Dampak sosial distancing terhadap kesehatan mental mahasiswa

Kesehatan mental adalah keadaan kesejahteraan dimana setiap individu menyadari potensi mereka sendiri, dapat mengatasi tekanan yang normal dalam kehidupan, dapat berfungsi secara produktif dan bermanfaat, dan mampu memberikan kontribusi untuk komunitas mereka.

Sosial distancing ialah pembatasan sosial yang dilakukan seseorang untuk menjaga jarak dengan yang lain.

“Menjaga jarak atau social distancing menjadi rekomendasi untuk cegah virus corona. Tapi dampaknya bisa memengaruhi kesehatan mental”, kata dr. Tracy Alloway, professor psikologi dari Universitas Of North Florida.

Pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial yang membutuhkan interaksi dengan orang lain. Khusunya bagi orang-orang extrovert misalnya, memiki kebutuhan yang lebih tinggi untuk berinteraksi dengan orang lain.
Namun akibat adanya penerapan social distancing ini, berdampak pada salah satu sektor yaitu di bidang pendidikan. Dengan demikian seluruh kegiatan belajar mengajar akan dilaksanakan di rumah masing-masing atau hanya bertatap muka secara online.

Hal ini dirasakan oleh mahasiswa, banyak mahasiswa yang mengeluh tentang penerapan kuliah online atau daring karena terkendala jaringan, teknologi yang kurang memadai, kuota, hingga sinyal. Dosen pun sering memberikan tugas yang banyak kepada mahasiswa dan memberikan deadline yang sangat singkat, sehingga membuat kebanyakan mahasiswa mengeluh akan hal ini mereka hanya bisa diam di rumah mengerjakan tugas-tugas yang menumpuk yg di berikan oleh para dosen banyak mahasiswa yang tidak tahan akan adanya social distancing ini,

Hal ini berdampak pada kesehatan mental mereka, para peneliti menduga dampak ini bisa dirasakan oleh manusia terutama mahasiswa yang notabene adalah makhluk sosial. Kebiasaan yang biasanya berkumpul, bersosialisai, kini harus dijaga intensitasnya.

Ketika kebutuhan emosional atau mental tidak terpenuhi otomatis kesehatan mentalpun terancam. Akibat aktivitas sosial yang di jaga intensitasnya, hal itu bisa memengaruhi kadar hormone khususnya oksitosin yang berperan untuk mengatuar ikatan sosial. Hormone ini sama halnya dengan ikatan antar ibu dan anak ketika baru dilahirkan, atau bertemu dengan orang yang sudah lama tak jumpa.

Dampak social distancing ini berujung pada perubahan kadar hormone oksitosin, akhirnya bisa berdampak pada kesehatan mental. Seperti merasa kehilangan, kesepian, perubahan nafsu makan dan perubahan mood.
Menurut ahli, meskipun kita hidup dimana semuanya serba mengandalkan teknologi, manusia tetap membutuhkan hubungan dan sentuhan fisik dengan sesamanya. Jadi, mengurangi interaksi sosial bisa menyebabkan kita merasa kesepian.

“Depresi memberitahu kamu bahwa kamu sendirian dan kamu akan selalu sendirian. Depresi meyakinkan kamu bahwa pikiranmu adalah sebuah penjara dan membuatmu percaya bahwa untuk membawa seseorang ke dalam hidupmu berarti kamu harus mengunci mereka bersamamu, jadi sepertinya lebih mudah untuk menyingkirkan semua orang dari hidupmu. Feminisme membuat saya merasa seakan-akan saya adalah bagian dari sesuatu, sebuah bagian kecil dari sesuatu yang besar dan bersejarah. Feminisme memberi saya teman dan musuh dan pengertian lebih baik mengenai tempat saya di dunia ini yang pernah saya mimpikan. Feminism is my self-help.” -Scarlett Curtis

Pencegahan Kesehatan Mental

Beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah gangguan mental, antara lain:

  • Melakukan aktivitas fisik dan tetap aktif secara fisik.
  • Membantu orang lain dengan tulus.
  • Memelihara pikiran yang positif.
  • Memiliki kemampuan untuk mengatasi masalah.
  • Mencari bantuan profesional jika diperlukan.
  • Menjaga hubungan baik dengan orang lain.
  • Menjaga kecukupan tidur dan istirahat.

Lantas bagaimana cara menjalani social distancing agar menjadi lebih positif dan kesehatan mental tetap terjaga?

Psikolog UGM, Diana Setiyawati mengatakan, ada berbagai reaksi yang umum terjadi saat melakukan social distancing dan isolasi diri. Rasa cemas, khawatir, gelisah, dan frustasi kerap muncul ketika dihadapkan pada situasi yang penuh dengan ketidakpastian.

Reaksi lainnya yang sering terjadi yaitu marah, bosan, serta kesepian. Selain itu juga kekhawatiran untuk bisa merawat keluarga baik anak ataupun orang tua dengan baik.

Menurutnya terdapat sejumlah cara yang bisa dilakukan untuk menghindari persoalan kesehatan mental selama social distancing dan isolasi diri di rumah.

Salah satunya dengan tetap terhubung dengan orang lain seperti keluarga, teman, dan saudara melalui sambungan telepon, chat, serta video call maupun media sosial. Dengan selalu terkoneksi dengan orang lain dapat membantu menjaga kondisi mental.

“Cara lain yakni dengan terus mempertahankan pikiran dan harapan positif serta mengkomunikasikan hal yang mengganggu pada orang lain yang bisa dipercaya atau psikolog,” jelasnya.

Social distancing ini bisa dimaknai secara positif sebagai sebuah kesempatan untuk melatih keterampilan yang ingin dikuasai dan mengembangkan hobi. Misalnya mempelajari cara berkebun, membuat kue, desain dan lainnya.

“Manfaatkan waktu untuk beribadah dan berdoa bersama keluarga,” terang dosen sekaligus peneliti Center for Public Mental Health (CPMH) Fakultas Psikologi UGM ini.

Langkah yang tak kalah penting adalah mengedukasi diri sendiri dengan informasi yang jelas. Selain itu juga menghindari paparan informasi dari sumber yang tidak terpercaya.

Sementara bagi yang bekerja dari rumah dapat memulai dengan menyusun rencana aktivitas sesuai dengan capaian kerja.

Diana menyebutkan kegiatan lain yang dapat dijalankan yaitu melakukan aktivitas fisik seperti olahraga ringan yang dapat dilakukan di rumah. Tidak ketinggalan menjaga kesehatan fisik dan kesehatan diri serta lingkungan.

Sementara itu, untuk mengatasi kecemasan, Diana mengatakan langkah awal yang perlu dilakukan adalah mengakui ketidakpastian yang muncul dalam diri. Lalu berusaha melakukan relaksasi dengan mengambil nafas panjang dan keluarkan.

"Tarik nafas dalam sebanyak 6x untuk menenangkan diri"sebutnya.

Langkah lain yang perlu dilakukan adalah lebih mendekatkan diri dengan tuhan. Selain itu juga berbicara dengan ahli.

Beberapa penelitian mengatakan bahwa mahasiswa saat ini rentan sekali mengalami gangguan mental. Berikut ini beberapa jenis gangguan mental yang kerap dirasakan oleh mahasiswa:

  1. Depresi
    Menurut riset American Psychological Association, kasus gangguan mental pada mahasiswa naik hingga 10 persen dalam 10 tahun terakhir. Banyak hal yang membuat mahasiswa terkena depresi, beberapa di antaranya mungkin karena kurangnya manajemen dalam mengatur waktu bermain dan kuliah. Tidak hanya itu, persaingan yang semakin terbuka saat masa kuliah membuat mahasiswa menjadi tidak percaya diri akan kemampuannya dan merasa tidak bisa melakukan apapun dibandingkan teman-temannya. Jika kamu merasa beberapa hal di atas, tidak ada salahnya untuk bercerita pada dosen atau teman terdekat.

  2. Insomnia
    Belajar dan mengerjakan tugas terkadang membuat seorang mahasiswa terjaga hingga larut malam. Kebiasaan ini dapat berdampak buruk bagi kesehatanmu. Insomnia, yang membuat kamu kekurangan waktu istirahat, dikenal memiliki dampak buruk pada fungsi kognitif. Kurang tidur atau istirahat membuat otak kamu terasa lelah sehingga mengakibatkan sulit berkonsentrasi dan berpikir dengan baik. Sebaiknya atur waktu belajar dengan baik agar terhindar dari insomnia.

  3. Rasa Cemas Berlebihan
    Jika kamu merasa cemas sesekali, hal ini masih dalam tahap normal. Namun, jika kamu merasa cemas pada setiap kegiatan yang kamu lakukan, kemungkinan kamu mengalami gangguan mental. Rasa cemas berlebihan atau anxiety disorder dapat mengganggu aktivitas sehari-hari dan membuat kamu tidak dapat menjalani hidup seperti biasa. Gangguan kecemasan nyatanya tidak dapat disepelekan, karena menyebabkan gangguan fisik hingga meningkatkan risiko penyakit jantung. Ada beberapa hal yang kerap menyebabkan mahasiswa mengalami gangguan kecemasan seperti tekanan akademis maupun kehidupan sosial.

  4. Gangguan Makan
    Gangguan makan adalah penyebab gangguan mental yang paling sering terjadi pada mahasiswa. Gangguan ini semakin buruk ketika kamu tidak menyadari kamu menderita gangguan makan. Saat kamu menyadari ada perubahan pada pola makan kamu, seperti makan menjadi lebih banyak atau terlalu sedikit, ini bisa menjadi tanda awal kamu mengalami gangguan makan. Jika kamu merasa mengalami gangguan makan, sebaiknya paksa diri untuk kembali pada pola makan seperti awal. Tidak ada salahnya untuk perbanyak mengonsumsi buah dan sayur. Nutrisi dan gizi yang terpenuhi nyatanya membantu kamu untuk lebih mudah menjalani tugas sebagai mahasiswa.

Daftar Pustaka