Cerpen : Sepotong Malam, Sepotong Sajak

###Sepotong Malam, Sepotong Sajak
Aris Kurniawan


DIA menarik napas dalam-dalam. Ini malam suasananya sungguh indah, gumamnya. Dibukanya jendela kamar menghadap jalan. Gelap. Senyap. Tak ada seorang pun lalu. Ditengoknya langit, kesenyapan tampak lebih gawat lagi. Tidak ada bintang atau bulan yang konon ampuh menyodorkan ilham kepada para pengarang. Di atas sana melulu berisi gumpalan awan hitam yang mencemaskan.Angin sesekali terdengar menderu merontokkan daun-daun pohon mangga di halaman.

Ini malam benar-benar indah, gumamnya lagi, seperti kurang yakin. Dia merasakan hatinya begitu penuh dan gembira. Ini memang hari libur. Ternyata benar, pikirnya, betapa istimewa hari libur bagi seorang pekerja. Ia bangun pukul sebelas siang. Usai makan dengan menu hasil masakan sendiri, ia membaca novel, kemudian kembali tidur. Baru terbangun pukul empat sore tadi. Alangkah nikmat…

Dia merasa jantungnya berdegup dengan baik, memompa sirkulasi darahnya mengalir lancar. Paru-parunya mengembang, menyerap oksigen secara optimal. Seluruh syaraf dan organ tubuhnya bekerja sebagaimana mestinya. Membuat dia merasa betul-betul hidup secara utuh dan berancang-ancang menangkap kerumunan gagasan yang melintas di kepala untuk segera diwujudkan menjadi sajak cinta untuk kekasih. Sejak dulu dia percaya, cuaca dan kondisi alam tidak mempengaruhi suasana hati. Pengalaman berkali-kali membuktikan.

Kini dia duduk di depan laptop, menghadap jendela. Dia sudah menyiram pot-pot bunga kesayangannya di teras. Dia juga telah mencuci lantai dan menyemprotkan pewangi ruangan serta menghabiskan segelas besar susu segar. Semua kulakukan dengan sempurna dan memuaskan, desahnya. Dia merasa rileks dan bugar. Keadaan yang amat ditunggu-tunggu untuk keperluan menulis sajak cinta. Situasi yang tidak mungkin dia dapatkan pada hari-hari kerja.

Pada hari-hari kerja waktu dua puluh empat jam seakan tak pernah cukup. Dia selalu mendapati tubuhnya tinggal ampas pada pukul sebelas malam saat tiba di rumah. Dia membayangkan otaknya mirip karet yang tidak dapat digunakan untuk berpikir apa pun. Tak ada yang mampu dilakukannya selain mandi air hangat, nonton tivi, lantas terjungkal tidur tanpa sempat lebih dulu menekan tombol off pada remote control.

Penat mengeram di sekujur tubuhnya masih menggelayut saat harus terbangun pukul tujuh. Dengan kantuk yang belum lunas ia terhuyung ke kamar mandi. Sambil mengguyur tubuh, kepalanya sudah dipenuhi jadwal pekerjaan kantor yang harus diselesaikan. Tiba di kantor dalam keadaan lecek tak keruan lantaran digasak kemacetan yang berlarat-larat sepanjang perjalanan. Lebih buruk dari nasib sebuah manekin, bisiknya.

Dia kerap ingin keluar dari pekerjaannya, tapi aia tahu itu gagasan bodoh dan nekad yang akan memperburuk keadaan.

“Hari gini merayu pacar dengan sepotong sajak? Wah romantis sekali,” sindir seorang kawan.

Dia tak perlu peduli pada sindiran sesinis apa pun. Inilah saat yang tepat untuk menulis sajak cinta. Dia bertekad untuk tidak menyia-nyiakannya. Tak ada waktu lagi, besok kekasihnya akan menagih sajak pesanannya. Harus jadi sebuah sajak cinta paling romantis, begitu janjinya pada diri sendiri. Dihirupnya anggur dari cangkir khusus untuk sedikit menghangatkan tubuh, dan mulai berkonsentrasi. Tak ada rokok di sela jarinya. Dia tak memerlukan asap tembakau untuk melancarkan imajinasi. Jari- jarinya yang tirus telah melekat di atas keyboard. Kekasihnya tak menginginkan apa pun selain sepotong sajak. Permintaan kekasihnya dibuatkan sepotong sajak bukan hanya terlalu melankolis, tapi juga mungkin terdengar agak konyol. Dia sungguh menyukai permintaan kekasihnya. Dialah perempuan yang dikirimkan Tuhan untukku, bisiknya.

Dia mulai membayangkan kekasihnya. Dia seorang perempuan bertubuh ramping bergaun tipis melambai-lambai dihembus angin. Dia pertama melihatnya di sebuah kafe. Duduk begitu anggun menopang dagu. Mengenakan gaun berkain lembut dan jatuh pas di lekuk tubuh. Sorot matanya sayu menatap kemacetan jalan. Dia begitu tergetar melihat caranya menyedot minuman dari gelas langsing berkaki panjang di hadapanya. Bukan hanya itu. Cara matanya berkedip sungguh menebar pesona yang hanya bisa ditandingi olehAngelina Jolie dalam film The Tourist.

Dia begitu gelagapan saat mata siAngelina Jolie memergoki tatapan matanya yang penuh gelora hasrat. Lantai yang dipijaknya laksana goyah, saat dilihatnya siAngelina Jolie melempar senyum, bangkit berdiri, dan melangkah…

Sesungguhnya dia ingin membayangkan dirinya sebagai Johnny Deep yang berjuang mempertaruhkan nyawa demi si pacar. Dia menundukkan kepalanya, dipejamkan matanya. Ingin ditulikan pendengarnya supaya tak didengarnya ketukan langkah sepatu hak tinggi Angelina Jolie. Tentu tak mungkin. Dia mendengar langkah mendekat. Oh, apa yang akan dilakukannya? Oh bagaimana menghadapi si Angelina Jolie ini? Dia berdoa entah apa. Dia berharap si Angelina Jolie mendekat dan duduk menemaninya ngobrol, tapi pada saat bersamaan dia dihinggapi perasaan gugup yang parah.

Dia memang memiliki masalah besar kalau berhadapan dengan perempuan. Tak tahu bagaimana semuanya bermula. Seakan begitu saja dia mendapati dirinya menjadi seseorang yang kuper, interovert, selalu kehilangan kepercayaan diri. Si pecinta kesendirian akut, begitu dia dijuluki teman-teman kantornya.

Kali kedua melihatnya di kafe yang sama. Di kursi yang sama dengan model gaun yang dikenakan juga sama. Hanya motifnya berbeda, motif tumbuhan dasar laut. Dia memang segaja datang ke sana dengan harapan melihat lagi tarikan bibirnya saat tersenyum, kedipan matanya dan caranya menopang dagu.

“Anda sendirian?” tiba-tiba si Angelina Jolie berada di depannya. Bulu matanya yang melengkung indah bagai menggerayangi hatinya.

“I … iyaa,” dia menyahut gagap. “Boleh duduk di sini?” “Si…silakan”

Mungkin inilah hari paling bersejarah dalam hidupnya ketika dia mendengar si Angelina Jolie memikat hatinya berupaya menenangkannya seperti seorang ibu menenangkan anaknya yang ketakutan lantaran harus maju ke depan kelas.

“Tidak perlu gugup. Karena saya juga mengagumi Anda,” kalimat itu seperti dentuman suka cita yang hampir meledakkan dadanya.

Entalah dia lupa percakapan apa yang berlangsung menit menit berikutnya. Tahu-tahu si Angelina Jolie berucap kalimat permohonan “buatkanlah saya sepotong sajak cinta, maka aku akan jadi kekasihmu.”

Dia ternganga beberapa lama. Lantas memperbaiki sikap duduk, merapikan kemeja. Sampai di rumah dia tak juga percaya dengan apa yang baru saja dialaminya. Dia menatap pantulan wajahnya di cermin. Menatap muka bulat, bola mata yang seperti hendak melesat keluar dari kelopaknya. Lantas mulai berpikir untuk menulis sajak. Permintaan sederhana yang mengganggu tidurnya. Mengganggu konsentrasinya bekerja.


DIA kini bersama si Angelina Jolie berada di dalam taksi, meluncur membelah malam menuju sebuah hotel untuk sebuah kencan. Gemerlap lampu-lampu jalanan bagai turut bersorak sorai. Telapak tangan Angelina Jolie, selembut bulu angsa Persia tak lepas digenggamannya. Tak bosan dia menatap kening, hidung, bibir, dagu, geraian rambut kekasihnya yang tampak begitu sempurna. Mengkilap tanpa cacat seperti porselin Cina. Dan matanya, sungguh dia tak mau tenggelam di sana sekarang. Seperti kata siAngelina Jolie, butuh tempat yang tepat.
Sajak cinta yang diminta kekasihnya ada di balik kemeja. Dia telah menuliskannya sepenuh jiwa dan raga. Dia merogohnya perlahan-lahan.

“Nanti saja kau tunjukkan dan bacakan di tempat yang tepat,” kata siAngelina Jolie saat dia hendak mengeluarkan sajak cinta pesanannya di kafe.

“Kafe ini terlalu riuh,”

Taksi terus melesat meninggalkan gemerlap pusat kota. “Kita akan ke mana?”

“Tenang, Sayang. Kita sedang menuju tempat yang tepat untuk kamu membacakan sajak cinta untukku,” kata kekasihnya. Dia berdoa ini bukan dialog norak dalam sebuah drama cinta sinetron remaja.

Dia makin berdebar. Si Angelina Jolie menyandarkan kepala ke dadanya.

“Aku mau tempat yang sepi,”


DIA merasakan kesadarannya masih mengambang di antara gemerlap lampu-lampu jalan, saat mendapati tubuhnya terkapar di antara semak belukar pinggir tikungan jalan yang sepi. Ketika kesadarannya genap, dia merasa perutnya bergolak, cairan pahit merayap naik ke kerongkongan. Dia mencoba bangkit dan duduk. Isi perutnya seakan ditarik keluar secara paksa. Hoek… lendir berbau busuk tumpah menodai celananya, membasahi lembar kertas yang berisi sepotong sajak yang ditulisnya sepenuh jiwa dan raga. Dia kembali terjungkal, lemas. Kesadarannya kembali menguap seperti semua barang berharga miliknya yang lenyap digasak si Angelina Jolie yang kini tertawa-tawa bersama sopir taksi.

(Analisa Medan | Minggu, 15 Juli 2012)