Cerpen Sebagai Sarana Kehidupan Remaja

Remaja adalah fase dimana seseorang sudah bukan lagi anak-anak tapi belum bisa dikategorikan dewasa. Seorang dengan rentang usia 12-21 tahun masih bisa dikatakan remaja. Berarti anak-anak SMP sampai mahasiswa Perguruan Tinggi bisa dikategorikan remaja. Kebutuhan dan ruang lingkup hidup mereka saja yang sudah berbeda. Anak SMP-SMA lebih suka dan sering menghabiskan waktu mereka dengan bermain playstation, ngband, atau balapan liar dan juga drag race. Sedangkan mereka yang sudah menjadi mahasiswa, lebih suka dan lebih sering nongkrong, entah itu di cafe, angkringan, atau di restoran cepat saji dan nonton film di bioskop. Semua kegiatan itu bukanlah tidak berguna, atau tanpa tujuan, karena bisa saja mereka nongkrong sambil mengerjakan tugas, diskusi, atau lainnya. Meski itu sangat jarang terjadi, sekarang ini. Mereka cenderung melakukan itu untuk sebuah kesenangan saja, menghabiskan waktu, atau agar bisa disebut kekinian dan tidak menjadi remaja kuper atau kurang pergaulan.

Semua itu memang ada benarnya. Sesekali itu memang diperlukan untuk bisa membaur dengan perkembangan zaman, tanpa perlu tergerus dan tertinggal karenanya. Karena akan sangat aneh untuk seorang berusia 19 tahun jika dia tidak tahu seperti apa dunia luar. Menjadi katak dalam tempurung yang hanya tahu dan beranggapan bahwa tempurung itulah dunianya, tak ada yang lain. Padahal diluar tempurung itu, dunia masih begitu luas, bahkan ada begitu dan terlalu banyak tempurung seperti yang ia tempati.

Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, para remaja sudah tahu apa yang harus dilakukan. Tapi ada beberapa hal yang terlupakan. Hal-hal yang menjadi dasar, menjadi kebutuhan elementer manusia. Sebut saja nilai, norma, sikap, dan hal-hal yang sejak dulu diajarkan di sekolah bahkan di rumah tapi dengan mudah terlupakan ketika mereka keluar dari rumah atau bertemu dengan teman-teman barunya di lingkungan yang menurutnya adalah tempatnya. Dimana seorang remaja merasa bahwa rumah dan sekolah hanyalah belenggu dan memaksanya untuk menemukan dunia yang berbeda dengan rumah dan sekolah, serta tidak ada seorang seperti orang tua atau guru yang melarangnya berbuat ini itu. Inilah saat nilai, norma dan hal-hal lain seperti yang disebutkan sebelumnya mulai usang, terbuang, dan terlupakan. Ada sebuah contoh atau perumpaan yang menarik, seperti yang dikatakan Sosiawan Leak (2007: 64) dalam puisinya yang berjudul Berpisah dengan Dendam, dalam buku antologi puisi Dunia Bogambola :
….
seperti anak-anak tidak berhenti tumbuh
dan kita tak bisa terus menerus melindungi mereka
entah yang mereka temu adalah mall, televise, bulan
atau kehidupan malam, bahkan rumah tuhan.

Ini hanyalah sebuah contoh sederhana, yang dikutip dari sebuah puisi, tentang perkembangan remaja. Bisa saja pada kenyataannya lebih buruk, atau lebih baik. Karena semua ini hanyalah asumsi. Maka memberikan remaja karya sastra bisa menjadi salah satu alternatif yang bisa dilakukan. Paling tidak disela-sela kegiatan mereka, mereka menyempatkan untuk sekedar membaca, cerpen misalnya. Karena remaja adalah usia yang produktif, memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, dan diibaratkan wadah yang bisa diisi dengan banyak hal, bergantung siapa dan apa yang diisikan. Jika sedari sekarang mereka sudah memiliki dasar nilai dan norma yang positif, seperti apapun perkembangan zaman, mereka akan tahu bagaimana cara bersikap dan berperilaku. Banyak nilai dan norma yang terkandung dalam sebuah cerpen, sehingga meski diluar rumah atau diluar sekolahpun, mereka tetap mendapatkan pelajaran tentang hidup.

Satu hal lagi yang ada dalam sebuah cerpen, tentu saja hiburan. Beberapa orang merasa setelah membaca sebuah cerpen, mereka menjadi tokoh di dalamnya. Tidak lain karena cerita yang disuguhkan memang mirip atau sama dengan apa yang mereka alami. Meski tetap saja, itu merupakan “hiburan” bagi pikiran mereka. Lalu bagaimana jika para remaja terperangkap dalam “zona nyaman cerita pendek” sehingga mereka lupa bahwa mereka hidup di dunia nyata?

Mudah saja, sebagai awal berikan mereka, atau arahkan mereka untuk membaca cerita yang ringan dahulu, seperti kehidupan remaja pada umumnya, sedikit percintaan, pendidikan yang sudah dan sedang mereka alami, baru setelah itu dengan cerita-cerita yang relatif lebih berat. Tujuannya agar mereka mengerti dan memahami bahwa tidak semua cerpen bercerita tentang keindahan, kemudahan hidup, dan semua cerita berakhir bahagia. Jika cerpen yang mereka baca sudah beragam, dan mereka mampu menangkap keberagaman tersebut, maka merekapun akan mengerti bahwa kehidupan juga sebuah cerita.

Jika membaca cerpen selesai dengan sekali duduk, maka anggaplah itu sebagai satu hari yang dijalani. Sebuah cerpen ibarat satu episode yang terjadi dalam hidup. Maka hari yang berbeda seperti cerpen lain yang berbeda judul. Jika remaja mampu mengapresisasi sebuah cerpen, maka ia mampu mengapresiasi hidup. Tidak semua cerpen berakhir bahagia, tokoh utama tersenyum bersama kekasihnya atau meraih kemenangan. Bukankah dalam hidup juga seperti itu ? ada kalanya seorang mendapat apa yang diinginkan, tapi seringkali juga tidak. Tidak pernah ada seorang manusia yang benar-benar mendapatkan kemudahan dan kemenangan dalam cerita hidupnya. Pasti ada saat dimana ia mendapatkan kesulitan, lalu putus asa, atau bertekuk lutut pada kekalahan.

Cerita pendek hanyalah sebuah sarana agar remaja memanfaatkan waktu mereka untuk kegiatan yang lebih produktif, serta mereka mampu mengapresiasi sebuah karya tanpa perlu menunggu penulis tersebut, atau karyanya menjadi trend. Karena setiap dari kita tidak menunggu hidup seseorang menjadi trend lalu kita baru tahu bagaimana caranya hidup, tidak, tidak seperti itu.

Kemudian dengan cerita pendek, diharapkan remaja menjadi tahu dan mengerti bahwa kebenaran sering kali pahit dan getir. Dalam cerpen juga ada opini penulis, yang bisa saja itu adalah kebenaran yang tersirat, seperti cerpen-cerpen Agus Noor, contohnya: Kopi dan Cinta yang Tak Pernah Mati, dan Hari Baik untuk Penipu. Remaja juga diharapkan menjadi mampu untuk menangkap nilai dan makna dari sebuah cerpen lalu menanamkannya dalam kehidupan sehari-hari. Seperti halnya persiapan yang perlu dilakukan untuk membaca cerpen-cerpan yang bermuatan berat, pun dalam hidup.

Betapapun besar kecilnya cerpen untuk apresiasi remaja, perlu diingat bahwa cerpen hanyalah sarana, hanyalah media. Masih banyak karya sastra yang bisa dijadikan sarana. Ini semua hanyalah alternatif yang bisa dilakukan untuk membuat seorang remaja mengapresiasi sebuah karya. Bahwa yang mengapresiasi sebuah karya bukan hanya para fanatic atau golongan tertentu saja, tapi siapapun yang memang ingin mengapresiasi. Terlepas nanti sebuah karya akan diberi nilai baik atau buruk itu sudah tidak menjadi soal. Karena itu sudah menyangkut selera dan melibatkan asumsi.

Paling tidak cerpen-cerpen yang ada tidak hanya dicetak dalam buku lalu menunggu lama dalam rak toko buku sampai tiba akhir tahun dan buku cerpen tersebut diobral, atau untuk cerpen yang online menunggu orang untuk membuka website yang bersangkutan sampai nanti akhirnya website tersebut tutup karena tak pernah dikunjungi, atau cerpen yang dimuat di surat kabar menunggu untuk dibaca, karena orang terlalu sibuk membaca berita ekonomi, politik, dan yang lainnya sehingga akhirnya cerpen tersebut tak terbuka sama sekali sampai edisi surat kabar berganti.

Apresiasi bukan hanya tentang melihat atau membaca. Lebih dari itu. Dan sebuah karya, akan bernilai lebih saat sudah diapresiasi.

Semoga Bermanfaat Yaa!