Egoisme di Sekitar Kita: Minefield

Untitled1h
Sumber: galeri foto pribadi

Tidak ada yang ingin menjadi orang yang disalahkan. Karena itulah ia menutupinya rapat-rapat. Ia bersembunyi dalam figur ideal yang ia bangun ketika bersenda gurau bersama keluarga, ketika bergosip di kantin kantor bersama rekan kerja, dan ketika tertawa di pojok kafe bersama sahabat. Sampai akhirnya Tuhan memutuskan untuk menyingkap tabir. Siang hari di awal bulan Syawal ia tersungkur jatuh di tengah keramaian mal.

Itulah kasus pertama babak permulaan wabah virus asing. Dan— Wow !—hingga sekarang dominonya terus berjatuhan.

Supermarket diserbu sebelum karantina digalakkan. Riuh. Ricuh. Karena ingin dinomorsatukan, pelanggan saling sikut demi mendapat kebutuhan pokok, produk pembersih, dan antrian.

“Kasir! Tolong-”

“Aku dulu, sialan!”

Ladies first, please !”

“Lansia diutamakan!”

“Kalian tidak ada yang lihat saya bawa bayi? Saya duluan!”

Di kota kecil ini, persediaan pasar cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakat tapi tidak cukup untuk memuaskan kerakusan. Maka agar tetap bertahan hidup, segala cara dilakukan demi kepentingan diri sendiri. Panic buying menyebabkan barang menjadi langka. Kelangkaan menyebabkan harga melonjak. Tingginya pengeluaran menyebabkan beberapa orang beralih profesi menjadi penimbun yang lebih menguntungkan. Chaos .

Pemerintah mencoba memberi bantuan sembako gratis untuk masyarakat kurang beruntung. Hasilnya, titik kerumunan berpindah ke kantor lurah. Warga ramai protes karena tidak dapat bantuan (“Dimana letak keadilannya?!”) dan protes karena dapat bantuan (“Bukannya nggak bersyukur. Cuma, ya, kalau bisa kasih duit juga. Listrik, paket internet, dan cicilan nggak bisa barter pakai garam.”).

Sementara itu, anak perantauan mah apa daya. Namanya tidak ada di pencatatan ketua RT.

“Duh, Gusti…,” rintihnya parau. “Kurang apa ibadahku hingga Kau turunkan cobaan seberat ini? Kalau mudik, membahayakan kesehatan masyarakat karena jalan pulang melewati zona merah. Tapi kalau tidak mudik, aku makan apa?”

Hidup terasa begitu pahit di bawah atap kontrakan, sendirian, berhari-hari tanpa makan. Makin pahit ketika menyaksikan anak lain seusianya memperlihatkan kepahitan yang berbeda karena harus mengisolasi diri dalam rumah yang aman bersama keluarga di media sosial.

“Ah, persetan! Daripada aku mati kelaparan. Bila opsi manapun berakhir tragis, lantas mengapa pula harus memilih? ”

Maka dengan kaki gemetar, si anak rantauan berjalan keluar. Angan-angan melayang memikirkan jalan panjang menuju rumah. Sebelum akhirnya ia jatuh. Tak bangkit lagi.

Orang-orang datang mengerubungi tapi tak ada yang membantu. Jangankan melakukan resusitasi jatung-paru, memastikan masih bernapas saja tidak berani. Karena tiap-tiap orang ingin menyelematkan diri. Lagipula, kepercayaan masyarakat sudah rusak karena penyaruan kasus pertama. Sembari menunggu tim medis datang, beberapa di antaranya berdiri dengan ponsel pintar tegak di tangan.

“Kamu merekamnya?”

“Iya.”

“Minta, ya. Mau di- upload ke grup chat keluarga supaya mereka lebih waspada karena virusnya sudah masuk kota kita.”

Karena tiap-tiap orang ingin yang mereka cintai selamat.

Si rantauan—yang kemudian diketahui bernama Tukak—akhirnya benar-benar pulang . Ia tak bisa diselamatkan. Kata dokter, Tukak menderita anemia, hipoglikemia, dan lambung berlubang. Namun berita bahwa ia meninggal karena virus sudah tersebar hingga kampung asalnya, ribuan kilometer dari tempat kejadian perkara. Naas, hasil laboratorium belum keluar sehingga statusnya sebagai pasien negatif juga ditangguhkan.

Saat ambulans tiba, warga sekampung telah berkumpul di pintu gerbang, mengepalkan tangan dan melayangkan umpatan. “Kami tidak terima jenazahnya dimakamkan di desa kami! Kalau kami tertular, siapa yang mau tanggungjawab?!”

Mereka melempari batu. Petugas berhazmat terbirit-birit bersembunyi. Di satu sisi merasa sedih. Di sisi lain juga mengerti bahwa ini adalah mekanisme bertahan hidup. Tidak ada pilihan lain.

Karena tiap-tiap orang tidak ingin menjadi orang yang disalahkan.

Karena tiap-tiap orang ingin dinomorsatukan.

Karena tiap-tiap orang melakukan segala cara demi kepentingan diri sendiri.

Karena tiap-tiap orang ingin menyelematkan diri.

Karena tiap-tiap orang ingin yang mereka cintai selamat.

Karena tiap-tiap di antara kita adalah egois.

Tapi…

“Berhenti!” seseorang berteriak dari belakang kerumunan. Ia hanya manusia, salah satu di antara kita tapi belum tentu ada hubungan darah dengan jenazah.

“Mengapa kalian begitu sampai hati? Bukalah mata kalian, hingga kalian bisa membaca informasi bahwa dengan menjalani semua prosedur pemakaman jenazah sesuai standar, maka tidak ada potensi penularan. Sebelum bertindak, coba bayangkan dirimu berada di posisi orang lain. Keluarganya sedang berduka. Janganlah menambah beban duka keluarga yang ditinggal dengan menolak pemakaman.”

Tiap-tiap di antara kita juga ada yang tidak egois. Kita bisa menyelamatkan diri tanpa melukai orang lain. Tidak ada pilihan adalah omong kosong. Hidup adalah ladang ranjau. Tapi dalam tiap langkah selalu ada pilihan. Pilihlah dengan bijak.