Dua Rekor Paradoks Perbankan Nasional

KOMPAS.com - Pada akhir 2016, posisi atau outstanding kredit perbankan nasional sebesar Rp 4.377 triliun, tumbuh hanya 7,9 persen dibandingkan akhir tahun 2015 yang senilai Rp 4.058 triliun.

Perbankan pun mencatat rekor buruk baru. Sebab, pertumbuhan sebesar 7,9 persen merupakan laju tahunan kredit terendah sejak era reformasi.

Bahkan, masih lebih buruk dibandingkan pertumbuhan kredit tahun 2009, tatkala perekonomian global dan domestik dilanda krisis finansial terparah setelah krisis 1997.

Lesunya penyaluran kredit pada 2016 terjadi karena persoalan supply dan demand sekaligus. Sudah permintaan kredit dari dunia usaha relatif rendah, perbankannya pun cenderung mengerem kredit.

Rendahnya permintaan kredit tentu tak terlepas dari lemahnya perekonomian domestik dan global. Pada tahun 2016, pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya sekitar 5 persen.

Meskipun sudah lebih baik dibandingkan tahun 2015 yang hanya 4,79 persen, namun angka 5 persen masih di bawah rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam 7 tahun terakhir yang sebesar 5,69 persen.

Jatuhnya harga-harga komoditas pada tahun 2016 membuat banyak eksportir dan perusahaan yang terkait komoditas mengerem ekspansinya, bahkan tak sedikit yang gulung tikar. Dampaknya, permintaan kredit modal kerja melambat.

Daya beli masyarakat yang masih lemah membuat permintaan barang tak bisa naik signifikan. Akibatnya, banyak perusahaan mengurungkan niatnya mengajukan kredit ke bank untuk meningkatkan investasinya. Buktinya, total kredit yang belum ditarik nasabah (undisbursed loan) mencapai Rp 1.323 triliun.

Beruntung, pemerintahan Presiden Jokowi gencar membangun infrastruktur, dengan anggaran mencapai Rp 313 triliun selama 2016.

Pembangunan infrastruktur tersebut relatif bisa mendorong perputaran kredit, terutama pada bank-bank BUMN. Bisa dibilang, proyek-proyek infrastruktur menjadi andalan perbankan dalam menyalurkan kredit sepanjang 2016.

Kendati demikian, kredit infrastruktur tentu saja belum cukup untuk mengkompensasi perlambatan laju kredit yang hampir terjadi di semua sektor. Secara umum, penyaluran kredit tetap lemah dan tidak secepat tahun-tahun sebelumnya.

###NPL naik
Kinerja intermediasi perbankan menjadi lebih parah karena di saat yang sama, bank juga meningkatkan kehati-hatiannya dalam memberikan kredit ke sektor riil.

Jadi, meskipun di satu sisi amat mengharapkan adanya permintaan kredit, namun di sisi lain, ketika permintaan kredit datang, bank justru kerap menolak permintaan tersebut.

Mengapa paradoks tersebut bisa terjadi? Itu karena kredit bermasalah (non-performing loan/NPL) perbankan untuk pertama kalinya menembus angka psikologis 3 persen dalam dekade terakhir.

Sejak 2013, NPL perbankan sebenarnya mulai masuk dalam tren meningkat. Namun, sampai April 2016, angkanya masih di bawah 3 persen.

Barulah pada Mei 2016, rasio NPL melewati angka 3 persen, tepatnya 3,11 persen. Angka tersebut terus meningkat dan mencapai puncaknya pada Agustus 2016 di level 3,22 persen.

Rasio NPL pada 2016 cukup tinggi karena banyak debitor yang akhirnya bangkrut dan tak mampu lagi membayar pinjaman ke bank.

Penurunan kinerja yang awalnya hanya terjadi pada korporasi besar juga mulai merembet pada perusahaan skala menengah dan bahkan usaha mikro dan kecil.

NPL merupakan salah satu persoalan yang paling ditakuti perbankan. Sebab, NPL berpotensi menyebabkan kerugian bagi bank.

Suatu waktu, NPL memang bisa dipulihkan melalui restrukturisasi kredit atau eksekusi jaminan. Namun, selama proses pemulihan tersebut, bank harus menyisihkan cadangan kerugian untuk menghapus NPL-NPL tersebut dari buku bank. Semakin banyak NPL, semakin tinggi pula pencadangan yang harus disisihkan.

Penyisihan cadangan kerugian tersebut bisa dipastikan akan menggerus laba bank pada tahun berjalan. Nah, inilah yang ditakutkan manajemen bank.

Penurunan laba yang signifikan tidak hanya akan membuat harga saham bank tersebut jatuh, tetapi kerap pula berujung pada pemecatan direksi bank bersangkutan.

Persoalan NPL yang dinilai sudah membahayakan inilah yang akhirnya membuat manajemen bank-bank meningkatkan kehati-hatian dalam menyalurkan kredit.

Permintaan kredit yang masuk benar-benar dianalisis agar tidak bermasalah di kemudian hari. Pendek kata, perbankan hanya mau menyalurkan kredit yang risikonya benar-benar rendah, kalau bisa nol persen.

Inilah yang akhirnya membuat laju penyaluran kredit begitu rendah pada 2016. Jika mengacu pada pertumbuhan ekonomi, seharusnya laju kredit pada 2016 lebih tinggi dibandingkan 2015. Sebab, pertumbuhan ekonomi 2016 lebih tinggi dibandingkan 2015, yakni 5 persen berbanding 4,79 persen.

Namun faktanya, laju penyaluran kredit pada 2016 lebih rendah dibandingkan 2015, yakni 7,9 persen berbanding 10,12 persen. Sekali lagi, ini terjadi karena pada 2016, persoalan kredit terjadi pada sisi demand dan supply sekaligus, sementara pada 2015, hanya pada sisi demand.

###Laba tumbuh

Secara hitung-hitungan, rendahnya penyaluran kredit dan peningkatan NPL akan menurunkan laba bank pada 2016. Sebab, penyaluran kredit merupakan sumber utama pendapatan perbankan.

Kredit dalam industri perbankan sama halnya dengan penjualan produk pada industri lain. Jadi, kalau penjualan sedikit, otomatis pendapatan dan laba juga akan minim.

Namun, apa yang terjadi? Ternyata, laba bank pada 2016 tetap tumbuh signifikan. Laba bersih industri perbankan pada 2016 mencapai sekitar Rp 113 triliun, tumbuh 8,43 persen dibandingkan tahun 2015 yang senilai Rp 104,63 triliun.

Inilah rekor baru perolehan laba bank. Tidak pernah pada tahun-tahun sebelumnya, perbankan meraih laba setinggi ini.

Jadi, pada 2016, perbankan mencatat dua rekor yang paradoks yakni penyaluran kredit terendah dan laba tertinggi.

Pertanyaannya, mengapa bank tetap bisa meraih laba signifikan di tengah buruknya penyaluran kredit?

Ternyata bank memperbesar margin keuntungannya melalui strategi suku bunga. Caranya, di tengah penurunan tren suku bunga pada 2016, perbankan menurunkan bunga simpanan secepat mungkin dan menurunkan bunga kredit selambat mungkin.

Sepanjang 2016, rata-rata suku bunga simpanan turun 124 basis poin (bp) dari 7,6 persen pada akhir 2015 menjadi 6,36 persen pada akhir 2016.

Namun, selama periode yang sama, rata-rata suku bunga kredit hanya turun 94 bp dari 12,46 persen menjadi 11,52 persen.

Artinya spread suku bunga simpanan dan suku bunga kredit makin melebar. Dengan strategi ini, bank tidak hanya bisa mempertahankan margin bunga bersih (net interest margin/NIM), tetapi bahkan meningkatkannya.

Pada akhir 2016, NIM perbankan nasional mencapai 5,82 persen, meningkat dibandingkan akhir tahun 2015 yang sebesar 5,39 persen.

Praktik yang dilakukan perbankan tersebut sebenarnya merugikan masyarakat dan dunia usaha. Jika strategi ini terus dilakukan perbankan, maka masyarakat dan sektor riil tidak akan pernah menikmati suku bunga kredit yang rendah.

Akibatnya, gairah pelaku usaha meminjam modal untuk mengembangkan usahanya akan tertahan. Ujungnya, akan merugikan perekonomian nasional secara keseluruhan.

Bagaimana menurut anda ?