Dictio Moviephile Community: Identitas Budaya dalam Film Tenggelamnya Kapal Van der Wijck (2013)

tenggelam

Indonesia merupakan negara yang dengan kompleksitasnya menjadikannya multikultur. Kondisi ini mempengaruhi tema-tema yang dimunculkan dalam film yang merepresentasi dan merekonstruksi kenyataan. “Tenggelamnya Kapal Van der Wijck” merupakan film percintaan yang dibumbui isu-isu multikultur khususnya terkait dengan identitas budaya yang meluas kedalam ranah suku, ras, agama, dan kelas sosial di Indonesia, khususnya Minang.

Film “Tenggelamnya Kapal Van der Wijck” adalah film adaptasi dari novel karya HAMKA dengan judul yang sama. Tema utama film ini adalah percintaan dengan bumbu isu identitas budaya yang juga merupakan isu utama yang sekaligus merupakan penyebab konflik dalam film. Dikisahkan bahwa Zainudin, seorang pemuda dengan kondisi melarat yang lahir dari ibu berdarah Bugis dan bapak berdarah Minang yang pergi ke kampung halaman bapaknya, Padang Panjang. Disana dia bertemu dengan Hayati, seorang gadis Minang dari keluarga terpandang, dan mereka saling jatuh cita. Akan tetapi, masyarakat Minang menganggap Zainudin bukan bagian dari mereka karena ibunya bukan orang Minang.


Zainudin yang terlanjur jatuh cinta pada Hayati akhirnya melamarnya, tapi keluarga Hayati menolaknya. Hayati pun pada akhirnya dijodohkan dengan Aziz yang dianggap lelaki Minang tulen yang kaya raya. Merasa kecewa, Zainudin kemudian merantau bersama Bang Muluk ke Batavia. Disana dia memulai karir sebagai penulis. Singkat cerita, dia menjadi penulis terkenal. Di popularitas dan kemakmurannya, Zainudin bertemu Hayati dan suaminya, Aziz, dalam kondisi perekonomian yang tidak baik. Zainudin yang menganggap mereka sebagai sahabat bersedia untuk membantu meringankan beban perekonomian mereka. Namun kemudian Aziz menceraikan Hayati karena merasa tidak mampu lagi menafkahinya. Hayati sendiri tetap tinggal di rumah Zainudin. Akibat suatu perdebatan, Zainudin memulangkan Hayati ke kampung halaman dengan menyuruhnya menumpang kapal Van der Wick yang karam di tengah perjalanan. Sebelum Hayati meninggal di sebuah Rumah Sakit mereka mengaku jika masih saling mencintai. Akan menarik apabila film ini dilihat dari perpektif multikulturalisme untuk menjelaskan kompleksitas identitas budaya nasional dalam film Tenggelamnya Kapal Van der Wijck dan sejauh mana isu-isu tersebut terkait dengan kehidupan berbangsa di Indonesia.

Menurut kalian apakah film Tenggelamnya Kapal Van der Wijck adalah bentuk refleksi terhadap bagaimana masyarakat Indonesia memandang keragaman budaya yang kita miliki?

4 Likes

Film ini sangat buat aku penasaran juga sih tentang culture di berbagai daerah terutama tentang “pernikahan” dimana terkadang sebagian daerah di Indonesia masih memprioritaskan seseorang yang terlahir dari daerah itu sendiri untuk bisa meminang orang yang mereka cintai :’)

1 Like

dimana adat dan budaya dalam mayarakat di film tersebut masih melekat kuat apalagi dalam pernikahan dilihat dari bibit bobot bebet zainudin yang berbeda dengan hayati, keragaman budaya yang melekat serta segala peraturan tiap adat dapat dipelajari bahwa keberagaman adat adat di Indonesia sangatlah luas.

1 Like

Menurut saya ada beberapa sisi yang bisa dikatakan seperti itu contoh seperti pernikahan. Pernikahan dalam film ini sampai sekarang masih dilakukan oleh sebagian masyarakat Indonesia dimana sebagaian para orang tua lebih suka menikahkan anaknya dengan sesama suku yang dianggap lebih afdol dan srek daripada nikah dengan orang luar yg berbeda suku.

1 Like

Apa yang terjadi pada Zainudin sebagai minoritas dalam masyarakat Minang dan Hayati sebagai perempuan Minang merupakan tertindasnya hak perorangan akibat hak kolektif yang dimiliki oleh kelompok. Menjadi demikian karena meskipun secara latar waktu, tahun
1930-an, Indonesia belum resmi berdaulat, tetapi momen Sumpah Pemuda dua tahun sebelumnya merupakan peristiwa bahwa semua etnis pribumi yang mendiami wilayah yang disepakati sebagai Indonesia adalah satu bangsa.

Film ini menunjukkan betapa tradisi berbalut etnosentrisme dapat melenggangkan penindasan kelompok terhadap anggotanya.

Dalam kasus ini perlu adanya pengkajianterhadap politik multikulturalisme yang menurut Kymlicka berusaha melindungi hak-hak minoritas justru menimbulkan tekanan
pada tingkatan internal kelompok itu sendiri.
Padahal dalam multi-kulturalisme yang
dikemukakan Kymlicka, “hak minoritas tidak memperbolehkan satu kelompok mendominasi
kelompok lainnya; dan tidak dapat membuat
satu kelompok menindas anggotanya sendiri.”
(Kymlicka 2002, 295). Pembatasan internal
terhadap Zainudin dan Hayati yang sebenarnya
tidak ingin mengikuti pola matrilineal dalam
masyarakat Minang seharusnya tidak perlu
terjadi dan bukan merupakan hal yang diinginkan oleh multikulturalisme karena politik ini akan mentoleransi dan selalu dapat dinegosiasikan sehingga tercapai kesetaraan. Dalam konteks Indonesia, multikulturalisme belum terwujud sepenuhnya karena seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, masih hidupnya ikatan primordial yang menumbuhkan etnosentrisme. Selain itu proses negosiasi yang dilakukan cenderung menguntugkan bagi pihak-pihak yang lebih dominan.

Disadur dari:
Thalib AA. 2017. Isu-isu identitas budaya nasional dalam film “Tenggelamnya Kapal Van der Wijk”. SATWIKA: Kajian Ilmu Budaya dan Perubahan Sosial 1(2): 1-7.

1 Like

Film yang sangat menarik untuk ditonton dan diupas, hikmah yang kita dapat melalui film ini banyak sekali dari tokoh utama Zainudin dan Hayati yang sangat tegar menghadapi segala rintangan dalam hubungan mereka, penonton akan ikut sedih dan menangis ketika menonton film ini, menonton 2x rasanya belum cukup

1 Like

Film ini menggambarkan banget pandangan masyarakat Indonesia terhadap keragaman Indonesia sendiri. Terlihat sampai saat ini masih saja ada yang orang tuanya mau anaknya menikah dengan yang satu suku. Seperti teman saya yang berketurunan Tionghoa, orang tuanya bilang lebih baik sama yang berketurunan Tionghoa juga. Saya juga seperti itu, orang tua saya bilang lebih baik sama-sama yang berkebudayaan Batak. Mungkin memang supaya keturunan kebudayaan itu tetap ada, namun kembali lagi bahwa Indonesia ini plural dan kita tidak bisa hidup sendiri, budaya tidak berkembang jika budaya tersebut hidup sendiri.

Film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck
menggambarkan latar adat Minangkabau.Adat-istiadat sangat dijaga dan dijunjung tinggi
dalam kehidupan sehari-hari.Film ini menampilkan representasi seorang wanita minang yang mampu menahan hasrat
cinta, karena dia menghargai adat
istiadat yang ada.Dalam kehidupan sehari-hari tidak bisa kita pungkiri bahwa nilai-nilai budaya memiliki pengaruh langsung pada aspek
kehidupan.Salah satunya adalah pernikahan antara Hayati dengan Zaenudin yang ditentang karena perbedaan suku, dimana Zaenudin sendiri merupakan minoritas.Padahal Indonesia sendiri merupakan negara yang memiliki banyak suku,namun praktek seperti ini masih sering kita jumpai.

1 Like

Menurutku, dalam film ini betapa kultur budaya terutama kultur dalam pernikahan dan bahasanya sangat jelas. Dalam film ini bahasa yang para tokohnya gunakan adalah bahasa daerah. Juga saat pernikahan Hayati dan Aziz yang menggunakan adat setempat mereka. Yang sangat aku suka adalah saat Zainudin bersyair dengan begitu dalam untuk Hayati. Ini salah satu film dengan ending sedih terbagus yg pernah aku nonton

1 Like

Sulit untuk menyatakan bahwa masyarakat kita memandang keragaman seperti yang di gambarkan cerita diatas. Karna, untuk melihat ini perlu menelaah secara detail untuk ini. Tapi menurut saya yang tinggal di daerah yang memiliki keragaman yang tidak hanya dari keragamaan suku ras tapi kami juga memiliki keragamaan agama, sebagai masyarakat yang melihat dan merasakan apa itu keragaman. Menurut saya Indonesia terutama, di era sekarang sudah tidak mmperlakukan seseorang yang minor dengan perlakuan yang berbeda karna semakin tinggi nya pendidikan masyarakat kita dan menurut saya juga tidak sedikit masyarakat kita sudah mengerti dan paham akan yang nama nya toleransi. Jadi, saya rasa untuk di era saat ini dan sekarang masyarakat kita sudah memiliki rasa toleran yang tinggi akan yang namanya perbedaan termasuk keragama kita.

1 Like

Menurut saya flim ini sangat menggambarkan adat budaya Indonesia. Dimana adat dan budaya dalam mayarakat di film tersebut masih melekat kuat apalagi dalam pernikahan dilihat dari bibit bobot bebet zainudin yang berbeda dengan hayati, keragaman budaya yang melekat serta segala peraturan tiap adat dapat dipelajari bahwa keberagaman adat adat di Indonesia sangatlah luas.

1 Like

Matrilineal merupakan salah satu aspek utama dalam mendefinisikan identitas masyarakat Minang . Adat dan budaya mereka menempatkan pihak perempuan bertindak sebagai pewaris harta pusaka dan kekerabatan. Kaum perempuan di Minangkabau memiliki kedudukan yang istimewa sehingga dijuluki dengan Bundo Kanduang,

kalau di lihat dari posisi hayati didalam keluarga ini hayati adalah di gambarkan sebagai salah satu gadis minang yang jelas asal usulnya, mempunyai adat dan suku, tidak dizaman Hayati saja, tetapi sampai sekarang masyarakat minang apabila kalau menikah pasti akan mencari sekampung atau yang sama berasal dari Sumatra barat.

Tidak Sumtera Barat saja ada adat istiadat yang kental di beberapa daerah lain juga ada,
banyak sekali, yang bisa di ambil dari film Ini

-Kesetian Zainudin kepada Hayati, cinta yang tulus yang bertahan sampe akhir hayat hayati.
-Kesabaran Zainudin dalam menyikapi semua masalahnya, dan menjadikannya sebagai langkah awal untuk sukses.
-Saat kamu jatuh, akan ada orang yang berdiri dibelakang kamu untuk menompang kamu yaitu sahabat terbaik kamu,
-Hayati hanya lah perempuan yang penurut, sopan sebagaimana perempuan seharusnya.

  • Hayati lebih memilih menyimpan kesedihan nya dari pada membaginya ke orang lain,
1 Like

izin nambah ya kak , Untuk sebagian di kota besar- besar mungkin tidak perhatikan, tetapi menurut saya hal ini masih terjadi untuk daerah terpencil, masih banyak halangan untuk menikah apabila posisinya seperti zainudin

1 Like

Menurut saya mungkin hanya merefleksi sebagian masyarakat yang masih memandang demikian apalagi bagi masyarakat yang sangat menjunjung tinggi budaya adat nya yang masih kental dan tidak ingin budaya adatnya tercampuri oleh budaya adat daerah lain untuk menjaga keaslian budaya adat mereka, terutama dalam hal “pernikahan” yang masih memandang suatu kelompok masyarakat tertentu. Tetapi dimasa sekarang saya rasa telah banyak masyarakat yang mulai berfikir secara terbuka untuk memandang hal tersebut.

1 Like

Iya. Menurutku film ini sangat menggambarkan pendangan yang ada di masyarakat mengenai suku yang ada di Indonesia. Tentang pernikahan yang berbeda suku. Gak jauh-jauh juga sih, di keluarga ku sendiri pun begitu. Aku keturunan suku Batak, dimana orang tua ku pun lebih memilih anak perempuannya menikah dengan suku Batak. Katanya anak perempuan dianggap “tidak berharga” kalau dia tidak menikah dengan laki-laki yang tidak dari Batak.

1 Like

Bener banget kak, Tidak dipadang saja yang kental, di daerah lain juga pasti ada adat yang kental dan masih terjaga sampai sekarang. adasebagain yang masih bisa di cari jalan tengah nya ada juga yang tidak bisa

1 Like

saya satu sependapat kak, tetapi di padang sendiri nikah sesama suku belum di bolehkan, kalau misalnya boleh, mungkin hanya dibeberapa daerah tertentu saja, karena sesuku merupakan masih saudara, kalau dalam minang kabau

1 Like

Menurutku, dalam film tenggelamnya kapal van der wijck masih sangatlah kental pada budaya nya apa lagi dalam pernikahan, terlihat pada cara pandang masyarakat dan orang tua nya harus mau anaknya menikah dengan yang satu suku. Tetapi untuk zaman yang sekarang sudah tidak bisa diterapkan karena kita sudah paham akan adanya toleransi dan menghargai antar suku.

1 Like

Menurutku iya karena memang yang namanya budaya itu sudah seperti identitas suatu kelompok masyarakat dan di Indonesia ada banyak sekali kebudayaan. Film ini menyorot perihal pernikahan yang masih kental pengaruh kebudayaan dan aturan adatnya, dan memang ada beberapa suku yang memegang teguh kebudayaannya sampai sekarang (walaupun tidak se-ekstrim seperti di film)

1 Like

Budaya dalam film tersebut masih sangat melekat dalam kehidupan masyarakat di Minang oleh karena itu saat hayati ingin menikah dengan zainudin harus dilihat seperti apa bibit, bobot, dan bebet nya. Walaupun zainidin bukan orang Minang asli namun ia bisa menaklukan hati kedua orang tua hayati, tapi karena ada suatu permasalahan yang terjadi dalam hubungan mereka dan tidak dapat di selesaikan maka dengan terpaksa hayati harus di kembalikan kepada orang tuanyam

1 Like