Cerpen : Jukung

###Jukung
Tjak S. Parlan


LARUNGLAH aku. Oleh hujan yang mengepung seluruh kota. Hari ini, hujan yang melarungkanku berhenti, pada sebuah senja di tikungan jalan. Sepertinya sebuah pertigaan. Tetapi di kota mana, tak perlu bertanya, kukira.

Sebab aku tak diajari untuk mengeja, membaca tanda-tanda, lalu kumaknakan melalui gejala, firasat, atau sekadar teka-teki yang membuatku bertanya-tanya. Tak. Tak seperti itu aku diciptakan. Melainkan hanya untuk hanyut.

Dilarungkan oleh entah. Siapa saja yang dengan tangan-tangannya akan menjelmakanku sebagai perahu tanpa awak. Dan lautan, apakah aku punya lautan?. Mungkin bengawan, danau, telaga, selokan. Atau sekadar sesuatu?


AKU mendengar seorang ibu menuturkan satu kisah pada anaknya. Nuh pergi berlayar. Seperti juga laki-laki lain yang meninggalkan ibu, anakku. Ia juga meninggalkan anaknya.
Aku ingat sesuatu. Yang berpalka itu. Yang ditancapkan tiang pada perutnya. Suatu hari nanti, palka itu akan melebar. Dan tiang itu akan menjulang tinggi. Hampir menyamai tingginya pohon kelapa. Dari sana kamu bisa berteriak, mengabarkan pada semua yang di darat; aku sudah datang.

Bocah itu pun berlari-lari. Membawaku menuju sebuah samodra kecil. Tapi di sini tak ada ombak. Tak juga kulihat buih yang putih, yang pecah-pecah lalu berantakan di gigir pantai. Aku tak sanggup memilih.

Sebab lelaki kecil itu sudah kepalang melarungkanku di tempat ini. Senja memanggang bukit-bukit di sebelah barat. Dari sini masih bisa kulihat lelaki kecil itu menatapku sedih. Apa dia juga merasa kehilangan?Harusnya ia masih di sini. Memandangiku sambil bersorak.

Berteriak; hoiii! Seperti laki-laki lainnya memberi sapaan hangat. Mengabarkan pada siapa pun yang dijumpainya; aku telah berhasil mengarungi selat dan membawa rezeki untuk para perempuan dan anak-anak yang menunggu di rumah. Ah, aku kira ia memang hanya laki-laki kecil. Ia hanya ingat, Nuh pergi berlayar. Seperti juga laki-laki lain yang meninggalkan ibu. Ia juga meninggalkan anaknya.


WAKTU benar-benar berlalu sangat cepat.Aku segera saja rapuh. Masih kuingat kenangan kanak-kanak sewaktu tangan- tangan kecilnya terkadang usil melukaiku. Mengambilnya dari sembarang tempat. Merenggutnya dari akar tempat aku kokoh berdiri. Lalu melubangi perutku. Menggores-gores tubuhku.

Menancapkan tiang, mengembangkan layar. Melebarkan palka. Pada senja yang dingin mereka menggiringku ke sebuah selat. Terkadang hanya sebuah bengawan. Kali kecil, selokan atau sungai-sungai bercampur sampah, bermacam kotoran, bau amis, anyir dan berlendir-lendir buangan limbah.

Aku terdampar di mana? Terkatung-katung semalaman tanpa nakhoda. Layarku sebentar kembang, sebentar diterbangkan angin yang tak mampu kulawan. Terkadang putus harap; aku larat bersama samudra luas nun jauh di sana.

Pernah juga aku kandas. Pantatku penuh luka-luka yang menganga. Sekujur tubuhku kaku. Aku bahkan bergeming. Mereka mulai ramai-ramai menyeretku ke tepian. Tapi sebenarnya aku lebih sering diabaikan. Teronggok begitu saja tanpa kenangan. Tanpa sejarah layaknya barang-barang antik yang dipelototi di museum.

Pada saatnya usia uzur akan menjemputku. Sebongkah benda belaka. Mula-mula segerombolan rayap yang menggerogoti tubuh sebongkah kayu ini dari hari ke hari. Pada musim panas, kulitku melepuh. Rontok satu per satu. Musim dingin, tubuhku lebur bersama tanah. Menyatu, bersenyawa.

Lalu mereka menguraikanya. Lewat humus—mereka sering menyebutnya begitu—ditumbuhkanlah kuncup dari pokok kecil yang terselamatkan sebelum ajal. Hingga waktu melewati berkali- kali musim. Berkali-kali purnama. Beribu-ribu pasang dan surut. Ombak menjilat-jilat dengan lidahnya. Sekali waktu menyentuh pohonku.

Aku pokok yang kecil; kemudian membesar, tumbuh dan terus tumbuh. Aku rindang. Berdahan-dahan. Beranting-ranting. Kadang berbuah.Tubuhku kekar, kokoh menancap di gigir pantai, kadang di tengah belantara.

Lalu mereka datang. Merambat pada tubuhku. Memilih bagian dahan yang paling kuat. Menggoyang-goyangkannya sambil berteriak, melambai-lambai.Aku tahu, mereka telah menemukan layar-layar yang terkembang nun jauh di sana. Apakah laki-laki itu sudah pulang? Laki-laki yang meninggalkan perempuan dan anak-anaknya.

Sekali waktu—sebenarnya ini pasti akan terjadi—mereka datang kembali. Orang-orang yang melukai tubuhku. Dengan raung gergaji, dengan kampak, dengan parang. Patah dahan- dahanku. Remuk ranting-rantingku. Luruh seluruh daun. Lepas semua kulitku. Aku telanjang seperti babi guling dalam pesta beraroma tuak. Tangan-tangan kekar bersenjata merayakan tubuhku.
Mereka mulai lagi. Membikin lubang. Menggali tubuhku dengan kapak. Lantas menyerutku. Nah! sekarang saatnya menancapkan tiang. Mengendalikannya dengan layar. Melebarkan palka. Memoles-moles dengan sedikit ukiran, atau sekadar coretan. Sedikit yang lebih perhatian, akan memberiku sebuah nama.

Sekadar sebuah sebutan untuk menandaiku. Lalu tibalah hari itu ketika angin membawa apa pun menuju laut lepas. Inilah saatnya, seorang laki-laki akan menunggangiku. Wajahnya berkali-kali tengadah ke langit. Ia membaca arah bintang, nasib baik, maut, juga keberuntungan.


AKU ingat seorang laki-laki di bibir selat. Waktu itu, kamu masih kecil anakku. Belum pernah merasakan bagaimana nyamannya pulang berlayar. Belum mampu menahan gemeretak gigil pada gigimu. Bahkan jiwamu masih terlampau rapuh menari-nari dalam jilatan ombak.

Sementara, pada langit yang menyembunyikan bintang-bintang terbayang sebuah daratan. Tempat aku dan kamu tengah menunggu. Kau tahu, Nak? Di tempat ini setiap laki-laki harus berlayar.

Tidak. Tidak akan seperti Nuh. Karena laki-laki itu tak pernah kembali. Banjir bandang, telah memaksanya untuk menyelamatkan diri dari sebuah kedurhakaan. Nuh pergi berlayar. Seperti juga laki-laki lain yang meninggalkan ibu, anakku.

Ia juga meninggalkan anaknya. Kau pasti tahu. Dari sorot matamu jelas kutangkap; kita tak pernah durhaka pada siapa pun. Jadi berharaplah terus pada selat; bahwa suatu saat laki- laki itu akan berdiri pada tiang menjulang. Lalu dengan gagahnya akan memberikan kabar kepada kita; aku telah kembali.

Aku ingat seorang laki-laki di bibir selat. Kamu sudah tumbuh besar anakku. Bagaimana?Apa kau juga merasa letih menghitung berapa kali pasang, berapa kali surut? Berapa lama lagi kau akan menunggu?Tentang laki-laki di bibir selat itu.Tentang sebongkah jukung yang rapuh.Yang telah lama digerus ombak. Disingkirkan dari takdirnya. Dilepaskan dari layarnya. Dipisahkan dari palkanya. Dipatahkan dari tiangnya.

Setelah itu, ibu menutup ceritanya.

Aku menjelma. Jadi sebuah pinisi kecil. Laki-laki kecil itu menyebutku jukung. Senja tadi ketika matahari menyetubuhi bukit-bukit di sebelah barat, ia meninggalkanku di tengah hujan yang mengepung seluruh kota. Melarungkanku. Aku kira ini sebuah selat.Atau mungkin bengawan. Danaukah? Atau sungai? Bukan, ternyata bukan itu. Ini hanya sebuah saluran kecil di tengah-tengah kota yang kumuh.Aku karam bersama air limbah.

Laki-laki kecil itu terus menatapku. Matanya berharap pada birunya laut.

(Sinar Harapan | Sabtu, 14 Juli 2012)