Egoisme Tidak Pernah Ada Benarnya

image

Dalam sebuah majelis dua insan dipertemukan secara tidak sengaja untuk kedua kalinya setelah 12 tahun yang lalu pernah bertemu. Mas Abdi seorang pemuda yang tangguh dan pantang menyerah. Fita seorang yang ceria namun pendiam. Ia tidak banyak bicara dan cenderung menutup diri. Namun, lama kelamaan majelis yang ia ikuti ini membuatnya menjadi pribadi yang lebih terbuka dan mau berbicara. Setelah beberapa hari Fita memperhatikan Mas Abdi ia seperti menyadari sebuah keadaan. Fita menyadari bentuk keadaan yang Mas Abdi ciptakan merujuk pada dirinya. Fita masih bertanya-tanya apakah benar keadaan ini, atau hanya sebuah kehaluan belaka. Pada sebuah kesempatan Fita berada pada satu grup dalam sebuah platform pesan di hpnya. Kemudian di save lah nomor Mas Abdi. Dikemudian hari Fita menjadi lebih aktif mengikuti acara-acara pada majelis dan sering bertemu dengan Mas Abdi. Saling berbalas senyuman adalah hal yang bisa mereka lakukan hingga pada akhirnya Fita mendapatkan keadaan untuk harus mengirim pesan pada Mas Abdi. Pertanyaan yang sangat sederhana namun membuat mereka menjadi semakin akrab. Dari situ mereka mulai saling bercerita tentang kehidupan satu sama lain. Ketika bertemu langsung akhirnya Mas Abdi memberanikan diri menyapa Fita duluan karena memang ia terkenal pendiam.

“Kok masih disini, besok ngga kuliah?” sapa Mas Abdi.

“Eh, iya mas besok masuk siang sih…” jawab Fita diikuti senyuman manisnya.

Kedua hati mereka diselimuti rasa bahagia karena percakapan langsung untuk pertama kalinya. Hari demi hari berganti mereka semakin sering mengobrol mulai dari hal penting sampai pada sekedar candaan sebuah apel. Saling bertukar pikiran dan perhatian hingga sampai pada Fita baru saja mengetahui bahwa ia telah berfoto dengan ibunda Mas Abdi pada suatu acara di majelis. Sebuah keadaan muncul yang mengharuskan Fita, Mas Abdi dan ibundanya harus tinggal dalam satu atap. Pada saat itu Fita menjadi akrab dengan ibunda Mas Abdi. Fita mulai meyakini sebuah perasaan yang bisa ia pastikan bahwa hal itu adalah cinta. Ya, Fita jatuh cinta kepada Mas Abdi. Namun cinta tidak berjalan semulus itu. Sebuah ke egoisan dan ke labilan anak usia 19 tahun pada saat itu mengantarkan Fita pada sebuah kegelisahan. Fita menginginkan selalu mengirim dan dikirim pesan oleh Mas Abdi sehingga pada suatu masa Mas Abdi hanya membaca pesannya tanpa membalasnya dan ia merasa kesal hingga akhirnya mengalihkan perasaannya kepada orang lain yang ternyata membuat Mas Abdi semakin menjauhi dirinya. Di sisi lain Mas Abdi ternyata juga memiliki perasaan cinta yang sama kepada Fita namun dia tersadar akan keadaannya sehingga memilih untuk tidak melanjutkan hubungan via pesan singkat agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Sampai pada akhirnya ia melihat Fita bersama dengan laki-laki lain. Hancur sebenarnya perasaan Mas Abdi namun rasa bahagia karena melihat Fita sudah bahagia bersama yang lain lebih besar sehingga dia hanya menyimpan sebuah senyuman. Ternyata apa yang terjadi tidak sesuai dengan apa yang Mas Abdi lihat. Kenyataannya Fita merasa tidak nyaman dengan laki-laki itu. Sehingga kemudian Fita kembali mencoba menghubungi Mas Abdi. Namun nihil hal tersebut samasekali tidak membuahkan hasil. Mas Abdi tetap berpegang pada prinsipnya untuk tidak menanggapi Fita seperti dulu lagi karena ia merasa belum pantas untuk bisa membangun hubungan sejauh itu. Ketika berjumpa pun tak ada lagi sepatah kata yang Mas Abdi ucapkan saling melihat namun seperti tak mengenal. Sampai pada akhirnya Fita menyadari kesalahannya dan mencoba meminta maaf kepada Mas Abdi dan yang Mas Abdi katakan hanyalah

“Nggak kok , kamu tidak bersalah atas hal apapun, hanya memang diriku seperti ini sulit di mengerti”.

Fita merasa lega namun juga bingung dengan apa yang terjadi. Tiba-tiba terselip sebuah pesan “Menjadikan diri sebagai seseorang yang bisa kamu kagumi.” Fita menjadi tersadar akan sebuah hal yang ternyata sedang Mas Abdi persiapkan dan ia juga menyadari keegoisannya menyebabkan sebuah hati terluka namun tetap mau memberi ruang untuknya. Tuhan telah memberikan jalan untuk mereka berdua agar tetap saling mencintai dengan cara mereka sendiri tanpa sebuah keegoisan untuk selalu bersama sebelum waktunya. Sekarang yang ada dalam benak Mas Abdi dan Fita adalah kebahagiaan satu sama lain bukan sebuah keegoisan untuk saling memiliki dengan hubungan yang belum waktunya. Mas Abdi bahagia ketika Fita bahagia dan begitu pula sebaliknya tanpa ada rasa egois untuk memaksakan rasa cintanya. Yang mereka harapkan adalah ketika tiba saatnya nanti sebuah pembuktian bahwa egoisme tidak pernah ada benarnya dan kelembutan hati yang akan jadi jawaban atas penantian mereka.