Cerpen : Nurbaya

###Nurbaya
Bustami Bin Arbi


TIGA hari sudah anak muda itu bermurung muka. Tak lazim, binar matanya yang selalu terang itu kini redup tak menyala. Lesu, tak bergairah. Perubahan itu menjadi tanda tanya besar sahabat-sahabatnya, sebab selama ini dialah yang selalu menjadi mortir penyemangat di antara sepuluh mahasiswa yang ditugaskan di gampoeng terpencil itu.

“Jamal, jangan khawatir. Si Nur nampaknya juga suka sama kau.Apalagi Teungku Din, ayahnya sangat dekat kan sama kau”. Selidik Usman sebelum meloncat indah ke sungai yang airnya tak terlalu dalam.

Dugaan sahabatnya itu memang punya alasan kuat. Selama ini mahasiswa yang sedang mengikuti program pengabdian masyarakat di gampoeng itu tinggal di rumah Teungku Din, salah satu petua kampung. Di antara mereka, Jamal lah yang akrab dengan Nurbaya, anak bungsu Teungku Din. Kedekatan mereka pun menjadi buah bibir semua teman mahasiswa di sana. Bahkan mulai menjadi isu hangat sekampung.

Sahabatnya mendukung penuh kedekatan Jamal dan Nur untuk dilanjutkan ke jenjang pernikahan. Semua kriteria calon pendamping hidup yang diidamkan Jamal ada dalam diri Nurbaya. Tinggi semampai, hitam manis, dan tutur katanya lembut tak dibuat-buat. Spesial di mata Jamal, tidak seperti kebanyakan kawan-kawan perempuan di kampusnya. Kulit mereka sudah dipermak dengan kosmetik kimiawi. Gaya hidup mulai bergeser dari nilai gampoeng. Ikut-ikutan budaya asing yang tak jelas.

“Jamal, maafkan Cek yang tidak memberitahukan padamu. Nurbaya sudah dipinang lelaki tetangga kampung dua bulan lalu, dalam waktu dekat Insya Allah akad nikahnya akan dilaksanakan.” Kata-kata itulah yang membuyarkan semua mimpinya saat Teungku Din memanggilnya ke ruang tamu suatu malam. Seketika jantungnya berdetak gencang. Seakan mau roboh tubuhnya yang kekar.

Kecewa. Perasaan itu berkecamuk hebat dalam batin Jamal.

Bukan karena ia harus rela mengubur mimpi masa depannya dengan Nurbaya. Namun pernikahan itu sangat tak normal menurut pikiran warasnya ketika Teungku Din melanjutkan pembicaraan.

“Kamu tahu kan Mal, kondisi Cek yang begini rupa. Tanggung jawab tak lagi berat kalau udah menikahkan Nur. Lagi pula tak elok menolak lamaran yang sudah datang”.

“Pungo. Ini benar-benar gila.” Jamal membatin. Dia menatap wajah lelaki yang ditaksirnya sudah memasuki usia lima puluhan tahun itu, yang terus berbicara dengan wajah serius. Raut sedih di wajah yang mulai keriput itu pun tak dapat disembunyikan. Titik- titik air mata Teungku Din mengalir juga ke pipinya. Dia sadar anaknya juga menaruh hati pada Jamal. Bahkan Jamal sudah dianggap seperti anaknya sendiri.

“Apa boleh buat, mungkin saya tak berjodoh dengan Deknur. Semua sudah diaturAllah.” Hanya itu yang bisa diucapkan Jamal sebagai penghibur diri setelah dari tadi hanya menyimakTeungku Din berbicara.

Di bawah temaram lampu teplok, hawa dingin malam itu seakan menjadi pelengkap suasana haru dua insan beda generasi itu. Pun dalam hati, Jamal memberontak. Ingin berteriak sekuat- kuatnya. Mengapa tak dari awal Teungku Din mengatakan, sebelum benih-benih cinta itu mekar.

Dilematis. Jamal dipaksa ikhlas dengan kondisi. Kondisi ekonomi yang tak kunjung membaik pada sebagian besar masyarakat di pedalamanAceh itu telah membentuk pola pikir yang kaku. Tamat SMP langsung nikah bagi sang gadis dan tak jarang pula lelaki belia sudah berkeluarga. Tak ada cita-cita yang tinggi untuk sekolah, untuk sekadar mengubah nasib. Dan, Nurbaya merupakan salah satu gadis yang juga harus menjalani siklus temurun yang tidak adil itu.

Tak ada kata-kata sakti atau jampi-jampi untuk mengubah keputusan Teungku Din yang biasa dipanggil Jamal dengan sebutan Cek itu, sebab lamaran orang telah diterima. Tradisi kampung di bibir bukit yang jauh dari hiruk pikuk keramaian kota itu pantang diingkari.Akan berakibat fatal dan menjadi aib besar bila lamaran dibatalkan.

“Man, menurut kau berapa generasi lagi kisah ini akan berulang di gampoeng yang nan indah ini?” tanya Jamal pada Usman yang baru saja bangkit dari merendam di sungai, tempat biasa mereka mandi.

“Tak lama, nanti tamat kuliah kita buat saja partai politik lokal baru. Namanya Partai Nurbaya. Sepakat? Ha ha.” Dengan nada tak serius si mahasiswa jurusan ilmu sosial politik itu menjawab sekenanya sembari meloncat indah kembali ke sungai.

(Serambi Indonesia | Minggu, 15 Juli 2012)