Egoisme Disekitar Kita : Keputusan ; Meninggalkan atau Bertahan


Keadaan yang mulai gelap—seakan menandakan hujan akan datang—sangat mendukung kesedihan yang tengah menimpa Luna. Tahun-tahun yang salah mulai mengimbaskan pengaruhnya dan menghantui bulan april milik Luna tahun ini. Lagi-lagi, katanya. Bulan april memang seluruh mimpi buruk terburuk yang pernah ada. Baru saja Ia hampir pingsan karena ternyata pengakuan suaminya yang memiliki wanita kedua, ia kira bagian dari april fools. Namun nyatanya tidak, keputusan itu sudah lama dibuat dan tertawa adalah respon pertama dari Luna yang luar biasa konyol.

Kini ia menangis seharian, sementara anaknya masih tidur dikamar. Belum mengetahui hal ini. Suaminya, Daren. Begitu kejam membiarkan Luna agar bertugas untuk memberitahu anak mereka setelah ia pergi dengan wanita lain.

Hujan mulai datang dan Luna menangis lebih keras. Ia melihat foto tersenyum almarhumah ibunya dibingkai berpinggir kayu mahoni—yang berada di bagian dinding ruang tamu paling kanan—yang telah meninggal tepat dua hari selanjutnya ditahun lalu. Luna teringat ketika ibunya pernah bercerita tentang bermimpi bahwa hari ini akan datang, tapi Luna yang bodoh dan lugu tidak pernah percaya akan hal itu. Ia bahkan tidak pernah curiga selama dua tahun saat suaminya selalu pulang larut malam.

“Maaf, Ibu. Aku minta maaf karena tidak mempercayaimu,” Luna menangis didepan bingkai foto itu. Maaf tidak akan bisa mengembalikan semua hal yang disesali.
Badai hujan mulai menggila diluar sana. Anaknya, Cecil yang tertidur terpaksa bangun karena terganggu suara petir. Cecil langsung berlari mencari Ibunya.
“Ibu …”
Luna sontak langsung membersihkan sisa airmatanya dengan ujung kain bajunya, berusaha tenang dengan cepat adalah bagian paling sulit.

“Ibu, Aku tidak bisa tidur,” ucap Cecil. Sebuah kalimat biasa yang selalu Cecil ucapkan setiap terbangun malam-malam. Beruntungnya memikirkan bahwa seorang Cecil masih memiliki ibunya.

Mungkin karena masih sangat kesal dan sedih, bukannya memeluk Cecil, Luna malah menarik Cecil dengan genggaman yang keras dan melemparkan gadis kecil itu keluar rumah. Daridulu Luna memang memiliki penyakit bipolar, dimana pasien merasa gelisah dan cemas yang sulit terkendali. Ia kadang melakukan sesuatu tanpa ragu, dan disinilah puncak kesalahan yang membuat segalanya semakin rumit.

Saat melemparkan Cecil hingga baju putrinya itu menjadi kotor karena lumpur, Luna mengucapkan kalimat yang sangat tidak pantas, “Carilah Ayahmu! Berilah Ia pakaian kotor itu dan buatlah Ia merasakan apa yang Ibu rasakan! Buatlah Ia mengetahui bahwa luka yang aku rasakan sangat buruk daripadamu!” ujarnya bernada mengancam dan mata yang penuh amarah. Berbeda dari sosok Ibu yang Cecil tau sangat berhati-hati kepadanya.

Cecil tidak marah. Beruntung sekali bahwa dari sejak dulu, Cecil sangat dipengaruhi oleh Neneknya yang penuh dengan nasihat baik. Cecil sudah pernah berjanji untuk tidak akan pernah meninggalkan seseorang yang Ia sayang seperti ibunya. “Dan perasaanku masih sangat kuat, Ibu, aku sangat berharap kau bisa melalui semua ini.”

Cecil dengan cepat berlari dan langsung berlindung dibawah pohon disamping rumah. Tetangga mereka pernah berpesan untuk selalu sabar dalam memahami ibunya. Baginya ini hanya ujian permulaan. Seorang anak berusia tujuh tahun, tidak memilih untuk egois seperti yang ayahnya lakukan dan ungkapan dari Luna yang tidak pernah ia tunjukan, namun semuanya sudah terlanjur tertuang.

Dibawah pohon dimana nenek pernah menceritakan kisah beliau yang merupakan anak dari pasangan muda yang bercerai dan memilih untuk menitipkannya di panti asuhan saat masih balita. Sungguh rasa yang sangat hangat itu datang secara tidak sadar ketika kita kini menjadi saksi hasil perjuangan yang memuaskan lalu kita kembali mengenang prosesnya yang sangat panjang. “Ibu, aku percaya denganmu.”

Diruang kamar Cecil, Luna menangis sangat keras. Ia mengintip lapangan rumah dari jendela lantai dua, dan tidak ada putrinya diteras. Ia berpikir Cecil pergi meninggalkannya.

“Keegoisan merupakan sisi gelap yang tidak akan pernah kita akui sampai kapanpun. Semakin lama kita biarkan, maka ‘moster’ itu akan meradang dihati dan sulit untuk melepasnya.”

Kalimat ibunya itu kembali datang melintas dipikirannya, Luna tersentak dan berhasil menyadari dirinya. Secercah cahaya itu menembus hatinya yang paling dalam. Luna kembali berpikir waras, bahwa Ia harus bertahan dan mulai berdamai demi harapan satu-satunya, Cecil.

Luna berjalan kembali kelorong menuju pintu keluar. Selama Ia melangkah, Ia berpikir, bagaimana bisa Ia membiarkan anaknya itu hampir mengalami mimpi buruk yang menimpa seluruh hidup ibunya dulu. Mengorbankannya demi rasa egois.

“Cecil! Maafkan Ibu, nak!! Ibu sangat menyayangimu! Tolong kembalilah” teriak Luna penuh harapan.

“Ibu! Aku juga, sangat menyayangimu.”

sumber foto : oleh Javier Caballero Zamora (https://pin.it/b9xV5wT)

#lombaceritamini #2.0 #dictiocommunity #egoismedisekitarkita #ceritadirumahaja #dirumahaja