Dian Fossey : Ibu pelindung Gorila

Dianggap sebagai salah satu ahli primata terkemuka di dunia pada masa hidupnya, Fossey, bersama dengan Jane Goodall dan Birutė Galdikas, dijuluki dengan Trimates, tiga ahli primata yang paling berpengaruh dalam primatologi, yang masing-masingnya meneliti tiga spesies primata berbeda (Fossey meneliti gorila; Goodall meneliti simpanse; dan Galdikas meneliti orangutan).[1][2]

Dian Fossey
Meninggal 26 Desember 1985 (umur 53) Volcanoes National Park, Rwanda
Kewarganegaraan Amerika Serikat
Bidang Etologi, primatologi
Institusi Karisoke Research Center, Universitas Cornell
Almamater San Jose State University (B.A., Terapi pekerjaan, 1954) Universitas Cambridge (Ph.D., Zoologi, 1974)
Dikenal karena Penelitian dan pengonservasian gorila gunung

Masa awal

Fossey lahir di San Francisco, Amerika Serikat.[3] Masa kecil Fossey tidak bahagia. Ayahnya, George Fossey, bekerja di perusahaan asuransi. Ayahnya menjadi pemabuk diakibatkan antara lain kegagalannya mencari uang untuk mecukupi kehidupan keluarganya. Karena masalah ini, orang tua Fossey bercerai pada tahun 1938. Ibunya mendapat uang tunjangan untuk membesarkan Fossey dan tak lama kemudian menikah dengan seorang kontraktor. Walaupun Fossey tidak sering bertemu dengan ayah kandungnya, ia sangat memuja ayahnya. Ayah kandungnya bunuh diri saat Fossey berusia 36 tahun.[4]

Ayah tirinya tidak memperlakukan Fossey dengan baik. Ia mengajarkan disiplin keras. Sampai Fossey berusia 10 tahun, ia hanya boleh makan dengan pembantu rumah tangga di dapur. Sejak kecil, Fossey sudah menyukai binatang. Namun ia hanya boleh memelihara ikan emas. Ketika ikan ini mati, ia tidak boleh memelihara binatang peliharaan lagi. Ketika Fossey belajar di perguruan tinggi, ayah tirinya tidak banyak menyumbang pembiayaan sekolahnya.[5]

Karier

Tamat SMA, Fossey belajar dasar kedokteran hewan di Universitas California, menentang keinginan ayah tirinya untuk belajar bisnis. Fossey menghidupi dirinya sendiri dengan melakukan berbagai pekerjaan sambilan. Karena menemui kesulitan dengan ilmu kimia dan ilmu fisika, Fossey mengambil jurusan ergoterapi di Universitas Negeri San Jose. Secara sambilan, Fossey juga berhasil mendapat keahlian menunggang kuda. Tamat kuliah, Fossey bekerja sebagai terapis anak-anak di kota Louisville, Kentucky. Fossey mempunyai keahlian untuk berkomunikasi dengan anak-anak yang cacat, suatu yang jarang ditemui.[6]

Walaupun Fossey mencintai pekerjaannya, ia ingin melihat dunia lain. Fossey menjadi tertarik dengan gorila sehabis membaca buku George Schaller tentang gorila gunung. Pada tahun 1963, Fossey meminjam uang sebanyak US$8000 ke bank untuk pergi ke Afrika mengunjungi gorila. Di Tanzania, Fossey bertemu Dr. Louis Leakey dan istrinya Mary Leakey yang mempelajari evolusi manusia dari fosil-fosil. Kemudian, Fossey pergi ke Zaire dan bertemu gorila gunung. Fossey sangat terpesona dengan pertemuan ini dan kembali ke Amerika Serikat dan melanjutkan pekerjaannya sebagai terapis.

Tiga tahun kemudian Louis Leakey berkunjung ke Louisville dalam suatu tur untuk menerangkan hasil penyelidikannya. Louis bertemu Fossey dan mengajaknya untuk hidup di Afrika untuk mempelajari gorila. Louis membutuhkan pekerja untuk mempelajari gorila. Ia yakin bahwa mempelajari gorila dalam jangka waktu yang panjang akan membantu pemikiran tentang evolusi manusia. Louis percaya bahwa Fossey cocok untuk pekerjaan ini. Sebagai perempuan lajang dan tidak punya training dalam ilmu pengetahuan, Louis berpendapat bahwa Fossey akan mempunyai pandangan netral terhadap gorila, akan lebih diterima di kalangan penduduk lokal di Afrika, dan tidak punya komitment rumah tangga. Louis juga berpendapat bahwa perempuan dalam hal ini lebih teliti dan tangguh daripada laki-laki. Setelah bercakap-cakap dengan Fossey, Louis menawarkan pekerjaan untuk mempelajari gorila kepada Fossey.[6][7]

Walaupun orang tuanya tidak setuju, akhir tahun 1966, Fossey akhirnya pergi ke Kongo untuk mempelajari gorila. Tak lama kemudian, Fossey terpaksa pindah ke Rwanda, karena ada pemberontakan di Kongo. Di Rwanda, Fossey mendirikan pusat penyelidikan Karisoke. Fossey hidup di Rwanda mempelajari gorila selama 18 tahun. Fossey menjadi orang pertama yang mempunyai hubungan suka rela dengan gorila. Fossey berhasil memperoleh kepercayaan keluarga gorila dan sering duduk bermain dengan mereka. Keluarga gorila bahkan membiarkan Fossey bermain dengan bayi gorila.

Sementara itu, pada tahun 1974, Fossey kembali ke Amerika Serikat untuk mengambil gelar doktor. Fossey tidak betah dan ingin cepat kembali ke Afrika. Namun, Fossey bertahan karena gelar ini penting untuk mendapatkan sumbangan untuk penyelidikan gorila. Setelah mendapat gelar, Fossey kembali ke Rwanda lagi.

Fossey mempunyai hubungan yang spesial dengan seekor gorila yang dinamai Digit. Fossey mengenalnya dari kecil dan kesukaan mereka datang dari kedua belah pihak. Suatu ketika pada tahun 1976, Fossey pergi ke dalam hutan untuk mempelajari gorila setelah lama tidak berada di lapangan. Fossey harus melakukan administrasi dan mengawasi murid-muridnya. Juga, kesehatannya menjadi kurang baik. Tak heran kalau Fossey bersemangat untuk kembali studi lapangan lagi. Fossey menemukan gorila berpelukan bersama karena hujan besar. Fossey tak mau terlalu dekat-dekat karena ia tidak ingin gorila menjadi terbiasa dengan manusia. Tiba-tiba Digit datang dan membelai kepala Fossey. Mereka berpelukan bersama untuk melindungi diri dari hujan. Sayangnya, dua tahun kemudian Digit ditemukan dibunuh oleh pemburu.

Fossey menjadi terkenal ketika fotonya bersama gorila muncul di majalah National Geographic pada tahun 1970. Fossey memanfaatkan hal ini untuk mengumpulkan dana untuk menyelamatkan gorila dari kepunahan. Fossey ingin menunjukkan bahwa gorila adalah makhluk yang lemah lembut, lain dari yang dilukiskan di buku-buku atau film sebagai King Kong, binatang yang sadis dan agresif. Fossey juga menentang pertunjukan gorila di kebun binatang. Menurutnya, penangkapan gorila seringkali melibatkan banyak kematian di dalam keluarga gorila. Fossey berpendapat bahwa menunjukkan gorila di kebun binatang adalah tidak etis. Contohnya, penangkapan dua gorila pada tahun 1978 yang ditujukan untuk ekspor ke kebun binatang, mengakibatkan kematian 20 gorila.

Kematian

Fossey ditemukan terbunuh secara sadis di rumahnya pada tanggal 26 Desember 1985. Walaupun salah satu dari muridnya ditangkap sebagai tersangka empat tahun kemudian, kematian Fossey tetap menjadi misteri. Saudara ipar dari bekas presiden Rwanda, Protais Zigiranyirazo, juga disebut-sebut terlibat dalam pembunuhan Fossey. Protais Zigiranyirazo yang menjadi gubernur di provinsi tempat Fossey bekerja, mempunyai kepentingan untuk mengekspoilitasi gorila, yang sangat ditentang Fossey. Protais Zigiranyirazo juga dianggap bertanggung jawab atas kematian 800.000 warga Rwanda (Genosida Rwanda) pada tahun 1994.[8]

Beberapa bulan sebelum kematiannya, Fossey menandatangani perjanjian dengan Warner Bros yang ingin membuat film dari bukunya yang terkenal, Gorillas in the Mist. Perjanjian ini menghasilkan uang satu juta dollar untuk Fossey. Kekhawatiran musuhnya akan pembiayaan aktivitas Fossey untuk melindungi gorila dari uang ini bisa juga menjadi salah satu alasan pembunuhannya. Beberapa organisasi yang dulunya menentang Fossey masih tetap menggunakan nama Dian Fossey untuk tujuan komersial sampai saat ini. Di saat genosida Rwanda pada tahun 1994, taman nasional di mana Fossey bekerja untuk menyelamatkan gorila, dihancurkan.

Fossey dimakamkan disamping gorila kesayangannya, Digit, di Karisoke, Rwanda.[9][10]

Peninggalan

Hasil penyelidikan Dian Fossey telah membuka mata akan hubungan gorila dengan manusia. Manusia jadi lebih tahu cara hidup gorila dan bagaimana mereka berinteraksi satu sama lain. Berkat hasil jerih payah Fossey, manusia jadi lebih tahu bahwa kehidupan gorila sangat terancam dan butuh campur tangan manusia.

Referensi

[1] Robertson, Nan (May 1981). “Three Who Have Chosen a Life in the Wild”. B. The New York Times. p. 4.
[2] Willis, Delta (July 15, 1990). “Some Primates Weren’t Meant To Be Trusted”. The New York Times. Diakses tanggal 2010-07-08.
[3] “Dian Fossey”. Webster.edu. Diakses tanggal 2009-12-14.
[4] “Karisoke Revisited - A Study of Dian Fossey”. innominatesociety.com. Diakses tanggal 2009-12-14.
[5] Mowat, Farley. Woman in the Mists: The Story of Dian Fossey and the Mountain Gorillas of Africa. New York, NY: Warner, 1987. Print.
[6] “Dian Fossey Life”. Gorilla Fund. Diakses tanggal 2009-12-14.
[7] About Dian Fossey - Info about the Life of Dian Fossey - DFGFI
[8] Mowat, Farley. Woman in the Mists: The Story of Dian Fossey and the Mountain Gorillas of Africa. Warner Books, 1987.
[9] Salak, Kira. “PLACES OF DARKNESS: AFRICA’S MOUNTAIN GORILLAS”. National Geographic Adventure.
[10] Salak, Kira. “Photos from “PLACES OF DARKNESS: AFRICA’S MOUNTAIN GORILLAS””. National Geographic Adventure.

Daftar pustaka

Mowat, Farley (1987). Woman in the Mists. New York, NY: Warner Books. p. 380. ISBN 0-446-51360-1.
Montgomery, Sy (1991). Walking with the Great Apes. Boston, MA: Houghton Mifflin Co. p. 280. ISBN 0395515971.

Sumber : Wikipedia


Bagi saya kehidupan Dian Fosey begitu menakjubkan, bagaimana beliau mendedikasikan dirinya untuk makhluk hidu, gorilla, hingga mengorbankan nyawanya sendiri.

Adakah informasi-informasi lainnya terkait dengan Dian Fossey ?

Sudah 32 tahun sejak kematian misterius Dian Fossey, primatolog yang mengubah cara kita melihat gorila. Sebelum penelitian yang dilakukan oleh Fossey , gorila memiliki reputasi mengerikan sebagai primata brutal yang akan membunuh manusia yang dilihatnya. Fossey menghancurkan mitos ini. Tinggal bersama sekelompok gorila gunung di hutan Rwanda, dia menunjukkan bahwa kera besar ini sebenarnya adalah raksasa yang lembut, dengan kepribadian individu dan kehidupan sosial yang kaya. Dalam banyak hal mereka seperti kita.

Tetapi gorila gunung juga mengalami penurunan populasi, habitat mereka digerogoti oleh peternakan dan dikuasai oleh perang dan kerusuhan sipil. Fossey menghabiskan tahun-tahun terakhirnya untuk memerangi pertempuran yang semakin biadab untuk menyelamatkan mereka, sampai akhirnya dia kehilangan nyawanya pada tahun 1985.

Film Gorillas in the Mist (1988) menyajikan versi fiksi cerita Fossey.

Kami telah mencoba untuk menceritakan seperti kejadian yang sebenarnya terjadi dengan berbicara secara mendalam kepada tiga rekan Fossey, salah satunya, Ian Redmond, yang menyediakan hampir semua foto yang ditampilkan.

Pada awalnya, tahun 1963, Dian Fossey tidak berangkat ke Afrika untuk menjadi seorang primatologis. Dia hanya mencintai alam Afrika dan terinspirasi untuk bepergian ke sana.
Selama perjalanan ini, dia bertemu dengan ahli palaeoantropologi terkenal Louis Leakey. Dia fokus mempelajari fosil nenek moyang kita, namun Leakey menyadari bahwa untuk benar-benar memahami bagaimana kita berevolusi, kita juga harus belajar tentang kerabat terdekat kita: kera.

Leakey telah membantu peneliti wanita lain, Jane Goodall, membuat penelitian jangka panjang tentang simpanse. Sekarang dia ingin memulai sesuatu yang serupa dengan gorila.
Pada saat itu sedikit yang diketahui tentang gorila gunung, satu dari dua sub-spesies gorila timur.

Dalam film mereka digambarkan sebagai primata yang suka melakukan kekerasan secara brutal, dan pemburu menyarankan bahwa jika kita terlalu dekat gorila, mereka akan membunuh kita.

Tiga tahun setelah pertemuan mereka, Leakey mempekerjakan Fossey untuk mempelajari gorila gunung di Republik Demokratik Kongo. Tapi konflik di negara memaksa dia untuk pergi.
Pada bulan September 1967, Fossey mendirikan sebuah pos penelitian kecil di negara tetangga Rwanda: Pusat Penelitian Karisoke. Pusat penelitian ini terdiri dari beberapa kabin di pegunungan Virunga vulkanik.

Kawasan itu merupakan rumah bagi kelompok gorila gunung Virunga. Kawasan ini adalah satu dari dua populasi gorilla di dunia, yang satu lagi berada di Uganda.

Ada sekitar 475 Gorila di awal 1960-an, namun jumlah mereka berkurang karena perburuan dan hilangnya habitat. Pada awal 1980-an, populasi Gorilla turun menjadi sekitar 254 individu.

Fossey mulai bekerja untuk memahami dan melindungi beberapa gorila gunung yang tersisa, sebelum mereka menghilang. Pekerjaan awalnya sangat melelahkan. Untuk mendekati gorila, dia mulai meniru perilaku mereka.

Saat dia menjelaskan kepada BBC pada tahun 1984:

“Saya adalah orang yang tertutup dan saya merasa bahwa gorila juga primata yang tertutup, jadi (untuk mendekati mereka), saya meniru perilaku normal mereka. Perilaku normal seperti makan, mengunyah batang seledri atau menggaruk sendiri.” Dia juga akan memukul dadanya dengan tinjunya dan meniru suara mereka.

image
Dian Fossey melakukan habituasi bersama Gorilla Gunung di Rwanda

Kesabaran dan sikap tenang Fossey terbayar lunas. Dia mendapatkan kepercayaan para gorila dan bisa mengamati mereka tanpa gangguan. Dia segera mulai melihat keanggotaan gorila dalam sebuah kelompok, dan mempelajari peran kunci yang dimainkan oleh pria “silverback” yang dominan di setiap keluarga.

Gorila silverback adalah Gorilla pemimpin dalam kelompknya

Metode untuk mendapatkan kepercayaan mereka disebut habituasi. Itu adalah hadiah terbesar dari Fossey untuk dunia, kata ahli konservasi gorila Ian Redmond, yang bekerja sama dengannya selama lebih dari tiga tahun. Habituasi pada akhirnya menggerakkan pada persahabatan manusia dan gorila.

“Saya serius dengan apa yang saya Maksud” kata Redmond. "Gorila sangat mirip dengan kita dan mereka melihat bahwa merekapun seperti kita (manusia), mereka (gorila) juga terpesona dengan kita sama seperti kita (manusia) terpesona oleh mereka, mereka benar-benar memeriksa kita secara fisik, menarik bibir kita ke bawah dan melihat gigi kita. Mereka sangat penasaran dengan hal ini. Hewan seperti gorila yang melakukan hal yang berbeda seperti itu [bagi mereka]. "


Sigourney Weaver yang memerankan Dian Fossey dalam film Gorilla in the Mist

Pada tahun 1970, hanya tiga tahun setelah memulai kerja lapangannya, Fossey hadir di sampul majalah National Geographic. Di sana dia pertama kali menceritakan kepada dunia tentang kehidupan gorila gunung.

“Gorila adalah salah satu binatang yang paling difitnah di dunia,” tulis Fossey. “Setelah lebih dari 2.000 jam pengamatan langsung, saya dapat mencatat kurang dari lima menit tentang apa yang bisa disebut perilaku ‘agresif’.”

Dunia segera memperhatikannya.

Inilah wanita tunggal ini di pusat Afrika yang mempelajari apa yang orang lain anggap sebagai makhluk berbahaya yang menakutkan,” kata Amy Vedder dari Yale School of Forestry & Environmental Studies di New Haven, Connecticut, AS, yang bekerja dengan Fossey dari awal tahun 1978.

Fossey juga menamai gorila yang dia pelajari dan berbagi karakteristik mereka, seperti yang dilakukan Jane Goodall dengan simpanse. “Itu sangat menginspirasi, menciptakan tingkat kepentingan dan kekhawatiran global tentang gorila,” kata Vedder.

Tinggal di daerah terpencil dengan beberapa orang lain di sekitar Fossey. Tapi itu tidak berlaku untuk semua orang yang bekerja di sana. Pada malam hari, hutan berderak dan mengerang, dan tampak seperti tempat yang mengerikan, kata Redmond.

Fossey memberikan sedikit persahabatan atau kenyamanan dengan mereka yang tinggal bersamanya. Dia bukan orang yang mudah untuk hidup dan bekerja bersama orang lain. Fossey seringkali lebih suka sendirian. Dia bisa menjadi sangat menawan dan karismatik satu menit, dan menit berikutnya menjadi bermusuhan. Banyak hari-hari berlalu dimana dia hampir tidak berkomunikasi dengan siapa pun kecuali untuk mengirim catatan tertulis.

Teman dan sesama primatolog Kelly Stewart menghabiskan bertahun-tahun bekerja dengan Fossey, awalnya Stewart berposisi sebagai muridnya.

“Dia adalah orang yang sulit untuk berteman,” kata Stewart. “Dia menuntut kesetiaan sepenuhnya, tapi Anda tidak pernah tahu apakah dia akan mencintai atau membencimu hari itu, dia bisa sangat menawan, sangat menyenangkan, dan sangat mendukung, lalu dia bisa menyerang anda.”


Dian Fossey dengan Mountain Gorillas di Rwanda

Pada saat Stewart tiba di tahun 1973, Fossey tidak menghabiskan banyak waktu dengan para gorila. Dia menderita emfisema, yang membuatnya sangat sesak napas. Meskipun demikian, dia masih memiliki kontrol penuh atas kamp penelitian.

Fossey juga menghabiskan lebih banyak waktu untuk berurusan dengan pemburu liar dan petani, yang ternaknya digerogoti habitat gorila. Tak lama setelah Stewart tiba, Fossey menembak beberapa ternak yang mati.

“Ketika saya pertama kali sampai di sana dia sudah marah,” kata Stewart. “Dia berada dalam mode pejuang dan mode pertempuran. Cintanya pada gorila dan kebenciannya pada pemburu benar-benar mewarnai tingkah lakunya, dan beberapa orang mengira hal itu akhirnya menghalangi pengelolaan pusat penelitian secara rasional.”

Konflik Fossey dengan para pemburu telah mengambil sebagian besar hidupnya, membayangi beberapa upaya lainnya. Ada laporan bahwa dia akan menangkap dan menginterogasi mereka. Dia membeli masker wajah dan pura-pura menggunakan sihir hitam, jadi penduduk setempat mungkin mengira dia penyihir dan takut. Beberapa penduduk setempat menyebutnya sebagai “penyihir Virungas”.

Ada juga anekdot yang dia susun untuk beberapa pemburu untuk disiksa. Fossey kemudian menceritakan salah satu kejadian itu dalam sebuah surat kepada seorang temannya: “Kami telah menelanjanginya dan menyebarkannya dan mencabut keringat biru suci itu darinya dengan tangkai dan daun yang tidak beraturan …”

Fossey sedang bertarung dalam pertempuran yang, sejauh yang bisa dia lihat, dia kalah. Jumlah gorila terus menurun. Lebih buruk lagi, perilakunya yang semakin militan membuatnya mendapatkan banyak musuh.

Di antara gorila yang dia habituasikan, Fossey memiliki satu kesukaan. Namanya Digit, disebut demikian karena jarinya yang bengkok. Dia mengenalnya saat dia tumbuh dewasa dan merasakan ikatan istimewa dengannya. Sama seperti dia, Digit sedikit “outsider” diantara kelompoknya.

image
Gorilla-gorilla yang diperjuangkan oleh Dian Fossey terbunuh akibat pemburu liar

Pada Malam Tahun Baru di tahun 1977, Digit dibunuh oleh pemburu liar saat ia mencoba membela keluarganya. Umurnya baru 12 tahun.

Redmond yang menemukan Digit tak lama setelah Digit terbunuh. Dia telah dipenggal kepalanya dan tangannya dipotong. Mereka dilaporkan dijual sebagai pernak-pernik seharga sekitar $ 20.
Redmond membawa mayatnya yang “hancur” tersebut kembali ke perkemahan, di mana ia dikuburkan.

Ini adalah pukulan telak bagi wanita dalam misi yang semakin pribadi untuk menghadapi pemburu liar.

“The mutilated body, head and hands hacked off for grisly trophies, lay limp in the brush like a bloody sack… For me, this killing was probably the saddest event in all my years of sharing the daily lives of mountain gorilla,” Fossey wrote in a 1981 article in National Geographic.

“Tubuh yang dimutilasi, kepala dan tangan dipenggal untuk piala yang mengerikan, terbaring lemas di semak-semak seperti sekarung darah … Bagi saya, pembunuhan ini mungkin adalah peristiwa paling menyedihkan sepanjang tahun saya berbagi kehidupan gorila gunung setiap hari,” tulis Fossey. Dalam artikel tahun 1981 di National Geographic.

Setelah kematian Digit, dia menghabiskan lebih banyak waktu di kabinnya sendiri, dan jarang berkomunikasi dengan rekan kerja dan teman. Ia menjadi peminum dan merokok - yang sebelumnya sudah menjadi perokok berat - menjadi perokok yang lebih berat lagi. Dia mengalami depresi yang mengerikan.

Enam bulan kemudian terjadi serangan lain yang lebih terorganisir terhadap keluarga Digit. Dua gorila lainnya tewas dan satu bayi gorila, Kweli, terluka dan kemudian meninggal karena luka-lukanya. Salah satu dari mereka yang terbunuh adalah Paman Bert, kelompok dominan silverback. Keluarga Gorilla sangat bergantung pada pemimpin mereka, jadi kematiannya menghancurkan keluarga Digit.

"Kweli died from bullet-wound complications combined, I think, with acute depression. He was buried between his mother and father, who lay next to Digit. All three adults, in effect, had died so that he might live," Fossey wrote.

“Kweli meninggal karena komplikasi luka yang diakibatkan oleh peluru, saya pikir, dengan depresi akut, Dia dikubur di antara ibu dan ayahnya, yang berada di sebelah Digit. Ketiga gorila dewasa tersebut, pada dasarnya, telah meninggal sehingga dia bisa hidup,” tulis Fossey.

Dia menyalahkan pembunuhan ini kepada pemerintah daerah. “Dian merasa itu karena pihak berwenang menginginkan sebuah cerita dramatis bagi dunia untuk ditanggapi,” kata Redmond.

Publisitas seputar kematian Digit bahkan mungkin telah mengilhami orang lain untuk mendapatkan uang dengan cepat dari perburuan, Fossey berpikir pada saat itu. Dia juga memiliki kecurigaan bahwa pihak berwenang “telah diinstruksikan untuk membunuh seekor gorila” untuk mendapatkan simpati dan dana dari para konservasionis.

image
Dian Fossey bersama penjaga hutan Rwanda

Kematian Digit memang meningkatkan kesadaran akan nasib gorila dan, yang terpenting, lebih banyak uang. Tapi sebagian besar uang masuk ke bentuk konservasi lainnya, dan bukannya secara langsung menangani perburuan seperti yang diinginkan Fossey.

"Untuk waktu yang lama ada hubungan yang nyata antara Dian dan para konservasionis lainnya karena dia berada di hutan dan tidak ada tanda-tanda adanya perubahan, pemburu liar beroperasi, jerat telah disiapkan, gorila dalam bahaya namun dia melihat Uang dibelanjakan untuk pendidikan dan film, "kata Redmond.

Para konservasionis lainnya memainkan permainan yang panjang. Mereka bertujuan untuk meningkatkan kesadaran gorila dan mendorong pemerintah daerah untuk menjaga habitatnya tetap utuh, daripada menggunakannya untuk memelihara ternak.

Fossey percaya ini adalah pendekatan yang salah. Dia menginginkan tindakan langsung dan melihat pemburu dipenjara. Dia tidak dapat melihat bahwa orang-orang ini, yang merupakan bagian dari masalah, bisa menjadi bagian dari solusi. Dia “mencemooh upaya untuk mengubah pemburu menjadi petani”, kata Redmond.

Permusuhan dan ketidakpercayaannya terhadap orang-orang Rwanda semakin dalam.
Vedder, yang tiba hanya dua bulan setelah Digit terbunuh, mengatakan bahwa Fossey tidak percaya orang Rwanda akan cukup tulus atau cukup pintar untuk membantu. “Dia menutup semuanya sepenuhnya, dia sangat meremehkan mereka,” kata Vedder.

Fossey tampaknya tidak menyadari bahwa, untuk menyelamatkan gorila, dia memerlukan semua bantuan yang bisa dia dapatkan, termasuk dari pihak berwenang yang dia benci. Dia menolak untuk bekerja dengan mereka yang mengusulkan metode konservasi baru, dengan alasan bahwa upaya yang tidak berfokus pada perburuan telah sia-sia. Dia dikenal menyebutnya “konservasi buku komik”.

Oleh karena itu, Fossey menjauhkan dirinyanya dari Proyek Gorilla Mountain, yang dimulai pada tahun 1979 dan melihat beberapa organisasi berkumpul untuk menyelamatkan gorila Rwanda. Kuncinya adalah bekerja dengan penduduk setempat untuk mengubah sikap mereka terhadap gorila.

Pada tanggal 26 Desember 1985, Dian Fossey disiksa sampai mati dengan sebuah golok.
Sampai hari ini, pembunuhannya masih belum terpecahkan. Redmond, yang tiba di kabinnya tak lama setelah kematiannya mengatakan bahwa dia masih bisa melihat noda darah di karpet, mengatakan bahwa penyelidikan tersebut ditangani dengan buruk.

“Tidak ada pendekatan adegan-kejahatan untuk itu,” katanya. “Orang-orang berjejalan, merusak jejak kaki dan bukti.”

Satu hal yang jelas: siapa pun yang membunuh Fossey juga menggeledah kabinnya seolah mencari sesuatu, tapi tidak mengambil barang berharga apapun.
Penjelasan yang jelas adalah bahwa dia dibunuh oleh pemburu yang telah dilawannya selama bertahun-tahun. Tapi mereka yang bekerja di sana menolak ini sebagai sebuah kemungkinan.

Pemburu liar adalah pemburu lokal yang telah hidup seperti ini selama beberapa dekade, menggunakan penghasilannya untuk diberikan kepada keluarga mereka. Mereka tahu bahwa yang mereka lakukan itu ilegal, jadi mereka akan bersembunyi, kata Vedder.

Beberapa orang percaya bahwa yang membunuh Fossey adalah para penyelundup emas.

Pusat Penelitian Karisoke terletak di dekat perbatasan antara Rwanda dengan Republik Demokratik Kongo dan Uganda, dekat dengan daerah-daerah yang telah bertahun-tahun mengalami kerusuhan. Itu menjadikannya jalur ideal untuk penyelundup. Kabarnya, Fossey memiliki bukti ini dan para penyelundup ingin mengambilnya kembali.

Fossey tahu bahwa hidupnya dalam bahaya dan tidur dengan pistol di dekat tempat tidurnya. Banyak yang terkejut dia belum terbunuh lebih awal, kata Stewart.

“Dia benar-benar memiliki musuh, perilakunya bisa sangat ekstrem, dan hal-hal yang kejam terjadi di belahan dunia ini.” Itu adalah akhir yang sesuai untuk sebuah kehidupan yang penuh dengan konfrontasi, kata Stewart.

“Jika Dian telah menulis naskah film tentang hidupnya, begitulah cara dia mengakhirinya. Dibunuh di kabinnya seperti mati seperti pejuangnya … Kupikir dia akan menyetujui akhir cerita itu.”

Berita tentang kematiannya membutuhkan waktu yang lama untuk beredar kembali kepada mereka yang mengenalnya. Dari rekan-rekannya sebelumnya, hanya Vedder yang kebetulan berada di negara ini saat itu. “Saya meletakkan thistle dan seledri (makanan gorila) di kuburannya,” kenangnya.

Sesaat sebelum dia terbunuh, Fossey berkata kepada Stewart bahwa tidak akan ada gorila gunung yang tersisa dalam waktu 15 tahun. Dia salah. Sensus satu tahun setelah kematiannya menunjukkan bahwa jumlah mereka secara perlahan terus meningkat.

Fossey terbunuh sebelum dia tahu bahwa pekerjaannya telah membuka jalan bagi gorila gunung untuk pulih kembali. Penelitiannya meletakkan fondasi untuk sebagian besar dari apa yang dipelajari tentang gorila, yang memungkinkan terciptanya industri konservasi dan ekowisata yang berhasil dan terkelola dengan baik.

Tahun 1990-an kita melihat genosida yang mengerikan di Rwanda, namun selama masa mengerikan tersebut jumlah gorila bertahan relatif stabil.

“Saya pikir itu bagian dari warisan Dian, juga,” kata Stewart. “Saya pikir dia menyimpannya di hutan, jika [pusat penelitian] tidak berada di sana, saya pikir mungkin Proyek Gunung Gorila tidak akan dimulai.”

Bahkan saat ini, gorila gunung diyakini salah satu dari sedikit kera yang jumlahnya tidak menurun. Mereka tetap kritis terancam punah, namun trennya ke atas. Upacara penamaan tahunan pada bulan November 2015 merayakan kelahiran 24 gorila gunung bayi baru.

Pada awal 2016, sebuah sensus baru mengungkapkan bagaimana jumlah mereka berubah sejak survei terakhir dari dua sensus populasi tersebut, pada tahun 2010 dan 2012, yang menempatkan jumlah total gorila sebanyak 880.

Dokter hewan lokal Antoine “Tony” Mudakikwa, dokter hewan Rwanda pertama yang merawat gorila , mengatakan, dia yakin jumlah gorila sudah naik.
Walaupun diperdebatkan, terlepas dari semua kesalahannya, Fossey pantas mendapat banyak pujian atas pemulihan populasi gorila gunung.

Meskipun dia melakukan permusuhan dengan pemerintah daerah, para pemburu dan bahkan teman-temannya, dan keengganannya untuk bekerja dengan para konservasionis lainnya,
tetapi Fosseylah yang pertama kali menempatkan gorila gunung Rwanda dalam peta.

“Jika orang tidak tahu tentang dia dari artikel National Geographic-nya, ketika Digit terbunuh, itu tidak akan membuat percikan seperti itu,” kata Stewart.

image
Makam Dian Fossey, disampingnya adalah makam Digit, Gorilla kesayangannya

Fossey dimakamkan di pegunungan Virunga dimana dia menghabiskan 18 tahun hidupnya. Di sampingnya terbaring “Digit yang dicintai”.