Cerpen : Melepas Bayang-bayang

###Melepas Bayang-bayang
Nita Tjindarbumi


KITA tak perlu berbicara apa-apa lagi tentang hubungan yang telah dingin ini. Sejak dulu aku mengenalmu sebagai lelaki yang tak pernah jujur dalam banyak hal, terutama untuk urusan hati. Kebohongan-kebohongan yang kerap kumaafkan kini seperti pekerjaan sia-sia yang tak akan pernah kunikmati hasilnya.

Memang sudah saatnya aku mendinginkan pikiranku. Berjalan terus ke depan dan tak perlu lagi menengok ke belakang. Sudah cukup semua usahaku untuk memperjuangkan agar mimpi kita menjadi sebuah kenyataan. tetapi kini faktanya sudah di depan mata.
Terbanglah sesukamu. Lupakan semuanya…


KU membaca e-mail Hanna dengan mata pedih. Wajah pucat perempuan itu tergambar jelas di antara kalimat- kalimat yang terusun dengan bahasa yang halus. Tentu
dengan keberanian yang di luar dugaanku.

Tak pernah kuduga, perempuan berhati lembut dan baik hati itu berani mengambil keputusan sulit ini. Aku sangat tahu bagaimana hati Hanna. Ia, seperti yang ada dalam pikiranku adalah perempuan Jawa yang santun, lembut hati dan pemaaf.

Ya, pemaaf. Itu pula sebabnya hubunganku dengannya masi berjalan sampai sebelum email ini kubaca. Sungguhkah hubungan kami telah berakhir?

Aku meraba kening. Lalu memijat kepalaku yang mendadak diserang sakit yang membuatku tak bisa berpikir dengan jernih. Otakku seperti buntu. Aku tak tahu harus membalas e-mail Hanna dengan jawaban seperti apa?

Hanna…

Perempuan itu telah menggoda pikiranku sejak awal pertemuan kami. Perempuan Jawa yang terikat kuat dengan aturan budaya. Sedikit kolot meski akhirnya entah mengapa ia seperti tak banyak protes ketika kubeberkan isi buku hidupku. Ia hanya tersenyum ketika bibirku dengan lancang dan bangga bertutur tentang sejumlah perempuan yang datang dan pergi dalam perjalanan hidupku.

“Kau laki-laki dan mungkin bagimu sejumlah nama perempuan itu bisa menjadi kebanggaanmu,” ujarnya dengan kalimat teratur dan bernada datar.

Aku meringis. Rasa malu bergelayut di dada. Seperti sindiran tajam yang membuatku terjengkang. Tetapi sebagai laki-laki, bagiku pantang mempertontonkan perasaanku yang sebenarnya. “Tidak begitu. Aku tak merasa bangga dengan semua itu.Aku lebih bangga bila bisa mencintai seseorang sepenuh hati,” jawabku terasa enggak nyambung.

“Mungkin kau tidak merasa bangga. Tetapi dari caramu bercerita, aku bisa merasakan kebanggaanmu. Bisa dimaklumi kok. Laki-laki mungkin akan menjadi lebih hebat bila banyak disukai perempuan.”

Lagi-lagi ia menohokku dengan kalimat ajibnya. Aku tahu Hanna pandai memainkan kata-kata. Ia juga pandai memainkan perasaanku. Membuatku ambigu dan kelelahan memaknai kebaikan hatinya.

“Kalimatmu bersayap. Sulit aku memaknainya secara tepat,” kataku dengan nada tegas dan memang terdengar seperti protes. Kutatap matanya yang selalu berembun. Belum pernah kutemukan perempuan yang memiliki mata seindah ini. Mata itu juga yang membuat tidurku tak nyenyak karena selalu diganggu mimpi yang hanya sepotong-sepotong.

“Kebanggaan itu tak hanya menjadi milikmu, Tuan Baron. Tetapi juga dimiliki oleh sejumlah nama perempuan yang berhasil menggaet dirimu,” katanya lagi tanpa memedulikan tekukan di wajahku yang mulai memanas karena menahan amarah.

“Tentu saja mereka bangga. Mereka tak segan-segan melakukan apa saja demi mengejarmu. Meski hanya menjadi bagian dari malammu,” kata Hanna, semakin memojokkanku.

Sebagai laki-laki harga diriku terusik. Hanna tidak sedang memujiku tetapi memposisikan diriku di tempat yang menjatuhkan harga diriku.

“Kau pikir aku gigolo?” tukasku cepat merasa dipermalukan.

“Bukankah kau bisa menjadi siapa saja yang mereka inginkan? Cinta dan nafsu terkadang sulit dibedakan,” katanya lagi, seakan memberi penegasan bahwa aku bisa saja meladeni semua perempuan di ranjang tanpa harus merasa punya cinta pada mereka.

“Sadis kalimatmu,” kataku seperti desisan. Andai saja perempuan yang di depanku bukanlah perempuan yang telah membuat hari-hariku hampa tanpanya, pasti sudah kutinggalkan dia.
Tetapi aku tak bisa lakukan itu pada Hanna, perempuan Jawa yang kadang kolot dan membenci kebebasan tanpa tanggung jawab. Meski tidak terang-terangan mengatakannya.


KUBACA berulang e-mail itu. Isinya masih sama. Kalimat yang mencincang perasaanku. Ah, sungguhkah hatiku tercincang? Kurasa tak sebegitu hebat guncangan yang kurasakan. Apalagi aroma perempuan dari Negeri Kanguru itu seperti masih menempel di sekujur tubuhku. Laki-laki mana yang menolak suguhan istimewa itu?

“Aku tahu dari diri perempuan yang kau sebut kanguru merah itu kau bisa mendapatkan semua yang kau mau,” ujar Hanna setelah membaca pesan singkat perempuan itu yang lupa kuhapus. Sialnya, Hanna yang kuminta mencari nomor ponsel seorang teman membuka dan membaca pesan yang berisikan rayuanku dan kalimat gombal yang kukirimkan padanya sebagai ucapan terima kasih karena telah mengobati dahaga berahiku.

“Kau akan menjadi laki-laki paling bodoh jika menolak penyerahan diri perempuan itu,” kata Hanna dengan nada santai meski aku tahu ia seperti sedang terpanggang oleh kemarahan yang ditahannya.

“Atau… sebetulnya kau ingin bilang bahwa aku laki-laki kotor yang suka mengumbar berahi?” kataku kesal.

Hanna tertawa. Nadanya sumbang. Aku tahu, perempuan mana yang tidak sakit hati kekasihnya, lelaki yang dicintainya berbagi hati pada perempuan lain.Apalagi sampai bergelut di ranjang yang kian memanas saat dini hari membungkus kamar hotel itu dengan kabut es.

Melihat matanya, lalu tawanya aku menjadi ragu. Sungguhkah ia mencintaiku?

Pantaskah aku mempertanyakan perasaannya? Sementara aku yang selalu mengatakan sangat mencintainya, tak juga bisa menjaga perasaannya.Aku masih sering tergelincir dalam pesona perempuan-perempuan yang pernah singgah dalam hidupku.Aku tak bisa menahan gejolak berahi setiap kali perempuan kanguru merah itu membiarkan belahan dadanya menganga di balik blus tipis yang dua kancingnya dibiarkan terbuka. Belum lagi elusan tangannya yang nakal dan menjalar kian kemari dengan liar. Kebinalan yang membuat darah laki-lakiku berontak dan tak dapat menahan diri, mencegah diriku agar tak menjadi pengkhianat.

“Apakah laki-laki sepertimu memerlukan cinta?”

Aku merasa dihunus. Tepat di ulu hati. Kuakui aku laki-laki normal.

“Di luar sana banyak laki-laki normal yang mampu menjaga kehormatannya,” kata Hanna semakin mencincangku.

Aku diam. Sepi membalut malam. Tak tahu apa yang harus
kulakukan. Memeluk Hanna? Aku tak yakin pelukanku dapat meredakan amarah yang ditahannya. Meminta maaf atas pengkhiantanku itu? Hanna bisa saja semakin marah karena menganggapku terlalu mudah mengumbar kata maaf.

“Maaf jika kata-kataku terlalu pedas. Tetapi aku harus berkata apa adanya.” Hanna lalu menyodorkan capucino kaleng yang baru diambilnya dari lemari pendingin.

“Lupakan saja. Tak ada gunanya kita memperdebatkan
persoalan ini jika kau masih saja merasa paling benar,” lanjutnya lagi dengan dingin. Suaranya lebih dingin dari kaleng minuman yang kini sedang kupegang.

“Tak mudah mengubah karakter. Tak ada yang dapat mengubahnya jika bukan dirimu sendiri. Akan lebih sulit jika kau merasa apa yang kau lakukan itu kau anggap sesuatu yang benar.” Aku seperti laki-laki bodoh yang sedang dicecoki doktrin yang akan mencuci otakku. Ketika di sekolah menengah atas dan pacarku hamil, bapakku marah besar dan membuatku lari dari rumah karena ketakutan. Lain halnya dengan ibuku yang selalu siap menjadi pelindung dan pembela abadiku. Ia memberikan sejumlah uang untuk bekal selama persembunyianku dari amukan bapakku. Aku merasa ibuku tetap bersamaku meski aku tahu berita kehamilan pacarku telah mencoreng wajah bapakku yang ketua adat di kampung.

Sebagai laki-laki aku ingin menunjukkan tanggung jawab. Tetapi aku hanya lulusan sekolah menengah atas yang belum memiliki kemampuan yang mumpuni untuk bertanggung jawab. Ibuku berhasil melunakkan hati orang tua pacarku. Kami tidak menikah. Keluargaku menerima aib itu sebagai anugerah karena janin di perut pacarku semakin membesar dan itu berarti mereka akan mendapat rezeki seorang cucu dari anak laki mereka satu- satunya.

Aku lega. Aku dan pacarku atas restu kedua belah pihak diizinkan menunda pernikahan sampai aku lulus kuliah dan bekerja. Kami hidup satu atap meski tak menikah. Namun, kehidupan kampus dan kota besar membuatku tak semakin sadar akan tanggung jawab. Aku semakin liar. Meski tak pernah kusembunyikan statusku yang menggantungkan pernikahan, tetap saja banyak perempuan yang tak peduli. Saat mereka menginginkan kehangatanku, maka persetan dengan urusan anak dan lainnya.

Aku seperti disentil ketika menghadapi kenyataan calon isteriku akan menikah dengan lelaki lain. Lelaki yang menurut ibu anakku adalah lelaki yang bisa menerima dirinya apa adanya dan bertanggung jawab atas hidupnya.

Aku terpelanting. Tetapi tak bisa mencegah dengan alasan cinta sekali pun. Bagaimana mungkin ibu anakku bisa percaya kata cinta yang kuucapkan jika di belakangnya aku bergumul dengan banyak perempuan?

Aku mendendam dengan alasan yang menurut banyak orang sangat tidak masuk akal. Semua orang menganggapku laki-laki pengumbar syahwat.Yang menggantungkan kebahagian dalam persinggahan cinta sesaat. Bahkan sebagian orang mungkin saja menganggapku laki-laki penyedia jasa seks. Menikmati setiap permainan dan rayuan perempuan yang menghambur-hamburkan duitnya untukku sebagai balasan atas kesenangan yang kuberikan padanya.

Percintaanku yang terbawa ke kehidupan bebas beberapa kali menyeretku pada posisi yang tak menguntungkan. Meski tak juga bisa dibilang rugi. Setiap perempuan yang menginginkanku hampir semuanya berasal dari keluarga terhormat dan berlimpah harta. Aku ikut merasakan gelimang harta dan kehormatan keluarga mereka.Aku ikut bangga menjadi bagian dari mereka dan diperlakukan sebagaimana mereka memperlakukan orang yang mereka cinta.

Tetapi jika mau jujur, aku merasa hidup ini kering. Permainan dari ranjang ke ranjang kupastikan bukanlah cinta yang kucari. Kesenangan sesaat itu kini justru telah menjerumuskanku pada ketidakberdayaanku melawan perasaan dan pertentangan yang kian berkecamuk di gelisahku.

“Bantu aku melepaskan diri dari bayang-bayang mereka, Hanna.” Kataku akhirnya.

Perempuan itu menatap persis di manik mataku.Aku merasa ditelanjangi. Aku takut melihat kebencian di matanya. Aku menggigil ketakutan membayangkan betapa jijiknya perempuan itu memandangku. Perempuan yang kuimpikan menjadi perempuan terakhir yang akan mengisi hidupku di lima puluh tahun ke depan.

“Aku bisa apa selama dirimu merasa apa yang kau lakukan telah menjadi bagian dari kesenanganmu,” jawab Hanna kalem. Pandangan matanya tak menakutkan, seperti yang kubayangkan. Rasa bersalah dan timbunan dosa yang kulakukan sepanjang hidupku membuatku merasa seperti debu yang hanya akan mengotori hidupnya. Tetapi aku tak bisa hidup tanpa dirinya.

Aku membutuhkannya. Lebih dari apa pun yang kubutuhkan. Aku menginginkannya lebih dari apa yang selama ini menjadi impian-impianku. Aku ingin segera menikahinya tetapi aku takut dengan bayanganku kegelisahanku. Aku takut Hanna menolak karena kukira perempuan mana pun tak akan bisa memasrahkan hidupnya dengan laki-laki macam aku yang hanya mementingkan diri sendiri.

Tak ada yang tahu alasanku bertualang cinta tanpa rasa. Trauma masa lalu, perlakuan beberapa perempuan yang lebih memilih mengikuti keinginan orang tuanya dari pada tetap mempertahankanku sebagai laki-laki pilihannya menghancurkan harapanku dan membuatku tak percaya pada cinta.

Tetapi mengapa kali ini aku tak bisa mengikuti keinginan Hanna untuk mengakhiri hubungan kami. Inikah yang disebut cinta?

Otakku beku.


HANNA membaca e-mail yang baru dikirimnya ke lelaki itu.

Dibiarkannya air matanya menganak sungai dan jatuh menetes di lembaran buku hariannya. Ia harus tegas meski hati kecilnya berkata lain. Ia tahu ini keputusan yang berat. Tetapi hanya ini jalan terbaik untuk melepaskan diri dari bayang-bayang trauma lelaki yang mengajarinya arti cinta.

Hanna menyeka air matanya. Ia tak akan mendebatkan soal cinta. Tetapi ia butuh waktu untuk membuktikan apakah ia sungguh mencintai laki-laki yang menjuntai benang kusut masa lalunya.

(Lampung Post | Minggu, 15 Juli 2012)