Egoisme di Sekitar Kita : Siapa Yang Egois?

Desis suara seseorang yang menyindirku terdengar jelas. Ia adalah ketua RT yang setiap hari selalu memperingatkan kami untuk tak berkegiatan di luar rumah. Tubuhnya yang kekar dan berstatus “mantan preman” cukup menjadi modal untuk membuat kami takut. Aku pun langsung masuk ke rumah tanpa menunggu dia menghampiriku dan melayangkan tangannya ke wajahku.

Dengan memegang sebalok kayu jati, ia berpatroli seorang diri. Langkahnya mantap menyusuri setiap sudut gang pemukiman kumuh khas orang pinggiran ibu kota. Hidungnya yang mancung mengendus setiap bebauan orang-orang bandel yang tak patuh dengan perintahnya.

Di ujung gang Seruni, ia mendapati empat pemuda yang tengah asyik bermain remi. Tanpa bertanya terlebih dahulu –sepengelihatanku sih begitu– kayu jati pun mendarat di bahu para pemuda itu. Sedetik kemudian saat mendapati bahwa orang yang memukulinya adalah Pak RT, mereka lari tunggang langgang ke rumahnya masing-masing.

“Sedang ngeliatin apa kamu, Nduk?” sapa Ibu yang yang masih mengintai Pak RT dari loteng.

“Itu lho, Bu. Pak RT tadi mukulin abang-abang yang lagi maen remi di gang.”

“Ya bagus, tho ? Pak RT memang harus tegas buat memutus mata rantai penyebaran virus korona,” jawab Ibu membela Pak RT.

“Dengan cara seperti itu, Bu? Apa bisa?”

“Maksud kamu apa, Nduk?”

“Maksud aku, apa bisa Pak RT memutus mata rantai penyebaran virus korona hanya dengan seorang diri? Dengan mengusir warga seenaknya pake kekerasan?”

Ibu terdiam lama. Lantas memilih pergi sambil membawa jemurannya yang sudah kering, dan sama sekali tidak menjawab pertanyaanku. Setiap aku mendebatnya, Ibu memang lebih banyak diam dan membenarkan apa yang aku katakan.

Aku heran dengan orang-orang seperti Pak RT. Dia membatasi gerak-gerik warganya tanpa kecuali. Mending kalau semua warga memiliki tabungan untuk bertahan hidup dalam ketidaktentuan ini, kalau tidak? Keluargaku saja sekarang sudah membiasakan hidup hemat dengan memakan sayur-sayuran yang kami tanam sendiri. Akan tetapi, kalau nanti habis dan kami masih dilarang keluar rumah, bagaimana?

Demi membayar rasa penasaran, aku turun dari loteng. Sandal jepit usang yang selama ini melindungi kakiku kugunakan dengan terburu-buru. Ibu tahu ketika aku meninggalkan rumah. Namun, sedikit pun ia tak mencoba menghalangi langkahku.

Kututup pintu rapat-rapat. Dengan langkah mantap, aku menyusuri gang untuk mencari Pak RT. Ada sesuatu yang mengganjal dalam hati ini yang mesti dibayar tuntas olehnya. Jangan sampai aku mati penasaran –atau kelaparan, atau juga gila– gara-gara kebijakannya yang mengharuskan kami tinggal di dalam rumah hingga waktu yang tak tentu.

Tak berselang lama, ia datang menghampiriku. “Kamu! Bukannya diam di rumah malah keluyuran!”

Tatapanku yang berapi-api menahan gerak tangannya yang baru saja dengan ringannya memukul orang-orang.

“Masuk, Aldi!” bentak Pak RT. Sama sekali tak membuatku gentar.

“Sebelumnya, saya punya pertanyaan buat Pak RT.”

“Cepat, katakan!”

“Apa Bapak benar-benar yakin dapat memutus tali penyebaran virus ini seorang diri dengan mengurung warga di rumahnya masing-masing?” tanyaku dingin.

Suasana di antara kami lengang beberapa detik. Ia menurunkan kayu yang digenggamnya.

“Kau pasti menganggapku orang yang egois, bukan?”

Aku melongo mendengar ucapannya, itu bukan jawaban.

“Apa karena aku seorang mantan preman, kau berpikir demikian?”

Aku masih terdiam.

“Jika iya. Sebenarnya, di sini yang egois adalah kamu, Aldi. Seseorang harus berani berkorban demi kemaslahatan orang banyak. Aku tidak peduli jika orang-orang membenciku dengan sikap keras ini.”

“Ta-tapi …”

“Kau tahu sendiri, bukan? Daerah kita ini daerah sibuk dengan penduduk yang datang dari berbagai daerah. Kita tidak tahu siapa yang sehat dan siapa yang terjangkit. Aku hanya ingin melindungi wargaku dengan cara yang kubisa.”

“Tapi kami semua perlu makan dan peker-“

“AKU TAHU!!! Semua orang perlu bahan makanan dan sumber pendapatan. Aku tahu semua masalah itu!! Kau pikir, aku makan enak di rumah!? Aku bahkan terlalu sering menahan lapar dibanding kalian!!”

Aku benar-benar terdiam. Jawaban-jawaban Pak RT sepertinya telah mengubah cara berpikirku.

“Kau mesti belajar memandang segala masalah dari banyak sisi. Aku tahu, anak seumuranmu memang masih diselimuti idealisme yang tinggi. Aku hargai itu. Kalau kau orang dewasa, mungkin kayu ini sudah menghabisimu sejak tadi.”

Jadi, selama ini akulah yang egois?