DIFFERENT BUT SAME

“Ngapain sih belajar bahasa asing?”

“Eh, Handini? Itu buku apa? The Art of Comunnication? Ih, sok pinter!”

“Jangan pernah ngedahuluin dong! Yang lain belum, masa lo udah?!”

“Gak asik banget, keluar kek lo. Jangan kayak anak mamah,”

“Peringkat kelas lu biasa aja, tapi kok lo lebih tinggi IQ-nya daripada gue?”

“Dikasih makan apa sih lu sampe kayak gini?”

“Lu mau keluar negeri? Ngapain?!”

“Sombong banget, gak nyapa senior. Handini kamu tuh anak magang ya, nurut sama saya.”

“Gausah ambis-ambis amat apa! Ngapain coba udah cari-cari universitas padahal masih kelas sebelas? Emang yakin udah keterima?”

“LU TUH HARUSNYA TURUN JUGA WALAU NGERJAIN SENDIRIAN! GUE NYURUH LO NGERJAIN TUGAS KELOMPOK SENDIRI KARENA PINTER DAN UDAH HARUSNYA BANTUIN KITA TAPI BUKAN BERARTI LU GAK IKUT DIHUKUM YA WAKTU KITA KETAHUAN NYURUH ELU!”

Aku menutup telingaku, memejamkan mata erat dan menggeleng. Nafasku tak beraturan dan aku terdiam di sudut kamar dengan keringat bercucuran. Makin menyudutkan diri dengan ribuan ucapan mohon ampunan yang selalu terlontar dari kedua belah bibir ku.

Aku menangis terisak, bahuku bergetar dan bibirku masih terus bergumam mohon ampun, rambut panjang sebahuku sudah kusut karena kujambaki sedari tadi dan suara-suara menghakimi masih terus menghantui indra pendengaranku.

“Ih, sotoy kamu ya. Ngerjain tanpa tanya saya, kamu tahu emang obat ini khasiatnya apa?!”

“Eh, kamu tuh udah dibilangin jangan sotoy. Lihat, kamu salah baca kan? Harusnya apa diambil apa,”

“Kamu berkaca, secantik dan secerdas apa kamu sampai menjadi sok?”

“Ih, gue gak bakal mau punya temen kayak dia, jelek sama sotoy. Cuma gue masih perlu dia sih buat ngerjain makalah dan jurnal kelompok,”

Aku mengigit bibir bawahku hingga menimbulkan rasa asin berkarat khas besi, aku mengabaikan dan makin menyudutkan diri, kali ini aku memasukkan salah satu jariku ke dalam telinga, mendalamkannya hingga aliran berbau amis keluar dari sana. Harapku, semoga saja semua bisikan itu berhenti. Namun itu makin menjadi hingga menyebabkan dadaku menyesak dan air mataku makin menderas.

Kumohon, maafkan aku.

Aku tidak bermaksud menjadi berbeda, aku hanya ingin menjadi unggul agar bisa membahagiakan semua orang sekitar.

Aku memang tidak cantik tapi aku setidaknya masih lah wanita berperasaan, jangan hakimi aku dengan tatapan itu, tatapan seolah kalian jijik melihatku. Kalau aku boleh bicara, kalian sejujurnya lebih menjijikan daripada aku.

Aku memang ambisius, itu semua karena aku tak ingin kalah. Kalian semua hebat dan aku mencoba mengalahkan kalian.

Tolong jangan hakimi aku, aku memang tidak pandai di akademis matematika karena aku hanya ingin tahu soal dunia perfilman. Itu mimpiku, mempelajari matematika bukanlah keinginanku. Jangan paksa aku.

Aku memang terlihat sok tahu, tapi sejujurnya aku tak ingin mengulur waktu untuk hal yang sudah ku tahu.

Jangan hakimi aku. Aku masih manusia.

Tolong, hentikan.

Kenapa kalian menghakimiku dan aku tidak boleh menghakimi kalian?

Kenapa?

Apakah semenjijikan itukah aku?

TOK! TOK! TOK!

“Handini, keluar! Ayah harus bicara nak!”

“Handini! It’s me, tolong keluar. Lo janji bakal ngabain semua setan, kita bakal kuliah bareng di belanda kan? Gue bantu buat improve english lo. Ayo keluar!”

“Han, lu hebat kok! Lu gak aneh, lu bisa hakimi kita juga, jangan nyakitin diri sendiri!”

Terlambat.

Aku sudah mau mati karena tidak mampu lagi.

Maafkan aku.

Maafkan aku karena telah lahir dan mengotori bumi ini dengan kelahiranku.

Maafkan aku yang selalu buruk ini, aku yang sok tahu, aku yang katanya selalu menghakimi.

Semuanya maafkan aku.

Aku ingin beristirahat, aku lelah.

HANDINI ARSYANENDRA

BINTI

ENO ARSYANENDRA

LAHIR: 04-03-2003

WAFAT:07-08-2020

Isak tangis.

Aku mendengar isak tangis.

Ibu, itukah suaramu yang selalu membentakku karena merasa aku adalah anak yang berbeda dari remaja kebanyakan?

Ayah, apakah kau juga ikut menangis? Sosokmu yang selalu menggertakku karena aku lalai sebagai seorang anak?

Tetangga, teman dan semua orang yang menghakimiku, apakah mereka ikut menangis? Atau justru mengadakan pesta karena aku pergi?

“Han, kalo lo mau bales dendam. Gue bersedia buat ngewakilin,”

Wakilkan aku, sahabat.

“Lo denger kan, kita sahabat. Kita bakal pergi ke belanda dan kuliah, buat semua orang menyesal karena

…lo masih hidup.”

Aku hidup, disini.

Di sebuah ruang basement rumah sahabatku, memantau acara pemakaman itu dengan senyum miring seraya meneguk alkohol.

Semuanya tertipu.

Yang mereka kubur bukan aku.

Aku tidak mati.

Mereka menguburkan…orang yang kuubah wajahnya menjadi diriku. Hidup-hidup.

Itu adalah, si penoreh luka paling dalam, sampai jumpa, bajingan egois.

1 Like