EGOISME DISEKITAR KITA : Pandemi dan Egoisme

8614049b242018306c8d65bcf9690fb1 Pasar Pramuka terlihat lebih padat dari biasanya. Untuk kali ini, mau tidak mau Dika harus mengunjungi salah satu pasar terbesar di Jakarta itu. Dia memang bukan tipikal orang yang rutin berbelanja ke Pasar. Apalagi dengan segala kemudahan yang sudah dihadirkan oleh beberapa penyedia layanan berbelanja online .

Dika merupakan Asisten Kepala Administrasi di salah satu rumah sakit swasta di Jakarta. Bulan Maret dan tidak tahu sampai kapan tepatnya akan menjadi masa-masa berat bagi Dika dan seluruh staff di rumah sakit tempatnya bekerja. Atau, kabar buruknya lagi, mungkin bagi seluruh staff rumah sakit di penjuru nusantara. Kejadian ini bukan tanpa alasan. Awal Maret lalu, pemerintah resmi mengumumkan kasus pertama COVID 19 di Indonesia. Penyebarannya sangat cepat hingga dapat Dika rasakan, semua kalangan mulai panik.

”Pak, surgical mask nya ya seperti biasa. Limabelas kotak”, Dika menuju salah satu toko penyedia alat kesehatan terbesar di Pasar Pramuka.

“ Wah, Mas. Maaf banget nih . Semua jenis masker kosong, Mas”, Dika terkejut. Pasalnya toko ini adalah salah satu toko terbesar dan sudah menjadi langganannya beberapa tahun belakangan. Dika juga mencoba mengerti keadaan. Pandemi ini begitu cepat menyebar di Jakarta. Wajar jika masyarakat luas mulah resah dan hal paling masuk akal yang dilakukan untuk melampiaskan keresahan tersebut adalah dengan membeli masker dan alat kesehatan dengan jumlah yang tidak wajar.

“Pak, tahu nggak? Yang borong masker gitu biasanya orang rumah sakit juga?”, Entah mengapa, nurani Dika sedikit terketuk. Karena bagaimanapun juga dia adalah salah satu orang yang harus memastikan ketersediaan alat kesehatan untuk staff di rumah sakit tempatnya bekerja.

“Banyak juga yang bukan orang rumah sakit, Mas. Saya sih sama karyawan saya sudah coba bilangin. Untuk orang yang bukan orang rumah sakit juga sudah saya coba batasi jumlah pembeliannya, Mas. Tapi ya gimana lagi ya…”, Dika sudah kehilangan minatnya untuk mendengarkan penjelasan si pemilik toko. Akhirnya Dika berpamitan dengan sopan dan meninggalkan toko itu dengan tangan kosong.

Tepat saat Dika beristirahat sejenak sembari menunggu Bus Transjakarta di salah satu halte, pandangannya teralihkan kepada sosok Ibu yang berusia sekitar lima puluh tahun yang duduk di sebelahnya. Ibu itu terlihat kerepotan dengan barang belanjaannya. Dika tidak paham apa yang membuatnya ingin memperhatikan lebih dalam Ibu yang bahkan tidak dikenalnya tersebut.

Tatapan penasaran Dika kemudian berganti menjadi tatapan terkejut tatkala Dika mengetahui barang apa yang dibeli Ibu itu. Masker. Jumlahnya tidak sedikit. Perasaan Dika berkecamuk.

“Bu, maaf. Ibu bekerja di rumah sakit?”, Dika yang biasanya tidak memperdulikan keadaan sekitarnya, akhirnya melontarkan pertanyaan kepada Ibu yang ditemuinya beberapa saat lalu itu.

“Kenapa memangnya, Mas?”, kedua alis Ibu itu saling bertaut. Bukan tanpa alasan. Dia disodorkan pertanyaan oleh orang yang baru saja ditemuinya dan Ibu itu tidak tahu maksud dan tujuan Dika atas pertanyaan yang dilontarkannya.

”Beli masker sebanyak itu….”

”Oh ini mau saya jual lagi, Mas. Akhir-akhir ini harganya melonjak tajam, Mas. Lumayan dari segi pendapatan. Terjawab sudah rasa penasaran Dika. Terjawab sudah rasa berkecamuk dalam pikirannya melihat orang asing membeli masker dengan jumlah sedemikian banyak.

”Bu, sadar nggak , dengan membeli masker sebanyak ini, secara tidak langsung Ibu membuat petugas kesehatan kesulitan mendapatkan masker…”, Dika memang kesal, tapi dia berusaha setenang mungkin. Dia tahu, bagaimanapun juga lawan bicaranya jauh lebih tua darinya dan dia harus tetap menahan intonasi berbicaranya agar tidak memancing keributan.

”Kenapa Masnya nyolot ? Saya butuh uang, Mas. Nggak salah dong kesempatan seperti ini saya manfaatkan dengan baik?”, Dika menghela nafas. Dia sebenarnya sedikit bersyukur karena walaupun marah, lawan bicaranya tersebut juga terlihat dapat mengontrol emosinya. Walaupun kesal, Dika juga tidak ingin memancing perhatian massa.

”Bu Saya bekerja di rumah sakit. Saya tahu perjuangan team medis setiap hari untuk memerangi pandemi ini. Baru saja saya ke toko untuk membeli masker buat mereka. Stoknya habis, Bu. Jujur saya sedih. Untuk melindungi team yang berjuang di garda terdepan saja sudah sangat sulit…”, Terlihat perubahan air muka sang Ibu. Dika sebenarnya menjadi sedikit tidak enak. Tetapi kekesalannya terluapkan begitu saja. Dia sempat heran, bagaimana bisa mengedepankan ego dalam kondisi yang serba sulit seperti saat ini.

”Bu, Saya tahu Ibu butuh makan. Tetapi Pandemi ini tidak akan usai dalam sekejap jika kita masih mengedepankan ego kita masing-masing, Bu. Maaf jika perkataan saya sedikit menyinggung. Saya izin pamit, bus jurusan rumah saya sudah datang. Permisi…”.

Dika meninggalkan Ibu yang dia jumpai itu dengan kebingungan. Sang Ibu juga kembali menanyakan kepada dirinya sendiri benarkah langkah yang dia ambil. Dia memang membutuhkan uang untuk menafkahi keluarganya. Tetapi, apakah dengan jalan memanfaatkan situasi demi mendapatkan keuntungan semata?

Dua minggu berlalu sejak kejadian di Pasar Pramuka, di mana Dika harus berdebat dengan Ibu yang tidak dikenalnya tersebut dikarenakan puluhan kotak masker. Dika sadar, mungkin saat itu dia juga dibumbui emosi hingga persoalan yang seharusnya dapat diselesaikan dengan obrolan yang lebih ringan malah berbuntut dengan adu mulut dengan seorang wanita paruh baya. Sebenarnya Ibu itu juga tidak salah, jika alasannya untuk mencari nafkah. Memangnya siapa yang mau menjamin hidup Ibu itu dan keluarganya jika mereka kelaparan? Tidak ada kan?

Lamunan Dika dibuyarakan oleh teguran salah satu staffnya. Hari ini Dika mendapat laporan jika pasien positif Covid 19 yang dirujuk ke rumah sakitnya jumlahnya bertambah. Pandemi ini memang sedang mengganas di Ibukota dan mau tidak mau atau suka tidak suka membuat Dika dan bahkan hampir semua staff rumah sakit dan tenaga medis bekerja ekstra keras.

”Pak Dika, ada memo. Ini dari Sus Ratna. Ada pasien yang menitipkan ini buat Bapak”, walaupun alisnya bertaut karena heran mengingat dirinya bukan Dokter yang berhubungan dengan pasien secara langsung, Dika buru-buru membuka memo itu.

Pak Dika yang terhormat.

Saya Sulastri, tempo hari kita berdebat di Halte Pasar Pramuka karena saya membeli banyak sekali masker untuk saya jual kembali.

Pak, Saya positid COVID 19 dan saat ini sedang dalam pengharapan kepada Yang Maha Kuasa atas kelanjutan hidup Saya. Saya baru sadar, saya egois saat itu. Saya baru tahu perjuangan team medis setiap hari yang sama saja mengorbankan hidupnya sendiri di atas hidup orang lain.

Pak Dika, maafkan saya karena saya tidak mengakui bahwa saya memang egois. Saya takut tidak makan, sedangkan saya tidak pernah berfikir kalau sebenarnya Team Medis juga takut nyawanya diambil setiap membantu pasien yang positif COVID setiap harinya. Akhirnya saya tidak sempat menjual masker yang Saya beli waktu itu. Saya titipkan ke salah satu staff rumah sakit ya Pak. Nanti sore akan diantar anak saya ke sini. Saya harap walaupun Saya kalah melawan Virus ini, saya sudah melakukan sedikit kebaikan dan menekan ego saya demi hidup banyak orang diluar sana.

Sulastri

Air mata Dika sudah tidak bisa dibendung lagi. Dia terduduk lemah. Sembari hatinya tidak henti untuk memohon kepada sang Pencipta agar keadaan sulit ini segera berakhir. Semuanya akan segera membaik, begitu cara Dika untuk menyakinkan pada dirinya sendiri. Setidaknya untuk saat ini.