Di Kampung Kopi; Menyeduh Ironi

Kaki gunung menjadi saksi
satu bulan tubuh bermukim di kampung kopi
jauh mata memandang gunung burni telong merayu untuk didaki
sedang nafsi terikat tali dedikasi tri darma perguruan tinggi

Kala mentari bertutur tentang pagi
segelas kopi arabika telah tergenggam tangan
menggaris rasa nikmat di puncak lidah
tampak embun tengah sibuk mendekap mahkota bunga kopi
seraya bercumbu hangat berlampu binar syamsu

Disini,
ladang subur tanaman kopi menuakan buah
adat istiadat masih lekat dan keramat
segelas kopi jadi tradisi jamuan tamu yang khas
halaman-halaman rumah tak jarang jadi ranjang biji kopi dijamah panas

Kau dan aku mengabdi
pada tempat yang hanya berselisi ladang-ladang kopi
jarak melumat cinta sang kekasih dibatas ingin
kehangatan percakapan terdengar jauh terbawa angin
pesan-pesan singkat semakin terbaca miskin kalimat,
rasa manis perhatian seolah telah dicuri dalam adukan segelas kopi

Kabar burung tak lagi berkicau merdu
dari kediamanmu kudengar berita yang sendu
seolah penderitaan bersetubuh tanpa ragu
sang permaisuri hati jadi korban pencoleng keadaan
wajar saja percakapan tengah malam mulai terdengar tak nyaman

Dedikasi selama satu bulan
bermetamorfosis menjadi batas asmara mengenal kesetian
seolah empat semester lalu telah menoreh endapan pahit perpisahan
tak terasa lagi manis sebuah kepercayaan
ironi percintaan kuliah kerja nyata telah terjadi
tragedi perasaan tengah dipertontonkan di depan segelas kopi

Kupikir hanya ranting kopi yang rapuh
kendati jiwaku patah tanpa kau sentuh
bukan hanya kopi yang pahit
tapi penghianatanmu jauh lebih menusuk lahirkan rasa sakit
daun kopi telah gugur
bersama cinta yang tak bernasib mujur
kau nyata merangkak rasa
sedang aku terjebak patah yang tak biasa

Langsa, 19 November 2020