Cinta di Rumah Tangga

6e85b7fa689ddd5a02bc1237409945b6

Cinta di Rumah Tangga

Ryn melirik ke arah sebuah kamar kecil yang dipenuhi dengan berbagai macam boneka dan dominasi dengan warna merah muda. Di sana terdapat malaikat kecil dengan wajah mungil berkulit putih bak porselen. Ia terlelap di atas ranjang kecil, terselimuti oleh kain bulu yang hangat. Ryn menyunggingkan senyumannya, tak sangka ia bisa melahirkan seorang ratu cantik.

Wanita itu beralih menuju sebuah ruang tamu yang mewah, di sana terdapat televisi berukuran 42”. Ia Menjatuhkan tubuhnya di atas sofa, kakinya terangkat, dan ia memeluknya. Kedua matanya tiba-tiba berkaca-kaca, pelupuk matanya basah begitu saja. Tetes demi tetes air mata mulai jatuh di pipi halusnya. Sudah tak terhitung lagi, berapa malam yang terlewati dengan air mata pilu.

Ben menghampirinya, menghampiri sang istri yang dipinangnya lima tahun lalu. Dengan emas kawin mahal, dan seserahan lain yang begitu mewah. Janji suci terucap dengan bibir yang melengkung manis membentuk kurva. Saling menyayangi sampai akhir hayat, begitu kata mereka, lima tahun lalu.
Pria itu memeluknya, memeluk tubuh seorang wanita yang sangat dicintainya. Tangannya yang besar, dipenuhi dengan urat-urat kuat yang menonjol, perlahan mengusap air mata sang istri. Tangannya yang lain, mengelus puncak kepala wanita itu dengan lembut. Namun kelembutan Ben ternyata tak berhasil membuat Ryn luluh. Seakan hatinya masih terlalu beku.

Ben terdiam, ia menyambar tangan wanita itu dan menggenggamnya dengan kuat. Dalam hatinya ia tak ingin kehilangan sosok itu. Ryn masih terisak, namun matanya yang banjir dengan air mata menatap seorang pria tampan berkumis tipis, di hadapannya.
Tangan wanita itu perlahan terangkat, begitu berat, di jari manisnya masih melingkar sebuah cincin putih dengan permata.

Ryn mengelus pipi Ben dengan pelan, kemarin tangannya juga mendarat di pipi itu, namun dengan kasar. Amarah terlalu menguasainya, sehingga kekuatan di tangannya tak dapat terkontrol lagi. Memang wanita bisa lebih kejam saat tersakiti hatinya.

“Kau sudah sangat … sangat jahat padaku, sayang!” ucap Ryn dengan mata yang sudah memerah namun air matanya tak kunjung berhenti.

Ben hanya tertunduk lemah, kepalanya terkulai seperti tak bernyawa. Helaan napas kasar terdengar darinya. Bibirnya tak mampu lagi berucap, seakan kehabisan kata-kata. Dia sudah minta maaf kemarin, bahkan sampai bertekuk lutut menunggu di depan kamar selama 5 jam. Tapi ternyata, istrinya masih belum bisa membuka pintu maaf.

“Kau pikir, pintu maaf pantas untukmu?” Ryn membuka matanya lebar-lebar, kenyataan pahit membuatnya tersadar.

“Maafkan aku,” kata Ben. Dan hanya itu yang bisa keluar dari mulut manisnya, yang gemar mengumbar gombalan manis saat dulu.
Ryn menghapus air mata di pipinya, senyuman sinis terlihat di bibir tipisnya. Dengan kasar ia melepas cincin di jari manisnya, yang sudah meninggalkan bekas lingkaran di sana. Melemparnya ke arah Ben, kemudian bangkit dari kursi untuk masuk ke dalam kamarnya.

Wanita itu membanting tubuhnya di atas ranjang, berbaring dan menutup seluruh tubuhnya dengan selimut tebal. Tangisannya berlanjut di bawah selimut itu, seakan belum cukup puas. Melepas cinta itu memang bukan perkara mudah.

“Tidak … aku tidak bisa!” Ben menghampiri Ryn dan kembali memasangkan cincin itu di jari manis istrinya. Ia bertekuk lutut di samping ranjang, seperti memohon di sana.
Ryn membuka selimutnya, ia terbangun dan duduk di atas ranjang dengan wajah penuh kekecewaan. Ingin rasanya ia menampar lagi pipi pria itu. “Jangan konyol, cinta bukan untukmu saja! jadi jangan bertingkah bodoh. Pilih dia atau aku!” Wanita itu berteriak dengan isak tangis yang membesar.

“Maaf … aku cinta kau … dan dia ….” Ben tertunduk, suaranya mengecil seperti pria pengecut.

“Pergilah, sebelum kubantu kau pergi untuk selamanya!” kata Ryn sambil membaringkan tubuhnya lagi, walau tangisnya kini sudah menghilang.

The End