Cerpen : Tengku Teladan yang Dirindukan

###Tengku Teladan yang Dirindukan
Muhammad Ikhsan Efendi


AYUNAN dua kaki itu sangat bersemangat mendayung sepeda ontel berwarna coklat mengkilap, terik matahari siang membuat pantulan warna coklat itu kian terlihat dari jarak kejauhan. Tanpa perlu memandang pun, semua orang di seantaro desa sudah tahu bahwa itu bukanlah sepeda ontel biasa. Lebih dari semua itu, menandakan betapa bersahaja sipemilik tunggangan tersebut.

Putaran roda jari yang lembut seolah terdengar bak mobil Ferrari sport keluaran Italy. Golok yang biasa disebut parang selalu terikat ketat di belakang tempat duduk penumpang lengkap dengan casingnya. Tanpa terlupakan sesekali menebar senyuman kepada orang yang ia dilewati, edisi khusus untuk orang dewasa, salam merupakan sapaan keakrabannya.

“Tengku, ho neujak nyan? (Tengku mau kemana itu?),” tanya seorang anak yang berada di pertigaan simpang yang mau dilaluinnya.

“Lonjak ek u hai nyak (mau memanjat pohon kelapa nak),” sahutnya sambil terus berlalu.

Memanjat pohon kelapa bukanlah dinas utamanya. Namun, waktu luang yang dimiliki selalu dihabiskan untuk membantu orang di seluruh desa. Semua pekerjaan yang halal menurut syariah, apa pun itu pasti mau dikerjakan. Ia selalu standby jikalau ada pangilan mendadak yang menghampirinya. Jangan terlalu berfikir jauh karna makhluk yang bernama Handphone tidak pernah ia kenal, juga ‘gengsi’ satu-satunya kata yang terhapus di dalam kamus harian.

Lelaki paruh baya itu berbadan tegap, namun pekerjaan super keras yang ia jalani membuat badannya terlihat kurus. Bayangkan saja, pagi-pagi sekali ia sudah harus ke sawah untuk bercocok tanam, sesudahnya ia pergi ke empang untuk mencari ikan. Pulang ketika azan zhuhur berkumandang. Ya, dia merupakan seorang pengusaha swasta dalam bidang pertanian. Belum lagi dinas-dinas sampingan termasuk ‘jak perabe lemoe’ (mengembala sapi_red) yang ia tuntaskan hingga matahari berpamitan.

Jerih payah memeras keringat itu seolah tak seberapa ketika harus berhadapan dengan tujuh orang anak ditambah seorang bidadari di dalam keluarga yang telah ia bangun 26 tahun lamanya. Kesehariannya terlihat sangat-sangat sederhana. Namun, kesyukuran kepada Tuhan membuatnya terlihat sangat menikmati kehidupan ini.

Melihat schedule kegiatannya, membuat kita berasumsi bahwa ia sangat sibuk dengan kegiatan dunia. Tidak! Dia tidak pernah benar-benar sibuk dengan duniawinya, bahkan akhiratnya lebih ia prioritaskan ketimbang dunia. Terdepan dalam urusan agama. Salat lima waktu berjamaah tidak pernah ia tinggalkan, kecuali sakit yang mencegahnya, bilal sebut saja tidak akan iqamah sebelum ia mucul, dan selalu berada di shaf terdepan dalam shalatnya. Benar, ‘dia adalah tengku imum menasah atawa gampong’ (imam mesjid di kampunya_red).

Dia, Tgk. Muslim dengan segala kesederhanaannya, kebaikannya, kesehajaannya dalam memimpin dan membimbing ummah, selalu menjadi tumpuan harapan masyarakat tempat ia menetap, tapi masih saja ada orang-orang/pemuda-pemudi yang tidak senang terhadapnya. Satu ketika di dalam rapat gampông ia dengan tegas berkata, “Nyan aneuk muda, maen volly ngon bola jeut, tapi beuk sagai-sagai neumaen peng. Harem! (bagi kaum muda, main voli dan bola boleh, tapi jangan pernah taruhan dengan unang. Haram!)”

“Menyo hana kadengoe cit, lon tren dari imum gampông nyoe. Kepeu kamoe sembahyang cula caloe lam menasah nyoe awak gata pebuet maksit di lapangan. (kalau tidak di didengarkan, saya akan mengurdurkan diri imam di kampung ini, untuk apa kami salat dan berdoa di mesjid ini, sedangkan kalian bermaksiat di lapangan).”

Kenyataannya, seruan sang iman tidak diindahkan oleh kaum muda. Sore itu, sesudah mengembala sapinya, ia pulang melintasi lapangan tempat para pemuda bermain voli, pandangannya terfokus pada tiang net. Di tali net, terikat uang ribuan yang jumlahnya belasan ribu rupiah. Seketika mukanya merah padam. Ayunan langkahnya semakin kencang hingga berhenti tepat di samping lapangan.

“Entreuk megreb, imum, doa, ngoen samadiah kapedoeng le awak droekeuh. Lon kon le Tgk. imum! (Nanti magrib imam, doa dan samadiah kalian yang pimpin, saya bukan lagi imam).” Setelah mengucapkan kata-kata itu, ia langsung bergegas pulang ke rumah. Tak satu pun pemuda yang ada di TKP yang bersuara. Semua terdiam dengan muka kebingungan. Apa yang telah terjadi merupakan bencana bagi kampungnya. Salah seorang di antara mereka angkat bicara.

“Awakkah wate lon peugah buno hana kadengoe. Bek meu-en peng le, nyoe ka paloe tanyoe mandum. Tgk. Imum ka geutron. (Kalian sih, gak denger apa yang saya katakan tadi, jangan taruhan, kita dalam bahaya, Tgk Iman sudah mengundurkan diri).”

Beberapa orang dari mereka langsung mengambil inisiatif untuk melaporkan kejadian tersebuk kepada kepala desa dan ketua pemuda kampung. Kabar tersebut menyebar cepat melalui ‘ra- dio meingoe’ (dari mulut ke mulut) sampai ke seluruh kampung. Sempat terjadi ketegangan hingga puluhan hari, sampai akhirnya pihak kepala desa beserta perangkatnya mengadakan rapat khusus menyelesaikan masalah ini.

Kepala desa memohon kembali sang tengku untuk menjadi imam. Ia berjanji akan menaati persyaratan yang akan diajukan oleh Tengku Muslim. Awalnya teungku menolak, namun akhirnya beliau mengajukan persyaratan yang wajib dipenuhi masyarakat untuk menjadi tengku imam,

Dia, merupakan pribadi yang santun, menegur tapi tidak menyakiti, menasehati namun tidak menggurui, tegas dalam menolak keburukan, lantang dalam menyeru kebaikan. Sosok seperti ini yang sudah jarang kita temui dalam keseharian kita bermasyarakat, yang banyak kita jumpai malah pemimpin- pemimpin yang hidup penuh kemewahan, mempergunakan jabatan untuk kepentingan pribadi, Na’uzubillah, semoga Allah mengampuni.

Suatu saat ketika awal-awalAbdullah memimpin salat jamaah di menasah, entah karena gugup, Abdullah terlupa membaca doa kedua orang tua pada waktu berdoa. Tgk. Muslim tau saya kecolongan. Sesudah jamaah pulang, ia langsung menghampiri saya seraya menasehati dengan berbisik.

“Aneuk, nyan doa keu ureung syik, bek sagai tuwoe. Adak yang laen meuputa-puta, atra nyan beuk sagai tinggai, Ridha Po na di Ridha ureng syik aneuk meutuah! (Nak, doa kedua orang tua jangan sampai lupa, meskipun yang lain bercampur aduk, namun itu jangan sampai tinggal, RidhaAllah ada di ridha kedua orang tua).”

Dua tahun sudah berlalu, sosok itu telah lebih dulu Allah panggil. Terasa begitu cepat, di saat masyarakat masih sangat membutuhkannya. Kini hanya kerinduan yang tersisa disaat teringat teladan yang ringan tangan, selalu berusaha mencari ilmu walau umur muda telah meninggalkannya.

(The Atjeh Post | Kamis, 12 Juli 2012)