarnya. “Tapi, apa kau ammpu membunuhku.”
“Banyak omong!” seruku. Aku langsung menghajarnya berkali-kali sampai ia terlihat tak berdaya. Satu pukulan lagi dan itu akan mengakhiri hidupnya.
“Nicholas!” seseorang menyerukan namanya dari belakang. Ketika aku menoleh, sungguh terkejutnya ketika kutahu itu adalah Vivi. Ia berlari ke arah kami.
“Nicholas,” ujarnya memeluknya. Tak kusangka, ia kini menangis untuknya. Namun Nicholas sangat lemah. Ia bahkan sudah kesusahan bernapas. Tiga detik kemudian, napasnya sudah terputus. Ia telah meninggal.
“Nicholas…” raungnya. Ia menangisinya dengan sangat sedih.
“Mengapa kau membunuhnya. aku sudah bilang balas dendam bukan penyelesaian segalanya.”
“Dia membunuh ayahku. Dia harus bertanggungjawab atas itu.”
“Dia sudah punya tanggungjawab lain,” balasnya.
Aku mengerutkan dahi. Vivi memegang perutnya. Aku terbelalak.
“Tidak mungkin,” ujarku.
“Kau telah membunuh ayah dari bayiku,” balasnya.
“Kini bayiku kehilangan ayah dan kakeknya.”
Aku begitu terkejut hingga kakiku lemas. Kepalaku terasa pusing memikirkan ini semua. Aku tak menyangka adikku ternyata diam-diam berhubungan dengan orang yang aku cintai. Ini lebih mengejutkan daripada Nicholas yang membunuh bapak.
Entah sejak kapan udara berubah menjadi dingin. Angin yang berembus seolah membawa serpihan es saat membelai halus kulit. Gulita lebih kelam dari biasanya. Senyap. Sepi menyeruak berkawan hampa yang datang setelahnya. Saat itu, suara isakan sesak itu terdengar lebih jelas di telingaku.
Mata ini perih, seperih hati yang terasa tertusuk besi tajam bermata ganda. Aku tak pernah menyangka semuanya akan menjadi begini. Bulir bening mulai mengalir dari pelupuk mata. Aku ingin memeluknya, tapi tak berani. Hanya bisa duduk sambil menarik lututku dan menangis di ruangan yang berbeda. Mengapa elegi ini begitu rumit?
Oleh : Ulfa Husna