Egoisme disekitar kita : Ini aku, bukan kamu


sumber : pinterest

Berbicara tentang beragamnya cara pikir, mungkin itu adalah hal yang membosankan. Bahkan untuk mendalaminya saja, orang-orang bahkan enggan melakukannya. Justru, sebagian besar dari kita, lebih memilih membenarkan apa yang kita pikir. Soal yang orang lain pikir? Itu urusan belakangan. Tapi, bukankah itu egois?

Sebenarnya tak ada yang salah dengan cara pikir dan sudut pandang setiap orang. Tentu kita tahu, setiap orang juga memiliki hak atas apa yang dia nilai sesuai cara pikirnya. Namun masalahnya, sebagian besar dari kita terkadang, tidak peduli terhadap tanggung jawab dari apa yang telah kita nilai.

Ini aku. Aku memiliki cara pikir dan sudut pandangku. Aku memiliki prinsip yang mendasari pola pikirku. Aku punya komitmen terhadap kriteria yang harus aku terapkan dari sesuatu yang aku nilai. Mungkin berbeda dengan orang lain, tetapi tak jarang banyak juga yang sama. Dan aku, punya alasan terhadap tinggi atau rendahnya aku menilai sesuatu. Tapi, apakah aku punya tanggung jawabnya?

Aku punya. Dan aku telah menerima terpaan penilaian dari berbagai cara pikir orang lain didunia ini.


“Apa tujuan posting- an mu?”. Kata temanku sesaat setelah ia menatap layar ponsel berbalut casing biru muda itu.

“Entahlah, aku rasa itu perlu.” Jawabku kemudian.

“Tapi apa kamu gak berpikir tentang dampaknya terhadap dirimu?”

“Aku tau,”

“Lalu? Huft…, aku lelah dengan sikap mu yang selalu mengutamakan logika. Aku rasa, wajar mereka lebih memilih yang mudah didapatkan dengan harga terjangkau. Siapa tau mereka emang engga mampu beli yang aslinya?”

“Tapi bukannya itu dilarang?. La, aku menaruh semua usaha ku untuk buku itu. Aku menaruh semua keringatku, aku mengeluarkan semua yang aku bisa, terus mereka engga mau berusaha dikit aja?”

Aku mendengar hembusan nafas kasar dari sebelah kananku. Nila tampaknya frustasi menghadapi sikap ku yang ini. Tapi, bukannya aku benar?

“Jingga, kamu berhak mempertahankan komitmen mu, kamu berhak untuk teguh dengan prinsip mu, dan kamu berhak memperoleh hasil jerih payah mu. Tapi apa kamu engga berpikir kalau mereka juga berhak buat memilih?”

“Aku engga mempermasalahkan pilihan mereka buat beli atau engga buku yang aku tulis. Tapi aku mempermasalahkan cara mereka menikmati apa yang aku tulis. Dengan membeli bukuku yang asli, bukannya itu bisa dianggap sebagai apresiasi mereka terhadap karya ku?”

“Bisa gak, kamu berpikir pada orang-orang yang udah beli buku mu yang asli, bukan bajakan? Abaikan mereka yang membeli lewat bajakan, toh kita gak bisa ngelarang kan?”

“Dan membiarkan karya ku dinikmati tanpa izinku? Sekarang begini, bagaimana jika kamu seharian belajar mati-matian untuk lancar ujian esok harinya. Tapi justru, nilai mu lebih rendah dari temanmu yang mendapatkan jawaban dari sana-sini dengan mudahnya. Apa kamu gak kesel?”

“Ya,. Kesel sih. Tapi 'kan bukan hakku untuk marahin mereka?”

Ting!

“Tunggu, La. Ada notif.”

anzhri mentioned you in a comment : itu uda resiko kamu jadi penulis kalik. Kalau gak mau tulisan mu dijual bajakan, ya kamu bagi-bagi gratis aja. Siapa tau mereka emang ga mampu buat beli yang aslinya. Kamu sebagai penulis, seharusnya bersyukur karya mu udah dikenal orang, dan bagi-bagi hasil karya mu sebagai rasa syukur itu. Kan jadi bermanfaat buat semua. Gimana sih.

“Tuhkan, Jingga. Apa aku bilang, kamu pasti dapet negative comment. Nih buktinya.” Ujarnya sembari menunjuk layar ponselku.

“Itu uda resiko aku, La. Bentar aku bales dulu.”

Aku kembali memokuskan pandanganku kearah ponsel. Mengetikkan sesuatu disana.

sastrajingga : @anzhri nanti ya kalau buku ku jadi best seller. Makanya beli yang aslinya ya, jangan bajakan. Aku tau berbagi itu baik, kamu ternyata juga tau. Ayo saling berbagi, kamu beli buku aku yang asli, hasilnya aku bagi ke orang yang gak mampu, gimana?

prim_71 : aku setuju sama kamu. Bentuk apresiasi pembaca pada penulis adalah dengan membeli karyanya yang asli. Terlepas dari orang yang kurang mampu, coba pinjem temen aja. Atau dengan cara nabung mungkin? Kalau penulis berusaha membuat karya terbaik untuk penikmatnya, kenapa kita gak berusaha juga buat mengapresiasi karyanya? Jangan egois deh. Dia buat karya untuk kalian tapi kalian malah ga ngehargain usahanya.*

anzhri : @prim_71 yaelah. Gitu doang masa langsung di publish-in. Lagian hak pembaca juga 'kan mau baca darimana. Jangan dibuat jadi ribet deh! Kalau ga mampu jadi penulis, gausah jadi penulis!

sastrajingga : @prim_71 terimakasih, i glad to hear that:) // @anzhri hmm siapa yang egois, aku atau kamu? Kenapa jadi kamu yang membatasi keinginanku mau jadi apa? Terimakasih kritiknya, i hope you can feel what i feel, hehe:)

“Jingga!”
Aku tersentak mendengar seruan yang berasal dari sebelah kanan ku. Aku berdecak. Menolehkan kepalaku kearahnya.

“Apa?” Dengan malas aku menjawab.

“Udah dong, kamu bakalan cape nanggepin komentar netijen yang gak bertanggung jawab gitu! Kamu juga sih, ngeyel banget, aku sih males kalau kaya gitu.”

Aku menghela nafas, menunggingkan kedua sudut bibirku.

“Ini aku, bukan kamu. Kita sama-sama punya ego. Tapi jalan pikir kita beda.”