Cerpen : Senyum Senja

###Senyum Senja
rahma179@yahoo.com


LELAKI itu memandang lembut pada wajah yang masih menyisakan kecantikan itu. Pujaan jiwa, bisiknya dalam hati. Mata cantik itu, yang sekarang hanya mampu terpejam, ia selalu memujanya. Mata yang membuat hatinya terkapar tak berdaya, jiwanya. Wanita itu, yang memberinya enam anak yang disayanginya sepenuh hati, wanita yang membuat hidupnya terasa sempurna, wanita yang selalu membuatnya tertawa, wanita itu kini tak berdaya. Diusapnya rambut panjang, yang entah sejak kapan memutih, dengan rasa sayang yang tiba- tiba meluap.

Rela, ia sudah rela jika memang saat ini adalah akhirnya. Ia sudah pernah berjanji, ia tak akan menangis saat pujaan hati itu harus pergi. Maka ia akan menepatinya, ia akan setegar karang. Ya, setegar karang. Wanita itu perlahan membuka matanya, dengan sisa-sisa tenaga yang dimilikinya. Ia membalas genggaman tangan lelaki itu. Laokong (laokong = suamiku) ucapnya lirih, lalu terpejam. Lelaki itu tua, saat ini mata wanita itu akan selalu terpejam, untuk selamanya. Lelaki itu terdiam.

Dan ia tak menangis.

Dan kini sudah lima belas tahun berlalu. Ia mungkin pikun dan lupa tentang hal-hal kecil, namun mata cantik itu, takkan pernah beranjak dari jiwanya. Ia sendiri sudah delapan puluh enam tahun sekarang. Atau mungkin lebih, ia sudah lama berhenti menghitung usianya. Sudah tua, pikirnya dalam hati. Enam anaknya pun sudah berkeluarga semua. Lima anak perempuannya sudah jauh dibawa suaminya masing-masing. Hanya tinggal anak kelimanya, anak lelaki satu satunya, bersama istri dan tiga anaknya, yang sekarang tinggal bersamanya. Jika kelima anak perempuannya sekarang jauh dalam arti sebenarnya, maka keluarga anak lelakinya ini jauh, dalam arti yang entahlah, ia sendiri tak memahaminya.

Akhir Januari ini beku, matahari pun tak pernah nampak, dan ia bisa merasakan gigilnya hingga ke tulang tuanya. Jaket tua lusuh yang dikenakannya itu pun tak lagi mampu hangatkannya. Ia pandang ujung lengan jaketnya yang kotor karena tak tercuci. Dan warna jaket itu pun sekarang sudah tak jelas, entah biru atau cokelat. Atau warna cokelat itu tercipta karena segala kotoran yang menempel, ia juga tak yakin. Bagaimana lagi, ia tak punya jaket lain yang bisa melindungi tubuhnya dari bekunya musim dingin di utara ini. Dan ia tak mau meminta pada anaknya. Ia tak ingin merepotkan buah hati tercintanya. Perlahan ia bangkit dari duduknya di beranda rumahnya itu. Ah, tulang tuanya benar- benar tak bersahabat lagi. Nyaris bisa ia dengar tulangnya sendiri saat ia berdiri. Mungkin minum banyak air hangat bisa membuatnya lebih baik, pikirnya. Dan tiba-tiba ia teringat air yang dimasaknya di dapur tadi.

Dihampirinya tungku arang tempatnya merebus air, sudah padam, dan air yang dimasaknya pun tinggal separuh panci, itu pun sudah mendingin. Ia tersenyum, ia teringat nasi yang menjadi arang minggu lalu. mungkin benar apa kata cucunya, ia pikun. Tapi ia tau apa yang sebenarnya terjadi. Ia tidak pikun, ia hanya terlalu banyak mengenang masa lalu hingga ia sering lupa dengan apa yang ia kerjakan. Ia lalu menuang air dalam panci itu pada sebuah cangkir. Gemetar, ah memang aku sudah tua, pikirnya. Lalu ia kembali tersenyum.

Kembali angin beku menerpa tubuh tuanya, ah rupanya jendela masih terbuka. Ia melangkah perlahan mendekati jendela yang terbuka itu, dan meraih daun jendela untuk menutupnya ketika tercium harum bunga Osmanthus musim dingin yang terbawa angin. Kelopak putih sebesar ujung pensil itu bergerombol pada tangkainya di pangkal- pangkal daun, menguarkan bau harum yang manis, semanis kenangannya akan istrinya. Dulu istrinya selalu merawat pohon-pohon Osmanthus itu, memotong ujung- ujung atasnya agar tetap pendek, setinggi pinggang orang dewasa. “Agar nanti cucu cucuku mudah memetik bunga bunganya” kata istrinya pada saat itu. Ah, cucu-cucu itu, tak sempat wanita itu melihat mereka dilahirkan. Tiga belas cucu yang manis, meski tak pernah mengenal neneknya yang sudah tiada. Jangankan neneknya yang sudah menjadi abu, kakeknya ini pun tak pernah ditengok. Hanya tiga cucu dari anak laki lakinya yang sekarang tinggal serumah dengannya. Itu pun seperti orang lain. Tak pernah sekalipun memeluk tubuh renta itu.

Namun masih ada Chindy anak keempatnya yang begitu menyayanginya, meski tinggal jauh di selatan sana, dan meski hanya tiga kali dalam setahun mengunjunginya.Anak itu, nama aslinya Lee Chu Chin, anak yang jarang bicara dan tertawa, juga tak lebih cantik dari kakak dan adiknya, namun anak yang pal- ing halus hatinya. Dan matanya, mata Chindy adalah mata istrinya.

Ah, segala angannya selalu kembali pada satu titik, istri tercintanya.

Kembali mata sipitnya menyapu pemandangan halaman belakang itu. Pada Jajaran Osmanthus yang mekar harum, dan tersenyum. Laobo (laobo = istriku) bisiknya disela senyum. Senyum yang penuh kenangan indah. Lalu ia menutup jendela. Dan besok, mungkin Chindy datang, karena lusa adalah Guo Nian (Tahun baru Chinese/Imlek) saat di mana ia merasa bahagia karena mungkin anaknya akan datang.

Esok paginya ia terbangun karena suara nyaring yang dinantikannya, Chindy. Anak itu mengguncang perlahan bahunya, lalu memeluknya. Chindy menangisi lelaki itu, menangisi jaket kotor yang ia pakai, menangisi tungku arang yang dipakainya memasak, menangisi jarak rumahnya yang sangat jauh dari tempat ayahnya tinggal. Dan menangisi sikap Ayahnya yang tak mau tinggal bersamanya. Lelaki tua itu tersenyum, dan dengan tangan keriputnya ia mengusap air mata anaknya itu.

Lelaki itu senang Chindy datang, yang berarti ia bisa menenggelamkan angan pada mata teduh yang serupa mata istrinya itu, juga berarti ia tak harus memasak sendiri. Sehari harinya ia memang selalu memasak sendiri karena menantunya tak pernah mengajaknya makan bersama.

Pun tak pernah memasak untuknya. Entahlah, mungkin tubuh tua itu dianggap tak enak dilihat saat makan bersama atau apa. Sedang anak lelakinya pun tak berani menentang istrinya. Ah, anak kelakinya itu, benar-benar seperti dirinya, tunduk pada wanita. Namun tak bisa ditemukan satu persamaan pun antara menantunya yang culas itu dengan mendiang istrinya. Kecuali, mereka sama-sama wanita. Siang hari suami Chindy datang membawa sehelai jaket tebal bagus berisi bulu angsa yang hangat dan ringan untuk lelaki tua itu, bersama seperangkat kompor gas baru dan sekaleng besar susu bubuk. Suami Chindy itu tau, ayah mertuanya sering lapar di malam hari. Dengan adanya kompor gas, lelaki tua itu tak akan bersusah-payah menyalakan arang di tungku saat merebus air, dan susu itu bisa diseduh sewaktu waktu. Suami Chindy itu, lelaki bermarga Chung, adalah seorang lelaki tampan tinggi besar dengan senyum ramah tetapi mempunyai mata genit, mata yang suka menggoda wanita. Namun lelaki tua itu sangat menyukainya. Seperti Chindy, suaminya itu adalah menantu yang paling pengertian.

Lelaki itu sebenarnya tidak suka membandingkan anak anaknya. Tetapi pada kenyataannya anak anaknya itu memang tak perhatian. Kadang ia berpikir, jika ia adalah seorang ayah yang kejam dan suka memukul, bisa dimaklumi jika anak anaknya tak peduli padanya. Tapi ia selalu memberikan apa yang dibutuhkan anaknya, berusaha menyekolahkan mereka lebih tinggi daripada teman temannya hingga mereka sekarang mempunyai pekerjaan yang bagus. Lelaki tua itu menghela napas. Ah, Mungkin anaknya sedang sibuk. Hanya itu satu satunya jawaban yang bisa meredam rasa kecewanya.

Dua bulan berlalu setelah perayaan tahun baru yang sepi itu. Musim dingin sudah pergi menyisakan pohon-pohon tanpa daun, pun bunga Osmanthus di belakang rumah telah berguguran. Dan pohon Shuan Mei (Plum Asam) di samping rumah mulai memekarkan bunganya yang merah muda. Seperti bunga-bunga sakura Jepang yang sering ia lihat ada di gambar kalender, hanya saja beda warna.

Lelaki tua itu mulai menyimpan baju-baju musim dinginnya dan mengeluarkan baju yang lebih tipis, meski udara masih terasa dingin, tapi tak lagi menggigilkan tubuh rentanya. Dan ia selalu menyukai udara bulan Maret. Saat menarik salah satu laci pakaian, ada sebentuk gelang bayi jatuh. Gelang dari benang merah yang dijalin dengan anyaman rumit itu sudah usang. Terdapat sebentuk lempengan tipis emas yang berukirkan bunga plum disematkan di tengah gelang selebar jari orang dewasa itu. Ia sudah lupa, milik siapa gelang itu, entah anaknya yang keberapa yang pernah memakainya.

Ia lalu keluar kamar, dan melihat menantunya sedang menggendong anak ketiganya yang masih bayi. Lelaki tua itu menghampirinya, dan dengan tersenyum dipasangnya gelang merah itu di tangan cucu terkecilnya itu. Lalu ia duduk dan meminta izin menantunya itu untuk memangku bayi itu sebentar. Dengan enggan sang menantu menyerahkan bayinya pada lelaki tua itu. Bayi perempuan itu mengeliat sebentar lalu melanjutkan tidurnya.

Lelaki tua itu mengamati bayi cantik di pangkuannya, tangan yang mungil, bibir yang merah, alis yang nyaris tak tampak, juga rambut yang hitam jarang. Ia berpikir, mungkin saat besar nanti, cucunya itu akan mewarnai rambutnya menjadi cokelat atau merah, seperti yang dilakukan hampir semua cucu wanitanya yang beranjak remaja.

Pada menantunya lelaki tua itu berkata bahwa diperbolehkan memangku bayi itu adalah kebahagiaan yang tak terkira baginya. Dan betapa inginnya dia berkumpul dengan seluruh anak dan cucunya, meski hanya sekali saja. “Akan kuberikan apapun yang ku punya, hanya untuk bisa berkumpul dengan kalian, anak dan cucuku” bisiknya disela senyum yang selalu menghias bibirnya. Menantunya terdiam lama sebelum berkata, “Lau pa, maafkan aku” (lau pa = ayah). Lelaki itu hanya tersenyum, namun kali ini dengan kebahagiaan yang meluap. Menantunya itu, untuk pertama kalinya memanggilnya lau pa.

Ia lalu memberikan bayi itu pada ibunya, sambil berdiri ia berkata “Katakan pada Tian Lung, aku sangat mencintainya. Dia anak laki lakiku satu satunya.Aku bangga padanya. Semoga besok kalian semua, anak-anak dan cucuku bisa berkumpul, meski sekali saja.” lelaki tua itu tersenyum, dan memandang lembut menantunya itu. “Dan aku juga menyukaimu, karena kau telah merawat anak lelakiku dengan baik.” lalu ia berlalu, meninggalkan sang menantu yang tak mampu berkata apapun.

Di dalam kamarnya, lelaki tua itu membaringkan tubuhnya. Ia menatap langit-langit kamarnya yang penuh bekas rembesan air hujan. Kembali ia hadirkan bayang istrinya, wanita dengan mata indah dan senyum simpul. Betapa ia merindukannya. “Laobo…” bisiknya, kali ini dengan tetesan air mata, air mata kerinduan yang dipendamnya selama lima belas tahun terakhir. Ia merasa lega, bisa mengalirkan kepedihan jiwanya itu. Lalu ia tersenyum.

Esok harinya, seluruh anak dan cucunya benar-benar berkumpul. Tak hanya anak dan cucunya, juga semua teman dan tetangganya, untuk penghormatan terakhir, sebelum akhirnya lelaki tua itu dijadikan abu, yang guci abunya akan disandingkan dengan guci abu istrinya.

(Joglosemar | Sabtu, 14 Juli 2012)