Cerpen : Tapak-tapak Harapan

###Tapak-tapak Harapan
Aftar Ryan


AKU masih tertegun dalam laut lamunan ketika kapal yang kutumpangi perlahan merapat di sebuah dermaga yang asing. Memang, aku belum pernah sekalipun
mengunjungi tempat ini. Bahkan aku tak tahu hendak berjalan ke arah mana saat lambat laun kakiku menapaki satu-satu anak tangga yang mengarah keluar dari kapal.

Aku masih saja mengingatmu dengan jelas, meskipun waktu yang kulalui sejak kepergianmu tidaklah sebentar.Aku juga masih bisa mengingat jelas ketika pada suatu saat kita bertemu untuk kali pertama. Kau begitu canggung. Begitu pemalu. Dan aku, aku mulai merasa senang dengan keberadaanmu sejak saat itu. Aku mulai terbiasa mencari-cari keberadaanmu. Dan yang pal- ing penting, aku juga mulai merasa membutuhkanmu.

“Aku berharap bisa masuk PNS setelah lulus nanti” ujarmu pada suatu siang saat kita sama-sama berteduh di bawah pohon di depan ruang kelas kampus kita. Aku hanya tersenyum sambil mengguratkan batang ranting pada tanah dan membentuk sebuah gambar perahu.

“Mengapa kau menggambar perahu?” tanyamu melirik gambar yang kubuat sambil terkekeh.

“Entahlah, aku ingin berlayar mengarungi samudra” ucapku ringan.

“Suatu saat datanglah ke tempatku dengan menumpang kapal, kau akan merasakan keindahan samudra yang sebenarnya…”

Sejenak pikirku melayang jauh. Kita memang berbeda dalam segala hal. Kau lebih suka menjadi PNS atau dosen setelah kuliahmu selesai. Sedangkan aku terus terobsesi dengan perjalananku menemukan hal-hal baru dipedalaman hutan, gunung dan pantai. Tapi dari perbedaan itu kita bisa saling menghargai dan saling mendukung.

Kaulah yang sering mengingatkanku untuk selalu sarapan pagi sebelum aku hanyut terbuai dengan secangkir kopi kesukaanku, katamu biar aku tidak sakit maag. Dan tentu kau ingat ketika banyak orang yang mulai ramai membicarakan tentang hubungan kita yang mungkin sering terlihat bersama. Tapi sesungguhnya, aku tak tahu persis seperti apa hubungan kita. Kita memang dekat. Tapi kita tak pernah menyatakan bahwa kita adalah sepasang kekasih. Atau kita memang terlalu naif untuk bisa mengakui sebentuk rasa yang mulai tumbuh saat tak sengaja mata kita saling terpaut. Saat ada sesuatu yang hinggap menghiasi setiap sikap dan isyarat. Satu hal memang yang kutahu, kita mempunyai banyak persamaan meskipun kita mempunyai banyak perbedaan.

“Kau tahu…aku suka sekali melihat laki-laki dengan kemeja dan jas, berwibawa dan cakap hehehe” ucapmu saat kita menikmati secangkir kopi di cafe samping kampus. Dan aku
hanya tergelak kecil mendengar apa yang kau ucapkan.

“Gimana kalo kamu sekali-kali berbusana kaya gitu heh? sepertinya keren, hm jangan cuma bisa pake jeans & jaket lusuh kaya gini aja” lanjutmu sambil menujuk onggokan jaket yang kusimpan di sandaran kursi. Dan kopikupun tumpah karena aku tersedak mendengar ucapanmu itu.

“Huh…kau tahu, cewek yang keren buatku itu adalah yangbercelana cargo dan kemeja PDL, bukan yang memakai rok kaya kamu tuh” timpalku sambil membersihkan tumpahan kopi dicelanaku. Terus terang aku memang tak pernah berfikir untuk menyukaimu dan coba menaruh hati padamu.Aku tak pernah menanam isyarat apapun padamu. Sampai disuatu saat aku sadar ketika kau memutuskan untuk pulang ke kotamu saat lulus kuliah. Di dermaga itu. Pertama kalinya aku merasa kehilangan. Dan tatap mataku jauh menerawang setelah pandanganku tak bisa lagi menangkap bayangan kapal yang kau tumpangi perlahan merambat jauh ke tengah samudra.


KAU tahu? aku sempat berusaha melupakanmu. Saat itu, saat aku merasa terpukul atas kepergianmu, lalu kulabuhkan sejengkal harapan yang ada pada perempuan yang kukenal beberapa bulan setelah kepergianmu. Semua begitu cepat. Dan aku coba mengambil keputusan untuk segera menikahinya. Semua memang berjalan sesuai harapan. Nyatanya aku bisa mengubur semua kenangan indah bersamamu. Kucoba mereguk kebahagiaan dengan perempuan yang kunikahi dengan proses pacaran yang tak terlalu lama. Semua mengalir, hingga sesuatu kembali terjadi. Hampir enam bulan semenjak kami menikah, takdir berkata lain. Kembali aku harus merasakan kehilangan. Nyatanya Dia telah lebih dulu memanggil untuk menghadap-Nya.

Dia meninggal saat usia kandungannya menginjak usia empat bulan. Dia mengalami musibah kecelakaan yang merenggut nyawa dan janinnya ketika hendak pergi untuk pemeriksaan rutin kandungannya ke sebuah klinik bersalin. Aku memang tak menyertainya, karena waktu itu aku sedang berada di luar kota untuk suatu pekerjaan.

Setelah itu, semua menjadi suram dan begitu gelap. Aku kembali kehilangan sebuah harapan yang lambat laun kubangun demi sebuah nama kebahagiaan. Semenjak kepergiannya aku lebih banyak menghabiskan hari-hariku di rumah. Di sebuah kamar dengan onggokan buku-buku serta perangkat komputer. Di situlah, di depan komputer itu aku sering termenung dan sekali- kali jariku menari di atas keyboard, mencoba menuliskan rangkaian kalimat yang membentuk alur cerita. Di situ pulalah secara tidak sengaja aku teringat pada sebuah nama yang dulu, kurasa begitu lekat dan akrab. Secara refleks, mengalir, dan tak terduga, akupun menuliskan namamu dalam ribuan kata yang terangkai itu. Sungguh, sebuah nama yang tertulis begitu saja, tepat ketika bayanganmu seperti menjelma dalam alur imajinasi yang tertuang pada paragraf-paragraf keheningan.


AKU mencoba mengingat kembali, seperti dibawa oleh mesin waktu. Menjelajahi semua hal yang pernah dilalui. Tak bisa kupungkiri, di saat seperti ini, hanya kaulah yang aku harapkan untuk berada di sisiku. Sekedar ingin kubagi beban yang bergelayut dalam benak pikiran. Dan jika kesempatan itu ada. Sungguh aku tak akan membungkam mulutku untuk mengatakan bahwa ’aku membutuhkanmu’.

Setelah itu, aku jadi sering menuliskan namamu di berbagai tempat yang sering kulihat. Di atap kamar, hingga aku bisa melihatnya saat hendak tidur dan saat pertama kali aku membuka mata bila terjaga dan terbangun. Aku juga menuliskannya di cermin, ruang tamu, dapur, bahkan pernah kutulis di meja sebuah cafe.

“Dimanakah kau kini… apa kabarmu sekarang?”

Tentu waktu telah mengubah semuanya. Ada banyak kemungkinan yang terjadi padamu kini. Namun semenjak rasa itu kembali. Ada setangkup harapan untuk menemuimu. Ada seuntai janji yang hendak kutunaikan kini. Ketika kau berujar “Suatu saat datanglah ke tempatku dengan menumpang kapal, kau akan merasakan keindahan samudra yang sebenarnya.”

Sejak itu aku mulai menata kehidupanku lagi. Aku mulai membiasakan diri untuk keluar rumah dan bekerja. Menyongsong sebuah realita kehidupan baru dengan satu harap dan tekad. Hampir enam bulan kupersiapkan semuanya. Setelah semua kurasa cukup. Akupun berkemas untuk segera memulai sebuah perjalanan. Secarik kertas bertuliskan alamatmu yang kutemukan ditumpukan catatan-catatanku tempo hari menjadi satu-satunya petunjuk yang aku punya. Akupun segera berangkat dengan berjuta perasaan yang berkecamuk.

Kembali, bayangan masa lalu sempat menyergapku saat aku berdiri di dermaga keberangkatan menuju kotamu. Dermaga yang dulu sempat menjadi saksi bisu ketika kuterdiam, terpaku, dan mematung menyaksikan kapal yang kau tumpangi menghilang dari pandangan.


HAMPIR dua hari perjalanan aku lalui. Akhirnya sampailah aku di penghujung sebuah penantian itu. Disekitarku, orang-orang masih ramai dan sibuk bercengkrama. Ada yang saling berpelukan. Tak sedikit juga yang saling meneteskan air mata kerinduannya. Dan aku, masih mematut memandangi secarik kertas bertuliskan alamatmu yang tak tahu pasti dimana tempatnya. Hanya satu yang kupunya, segudang rasa optimis untuk bisa bertemu denganmu. Tak peduli dengan rasa lelah yang menjalari sekujur tubuhku.

Lingkar waktu telah membawaku pada sebuah perjalanan yang panjang ini. Terperangkap pada sebuah pengharapan. Tak terasa, akupun segera tersadar jika kini. Sebuah alamat itu telah membawaku ke tempat ini.

Senja mulai luruh saat aku tiba di muka rumah sederhana yang terlihat begitu menyejukkan. Langkahku terhenti. Detak jantungku memburu. Sekilas terdengar suara tawa dari dalam rumah. Dan, aku tak bisa menyangkal jika di antara suara tawa itu, terdapat suara yang begitu sangat akrab bagiku. Suara tawa yang dulu sempat mengisi hari-hariku. Suara tawa yang hampir setahun belakangan ini menghiasi rasa rinduku. Ada satu perasaan yang menjalari nadiku kala kudengar suara tawa itu. Tak kuduga, jika perjalanan panjang dan tapak-tapak harapan itu kini mulai tersibak.


AKU kemudian menata perasaan. Mencoba menyusun keberanian untuk melangkah lebih dekat lagi ke arah pintu rumah itu. Menarik nafas panjang, dan menghembuskannya perlahan. Sebisa mungkin kuatur degup jantungku. Dan, ketika tanganku perlahan mengetuk pintu rumah itu. Tak lama kudapati pintupun terbuka. Di depanku, kudapati perempuan berkulit bersih, dengan tatapan mata yang masih memperlihatkan khasnya, dengan balutan kerudung, nampak terlihat begitu beda, begitu anggun. Terlihat dari sorot matanya, rasa heran bercampur kaget, ternganga, dan sekilas kulihat mata sayunya berkaca-kaca. Tangannya mengepal, mengarah untuk menutup lingkar mulutnya.
Dan kini, tangisku pun pecah di teras rumahmu, berbaur dengan tangismu.

(Kompas.com | Rabu, 11 Juli 2012)