COVID-19: Geram Alam dan Egoisme Manusia | #EGOISMEDISEKITARKITA

Apa yang saat ini kita sebut sebagai hidup hari-hari ini tidak lain adalah sebuah pertunjukan egoisme umat manusia terhadap alam tempat tinggalnya. Air conditioner yang menjadi pelarian kita akan pemanasan bumi yang semakin parah, penebangan hutan dengan dalih ekonomi yang sebenarnya hanya membuncitkan perut segelitir konglomerat, hingga plastik yang jelas-jelas mengancam alam justru tetap digunakan dengan kilah demi uang dan kemudahan. Egoisme akut sudah menyerang kita, manusia dan system kehidupannya!

Tahun 2020 menjadi tahun pembelajaran bagi umat manusia. Pandemi virus COVID-19 menyerang dunia. Sistem kesehatan, ekonomi, politik hingga teknologi yang dibangun umat manusia runtuh dalam semalam. Kesusahan terjadi, orang sakit, kematian, pengangguran terjadi. Anjuran pembatasan sosial, gerakan untuk berjaga di rumah saja dari badan kesehatan seakan menyulap tahun ini menjadi periode hiatus umat manusia. Hari-hari ini seolah alam semesta bersabda: “manusia, istirahatlah!” Manusia diajak untuk berhenti, menyepi dan introspeksi, sebenarnya salah apa kita?. “Banyak” sabda alam. Berkaca pada semula, manusia digadang sebagai makhluk sempurna, bahkan dalam banyak kitab suci disabdakan bahwa manusia yang diberikan keutamaan oleh sang Pencipta, diberi amanat besar untuk menjaga alam dan segala isinya. Mungkin pertanggungjawaban amanat inilah yang sedang dituntut oleh semesta. Mari renungkan!

Mesin uap menjadi bunga pembuka abad 18 menjadi gerbang pembukaDARI apa yang dikenal sebagai periode revolusi industri 1.0. Diciptakan untuk dengan asa untuk meningkatkan produktivitas, manusia terus membangun dan mengembangkan industry hingga jaman kini dimana minyak bumi, polusi, pembukaan hutan menjadi aktivitas halal dengan dalih memenuhi kebutuhan. Negeri ini, Indonesia sendiri sebagai sebuah zamrud khatulistiwa yang hijau gilang-gemilang telah rusak menjadi korban pemerkosaan. Tercatat 673 hektar hutan Kalimantan mengalami deforestasi tiap harinya. Hutan yang dikenal sebagai sumber oksigen dunia dengan total luas hutan 40,8 juta hektar, terus-menerus dikeruk manusia, hal ini juga termasuk terncamnya berbagai flora, fauna dan berbagai varasi kekayaan biologis disana. Papua, terus menerus dikeruk isi buminya untuk diambil emas, perak dan tembaganya. Jawa dikepung oleh industry yang terus-menerus menyorongkan lubang limbah dari udara, air hingga tanah ke ibu bumi. Racun dan berbagai zat berbahaya masuk ke sela-sela tanahnya. Plastik yang sehari-hari kita gunakan menjadi peninggalan manusia yang tidak akan hilang bahkan hingga ratusan tahun. Hilang pun bukan hilang, plastic hanya berubah menjadi berukuran mikro dan memasuki tiap unsur bumi hingga berbagai biota. Inilah yang kelakuan umat manusia. Tapi mereka berkata: “ini demi hidup dan eksistensi kita” dengan logis dan sismastis mereka memasukan ideologi ‘perusak alam’ dalam pendidikan dan keseharian seolah hal ini adalah normal. Baiklah tuan, manusia bisa dibodohi namun tidak dengan ibu bumi.

Dalih kebutuhan ini akhirnya menemui kenyataan pahit. Bukan perut lapar sebenarnya yang ekonomi beri makan, bukan orang pinggiran yang kenyataannya industri angkat untuk bermartabat, bukan mencerdaskan namun ‘memproduksi kebutuhan’ sebenarnya tujuan industri pendidikan. Dengan ulahnya, baik yang disadar maupun yang tidak tersadari, manusia bukannya memperbaiki justru merusak, memenuhi nafsu dan bukan sama sekali kebutuhan. Pernakah kita sadari bahwa uap pabrik yang kita buang ke udara meningkatkan resiko tuberculosis yang tercatat menjadi penyakit paling mematikan didunia. Hutan yang dibabat menjadi inisiator lepasnya berbagai inang berbagai penyakit langka, mulai dari ebola hingga virus corona. Pernahkan kita sadari, plastic yang kita gunakan dalam hampir setiap hari dan tiap kesempatan menumpuk tanpa bisa terurai oleh organisme, berkumpul hingga membentuk suatu pulau di tengah Samudra Pasifik, melukai, meracuni bahkan membunuh ribuan biota. Suhu bumi yang terus memanas, kutub yang terancam hilang hingga evolusi berbagai patogen penyakit dan akhirnya menyerang umat manusia dengan ganasnya. COVID-19 inilah salah satunya. Egoisme kita lah yang sebenarnya menyebabkannya.

Kita sebenarnya tahu namun pura-pura tidak tahu, kita melihat namun pura-pura buta. Hidup tanpa perjuangan sama saja bukan hidup kata salah satu pujangga. Suara akan sakitnya bumi serta jiwa manusia harus terus disuarakan. Hari ini alam telah menujukan geramnya. Kita hampa dihadapannya. Mari diam, intropeksi dan beraksi. Sudah terlalu lama kita membuat alam geram. Mari lepaskan egoism kita dengan alam sekitar kita. Mari lepaskan prasangka ‘tuan alam semesta’ yang terus sebagai alasan penghalalan perusakan alam. Kita hanya ‘tuan titipan’ yang sejatinya diamanahi untuk menjaga bukan merampas. Hidup dengan harmonis dengan alam. Maka alampun akan segera membaik. Salam perubahan!